Similar topics
Latest topics
Most Viewed Topics
Most active topic starters
kuku bima | ||||
admin | ||||
kermit katak lucu | ||||
hamba tuhan | ||||
feifei_fairy | ||||
paulusjancok | ||||
agus | ||||
gusti_bara | ||||
Muslim binti Muskitawati | ||||
Bejat |
Most active topics
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia Menyongsong Punahnya Islam
Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
Who is online?
In total there are 25 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 25 Guests :: 2 BotsNone
Most users ever online was 412 on Tue 29 Oct 2024, 11:45 pm
Social bookmarking
Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website
Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website
Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Page 1 of 1
Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Laksamana Muda John Lie
ini nih tokoh pahlawan yg baru gw knal yg petualangannya ruaaaarr biasa. inilah tokoh pahlawan kita yg berani menembus blokade belanda diawal2 masa kemerdekaan demi mengisi kas negara dan menyuplai senjata bagi angkatan bersenjata kita.
pada awalnya, John lie muda bekerja di maskapai pelayaran milik belanda, KPM. Dia rela mempertaruhkan nyawa dengan berhenti dari maskapai belanda tsb demi kembali ke indonesia untuk berjuang. Dengan kapal kecil nya yg diberi nama "Outlaw", John lie berkali2 menembus blokade belanda dan radio BBC inggris menjuluki kapal John Lie dengan sebutan "The Black Speedboat" karena kemahirannya beroperasi dimalam hari tanpa penerangan tanpa tertangkap oleh belanda.
selain mempertahankan RI dari belanda, John lie jg ikut serta dalam penumpasan beberapa pemberontakan seperti PERMESTA, DI/TII, dan RMS. Peran john Lie bagi RI tidak dapat dianggap remeh. karena berkat usahnya maka NKRI dapat dipertahankan. Cerita ttg Laksamana muda John Lie ini pernah diangakat oleh Metro Files
"When I was a boy, Lie says, "I did wrong. The Lord told me to move on, and I went to the sea. I spent 15 years on Dutch sailing between Durban and Shanghai. But I saw Dutch did wrong, so once again I moved on. I went to the Holy Land. The God told me to go home and help make Indonesia a Garden of Eden."
- Lie dalam wawancara dengan LIFE magz 26 okt 1949 -
Tjoa Tek Swat
Tjoa Tek Swat (Cicurug, Sukabumi, 29 September 1911 - Jakarta, 12 Desember 1944) adalah seorang pendeta Kristen yang terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap penjajahan Jepang melalui sebuah gerakan bawah tanah yang dinamai "Piet van Dam". Organisasi ini bergerak di Bogor dan di Jakarta. Selain Tjoa Tek Swat sendiri, dua orang anggota lainnya adalah Wernick dan Lie Beng Giok (yang belakangan berganti nama menjadi LBG Suryadinata).
Dr. Oen Boen Ing
Menurut kesaksian Soelarso, Ketua Paguyuban Rumpun Eks Tentara Pelajar Detasemen II Brigade XVII, "...tanpa menghiraukan tembakan Belanda, Dr Oen keluar masuk wilayah TNI untuk mengobati para prajurit..."
ini nih tokoh pahlawan yg baru gw knal yg petualangannya ruaaaarr biasa. inilah tokoh pahlawan kita yg berani menembus blokade belanda diawal2 masa kemerdekaan demi mengisi kas negara dan menyuplai senjata bagi angkatan bersenjata kita.
pada awalnya, John lie muda bekerja di maskapai pelayaran milik belanda, KPM. Dia rela mempertaruhkan nyawa dengan berhenti dari maskapai belanda tsb demi kembali ke indonesia untuk berjuang. Dengan kapal kecil nya yg diberi nama "Outlaw", John lie berkali2 menembus blokade belanda dan radio BBC inggris menjuluki kapal John Lie dengan sebutan "The Black Speedboat" karena kemahirannya beroperasi dimalam hari tanpa penerangan tanpa tertangkap oleh belanda.
selain mempertahankan RI dari belanda, John lie jg ikut serta dalam penumpasan beberapa pemberontakan seperti PERMESTA, DI/TII, dan RMS. Peran john Lie bagi RI tidak dapat dianggap remeh. karena berkat usahnya maka NKRI dapat dipertahankan. Cerita ttg Laksamana muda John Lie ini pernah diangakat oleh Metro Files
"When I was a boy, Lie says, "I did wrong. The Lord told me to move on, and I went to the sea. I spent 15 years on Dutch sailing between Durban and Shanghai. But I saw Dutch did wrong, so once again I moved on. I went to the Holy Land. The God told me to go home and help make Indonesia a Garden of Eden."
- Lie dalam wawancara dengan LIFE magz 26 okt 1949 -
Tjoa Tek Swat
Tjoa Tek Swat (Cicurug, Sukabumi, 29 September 1911 - Jakarta, 12 Desember 1944) adalah seorang pendeta Kristen yang terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap penjajahan Jepang melalui sebuah gerakan bawah tanah yang dinamai "Piet van Dam". Organisasi ini bergerak di Bogor dan di Jakarta. Selain Tjoa Tek Swat sendiri, dua orang anggota lainnya adalah Wernick dan Lie Beng Giok (yang belakangan berganti nama menjadi LBG Suryadinata).
Dr. Oen Boen Ing
Menurut kesaksian Soelarso, Ketua Paguyuban Rumpun Eks Tentara Pelajar Detasemen II Brigade XVII, "...tanpa menghiraukan tembakan Belanda, Dr Oen keluar masuk wilayah TNI untuk mengobati para prajurit..."
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Dr. Ferdinand Lumban Tobing
Pada tahun 1943 ia diangkat menjadi ketua Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Daerah) Tapanuli di samping anggota Cuo Sangi In. Pada masa awal Revolusi ia merupakan tokoh penting di Tapanuli. Pada bulan Oktober 1945 ia diangkat menjadi Residen Tapanuli. Sebagai Residen, ia menghadapi saat-saat sulit ketika daerah Tapanuli dilanda pertentangan bersenjata antara sesama pasukan RI yang datang dari Sumatera Timur setelah daerah itu jatuh ke tangan Belanda dalam Agresi Militer I Belanda. Tetapi Tobing berpendirian tegas dan tidak mudah digertak. Dalam Agresi Militer II Belanda, ia diangkat menjadi Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan. la memimpin perjuangan gerilya di hutan-hutan, naik gunung turun gunung.
Setelah pengakuan kedaulatan, ia ditawari untuk menjadi Gubernur Sumatera Utara, tetapi tawaran itu ditolaknya. Dalam Kabinet Ali I ia diangkat menjadi Menteri Penerangan Jabatan lainnya Menteri Urusan Hubungan Antar Daerah dan terakhir Menteri Negara Urusan Transmigrasi. la meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1962.
Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker ( Danudirja Setiabudi )
Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.
Pong Tiku (Ne'Baso)
Izaak Huru Doko
Izaak Huru Doko lahir pada 20 November 1918 di Ledemanu, Sabu, NTT. Ia memimpin dan mengorganisir tenaga-tenaga nasional untuk menghadapi Pemerintah Reaksioner Belanda (NICA) dan kaki tangannya. Ia pernah menjabat Menteri Penerangan NIT (Negara Indonesia Timur) yang membantu perjuangan RI dan mengembalikan Presiden dan Wakil Presiden serta pemerintah RI ke Yogya. Dari perjuangan inilah, maka dalam tahun 1948, NIT diakui secara resmi oleh Pemerintah RI. Izaak Huru bahkan dikatakan hampir menjadi korban G30S/PKI, dan termasuk dalam daftar utama orang yang harus dilenyapkan.
Pada tahun 1943 ia diangkat menjadi ketua Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Daerah) Tapanuli di samping anggota Cuo Sangi In. Pada masa awal Revolusi ia merupakan tokoh penting di Tapanuli. Pada bulan Oktober 1945 ia diangkat menjadi Residen Tapanuli. Sebagai Residen, ia menghadapi saat-saat sulit ketika daerah Tapanuli dilanda pertentangan bersenjata antara sesama pasukan RI yang datang dari Sumatera Timur setelah daerah itu jatuh ke tangan Belanda dalam Agresi Militer I Belanda. Tetapi Tobing berpendirian tegas dan tidak mudah digertak. Dalam Agresi Militer II Belanda, ia diangkat menjadi Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan. la memimpin perjuangan gerilya di hutan-hutan, naik gunung turun gunung.
Setelah pengakuan kedaulatan, ia ditawari untuk menjadi Gubernur Sumatera Utara, tetapi tawaran itu ditolaknya. Dalam Kabinet Ali I ia diangkat menjadi Menteri Penerangan Jabatan lainnya Menteri Urusan Hubungan Antar Daerah dan terakhir Menteri Negara Urusan Transmigrasi. la meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1962.
Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker ( Danudirja Setiabudi )
Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.
Pong Tiku (Ne'Baso)
Izaak Huru Doko
Izaak Huru Doko lahir pada 20 November 1918 di Ledemanu, Sabu, NTT. Ia memimpin dan mengorganisir tenaga-tenaga nasional untuk menghadapi Pemerintah Reaksioner Belanda (NICA) dan kaki tangannya. Ia pernah menjabat Menteri Penerangan NIT (Negara Indonesia Timur) yang membantu perjuangan RI dan mengembalikan Presiden dan Wakil Presiden serta pemerintah RI ke Yogya. Dari perjuangan inilah, maka dalam tahun 1948, NIT diakui secara resmi oleh Pemerintah RI. Izaak Huru bahkan dikatakan hampir menjadi korban G30S/PKI, dan termasuk dalam daftar utama orang yang harus dilenyapkan.
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Pahlawan Kemerdekaan Negara Tercinta ini dari Kaum Rohaniwan Seorang Uskup:
Albertus Soegijapranata
Nama kecilnya adalah Soegija. Soegija lahir di sebuah keluarga Kejawen yang merupakan Abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta.
Belajar di Kolese Xaverius yang didirikan oleh pastor Van Lith SJ. Sekolah ini pindahan dari sekolah dari Lampersari dari Semarang. Ketika bersekolah, Soegijapranata dibaptis di Muntilan oleh Pastor Meltens, dengan mengambil nama permandian Albertus Magnus. Dari didikan disinilah kemudian ia berhasrat untuk menjadi iman maka ia dikirim ke Belanda belajar di gymnasium, yang diasuh oleh Ordo Salib Suci (OSC) di Uden, Belanda Utara, dimana ia belajar bahasa Latin dan Yunani. Rute perjalanan ke Belanda mulai dari Tanjung Priok-Muntok-belawan-Sabang-Singapore-Colombo-Terusan Suez terus ke Amsterdam.
Kemudian masuk novisiat SJ di Mariendaal, Grave. Disini ia bertemu dengan pastor Willekens SJ, yang kelak menjadi Vicaris Apostolik Batavia. Pada 22 September 1922 Soegija mengucapkan kaul prasetia.
1923-1926 Belajar filsafat di Kolese Berchman, Oudenbosch.
1926-1928 Kembali ke Muntilan mengajar di kolese Xaverius Muntilan. Pada Agustus 1928 Soegija kembali ke Belanda belajar teologi di Maastrich.
Pada tanggal 15 Agustus 1931 menerima sakramen imamat, ditahbiskan oleh Mgr. Schrijnen, uskup Roermond di kota Maastrich. Namanya ditambah Pranata sehingga menjadi Soegijapranata.
Tahun 1933 Soegijapranata kembali ke Indonesia dan mulai bekerja di paroki Kidulloji, Yogyakarta, selama satu tahun sebagai pastor pembantu.
Tahun 1934 ia dipindahkan ke Paroki Bintaran sampai tahun 1940.
Pada 1 Agustus 1940, Mgr. Willekens, vicaris Batavia, menerima telegram dari Roma yang berbunyi : "from propaganda fide Semarang erected vicaris stop, Albert Soegijapranata appointed vicar apostolic titular bishop danaba stop you may concecrete without bulls" ditanda tangani oleh Cardinal Montini ( kelak menjadi Paus Pius XII ). Soegijapranata menjawab : "Thanks to his holiness begs benediction".
Pada 6 November 1940 ia ditahbiskan sebagai uskup pribumi pertama Indonesia oleh Mgr. Willekens SJ-vicaris Batavia, Mgr. AJE Albers O.Carm-vicaris Malang, dan Mgr. HM Mekkelholt SCJ-vicaris Palembang.
Pada 1943, bersama Uskup Willekens SJ menghadapi penguasa pendudukan pemerintah Jepang dan berhasil mengusahakan agar Rumah Sakit St. Carolus dapat berjalan terus.
Albertus Soegijapranata
Nama kecilnya adalah Soegija. Soegija lahir di sebuah keluarga Kejawen yang merupakan Abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta.
Belajar di Kolese Xaverius yang didirikan oleh pastor Van Lith SJ. Sekolah ini pindahan dari sekolah dari Lampersari dari Semarang. Ketika bersekolah, Soegijapranata dibaptis di Muntilan oleh Pastor Meltens, dengan mengambil nama permandian Albertus Magnus. Dari didikan disinilah kemudian ia berhasrat untuk menjadi iman maka ia dikirim ke Belanda belajar di gymnasium, yang diasuh oleh Ordo Salib Suci (OSC) di Uden, Belanda Utara, dimana ia belajar bahasa Latin dan Yunani. Rute perjalanan ke Belanda mulai dari Tanjung Priok-Muntok-belawan-Sabang-Singapore-Colombo-Terusan Suez terus ke Amsterdam.
Kemudian masuk novisiat SJ di Mariendaal, Grave. Disini ia bertemu dengan pastor Willekens SJ, yang kelak menjadi Vicaris Apostolik Batavia. Pada 22 September 1922 Soegija mengucapkan kaul prasetia.
1923-1926 Belajar filsafat di Kolese Berchman, Oudenbosch.
1926-1928 Kembali ke Muntilan mengajar di kolese Xaverius Muntilan. Pada Agustus 1928 Soegija kembali ke Belanda belajar teologi di Maastrich.
Pada tanggal 15 Agustus 1931 menerima sakramen imamat, ditahbiskan oleh Mgr. Schrijnen, uskup Roermond di kota Maastrich. Namanya ditambah Pranata sehingga menjadi Soegijapranata.
Tahun 1933 Soegijapranata kembali ke Indonesia dan mulai bekerja di paroki Kidulloji, Yogyakarta, selama satu tahun sebagai pastor pembantu.
Tahun 1934 ia dipindahkan ke Paroki Bintaran sampai tahun 1940.
Pada 1 Agustus 1940, Mgr. Willekens, vicaris Batavia, menerima telegram dari Roma yang berbunyi : "from propaganda fide Semarang erected vicaris stop, Albert Soegijapranata appointed vicar apostolic titular bishop danaba stop you may concecrete without bulls" ditanda tangani oleh Cardinal Montini ( kelak menjadi Paus Pius XII ). Soegijapranata menjawab : "Thanks to his holiness begs benediction".
Pada 6 November 1940 ia ditahbiskan sebagai uskup pribumi pertama Indonesia oleh Mgr. Willekens SJ-vicaris Batavia, Mgr. AJE Albers O.Carm-vicaris Malang, dan Mgr. HM Mekkelholt SCJ-vicaris Palembang.
Pada 1943, bersama Uskup Willekens SJ menghadapi penguasa pendudukan pemerintah Jepang dan berhasil mengusahakan agar Rumah Sakit St. Carolus dapat berjalan terus.
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
J.A Dimara
Pemerintah menetapkan dua tokoh sebagai pahlawan nasional. Dua tokoh yang ditetapkan yakni DR Johannes Leimena dari Maluku dan Johannes Abraham (JA) Dimara dari Papua. Siapak Dimara. Rupanya banyak yang tidak tahu. Pahlawan nasional Johane Abraham Dimara lahir di desa Korem Biak Utara pada tanggal 16 April 1916. Dia adalah putra dari Kepala Kampung Wiliam Dimara. Ketika mulai beranjak besar (13 tahun), ketika masih disekolah desa, dirinya diangkat anak oleh orang Ambon bernama Elisa Mahubesi dan dibawa kekota Ambon.
Anak Biak yang tumbuh cepat dengan postur atletis ini mulai masuk agama Kristen dan diberi nama Johanes Abraham. Nama kecilnya Arabel berganti Anis (dari Johanes) Papua (berasal dari Irian). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan Dimara pada tahun 1930. Selanjutnya masuk sekolah pertanian dan selesai tahun 1935. Sesuai dengan pendidikannya pada sekolah Injil yang dilakukannya setelah tahun 1935 (saat itu usianya mendekati 20 tahun), dirinya kemudian menjadi tokoh dalam profesi nya lebih lanjut yaitu guru agama Kristen. Dia menjadi guru penginjil di kecamatan Leksula, Maluku Tengah .
Tepatnya di pulau Buru. Ketika zaman Jepang tiba, Dimara masuk menjadi anggota Heiho. Ketika Indonesia merdeka, Dimara bekerja dipelabuhan Namlea Ambon. Pada suatu hari ditahun 1946, masuk kapal Sindoro berbendera Merah Putih. Sebenarnya ini adalah kapal yang membawa sejumlah Anggota ALRI asal suku Maluku dari Tegal. Maksudnya melakukan penyusupan di Ambon untuk memberitakan peristiwa Proklamasi dan tentu saja berjuang. Komandan pasukan ini adalah Kapten Ibrahim Saleh dan jurumudi Yos Sudarso (kemudian jadi Laksamana dan gugur di laut Aru). Dimara sebagai anggota polisi, ditugaskan untuk meneliti kapal RI ini. Maka terjadi pembicaraan diatas kapal, khususnya dengan Yos Sudarso. Pihak RI minta bantuan agar kapal bias mendarat penuh. Merasa insting nasionalismenya bangkit, Dimara bersedia membantu. Tapi menganjurkan agar kapal didaratkan di Tanjung Nametek sekitar satu kilometer dari namlea. Selanjutnya Dimara membantu perjuangan RI. Sempat ditangkap dan dipenjara bersama para pejuang Indonesia lainnya.
Tahun 1949, setelah penyerahan kedaulatan, bergabung dengan Batalyon Patimura APRIS dan ikut dalam penumpasan RMS. Pada suatu hari dalam kunjungan ke Makasar (sekitar tahun 1950-an), Presiden Soekarno menengok pasien di Rumah sakit Stella maris. Ketika itu Dimara sedang dirawat di Rumah sakit Stella Maris itu. Itulah pertama kali Dimara bertemu Presiden RI. Tidak terasa waktu berjalan cepat dan tahun 60-an RI berjuang untuk mengembalikan Pulau Irian bagian barat kedalam pangkuan Ibu Pertiwi. Dimara adalah salah seorang pejuang yang ikut dalam pembebasan Irian Barat. Dirinya adalah anggota OPI (Organisasi Pembebasan Irian Barat).
Sungguh jasanya tidak kecil karena dalam operasi di Kaimana, dia sempat ditangkap dan terluka. Dimara adalah saksi hidup perjuangan RI didaerah timur dan pangkatnya Mayor TNI menjelang pensiun. Pada tahun 2000 dirinya ditemui Wapres Megawati dirumah kontrakan sederhanaya didaerah Slipi. Meskipun pernah menjadi anggota DPA, Dimara orang sederhana yang mencintai Tanah Air Indonesia dan Bendera Merah Putih. Pada tanggal 20 Oktober 2000, Johanes Dimara tutup usia.
Pemerintah menetapkan dua tokoh sebagai pahlawan nasional. Dua tokoh yang ditetapkan yakni DR Johannes Leimena dari Maluku dan Johannes Abraham (JA) Dimara dari Papua. Siapak Dimara. Rupanya banyak yang tidak tahu. Pahlawan nasional Johane Abraham Dimara lahir di desa Korem Biak Utara pada tanggal 16 April 1916. Dia adalah putra dari Kepala Kampung Wiliam Dimara. Ketika mulai beranjak besar (13 tahun), ketika masih disekolah desa, dirinya diangkat anak oleh orang Ambon bernama Elisa Mahubesi dan dibawa kekota Ambon.
Anak Biak yang tumbuh cepat dengan postur atletis ini mulai masuk agama Kristen dan diberi nama Johanes Abraham. Nama kecilnya Arabel berganti Anis (dari Johanes) Papua (berasal dari Irian). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan Dimara pada tahun 1930. Selanjutnya masuk sekolah pertanian dan selesai tahun 1935. Sesuai dengan pendidikannya pada sekolah Injil yang dilakukannya setelah tahun 1935 (saat itu usianya mendekati 20 tahun), dirinya kemudian menjadi tokoh dalam profesi nya lebih lanjut yaitu guru agama Kristen. Dia menjadi guru penginjil di kecamatan Leksula, Maluku Tengah .
Tepatnya di pulau Buru. Ketika zaman Jepang tiba, Dimara masuk menjadi anggota Heiho. Ketika Indonesia merdeka, Dimara bekerja dipelabuhan Namlea Ambon. Pada suatu hari ditahun 1946, masuk kapal Sindoro berbendera Merah Putih. Sebenarnya ini adalah kapal yang membawa sejumlah Anggota ALRI asal suku Maluku dari Tegal. Maksudnya melakukan penyusupan di Ambon untuk memberitakan peristiwa Proklamasi dan tentu saja berjuang. Komandan pasukan ini adalah Kapten Ibrahim Saleh dan jurumudi Yos Sudarso (kemudian jadi Laksamana dan gugur di laut Aru). Dimara sebagai anggota polisi, ditugaskan untuk meneliti kapal RI ini. Maka terjadi pembicaraan diatas kapal, khususnya dengan Yos Sudarso. Pihak RI minta bantuan agar kapal bias mendarat penuh. Merasa insting nasionalismenya bangkit, Dimara bersedia membantu. Tapi menganjurkan agar kapal didaratkan di Tanjung Nametek sekitar satu kilometer dari namlea. Selanjutnya Dimara membantu perjuangan RI. Sempat ditangkap dan dipenjara bersama para pejuang Indonesia lainnya.
Tahun 1949, setelah penyerahan kedaulatan, bergabung dengan Batalyon Patimura APRIS dan ikut dalam penumpasan RMS. Pada suatu hari dalam kunjungan ke Makasar (sekitar tahun 1950-an), Presiden Soekarno menengok pasien di Rumah sakit Stella maris. Ketika itu Dimara sedang dirawat di Rumah sakit Stella Maris itu. Itulah pertama kali Dimara bertemu Presiden RI. Tidak terasa waktu berjalan cepat dan tahun 60-an RI berjuang untuk mengembalikan Pulau Irian bagian barat kedalam pangkuan Ibu Pertiwi. Dimara adalah salah seorang pejuang yang ikut dalam pembebasan Irian Barat. Dirinya adalah anggota OPI (Organisasi Pembebasan Irian Barat).
Sungguh jasanya tidak kecil karena dalam operasi di Kaimana, dia sempat ditangkap dan terluka. Dimara adalah saksi hidup perjuangan RI didaerah timur dan pangkatnya Mayor TNI menjelang pensiun. Pada tahun 2000 dirinya ditemui Wapres Megawati dirumah kontrakan sederhanaya didaerah Slipi. Meskipun pernah menjadi anggota DPA, Dimara orang sederhana yang mencintai Tanah Air Indonesia dan Bendera Merah Putih. Pada tanggal 20 Oktober 2000, Johanes Dimara tutup usia.
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Ignatius Joseph Kasimo
Pada masa kemerdekaan awal, PPKI yang dilarang oleh Jepang dihidupkan kembali atas gagasan Kasimo dan berubah nama menjadi Partai Katolik Republik Indonesia. Antara tahun 1947-1949 ia duduk sebagai Menteri Muda Kemakmuran dalam Kabinet Amir Sjarifuddin, Menteri Persediaan Makanan Rakyat dalam Kabinet Hatta I dan Hatta II. Dalam kabinet peralihan atau Kabinet Soesanto Tirtoprodjo ia juga menjabat sebagai menteri. Kasimo pun juga pernah ikut menjadi anggota Delegasi Perundingan Republik Indonesia.
Pada masa Agresi Militer II (Politionele Actie) ia bersama menteri lainnya yang tidak dikurung Belanda bergerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lalu ketika bisa kembali ke Yogyakarta ia memprakarsai kerja sama seluruh partai Katolik Indonesia untuk bersatu menjadi Partai Katolik.
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), Kasimo duduk sebagai wakil Republik Indonesia dan kemudian setelah RIS dilebur sebagai anggota DPR. Dalam Kabinet Burhanuddin Harahap ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Kasimo juga ikut berjuang merebut Irian Barat.
Kasimo menyatakan pendiriannya untuk menolak gagasan Nasakom yang ditawarkan Bung Karno. Kasimo pun juga menolak Kabinet yang diprakarsai Soekarno dan terdiri dari empat partai pemenang pemilu 1955: PNI, Masyumi, NU dan PKI. Kala itu Masyumi dan Partai Katolik Indonesia yang satu-satunya menolak bekerja sama dengan PKI di kabinet.
Pada masa kemerdekaan awal, PPKI yang dilarang oleh Jepang dihidupkan kembali atas gagasan Kasimo dan berubah nama menjadi Partai Katolik Republik Indonesia. Antara tahun 1947-1949 ia duduk sebagai Menteri Muda Kemakmuran dalam Kabinet Amir Sjarifuddin, Menteri Persediaan Makanan Rakyat dalam Kabinet Hatta I dan Hatta II. Dalam kabinet peralihan atau Kabinet Soesanto Tirtoprodjo ia juga menjabat sebagai menteri. Kasimo pun juga pernah ikut menjadi anggota Delegasi Perundingan Republik Indonesia.
Pada masa Agresi Militer II (Politionele Actie) ia bersama menteri lainnya yang tidak dikurung Belanda bergerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lalu ketika bisa kembali ke Yogyakarta ia memprakarsai kerja sama seluruh partai Katolik Indonesia untuk bersatu menjadi Partai Katolik.
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), Kasimo duduk sebagai wakil Republik Indonesia dan kemudian setelah RIS dilebur sebagai anggota DPR. Dalam Kabinet Burhanuddin Harahap ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Kasimo juga ikut berjuang merebut Irian Barat.
Kasimo menyatakan pendiriannya untuk menolak gagasan Nasakom yang ditawarkan Bung Karno. Kasimo pun juga menolak Kabinet yang diprakarsai Soekarno dan terdiri dari empat partai pemenang pemilu 1955: PNI, Masyumi, NU dan PKI. Kala itu Masyumi dan Partai Katolik Indonesia yang satu-satunya menolak bekerja sama dengan PKI di kabinet.
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Arie Frederik Lasut
Arie Frederick Lasut mencapai umur 35 tahun ketika pada 7 Mei 1949 ia diculik dan ditembak mati di suatu tempat di Jalan Pakem, Yogyakarta, oleh tentara Belanda yang menduduki kota itu. Ia dilahirkan di Tondano, Sulawesi Utara, pada 6 Mei 1914 (seperti tertulis pada Prasasti A.F. Lasut di Museum Geologi), dari keluarga guru, sebagai anak kedua dari delapan bersaudara (keterangan lain menyebutkan bahwa A.F. Lasut lahir pada 6 Juli 1918 (S. Darsoprajitno, 1985)).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, A.F. Lasut bersama dengan R. Sunu Somosoesastro dan rekan-rekan sejawat lainnya berjuang melakukan pengambilalihan kantor Sangyobu Chishitsuchosacho dari penguasa Jepang. Pada waktu itu aksi pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang terjadi di mana-mana di daerah pertambangan, mulai dari kantor pusat Sangyobu Chishitsuchosacho di Bandung sampai ke pertambangan yang tersebar di daerah-daerah. Aksi pengambilalihan kantor Sangyobu Chishitsuchosacho di Rembrandt Straat Bandung, diikuti dengan pembentukan Pusat Djawatan Tambang dan Geologi dengan kantor yamg sama.
Sebagai pejuang yang gigih, A.F. Lasut bersama rekan sejawatnya setelah merebut dan mempertahankan Pusat Djawatan Tambang dan Geologi, ia juga menyelamatkan dan mengembangkannya. Dalam suasana perang itu, ia juga sempat mengomandani Kompi BS dari Brigade-16, menyelamatkan dokumen tambang dan geologi ke Bukittinggi menjelang Agresi Militer Belanda II Desember 1948, dan memperbantukan 6 orang mantri opnemer-nya ke Markas Besar TRI untuk menyiapkan peta-peta militer daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Sebagai seorang nasionalis, ia pernah menerbitkan pengumuman bahwa “Semua perusahaan pertambangan harus berada di bawah pengawasan Pusat Djawatan Tambang dan Geologi” (Oktober 1945), pernah menolak tawaran Ir. Buurman dan Ir. Akkersdijk untuk bekerjasama dengan Opsporingsdienst di Bandung , dan pernah pula menjadi setaf ahli delegasi Indonesia pimpinan Mr. Moh Roem dalam perundingan dengan pihak Belanda.
Arie Frederick Lasut mencapai umur 35 tahun ketika pada 7 Mei 1949 ia diculik dan ditembak mati di suatu tempat di Jalan Pakem, Yogyakarta, oleh tentara Belanda yang menduduki kota itu. Ia dilahirkan di Tondano, Sulawesi Utara, pada 6 Mei 1914 (seperti tertulis pada Prasasti A.F. Lasut di Museum Geologi), dari keluarga guru, sebagai anak kedua dari delapan bersaudara (keterangan lain menyebutkan bahwa A.F. Lasut lahir pada 6 Juli 1918 (S. Darsoprajitno, 1985)).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, A.F. Lasut bersama dengan R. Sunu Somosoesastro dan rekan-rekan sejawat lainnya berjuang melakukan pengambilalihan kantor Sangyobu Chishitsuchosacho dari penguasa Jepang. Pada waktu itu aksi pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang terjadi di mana-mana di daerah pertambangan, mulai dari kantor pusat Sangyobu Chishitsuchosacho di Bandung sampai ke pertambangan yang tersebar di daerah-daerah. Aksi pengambilalihan kantor Sangyobu Chishitsuchosacho di Rembrandt Straat Bandung, diikuti dengan pembentukan Pusat Djawatan Tambang dan Geologi dengan kantor yamg sama.
Sebagai pejuang yang gigih, A.F. Lasut bersama rekan sejawatnya setelah merebut dan mempertahankan Pusat Djawatan Tambang dan Geologi, ia juga menyelamatkan dan mengembangkannya. Dalam suasana perang itu, ia juga sempat mengomandani Kompi BS dari Brigade-16, menyelamatkan dokumen tambang dan geologi ke Bukittinggi menjelang Agresi Militer Belanda II Desember 1948, dan memperbantukan 6 orang mantri opnemer-nya ke Markas Besar TRI untuk menyiapkan peta-peta militer daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Sebagai seorang nasionalis, ia pernah menerbitkan pengumuman bahwa “Semua perusahaan pertambangan harus berada di bawah pengawasan Pusat Djawatan Tambang dan Geologi” (Oktober 1945), pernah menolak tawaran Ir. Buurman dan Ir. Akkersdijk untuk bekerjasama dengan Opsporingsdienst di Bandung , dan pernah pula menjadi setaf ahli delegasi Indonesia pimpinan Mr. Moh Roem dalam perundingan dengan pihak Belanda.
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Tjilik Riwut
Tjilik Riwut (lahir di Kasongan, Katingan, Kalimantan Tengah, 2 Februari 1918 – meninggal di Rumah Sakit Suaka Insan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 17 Agustus 1987 pada umur 69 tahun) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia dan Gubernur Kalimantan Tengah. Ia meninggal setelah dirawat di rumah sakit karena menderita penyakit lever/hepatitis dalam usia 69 Tahun, dimakamkan di makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangka Raya Kalimantan Tengah. Namanya kini diabadikan untuk salah satu bandar udara di Palangka Raya.
Tjilik Riwut yang dengan bangga selalu menyatakan diri sebagai "orang hutan" karena lahir dan dibesarkan di belantara Kalimantan, adalah pencinta alam sejati juga sangat menjunjung tinggi budaya leluhurnya. Ketika masih belia ia telah tiga kali mengelilingi pulau Kalimantan hanya dengan berjalan kaki, naik perahu dan rakit.
Tjilik Riwut adalah salah satu putera Dayak yang menjadi KNIP. Perjalanan dan perjuangannya kemudian melampau batas-batas kesukuan untuk menjadi salah satu pejuang bangsa. Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1998 merupakan wujud penghargaan atas perjuangan pada masa kemerdekaan dan pengabdian membangun Kalimantan (Tengah).
Setelah dari Pulau Jawa untuk menuntut ilmu, Tjilik Riwut diterjunkan ke Kalimantan sebagai pelaksana misi Pemerintah Republik Indonesia yang baru saja terbentuk, namun beliau tidak terjun. Nama-nama yang terjun merebut kalimantan adalah Harry Aryadi Sumantri, Iskandar, Sersan Mayor Kosasih, F. M. Suyoto, Bahrie, J. Bitak, C. Williem, Imanuel, Mika Amirudin, Ali Akbar, M. Dahlan, J. H. Darius, dan Marawi.
Rombongan-rombongan ekspedisi ke Kalimantan dari Jawa yang kemudian membentuk barisan perjuangan di daerah yang sangat luas ini. Mereka menghubungi berbagai suku Dayak di berbagai pelosok Kalimantan untuk menyatukan persepsi rakyat yang sudah bosan hidup di alam penjajahan sehingga bersama-sama dapat menggalang persatuan dan kesatuan.
Selain itu, Tjilik Riwut berjasa memimpin Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tanggal 17 Oktober 1947 oleh pasukan MN 1001, yang ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI-AU yang diperingati setiap 17 Oktober. Waktu itu Pemerintah RI masih di Yogyakarta dan pangkat Tjilik Riwut adalah Mayor TNI. Pangkat Terakhir Tjilik Riwut adalah Marsekal Pertama Kehormatan TNI-AU.
Tjilik Riwut adalah salah seorang yang cukup berjasa bagi masuknya pulau Kalimantan ke pangkuan Republik Indonesia. Sebagai seorang putera Dayak ia telah mewakili 142 suku Dayak pedalaman Kalimantan bersumpah setia kepada Pemerintah RI secara adat dihadapan Presiden Sukarno di Gedung Agung Yogyakarta, 17 Desember 1946.
Sebagai tentara, pengalaman perangnya meliputi sebagian besar pulau Kalimantan dan Jawa. Setelah perang usai, Tjilik Riwut aktif di pemerintahan. Dia pernah menjadi Gubernur Kalimantan Tengah, menjadi koordinator masyarakat suku-suku terasing untuk seluruh pedalaman Kalimantan, dan terakhir sebagi anggota DPR RI.
Keterampilan dalam menulis diasahnya semasa dia bergabung dengan Sanusi Pane di Harian Pembangunan. Tjilik Riwut telah menulis sejumlah buku mengenai Kalimantan: Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952), Maneser Panatau Tatu Hiang (1965,stensilan, dalam bahasa Dayak Ngaju), Kalimantan Membangun (1979).
Tjilik Riwut (lahir di Kasongan, Katingan, Kalimantan Tengah, 2 Februari 1918 – meninggal di Rumah Sakit Suaka Insan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 17 Agustus 1987 pada umur 69 tahun) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia dan Gubernur Kalimantan Tengah. Ia meninggal setelah dirawat di rumah sakit karena menderita penyakit lever/hepatitis dalam usia 69 Tahun, dimakamkan di makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangka Raya Kalimantan Tengah. Namanya kini diabadikan untuk salah satu bandar udara di Palangka Raya.
Tjilik Riwut yang dengan bangga selalu menyatakan diri sebagai "orang hutan" karena lahir dan dibesarkan di belantara Kalimantan, adalah pencinta alam sejati juga sangat menjunjung tinggi budaya leluhurnya. Ketika masih belia ia telah tiga kali mengelilingi pulau Kalimantan hanya dengan berjalan kaki, naik perahu dan rakit.
Tjilik Riwut adalah salah satu putera Dayak yang menjadi KNIP. Perjalanan dan perjuangannya kemudian melampau batas-batas kesukuan untuk menjadi salah satu pejuang bangsa. Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1998 merupakan wujud penghargaan atas perjuangan pada masa kemerdekaan dan pengabdian membangun Kalimantan (Tengah).
Setelah dari Pulau Jawa untuk menuntut ilmu, Tjilik Riwut diterjunkan ke Kalimantan sebagai pelaksana misi Pemerintah Republik Indonesia yang baru saja terbentuk, namun beliau tidak terjun. Nama-nama yang terjun merebut kalimantan adalah Harry Aryadi Sumantri, Iskandar, Sersan Mayor Kosasih, F. M. Suyoto, Bahrie, J. Bitak, C. Williem, Imanuel, Mika Amirudin, Ali Akbar, M. Dahlan, J. H. Darius, dan Marawi.
Rombongan-rombongan ekspedisi ke Kalimantan dari Jawa yang kemudian membentuk barisan perjuangan di daerah yang sangat luas ini. Mereka menghubungi berbagai suku Dayak di berbagai pelosok Kalimantan untuk menyatukan persepsi rakyat yang sudah bosan hidup di alam penjajahan sehingga bersama-sama dapat menggalang persatuan dan kesatuan.
Selain itu, Tjilik Riwut berjasa memimpin Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tanggal 17 Oktober 1947 oleh pasukan MN 1001, yang ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI-AU yang diperingati setiap 17 Oktober. Waktu itu Pemerintah RI masih di Yogyakarta dan pangkat Tjilik Riwut adalah Mayor TNI. Pangkat Terakhir Tjilik Riwut adalah Marsekal Pertama Kehormatan TNI-AU.
Tjilik Riwut adalah salah seorang yang cukup berjasa bagi masuknya pulau Kalimantan ke pangkuan Republik Indonesia. Sebagai seorang putera Dayak ia telah mewakili 142 suku Dayak pedalaman Kalimantan bersumpah setia kepada Pemerintah RI secara adat dihadapan Presiden Sukarno di Gedung Agung Yogyakarta, 17 Desember 1946.
Sebagai tentara, pengalaman perangnya meliputi sebagian besar pulau Kalimantan dan Jawa. Setelah perang usai, Tjilik Riwut aktif di pemerintahan. Dia pernah menjadi Gubernur Kalimantan Tengah, menjadi koordinator masyarakat suku-suku terasing untuk seluruh pedalaman Kalimantan, dan terakhir sebagi anggota DPR RI.
Keterampilan dalam menulis diasahnya semasa dia bergabung dengan Sanusi Pane di Harian Pembangunan. Tjilik Riwut telah menulis sejumlah buku mengenai Kalimantan: Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952), Maneser Panatau Tatu Hiang (1965,stensilan, dalam bahasa Dayak Ngaju), Kalimantan Membangun (1979).
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Mr. Johannes "Nani" Latuharhary
Johanes Latuharhary dilahirkan dalam satu keluarga guru pada tanggal 6 Juli 1900 di Desa Ullath Pulau Saparua. Ia keturunan keluarga besar Latuharhary dari Desa Haruku di Pulau Haruku. Setelah menamatkan pendidikan dasar pada “Eerste Europeesche School” di Ambon tahun 1917, Johanes melanjutkan studi ke Batavia (Jakarta) dan masuk Sekolah Menengah Umum “HBS” dan tamat pada tahun 1923.
Kemudian ke Negeri Belanda dan berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden. Pada tahun 1927 berhasil meraih gelar “Master in de Rechten”. Mr. Latuharhary adalah putera Maluku pertama yang meraih gelar Master di Universitas Leiden Negeri Belanda. Setelah kembali ke Indonesia tahun 1927, Mr. J. Latuharhary segera bekerja dan diangkat sebagai Amtenaar Fer Beschikleing van Yustitie (pegawai yang diperbantukan pada President van de Rood van Justitie (Ketua Pengadilan Tinggi di Surabaya). Di sana ia bekerja sampai tahun 1929.
Sebagai pengacara (advokat) kawakan, Mr. Latuharhary berjuang menolong rakyat kecil dalam menegakan hukum dan keadilan melawan kesewenangan pemerintah Belanda. Mr. Latuharhary kemudian terjun ke dunia politik dan pemerintahan. Di Surabaya di segera aktif dalam organisasi politik “Sarekat Ambon” dan pergerakan nasional. Ide persatuan dan kemerdekaan yang dibawa dari Eropa (Belanda) dimasukkan dalam Sarekat Ambon yang kemudian dipimpinnya.
Bersama dengan para pemimpin organisasi-organisasi politik lainnya, Mr. Latuharhary dengan Sarekat Ambon membawa masyarakat Maluku ke pintu gerbang Kemerdekaan Indonesia. Bersama Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Mr. J. Latuharhary kemudian diangkat menjadi Gubernur Maluku yang pertama dan berkedudukan di Yogyakarta.
Setelah pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dapat ditumpas pada tahun 1950, Gubernur Latuharhary dan stafnya menuju Ambon dan memimpin rakyat Maluku membangun daerah. Setelah menunaikan tugas pengabdiannya di daerah yang ia cintai melalui berbagai tantangan, pada akhir tahun 1954, Mr. J. Latuharhary menyerahkan jabatan gubernur kepada penggantinya dan kembali ke Jakarta dan memangku tugas barunya pada Kementrian Dalam Negeri. “TOKOH NASIONAL DAN PEJUANG KEMERDEKAAN” ini meninggal dunia pada tanggal 8 Nopember 1959 di Jakarta. Sebagai penghargaan dari negara dan bangsanya, Mr. Johanes Latuharhary dihargai sebagai seorang “MAHAPUTRA INDONESIA” dan dianugerahi bintang jasa tertinggi ‘MAHAPUTRA PRATAMA”
Johanes Latuharhary dilahirkan dalam satu keluarga guru pada tanggal 6 Juli 1900 di Desa Ullath Pulau Saparua. Ia keturunan keluarga besar Latuharhary dari Desa Haruku di Pulau Haruku. Setelah menamatkan pendidikan dasar pada “Eerste Europeesche School” di Ambon tahun 1917, Johanes melanjutkan studi ke Batavia (Jakarta) dan masuk Sekolah Menengah Umum “HBS” dan tamat pada tahun 1923.
Kemudian ke Negeri Belanda dan berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden. Pada tahun 1927 berhasil meraih gelar “Master in de Rechten”. Mr. Latuharhary adalah putera Maluku pertama yang meraih gelar Master di Universitas Leiden Negeri Belanda. Setelah kembali ke Indonesia tahun 1927, Mr. J. Latuharhary segera bekerja dan diangkat sebagai Amtenaar Fer Beschikleing van Yustitie (pegawai yang diperbantukan pada President van de Rood van Justitie (Ketua Pengadilan Tinggi di Surabaya). Di sana ia bekerja sampai tahun 1929.
Sebagai pengacara (advokat) kawakan, Mr. Latuharhary berjuang menolong rakyat kecil dalam menegakan hukum dan keadilan melawan kesewenangan pemerintah Belanda. Mr. Latuharhary kemudian terjun ke dunia politik dan pemerintahan. Di Surabaya di segera aktif dalam organisasi politik “Sarekat Ambon” dan pergerakan nasional. Ide persatuan dan kemerdekaan yang dibawa dari Eropa (Belanda) dimasukkan dalam Sarekat Ambon yang kemudian dipimpinnya.
Bersama dengan para pemimpin organisasi-organisasi politik lainnya, Mr. Latuharhary dengan Sarekat Ambon membawa masyarakat Maluku ke pintu gerbang Kemerdekaan Indonesia. Bersama Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Mr. J. Latuharhary kemudian diangkat menjadi Gubernur Maluku yang pertama dan berkedudukan di Yogyakarta.
Setelah pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dapat ditumpas pada tahun 1950, Gubernur Latuharhary dan stafnya menuju Ambon dan memimpin rakyat Maluku membangun daerah. Setelah menunaikan tugas pengabdiannya di daerah yang ia cintai melalui berbagai tantangan, pada akhir tahun 1954, Mr. J. Latuharhary menyerahkan jabatan gubernur kepada penggantinya dan kembali ke Jakarta dan memangku tugas barunya pada Kementrian Dalam Negeri. “TOKOH NASIONAL DAN PEJUANG KEMERDEKAAN” ini meninggal dunia pada tanggal 8 Nopember 1959 di Jakarta. Sebagai penghargaan dari negara dan bangsanya, Mr. Johanes Latuharhary dihargai sebagai seorang “MAHAPUTRA INDONESIA” dan dianugerahi bintang jasa tertinggi ‘MAHAPUTRA PRATAMA”
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Djiauw Kie Siong
Kamis, 16 Agustus 1945. Seperti biasa petang itu ia beristirahat dengan anak-isterinya. Beberapa pemuda mendatanginya. Tidak sekedar bertamu, bahkan mempersilakannya mengosongkan rumah yang cukup luas dan terhitung baik dibanding rurmah-rumah penduduk lainnya itu. Pagi sebelumnya, Oemar Bachsan sudah menemui anak kedua Kie Siong untuk pinjam rumah barang tiga-empat-hari. Dengan serta-merta ia pun memboyong keluarganya, lengkap dengan bantal dan kasur ke rumah Djiauw Kang Hien (anak sulungnya) 100 meter sebelah timur.
Baru keesokan harinya ia mengetahui bahwa rumahnya telah digunakan sebagi tempat 'menginapkan' duo soekarno-hatta pada peristiwa Rengas dengklok dimana para pemuda 'menculik' pasangan proklamator ini utnuk merumuskan naskah proklamasi.
Kamis, 16 Agustus 1945. Seperti biasa petang itu ia beristirahat dengan anak-isterinya. Beberapa pemuda mendatanginya. Tidak sekedar bertamu, bahkan mempersilakannya mengosongkan rumah yang cukup luas dan terhitung baik dibanding rurmah-rumah penduduk lainnya itu. Pagi sebelumnya, Oemar Bachsan sudah menemui anak kedua Kie Siong untuk pinjam rumah barang tiga-empat-hari. Dengan serta-merta ia pun memboyong keluarganya, lengkap dengan bantal dan kasur ke rumah Djiauw Kang Hien (anak sulungnya) 100 meter sebelah timur.
Baru keesokan harinya ia mengetahui bahwa rumahnya telah digunakan sebagi tempat 'menginapkan' duo soekarno-hatta pada peristiwa Rengas dengklok dimana para pemuda 'menculik' pasangan proklamator ini utnuk merumuskan naskah proklamasi.
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Boen Kin To ( Tony Wen )
"Tony Wen" adalah seorang etnis Tionghoa kelahiran Bangka yang sejak awal bersimpati dan mendukung perjuangan Nasional Indonesia. Tony adalah pengurus dari organisasi "Perserikatan Rakyat dan Boeruh Tionghoa" di Surakarta yang menyatakan kesetiaannya kepada kepentingan Republik pada tahun 1946. Tony dianggap juga mewakili masyarakat Tionghoa didaerah Republik. Oleh sesuatu sebab Tony pindah ke Singapura dan tinggal bersama saudaranya Boen Kin Kioen.
Di Singapura Tony berperan sebagai "agen utama" dan terpenting dari pihak Republik, membantu perjuangan Indonesia dengan mengumpulkan dana melalui penjualan opium (candu) yang diselundupkan ke Singapura, dan dari dari hasil enjualan tersebut, dibelikan senjata yang diselundupkan ke daerah Republik di Indonesia. Selama di Singapura, Tony yang dipercayaai oleh pihak Republik, tetap mengadakan kontak dengan pihak Nasionalis di Indonesia.
Pada tahun 1948, Tony ditangkap oleh otoritas Inggris atas permintaan Belanda, tetapi karena tak cukup bukti, Tony tak lama kemudian dibebaskan kembali, Karena situasi memanas, Tony melarikan diri ke Shanghai, dimana dahulu dia pernah menetap dan belajar di kota tersebut.
Adam Malik pernah memberikan penghargaan kepada Tony Wen ini, karena jasa-jasanya, dan Tony adalah satu-satunya dari 5 orang yang ditunjuk oleh pihak Republik untuk menjual opium di Singapura dan menyerahkan uang hasil penjualan opium tersebut kepada pihak Republik, 4 orang lainnya (dari berbagai etnis) membawa kabur uang hasil penjualan tersebut.
Tony Wen meninggal dunia karena sakit pada 30 Mei 1963 dan dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta. Banyak sekali sanak saudara dan temen seperjuangan datang memberi penghormatan terakhir.
"Tony Wen" adalah seorang etnis Tionghoa kelahiran Bangka yang sejak awal bersimpati dan mendukung perjuangan Nasional Indonesia. Tony adalah pengurus dari organisasi "Perserikatan Rakyat dan Boeruh Tionghoa" di Surakarta yang menyatakan kesetiaannya kepada kepentingan Republik pada tahun 1946. Tony dianggap juga mewakili masyarakat Tionghoa didaerah Republik. Oleh sesuatu sebab Tony pindah ke Singapura dan tinggal bersama saudaranya Boen Kin Kioen.
Di Singapura Tony berperan sebagai "agen utama" dan terpenting dari pihak Republik, membantu perjuangan Indonesia dengan mengumpulkan dana melalui penjualan opium (candu) yang diselundupkan ke Singapura, dan dari dari hasil enjualan tersebut, dibelikan senjata yang diselundupkan ke daerah Republik di Indonesia. Selama di Singapura, Tony yang dipercayaai oleh pihak Republik, tetap mengadakan kontak dengan pihak Nasionalis di Indonesia.
Pada tahun 1948, Tony ditangkap oleh otoritas Inggris atas permintaan Belanda, tetapi karena tak cukup bukti, Tony tak lama kemudian dibebaskan kembali, Karena situasi memanas, Tony melarikan diri ke Shanghai, dimana dahulu dia pernah menetap dan belajar di kota tersebut.
Adam Malik pernah memberikan penghargaan kepada Tony Wen ini, karena jasa-jasanya, dan Tony adalah satu-satunya dari 5 orang yang ditunjuk oleh pihak Republik untuk menjual opium di Singapura dan menyerahkan uang hasil penjualan opium tersebut kepada pihak Republik, 4 orang lainnya (dari berbagai etnis) membawa kabur uang hasil penjualan tersebut.
Tony Wen meninggal dunia karena sakit pada 30 Mei 1963 dan dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta. Banyak sekali sanak saudara dan temen seperjuangan datang memberi penghormatan terakhir.
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Elias Daniel Mogot ( Daan Mogot )
Daan Mogot memang terkenal dalam sejarah zaman revolusi perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada pertempuran di hutan Lengkong-Serpong Tangerang Banten, ketika Taruna Akademi Militer Tangerang yang dipimpinnya berusaha merebut senjata dari pihak tentara Jepang tanggal 25 Januari 1946. Ironisnya, sementara ia berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia bahkan rela gugur di medan pertempuran, ayahnya tewas dibunuh para perampok yang menganggap ”orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londoh-londoh (antek-antek) Belanda (mirip otak2 muslim sekarang kan ? ).
Sebagai sponsor terwujudnya gagasan mendirikan sekolah akademi militer, maka tanggal 18 November 1945 ia dilantik menjadi Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) pada waktu ia berusia 17 tahun. Sebenarnya di Yogyakarta juga berdiri Militer Akademi Yogya (MA Yogya) hampir bersamaan, yaitu tanggal 5 November 1945. Ide mendirikan sebuah akademi militer ini memang seperti yang diangan-angankan oleh Daan Mogot. Ide pendirian Militer Akademi Tangerang itu datang dari empat orang: Daan Mogot, Kemal Idris, Daan Yahya dan Taswin.
Pada tanggal 24 Januari 1946 Mayor Daan Yahya menerima informasi bahwa pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung dan akan melakukan gerakan merebut depot senjata tentara Jepang di depot Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki NICA bulan Maret 1946). Tindakan-tindakan provokatif NICA Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya selaku Kepala Staf Resimen, segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.
Tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna MA Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha. Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira polisi tentara (Corps Polisi Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi menuju Jakarta.
Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap tank, serta penuh barikade-barikade, pasukan TKR tersebut tiba di markas Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa. Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Taruna MAT diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di luar.
Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak Jepang. Di dalam kantor markas Jepang ini Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat perintah atasannya tentang perlucutan senjata. Ketika perundingan berjalan, rupanya Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. Sekitar 40 orang Jepang disuruh berkumpul di lapangan.
Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya. Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak. Serdadu Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya, tentara Jepang lainnya yang berbaris di lapangan berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk.
Dalam waktu yang amat singkat berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang antara pihak Indonesia dengan Jepang, Pengalaman tempur yang cukup lama, ditunjang dengan persenjataan yang lebih lengkap, menyebabkan Taruna MAT menjadi sasaran empuk. Selain senapan mesin yang digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang.
Tindakan Mayor Daan Mogot yang segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Dikatakan bahwa Mayor Daan Mogot bersama rombongan dan anak buahnya Taruna Akademi Militer Tangerang, meninggalkan asrama tentara Jepang, mengundurkan diri ke hutan karet yang disebut hutan Lengkong.
Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet. Mereka mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke kamar-kamarnya tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan peralatan persenjataan dan persediaan pelurunya amat terbatas.
Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.
Akhirnya 33 taruna dan 3 perwira gugur dan 10 taruna luka berat serta Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri pada 26 Januari dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.
Daan mogot gugur di medan pertempuran dikala masih berusia 17 tahun.
Daan Mogot memang terkenal dalam sejarah zaman revolusi perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada pertempuran di hutan Lengkong-Serpong Tangerang Banten, ketika Taruna Akademi Militer Tangerang yang dipimpinnya berusaha merebut senjata dari pihak tentara Jepang tanggal 25 Januari 1946. Ironisnya, sementara ia berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia bahkan rela gugur di medan pertempuran, ayahnya tewas dibunuh para perampok yang menganggap ”orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londoh-londoh (antek-antek) Belanda (mirip otak2 muslim sekarang kan ? ).
Sebagai sponsor terwujudnya gagasan mendirikan sekolah akademi militer, maka tanggal 18 November 1945 ia dilantik menjadi Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) pada waktu ia berusia 17 tahun. Sebenarnya di Yogyakarta juga berdiri Militer Akademi Yogya (MA Yogya) hampir bersamaan, yaitu tanggal 5 November 1945. Ide mendirikan sebuah akademi militer ini memang seperti yang diangan-angankan oleh Daan Mogot. Ide pendirian Militer Akademi Tangerang itu datang dari empat orang: Daan Mogot, Kemal Idris, Daan Yahya dan Taswin.
Pada tanggal 24 Januari 1946 Mayor Daan Yahya menerima informasi bahwa pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung dan akan melakukan gerakan merebut depot senjata tentara Jepang di depot Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki NICA bulan Maret 1946). Tindakan-tindakan provokatif NICA Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya selaku Kepala Staf Resimen, segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.
Tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna MA Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha. Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira polisi tentara (Corps Polisi Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi menuju Jakarta.
Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap tank, serta penuh barikade-barikade, pasukan TKR tersebut tiba di markas Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa. Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Taruna MAT diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di luar.
Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak Jepang. Di dalam kantor markas Jepang ini Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat perintah atasannya tentang perlucutan senjata. Ketika perundingan berjalan, rupanya Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. Sekitar 40 orang Jepang disuruh berkumpul di lapangan.
Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya. Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak. Serdadu Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya, tentara Jepang lainnya yang berbaris di lapangan berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk.
Dalam waktu yang amat singkat berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang antara pihak Indonesia dengan Jepang, Pengalaman tempur yang cukup lama, ditunjang dengan persenjataan yang lebih lengkap, menyebabkan Taruna MAT menjadi sasaran empuk. Selain senapan mesin yang digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang.
Tindakan Mayor Daan Mogot yang segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Dikatakan bahwa Mayor Daan Mogot bersama rombongan dan anak buahnya Taruna Akademi Militer Tangerang, meninggalkan asrama tentara Jepang, mengundurkan diri ke hutan karet yang disebut hutan Lengkong.
Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet. Mereka mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke kamar-kamarnya tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan peralatan persenjataan dan persediaan pelurunya amat terbatas.
Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.
Akhirnya 33 taruna dan 3 perwira gugur dan 10 taruna luka berat serta Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri pada 26 Januari dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.
Daan mogot gugur di medan pertempuran dikala masih berusia 17 tahun.
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Pahlawan Wage Rudolf Soepratman. Indonesia Raya diciptakan oleh seorang "Kafir", saya bangga karena setiap hari senin, setiap upacara kemerdekaan, setiap timnas berlaga di GBK, Lagu made in "Kafir" lah yang berkumandang.
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Lie Eng Hok
Pahlawan Itu Bernama Lie Eng Hok
BENTUK kijing itu laiknya nisan-nisan lain di Taman Makam Pahlawan (TMP) Giri Tunggal Semarang. Terbuat dari bahan teraso dengan model yang amat bersahaja. Kalaulah beda, itu lantaran sedikit amblas dan miring ke depan. Jika dilihat selintas, tentu tak terlampau istimewa.
Tapi tunggu dulu, coba cermati sekali lagi, nama yang terpahat di sebidang pualam yang terdapat pada nisan itu. Lie Eng Hok, sebuah nama Tionghoa! Unik? Tentu saja. Mungkin tak banyak orang tahu, dari ribuan pahlawan yang dikebumikan di Giri Tunggal, seorang di antaranya adalah warga keturunan.
Lantas, siapa sejatinya Lie Eng Hok? Dan apa jasanya hingga dimakamkan di tempat terhormat itu? H Junus Jahya dalam buku Peranakan Idealis, Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya menulis, Lie adalah keturunan Tionghoa yang dituduh terlibat dalam Pemberontakan 1926 di Banten. Untuk itu, dia sempat diasingkan di Boven Digoel selama lima tahun (1927-1932). Namun dalam karya tersebut, Junus tak menyebut secara pasti peran apa yang dilakukan Lie.
Sekadar catatan, Pemberontakan 1926 Banten adalah peristiwa huru-hara yang didalangi oleh orang-orang Komunis Hindia Belanda. Peristiwa serupa juga terjadi secara bersamaan di Sumatera Barat.
Dalam peristiwa tersebut, massa pribumi bergerak melakukan perusakan jalan, jembatan, rel kereta api, instalasi listrik, air minum, rumah-rumah serta kantor milik Pemerintah Kolonial Belanda.
Aksi itu dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan yang menindas. Meski demikian, menurut Junus, tak semua orang yang terlibat di dalamnya adalah komunis, sebab sebagian lain kaum nasionalis.
Lie yang merasa menjadi buronan Pemerintah Kolonial melarikan diri ke Semarang. Di ibu kota Midden Java ini, dia membuka usaha jual-beli buku loak. Menurut Kaspin (97), kawan dekat Lie, toko itu terletak di Jalan Gajahmada. Karena acap membeli buku-buku loak dari orang-orang Belanda, lelaki kelahiran Desa Balaraja, Tangerang, 7 Februari 1893 tersebut punya banyak informasi. Nah, informasi yang terkait dengan soal-soal politik dia sampaikan kepada kawan-kawan pergerakan.
''Dia sering mengirimken surat buat sesama kaum pergerakan. Beberapa kali juga pernah mencarikan mereka penginapan kalau sedang melaksanaken rapat di Semarang,'' kata Kaspin, saat Suara Merdeka mendatangi rumahnya di Jalan Magersari III Nomor 70 Semarang, Selasa (15/3).
Tertangkap
Suatu ketika, tindak-tanduk Lie terendus. Dia tertangkap saat hendak menyampaikan surat dari kawan pergerakan yang disembunyikan di dalam buku loaknya. Sebagai hukuman, Lie harus mendekam di Boven Digoel, pusat pengasingan tahanan politik Pemerintah Kolonial Belanda.
Di pengasingan, dia mencari penghasilan tambahan dengan membuka kios tambal sepatu. Mengutip Sin Po edisi 6 September 1930, buku Junus memuat foto Lie Eng Hok di Boven Digoel sebagai ''toekang tambel sepatoe'' bersama U Pardedeh, bekas Hoofd Redacteur Soeara Kita Pematang Siantar.
Usai dibebaskan, Lie pulang ke Semarang dan kembali menekuni usaha jual beli buku loaknya. Pada masa pemerintahan Sukarno, Lie dinyatakan sebagai perintis kemerdekaan RI, berdasarkan SK Menteri Sosial RI No. Pol 111 PK tertanggal 22 Januari 1959. Lie juga berhak menerima uang tunjangan Rp 400 per bulan.
Lie Eng Hok meninggal pada 27 Desember 1961. Semula jenazahnya dimakamkan di pemakaman Tionghoa Kedungmundu. Namun atas upaya Kaspin--yang merupakan Ketua Perintis Kemerdekaan Cabang Semarang--kerangkanya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal dengan pengesahan SK Pangdam IV/Diponegoro No B/ 678/ X/ 1986.
Ya, pahlawan bermata sipit dan berkulit kuning itu kini telah bersemayam dengan tenang di tempat yang memang setara dengan jasa-jasa yang pernah ia perbuat untuk bangsa yang dicintainya.
==============================================================================================================================================
tidak ada tertulis secara pasti ttg keyakinan yg dianut oleh tokoh satu ini, akan tetapi pertama kali tokoh ini dimakamkan di pemakaman tionghoa kedungmundu. gw berasumsi bhw seorang muslim tentu tidak akan dimakamkan di pemakaman tionghoa ( ato gw salah ? cmiiw ). jdi gw asumsikan beliau adalah seorang kafirun.
kalo ada yg bisa memberi bukti sebaliknya, monggo di lampirkan
Pahlawan Itu Bernama Lie Eng Hok
BENTUK kijing itu laiknya nisan-nisan lain di Taman Makam Pahlawan (TMP) Giri Tunggal Semarang. Terbuat dari bahan teraso dengan model yang amat bersahaja. Kalaulah beda, itu lantaran sedikit amblas dan miring ke depan. Jika dilihat selintas, tentu tak terlampau istimewa.
Tapi tunggu dulu, coba cermati sekali lagi, nama yang terpahat di sebidang pualam yang terdapat pada nisan itu. Lie Eng Hok, sebuah nama Tionghoa! Unik? Tentu saja. Mungkin tak banyak orang tahu, dari ribuan pahlawan yang dikebumikan di Giri Tunggal, seorang di antaranya adalah warga keturunan.
Lantas, siapa sejatinya Lie Eng Hok? Dan apa jasanya hingga dimakamkan di tempat terhormat itu? H Junus Jahya dalam buku Peranakan Idealis, Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya menulis, Lie adalah keturunan Tionghoa yang dituduh terlibat dalam Pemberontakan 1926 di Banten. Untuk itu, dia sempat diasingkan di Boven Digoel selama lima tahun (1927-1932). Namun dalam karya tersebut, Junus tak menyebut secara pasti peran apa yang dilakukan Lie.
Sekadar catatan, Pemberontakan 1926 Banten adalah peristiwa huru-hara yang didalangi oleh orang-orang Komunis Hindia Belanda. Peristiwa serupa juga terjadi secara bersamaan di Sumatera Barat.
Dalam peristiwa tersebut, massa pribumi bergerak melakukan perusakan jalan, jembatan, rel kereta api, instalasi listrik, air minum, rumah-rumah serta kantor milik Pemerintah Kolonial Belanda.
Aksi itu dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan yang menindas. Meski demikian, menurut Junus, tak semua orang yang terlibat di dalamnya adalah komunis, sebab sebagian lain kaum nasionalis.
Lie yang merasa menjadi buronan Pemerintah Kolonial melarikan diri ke Semarang. Di ibu kota Midden Java ini, dia membuka usaha jual-beli buku loak. Menurut Kaspin (97), kawan dekat Lie, toko itu terletak di Jalan Gajahmada. Karena acap membeli buku-buku loak dari orang-orang Belanda, lelaki kelahiran Desa Balaraja, Tangerang, 7 Februari 1893 tersebut punya banyak informasi. Nah, informasi yang terkait dengan soal-soal politik dia sampaikan kepada kawan-kawan pergerakan.
''Dia sering mengirimken surat buat sesama kaum pergerakan. Beberapa kali juga pernah mencarikan mereka penginapan kalau sedang melaksanaken rapat di Semarang,'' kata Kaspin, saat Suara Merdeka mendatangi rumahnya di Jalan Magersari III Nomor 70 Semarang, Selasa (15/3).
Tertangkap
Suatu ketika, tindak-tanduk Lie terendus. Dia tertangkap saat hendak menyampaikan surat dari kawan pergerakan yang disembunyikan di dalam buku loaknya. Sebagai hukuman, Lie harus mendekam di Boven Digoel, pusat pengasingan tahanan politik Pemerintah Kolonial Belanda.
Di pengasingan, dia mencari penghasilan tambahan dengan membuka kios tambal sepatu. Mengutip Sin Po edisi 6 September 1930, buku Junus memuat foto Lie Eng Hok di Boven Digoel sebagai ''toekang tambel sepatoe'' bersama U Pardedeh, bekas Hoofd Redacteur Soeara Kita Pematang Siantar.
Usai dibebaskan, Lie pulang ke Semarang dan kembali menekuni usaha jual beli buku loaknya. Pada masa pemerintahan Sukarno, Lie dinyatakan sebagai perintis kemerdekaan RI, berdasarkan SK Menteri Sosial RI No. Pol 111 PK tertanggal 22 Januari 1959. Lie juga berhak menerima uang tunjangan Rp 400 per bulan.
Lie Eng Hok meninggal pada 27 Desember 1961. Semula jenazahnya dimakamkan di pemakaman Tionghoa Kedungmundu. Namun atas upaya Kaspin--yang merupakan Ketua Perintis Kemerdekaan Cabang Semarang--kerangkanya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal dengan pengesahan SK Pangdam IV/Diponegoro No B/ 678/ X/ 1986.
Ya, pahlawan bermata sipit dan berkulit kuning itu kini telah bersemayam dengan tenang di tempat yang memang setara dengan jasa-jasa yang pernah ia perbuat untuk bangsa yang dicintainya.
==============================================================================================================================================
tidak ada tertulis secara pasti ttg keyakinan yg dianut oleh tokoh satu ini, akan tetapi pertama kali tokoh ini dimakamkan di pemakaman tionghoa kedungmundu. gw berasumsi bhw seorang muslim tentu tidak akan dimakamkan di pemakaman tionghoa ( ato gw salah ? cmiiw ). jdi gw asumsikan beliau adalah seorang kafirun.
kalo ada yg bisa memberi bukti sebaliknya, monggo di lampirkan
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
I Gusti Ketut Pudja
Putra asli Bali ini lahir di Singaraja, 19 Mei 1908 dari pasangan I Gusti Nyoman Raka dan Jero Ratna Kusuma. Tahun 1934, di usia 26 tahun, Pudja berhasil menyelesaikan kuliah di bidang hukum dan meraih gelar Meester in de Rechten dari Rechts Hoge School, Jakarta. Setahun kemudian, ia mulai mengabdikan dirinya pada kantor Residen Bali dan Lombok di Singaraja.Pada 7 Agustus 1945, Pemerintah Angkatan Darat XVI Jepang yang berkedudukan di Jakarta membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno. I Gusti Ketut Pudja kemudian terpilih sebagai salah satu anggota PPKI mewakili Sunda Kecil yang saat ini dikenal sebagai Bali dan Nusa Tenggara. PPKI bertugas mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dimana sebelum panitia ini terbentuk, telah berdiri BPUPKI namun dibubarkan Jepang karena dianggap terlalu cepat ingin melaksanakan proklamasi kemerdekaan. Selanjutnya pada 16 Agustus hingga 17 Agustus 1945 dinihari, Pudja turut hadir dalam perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda yang berlokasi di Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta Pusat. Pudja juga menyaksikan momen bersejarah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Sehari setelah proklamasi, PPKI mengadakan rapat guna membahas Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang merupakan hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia. Piagam tersebut merupakan hasil rumusan Panitia Sembilan yakni panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI yang terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Di dalam Piagam yang disetujui pada 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis) itu terdapat lima butir yang kelak menjadi Pancasila, yaitu:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
- Kemanusiaan yang adil dan beradab;
- Persatuan Indonesia;
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagian dari warga Indonesia bagian timur termasuk I Gusti Ketut Pudja tidak menyetujui butir pertama yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Pudja kemudian menyarankan agar menggantinya dengan kalimat "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Perubahan butir pertama dilakukan oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Istilah Muqaddimah pun diubah menjadi Pembukaan UUD. Mereka menyetujui perubahan kalimat tersebut demi persatuan dan kesatuan bangsa. Setelah butir pertama diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, pada sidang kedua yang beragendakan penyusunan UUD, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Bersamaan dengan penetapan rancangan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 pada Sidang PPKI I, 18 Agustus 1945, Pancasila pun ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia.
Presiden Soekarno kemudian mengangkat Pudja sebagai Gubernur Sunda Kecil yang waktu itu disebut Wakil Pemimpin Besar Bangsa Indonesia Sunda Kecil pada 22 Agustus 1945. Keesokan harinya, Pudja tiba di kampung halamannya, Bali, dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur dan langsung memulai tugasnya.
Hal pertama yang dilakukannya adalah menyebarluaskan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hingga ke desa-desa terpencil di Bali. Pudja menjelaskan latar belakang proklamasi dan struktur pemerintahan Republik Indonesia serta menyampaikan bahwa ia adalah Gubernur Sunda Kecil hasil pemilihan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang disahkan oleh Presiden RI Ir. Soekarno. Pudja juga mulai mengadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai daerah Sunda Kecil dengan ibu kotanya Singaraja.
Saat itu, walau sebenarnya sudah menyerah, Jepang tetap saja masih berkuasa di sejumlah daerah di Bali. Pudja kemudian mengerahkan para pemuda untuk melucuti senjata tentara Jepang di akhir tahun 1945. Namun sayang usaha itu gagal dan Pudja bahkan sempat ditangkap tentara Jepang.Selain sebagai Gubernur, suami dari I Gusti Ayu Made Mirah ini pernah mendapat amanat dari Presiden Soekarno untuk menjadi pejabat di Departemen Dalam Negeri. Jabatan lain yang pernah diemban bapak lima anak ini adalah Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hingga ia memasuki masa purnabakti di tahun 1968.
I Gusti Ketut Pudja meninggal dunia pada 4 Mei 1977 di usia 68 tahun. Pada 1992,Presiden Soeharto menganugerahkannya penghargaan Bintang Mahaputera Utama. Pada tahun 2011, I Gusti Ketut Pudja ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 113/TK/2011. Gelar tersebut secara resmi diberikan pada ahli warisnya IGM Arinta Pudja di Istana Negara, Jakarta.
Putra asli Bali ini lahir di Singaraja, 19 Mei 1908 dari pasangan I Gusti Nyoman Raka dan Jero Ratna Kusuma. Tahun 1934, di usia 26 tahun, Pudja berhasil menyelesaikan kuliah di bidang hukum dan meraih gelar Meester in de Rechten dari Rechts Hoge School, Jakarta. Setahun kemudian, ia mulai mengabdikan dirinya pada kantor Residen Bali dan Lombok di Singaraja.Pada 7 Agustus 1945, Pemerintah Angkatan Darat XVI Jepang yang berkedudukan di Jakarta membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno. I Gusti Ketut Pudja kemudian terpilih sebagai salah satu anggota PPKI mewakili Sunda Kecil yang saat ini dikenal sebagai Bali dan Nusa Tenggara. PPKI bertugas mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dimana sebelum panitia ini terbentuk, telah berdiri BPUPKI namun dibubarkan Jepang karena dianggap terlalu cepat ingin melaksanakan proklamasi kemerdekaan. Selanjutnya pada 16 Agustus hingga 17 Agustus 1945 dinihari, Pudja turut hadir dalam perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda yang berlokasi di Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta Pusat. Pudja juga menyaksikan momen bersejarah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Sehari setelah proklamasi, PPKI mengadakan rapat guna membahas Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang merupakan hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia. Piagam tersebut merupakan hasil rumusan Panitia Sembilan yakni panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI yang terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Di dalam Piagam yang disetujui pada 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis) itu terdapat lima butir yang kelak menjadi Pancasila, yaitu:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
- Kemanusiaan yang adil dan beradab;
- Persatuan Indonesia;
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagian dari warga Indonesia bagian timur termasuk I Gusti Ketut Pudja tidak menyetujui butir pertama yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Pudja kemudian menyarankan agar menggantinya dengan kalimat "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Perubahan butir pertama dilakukan oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Istilah Muqaddimah pun diubah menjadi Pembukaan UUD. Mereka menyetujui perubahan kalimat tersebut demi persatuan dan kesatuan bangsa. Setelah butir pertama diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, pada sidang kedua yang beragendakan penyusunan UUD, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Bersamaan dengan penetapan rancangan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 pada Sidang PPKI I, 18 Agustus 1945, Pancasila pun ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia.
Presiden Soekarno kemudian mengangkat Pudja sebagai Gubernur Sunda Kecil yang waktu itu disebut Wakil Pemimpin Besar Bangsa Indonesia Sunda Kecil pada 22 Agustus 1945. Keesokan harinya, Pudja tiba di kampung halamannya, Bali, dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur dan langsung memulai tugasnya.
Hal pertama yang dilakukannya adalah menyebarluaskan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hingga ke desa-desa terpencil di Bali. Pudja menjelaskan latar belakang proklamasi dan struktur pemerintahan Republik Indonesia serta menyampaikan bahwa ia adalah Gubernur Sunda Kecil hasil pemilihan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang disahkan oleh Presiden RI Ir. Soekarno. Pudja juga mulai mengadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai daerah Sunda Kecil dengan ibu kotanya Singaraja.
Saat itu, walau sebenarnya sudah menyerah, Jepang tetap saja masih berkuasa di sejumlah daerah di Bali. Pudja kemudian mengerahkan para pemuda untuk melucuti senjata tentara Jepang di akhir tahun 1945. Namun sayang usaha itu gagal dan Pudja bahkan sempat ditangkap tentara Jepang.Selain sebagai Gubernur, suami dari I Gusti Ayu Made Mirah ini pernah mendapat amanat dari Presiden Soekarno untuk menjadi pejabat di Departemen Dalam Negeri. Jabatan lain yang pernah diemban bapak lima anak ini adalah Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hingga ia memasuki masa purnabakti di tahun 1968.
I Gusti Ketut Pudja meninggal dunia pada 4 Mei 1977 di usia 68 tahun. Pada 1992,Presiden Soeharto menganugerahkannya penghargaan Bintang Mahaputera Utama. Pada tahun 2011, I Gusti Ketut Pudja ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 113/TK/2011. Gelar tersebut secara resmi diberikan pada ahli warisnya IGM Arinta Pudja di Istana Negara, Jakarta.
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
I Made Pugeg
Proklamasi kemerdekaan RI ke-57 tahun ini memberikan makna tersendiri bagi tiap orang. Tidak terkecuali, kenangan yang kembali muncul dari pengalaman Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Denpasar I Made Pugeg. Veteran yang lahir dari keluarga petani dan undagi ini mengisahkan suka dukanya sebagai tentara PETA yang berhadapan langsung dengan pasukan Jepang. Senjata mereka sempat dilucuti tentara Jepang. Tanpa senjata yang memadai ia ikut menghadapi tentara Sekutu yang mendarat di daerah Benoa. Lalu bagaimana pengalamannya ikut bergabung dengan pahlawan I Gusti Ngurah Rai? Berikut petikan perjalanan hidup veteran yang mendapatkan bintang jasa dari pemerintah Indonesia dan pemerintah Amerika itu sebagaimana dituturkan kepada Bali Post dan Radio Global FM.
BAGAIMANA pengalaman Anda ketika ikut dalam perjuangan merebut kemerdekaan RI?
Waktu itu kita senang karena Jepang masuk pada tahun 1942. Sebab, mata-mata Jepang mengatakan bahwa Jepang akan datang ke Asia Selatan untuk membebaskan jajahan Belanda. Jadi kami kaum muda menyambut antusias ketika Jepang mendarat. Kami waktu itu masih sekolah di Taman Siswa dan diajari menyanyikan lagu-lagu Jepang. Para pemuda di Denpasar membuat perkumpulan Indonesia Mulia. Waktu itu tuntutannya Indonesia berparlemen, belum menuntut Indonesia merdeka. Makanya semboyan kami "Indonesia berparlemen!" Apa sebabnya namanya Indonesia Mulia? Karena lagu Indonesia Raya waktu itu refreinnya bukan Indonesia merdeka tapi Indonesia Mulia.
Lalu bagaimana aksi Jepang selanjutnya?
Setelah berada setahun di Indonesia, dengan janji akan membebaskan negara dari penjajahan Belanda, ternyata mereka bohong. Bahkan mereka lebih keras menjajah Indonesia. Semua hasil bumi diperas. Semua hasil panen harus setor sama dia. Jadi waktu itu kami masuk tentara Jepang karena tidak punya kerja. Saya ikut tentara pembela tanah air atau PETA. Waktu Bung Karno pidato mengatakan bahwa PETA hanya membela Indonesia, tidak perlu dikirim ke luar untuk berperang bersama tentara Jepang. Setelah satu tahun menjadi tentara PETA asuhan Jepang, barulah saya tahu kalau tentara Jepang itu tidak mungkin memberikan kemerdekaan. Karena itu kami membuat organisasi tentara di bawah tanah untuk menentang Jepang. Setelah itu kami dengar pahlawan Supriyadi di Blitar berontak. Begitu mendengar kabar itu, maka kami melakukan persiapan.
Pak Sugianyar yang memimpin tentara di sini mengirim utusan ke Kediri, Tabanan, tempat saya memimpin pasukan. Saya dikasih tahu bahwa sudah waktunya kita memberontak. Lalu kami mengadakan rapat pada tanggal 15 Agustus 1945 di Denpasar. Saya merupakan utusan batalyon Kediri bersama Gusti Made Oka. Awalnya kami kumpul di rumah Wija, tetapi karena suasana genting, maka kami pindah ke Gaji, Dalung. Dalam rapat itu kami sepakat untuk segera melakukan pemberontakan kepada Jepang.
Di Bali waktu itu ada tiga batalyon yaitu di Negara, Tabanan dan Klungkung. Saya katakan pada rapat malam itu bahwa Pak Sigianyar menyarankan kita untuk melakukan pemberontakan. Sebab beliau khawatir kelompok kita sudah diketahui Jepang. Banyak tentara kita dipotong di Blitar karena pemberontakan Supriyadi. Lalu ketika malam itu rapat, tiba-tiba datang utusan dari Jawa dan mengatakan, "Tunggu dulu, jangan melakukan pemberontakan, tunggu hingga 21 Agustus." Persiapan kita sudah matang. Seusai rapat saya kembali ke Kediri, Tabanan, pada pagi hari. Sesampai di sana tentara yang menjaga markas memberitahu saya bahwa para tentara Jepang siang tadi ada yang menangis di sini. "Lho kenapa?" tanya saya, "Apakah dia sebut-sebut nama saya?" Mereka jawab, "Tidak!" "Lalu ada apa dia menangis?" "Sebab Jepang terkena bom atom". Paginya semua tentara PETA dikumpulkan. Semua tentara PETA bukan orang Jepang, tetapi penasihatnya orang Jepang. Setelah dikumpulkan rencananya akan dibuat latihan di dekat Pantai Yeh Gangga. Kita berlatih seakan-akan sekutu mendarat di sana. Pulang dari sana tentara kita yang jaga mengatakan bahwa semua amunisi dan peluru diangkut tentara Jepang. Kita terkejut, ada apa ini? Saya akhirnya memeriksa di gudang, ternyata memang tidak ada peluru di sana. Jadi saya punya pistol saja. Sedangkan pasukan saya hanya punya senapan tanpa peluru.
Paginya, di lapangan, tentara Jepang mengumumkan bahwa perang untuk sementara dihentikan. Sebenarnya itu hanya alasan saja, karena Jepang sudah kena bom atom dan sudah menyerah. Tapi kita tidak tahu. Setelah kita diberitahu pimpinan PETA bahwa tentara boleh pulang dulu karena gencatan senjata. Pimpinan tentara mengatakan bahwa jika perang aktif kembali maka akan diberitahukan kemudian. Sekarang pulang saja, senjata taruh di lapangan. Jadi tanpa senjata. Saya terkejut, padahal kita baru saja rapat. Saat itu tanggal 17 Agustus, sudah proklamasi, tetapi kami tidak tahu. Radio tidak kami dengar pengumumannya. Jepang kelihatan ketakutan. Saya ke Denpasar naik sepeda dan memberitahukan bahwa kami sudah dibubarkan dan tidak memiliki senjata.
Lalu bagimana cara memberontak?
Memang, Wija dan Made Puger tidak mengerti, mengapa begini? Kami terus memantau radio. Ketika saya pulang, ada Jepang yang baik hati. Ia mungkin sudah tahu rencana kita berontak, lalu ia memanggil saya. Ia bilang bahwa ia sudah tahu tentara PETA akan melakukan pemberontakan. Lalu ia memberi saya pistol, lengkap dengan peluru. Ini bawa, katanya, ''tapi jangan katakan pada siapa-siapa''. Ia mungkin simpati pada perang kemerdekaan kita. Lalu saya bawa pistol itu ke Denpasar.
Sementara teman-teman di Denpasar tetap tidak mengerti situasi terakhir negara ini. Sedangkan utusan dari Jawa kemudian datang dan tetap mengatakan bahwa tunggu saja tanggal 21 Agustus untuk melakukan pemberontakan. Padahal waktu itu sudah tanggal 18 Agustus. Akhirnya kita menelepon rekan di Jawa dan bertanya apakah telah ada proklamasi? Ia juga tidak tahu. Akhirnya, kita terus pantau radio dan barulah kita ketahui bahwa Jepang telah menyerah. Kita lalu terang-terangan pasang bendera, spanduk dan menyanyikan lagu-lagu Indonesia merdeka. Di jalan banyak yang menyanyi Indonesia Raya. Sebab penjajahan zaman Jepang itu keterlaluan. Jadi tidak perlu kita banyak bicara rakyat telah merasakan.
Anda pernah ikut perjuangan pahlawan I Gusti Ngurah Rai, bagaimana kesan Anda?
Beliau adalah orang yang tegas. Waktu pertama ada tentara Inggris mendarat di Benoa pada tahun 1945, waktu itu karena akan ada Sekutu datang yang akan melucuti tentara Jepang. Saya diperintah oleh Pak Rai, ''kamu jaga itu tentara Sekutu dan stop di perbatasan Benoa''. Saya jaga dekat kuburan bersama pasukan. Hanya saya yang punya senjata pistol. Sedangkan yang lainnya bawa tombak dan pedang serta mitraliyur dibawa oleh tentara dari Jawa. Ada 2 jip datang, salah satunya berbendera Inggris dan lainnya berbendera Australia. Di belakangnya banyak truk bersenjata. Lalu saya stop dan saya suruh lapor. Di jalan mobil-mobil itu kami halangi dengan kayu-kayu bakau, sehingga tidak bisa lewat. Lalu perwiranya datang dengan pengawalan yang ketat, kira-kira ada 6 orang yang bersenjata otomatis. Ia berbicara bahasa Inggris, saya nggak mengerti. Cuma saya bilang "Wait here". Ia mau menunggu. "Lalu berapa menit harus saya tunggu?" ia bertanya. Lalu saya bilang, "Ya kira-kira 15 menit." Lalu kita menelepon Denpasar, tidak lama kemudian datang Kapten Putu Serangan bersama pasukannya, termasuk dr. Katung yang bahasa Inggrisnya lumayan. Lalu Putu Serangan bicara dengan kapten yang berasal dari Inggris itu dan para tentara itu bilang bahwa mereka akan menginap di Hotel Denpasar. Saya lalu diperintah buka barikade. Lalu semua militer itu memberikan penghormatan. Saya juga hormat sama dia.
Setelah perundingan, Pak Rai minta bantuan senjata kepada Sekutu dan akhirnya kita menyerang Jepang pada tanggal 19 Desember 1945. Kita serang asrama perang Jepang, ternyata gagal. Sebab kita tidak punya senjata. Lalu kita gerilya. Pak Rai sebagai komandan dan kepala stafnya, Pak Wisnu. Waktu itu namanya Resimen Sunda Kecil.
Proklamasi kemerdekaan RI ke-57 tahun ini memberikan makna tersendiri bagi tiap orang. Tidak terkecuali, kenangan yang kembali muncul dari pengalaman Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Denpasar I Made Pugeg. Veteran yang lahir dari keluarga petani dan undagi ini mengisahkan suka dukanya sebagai tentara PETA yang berhadapan langsung dengan pasukan Jepang. Senjata mereka sempat dilucuti tentara Jepang. Tanpa senjata yang memadai ia ikut menghadapi tentara Sekutu yang mendarat di daerah Benoa. Lalu bagaimana pengalamannya ikut bergabung dengan pahlawan I Gusti Ngurah Rai? Berikut petikan perjalanan hidup veteran yang mendapatkan bintang jasa dari pemerintah Indonesia dan pemerintah Amerika itu sebagaimana dituturkan kepada Bali Post dan Radio Global FM.
BAGAIMANA pengalaman Anda ketika ikut dalam perjuangan merebut kemerdekaan RI?
Waktu itu kita senang karena Jepang masuk pada tahun 1942. Sebab, mata-mata Jepang mengatakan bahwa Jepang akan datang ke Asia Selatan untuk membebaskan jajahan Belanda. Jadi kami kaum muda menyambut antusias ketika Jepang mendarat. Kami waktu itu masih sekolah di Taman Siswa dan diajari menyanyikan lagu-lagu Jepang. Para pemuda di Denpasar membuat perkumpulan Indonesia Mulia. Waktu itu tuntutannya Indonesia berparlemen, belum menuntut Indonesia merdeka. Makanya semboyan kami "Indonesia berparlemen!" Apa sebabnya namanya Indonesia Mulia? Karena lagu Indonesia Raya waktu itu refreinnya bukan Indonesia merdeka tapi Indonesia Mulia.
Lalu bagaimana aksi Jepang selanjutnya?
Setelah berada setahun di Indonesia, dengan janji akan membebaskan negara dari penjajahan Belanda, ternyata mereka bohong. Bahkan mereka lebih keras menjajah Indonesia. Semua hasil bumi diperas. Semua hasil panen harus setor sama dia. Jadi waktu itu kami masuk tentara Jepang karena tidak punya kerja. Saya ikut tentara pembela tanah air atau PETA. Waktu Bung Karno pidato mengatakan bahwa PETA hanya membela Indonesia, tidak perlu dikirim ke luar untuk berperang bersama tentara Jepang. Setelah satu tahun menjadi tentara PETA asuhan Jepang, barulah saya tahu kalau tentara Jepang itu tidak mungkin memberikan kemerdekaan. Karena itu kami membuat organisasi tentara di bawah tanah untuk menentang Jepang. Setelah itu kami dengar pahlawan Supriyadi di Blitar berontak. Begitu mendengar kabar itu, maka kami melakukan persiapan.
Pak Sugianyar yang memimpin tentara di sini mengirim utusan ke Kediri, Tabanan, tempat saya memimpin pasukan. Saya dikasih tahu bahwa sudah waktunya kita memberontak. Lalu kami mengadakan rapat pada tanggal 15 Agustus 1945 di Denpasar. Saya merupakan utusan batalyon Kediri bersama Gusti Made Oka. Awalnya kami kumpul di rumah Wija, tetapi karena suasana genting, maka kami pindah ke Gaji, Dalung. Dalam rapat itu kami sepakat untuk segera melakukan pemberontakan kepada Jepang.
Di Bali waktu itu ada tiga batalyon yaitu di Negara, Tabanan dan Klungkung. Saya katakan pada rapat malam itu bahwa Pak Sigianyar menyarankan kita untuk melakukan pemberontakan. Sebab beliau khawatir kelompok kita sudah diketahui Jepang. Banyak tentara kita dipotong di Blitar karena pemberontakan Supriyadi. Lalu ketika malam itu rapat, tiba-tiba datang utusan dari Jawa dan mengatakan, "Tunggu dulu, jangan melakukan pemberontakan, tunggu hingga 21 Agustus." Persiapan kita sudah matang. Seusai rapat saya kembali ke Kediri, Tabanan, pada pagi hari. Sesampai di sana tentara yang menjaga markas memberitahu saya bahwa para tentara Jepang siang tadi ada yang menangis di sini. "Lho kenapa?" tanya saya, "Apakah dia sebut-sebut nama saya?" Mereka jawab, "Tidak!" "Lalu ada apa dia menangis?" "Sebab Jepang terkena bom atom". Paginya semua tentara PETA dikumpulkan. Semua tentara PETA bukan orang Jepang, tetapi penasihatnya orang Jepang. Setelah dikumpulkan rencananya akan dibuat latihan di dekat Pantai Yeh Gangga. Kita berlatih seakan-akan sekutu mendarat di sana. Pulang dari sana tentara kita yang jaga mengatakan bahwa semua amunisi dan peluru diangkut tentara Jepang. Kita terkejut, ada apa ini? Saya akhirnya memeriksa di gudang, ternyata memang tidak ada peluru di sana. Jadi saya punya pistol saja. Sedangkan pasukan saya hanya punya senapan tanpa peluru.
Paginya, di lapangan, tentara Jepang mengumumkan bahwa perang untuk sementara dihentikan. Sebenarnya itu hanya alasan saja, karena Jepang sudah kena bom atom dan sudah menyerah. Tapi kita tidak tahu. Setelah kita diberitahu pimpinan PETA bahwa tentara boleh pulang dulu karena gencatan senjata. Pimpinan tentara mengatakan bahwa jika perang aktif kembali maka akan diberitahukan kemudian. Sekarang pulang saja, senjata taruh di lapangan. Jadi tanpa senjata. Saya terkejut, padahal kita baru saja rapat. Saat itu tanggal 17 Agustus, sudah proklamasi, tetapi kami tidak tahu. Radio tidak kami dengar pengumumannya. Jepang kelihatan ketakutan. Saya ke Denpasar naik sepeda dan memberitahukan bahwa kami sudah dibubarkan dan tidak memiliki senjata.
Lalu bagimana cara memberontak?
Memang, Wija dan Made Puger tidak mengerti, mengapa begini? Kami terus memantau radio. Ketika saya pulang, ada Jepang yang baik hati. Ia mungkin sudah tahu rencana kita berontak, lalu ia memanggil saya. Ia bilang bahwa ia sudah tahu tentara PETA akan melakukan pemberontakan. Lalu ia memberi saya pistol, lengkap dengan peluru. Ini bawa, katanya, ''tapi jangan katakan pada siapa-siapa''. Ia mungkin simpati pada perang kemerdekaan kita. Lalu saya bawa pistol itu ke Denpasar.
Sementara teman-teman di Denpasar tetap tidak mengerti situasi terakhir negara ini. Sedangkan utusan dari Jawa kemudian datang dan tetap mengatakan bahwa tunggu saja tanggal 21 Agustus untuk melakukan pemberontakan. Padahal waktu itu sudah tanggal 18 Agustus. Akhirnya kita menelepon rekan di Jawa dan bertanya apakah telah ada proklamasi? Ia juga tidak tahu. Akhirnya, kita terus pantau radio dan barulah kita ketahui bahwa Jepang telah menyerah. Kita lalu terang-terangan pasang bendera, spanduk dan menyanyikan lagu-lagu Indonesia merdeka. Di jalan banyak yang menyanyi Indonesia Raya. Sebab penjajahan zaman Jepang itu keterlaluan. Jadi tidak perlu kita banyak bicara rakyat telah merasakan.
Anda pernah ikut perjuangan pahlawan I Gusti Ngurah Rai, bagaimana kesan Anda?
Beliau adalah orang yang tegas. Waktu pertama ada tentara Inggris mendarat di Benoa pada tahun 1945, waktu itu karena akan ada Sekutu datang yang akan melucuti tentara Jepang. Saya diperintah oleh Pak Rai, ''kamu jaga itu tentara Sekutu dan stop di perbatasan Benoa''. Saya jaga dekat kuburan bersama pasukan. Hanya saya yang punya senjata pistol. Sedangkan yang lainnya bawa tombak dan pedang serta mitraliyur dibawa oleh tentara dari Jawa. Ada 2 jip datang, salah satunya berbendera Inggris dan lainnya berbendera Australia. Di belakangnya banyak truk bersenjata. Lalu saya stop dan saya suruh lapor. Di jalan mobil-mobil itu kami halangi dengan kayu-kayu bakau, sehingga tidak bisa lewat. Lalu perwiranya datang dengan pengawalan yang ketat, kira-kira ada 6 orang yang bersenjata otomatis. Ia berbicara bahasa Inggris, saya nggak mengerti. Cuma saya bilang "Wait here". Ia mau menunggu. "Lalu berapa menit harus saya tunggu?" ia bertanya. Lalu saya bilang, "Ya kira-kira 15 menit." Lalu kita menelepon Denpasar, tidak lama kemudian datang Kapten Putu Serangan bersama pasukannya, termasuk dr. Katung yang bahasa Inggrisnya lumayan. Lalu Putu Serangan bicara dengan kapten yang berasal dari Inggris itu dan para tentara itu bilang bahwa mereka akan menginap di Hotel Denpasar. Saya lalu diperintah buka barikade. Lalu semua militer itu memberikan penghormatan. Saya juga hormat sama dia.
Setelah perundingan, Pak Rai minta bantuan senjata kepada Sekutu dan akhirnya kita menyerang Jepang pada tanggal 19 Desember 1945. Kita serang asrama perang Jepang, ternyata gagal. Sebab kita tidak punya senjata. Lalu kita gerilya. Pak Rai sebagai komandan dan kepala stafnya, Pak Wisnu. Waktu itu namanya Resimen Sunda Kecil.
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Tjoa Sik Ien
beliau adalah tokoh yg mendukung dan mendorong integrasi etnis tionghoa sbg warga negara indonesia. semenjak muda sudah sangat militan dlm membela perjuangan indonesia melawan belanda, salah satunya dgn mendirikan Sarekat Peranakan Tionghoa Indonesia, sangat berbeda jauh dgn mahasiswa2 tionghoa lainnya kala itu yg condong kepada belanda atau tiongkok. Sepulangnya ke indonesia ia sempat menjadi ketua partai yg memperjuangkan kemerdekaan yaitu PTI yg kemduian dibubarkan jepang.
pada tahun 1949 beliau dikirim oleh pemerintah indonesia utk mewakili indonesia didepan sidang PBB utk menjelaskan bhw indonesia adalah negara teratur dan tertib, bukan negara teroris seperti yg dikumandangkan oleh belanda. setelah itu beliau selalu gigih dalam mendorong warga tionghoa di indonesia utk tidak ragu2 memilih indonesia sbg kewarganegaraanya.
Namun tragis, akibat pemberontakan G30S PKI maka beliau terpaksa kabur ke Austria dan wafat disana sbg seorang Stateless.
namun peran beliau yg paling penting yg patut diingat adalah usaha nya menemui perwira2 angkatan laut jepang di Pujon, deket Batu-Malang yg bersimpati kepada kemerdekaan indonesia sehingga membuahkan sebuah informasi penting yaitu lokasi2 gudang persenjataan jepang. Senjata dari lokasi2 inilah yang dikemudian hari digunakan utk memasok persenjataan bagi pejuang perang hebat di Surabaya 1945.
berdasarkan tulisan Harry Tjan "Dr.Tjoa Sik Ien : aktivis dan pejuang " terlihat bhw dr.Tjoa tidak percaya kepada sebuah agama, karena baginya agama membuat pikiran menjadi beku dgn dogma2 yg harus diterima tanpa bisa dikritik.
beliau adalah tokoh yg mendukung dan mendorong integrasi etnis tionghoa sbg warga negara indonesia. semenjak muda sudah sangat militan dlm membela perjuangan indonesia melawan belanda, salah satunya dgn mendirikan Sarekat Peranakan Tionghoa Indonesia, sangat berbeda jauh dgn mahasiswa2 tionghoa lainnya kala itu yg condong kepada belanda atau tiongkok. Sepulangnya ke indonesia ia sempat menjadi ketua partai yg memperjuangkan kemerdekaan yaitu PTI yg kemduian dibubarkan jepang.
pada tahun 1949 beliau dikirim oleh pemerintah indonesia utk mewakili indonesia didepan sidang PBB utk menjelaskan bhw indonesia adalah negara teratur dan tertib, bukan negara teroris seperti yg dikumandangkan oleh belanda. setelah itu beliau selalu gigih dalam mendorong warga tionghoa di indonesia utk tidak ragu2 memilih indonesia sbg kewarganegaraanya.
Namun tragis, akibat pemberontakan G30S PKI maka beliau terpaksa kabur ke Austria dan wafat disana sbg seorang Stateless.
namun peran beliau yg paling penting yg patut diingat adalah usaha nya menemui perwira2 angkatan laut jepang di Pujon, deket Batu-Malang yg bersimpati kepada kemerdekaan indonesia sehingga membuahkan sebuah informasi penting yaitu lokasi2 gudang persenjataan jepang. Senjata dari lokasi2 inilah yang dikemudian hari digunakan utk memasok persenjataan bagi pejuang perang hebat di Surabaya 1945.
berdasarkan tulisan Harry Tjan "Dr.Tjoa Sik Ien : aktivis dan pejuang " terlihat bhw dr.Tjoa tidak percaya kepada sebuah agama, karena baginya agama membuat pikiran menjadi beku dgn dogma2 yg harus diterima tanpa bisa dikritik.
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Tom Gerson Pello (Tom Pello )
Tom Gerson Pello yang lebih dikenal dengan panggilan Tom Pello dilahirkan di Kapan, Timor Tengah Selatan pada tanggal 18 Juli 1917. Tom Pello lahir dari keluarga Protestan yang taat, dari seorang ayah bernama Hendrik Mesakh Pello dilahirkan pada 28 Juli 1888. Ayah Tom Pello bekerja sebagai seorang guru/Pendeta Protestan, tetapi ia juga seorang tokoh pergerakkan Timor Verbornd
riwayat perjuangan :
Tom Gerson Pello yang lebih dikenal dengan panggilan Tom Pello dilahirkan di Kapan, Timor Tengah Selatan pada tanggal 18 Juli 1917. Tom Pello lahir dari keluarga Protestan yang taat, dari seorang ayah bernama Hendrik Mesakh Pello dilahirkan pada 28 Juli 1888. Ayah Tom Pello bekerja sebagai seorang guru/Pendeta Protestan, tetapi ia juga seorang tokoh pergerakkan Timor Verbornd
riwayat perjuangan :
1. Semenjak masih dibangku sekolah Tom Pello telah aktif mengikuti berbagai organisasi politik diantaranya Organisasi Pemuda Timor dibawah pimpinan almarhum Prof. Ir. H. Johannes. Tujuan organisasi tersebut memperjuangkan kemerdekaan RI.2. Pada masa pemerintahan pendudukan Jepang Tom Pello dan I.H. Doko dengan strategi yang tepat berhasil membela dan mengurangi penderitaan rakyat dan para raja di pulau Timor dari kekejaman pemerintahan Jepang. Berkat perannya ini maka Tom Pello dan I.H. Doko oleh masyarakat dijuluki : Stoet Blok (balok penahan).3. Tom Pello ikut aktif dalam pergerakkan Persatuan Kebangsaan Timor. Kemudian bersama-sama dengan I.H. Doko dan tokoh masyarakat Timor mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Timor (PDI) yang merupakan gabungan dari Partai Kebangkitan Indonesia pada tahun 1937. Pengurus PDI : Ketua Tom Pello, dan Wakil Ketua : I.H. Doko. Sekretaris CH. F. Ndaumanu, Wakil Skretaris Sahetapy Engels. Penasehat : HA. Koroh (Raja Amarasi).Lewat partai tersebut dikeluarkan motto :Mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Memperjuangkan Persatuan RI dari Sabang sampai Merauke.4. Pada waktu setelah pendaratan pasukan NICA dan masuknya kembali pemerintahan kolonialisme Belanda di Kupang yang membonceng tentara sekutu, Tom Pello, I.H. Doko, HA. Koroh dan D Adoe sebagai aktifis perjuangan yang dianggap membahayakan kelangsungan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda di keresidenan Timor dan daerah takluknya, dituduh sebagai collaborator Jepang, anak emas Jepang dan menyimpan senjata dan barang-barang Jepang sehingga rumah mereka digeledah pasukan NICA.5. Para pemuda pergerakan di Kupang sempat merencanakan untuk membumi hanguskan Kamp NICA, tempat kediaman pamong praja Belanda, kantor dan jawatan dan gudang makanan. Rencana tersebut disusun Max Rihi di bawah pimpinan Tom Pello didukung tokoh pemuda PDI : Adi Pello, M. Saba, M.M. Foeh, Arif Kiah, A. Johanes, Asba Salean. Namun raja Amarasi HA Koroh yang bertindak sebagai penasehat PDI berhasil meyakinkan Tom Pello dan para pemuda untuk mengurung niatnya apabila dilaksanakan akan merugikan perjuangan dan masyarakat Kota Kupang.6. Tom Pello karena sifat gerakannya yang non kooperatif dan selalu konsisten melawan pemerintahan colonial Belanda ia dijuluki : Soekarnoisten, Republiken dan Extremesten.7. Sebagai pejuang yang konsekwen bersifat non kooperatif Tom Pello berkorban demi perjuangannya, walaupun ia telah memiliki kedudukan yang cukup tinggi untuk seorang bumi putra pada waktu itu, namun demi perjuangan ia minta berhenti sebagai pegawai pada Keresidenan Timor, walaupun akibatnya anggota keluarganya menderita.8. Mempersatukan eks Heiho dan Eks KNIL untuk menentang Belanda.9. Mamggalang para pegawai NICA untuk melakukan mogok kerja.
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Arnold Mononutu
SUASANA rapat menjadi panas saat anggota Konstituante yang beragama Kristen, Arnold Mononutu melampiaskan kekecewaannya saat tokoh-tokoh Islam memaksa nilai-nilai Islam menjadi konstitusi negara.
"Wajar saja jika Anda sekalian dari golongan Islam punya nilai-nilai demikian. Kami sebagai orang Kristen juga punya nilai-nilai dan kami tahu-nilai-nilai tak boleh dikorbankan. Tetapi, jangan minta negara Islam. Jika itu terjadi, maka kiranya kami menjadi tamu Anda sekalian dan kami bukan tamu di negara ini."
Arnold Mononutu, politisi PNI beragama Kristen tak menerima nilai-nilai Islam menjadi dasar negara. Dia lebih menekankan agar Sila Pertama Pancasila yang fundamental mengakomodasi nilai-nilai religis juga mengakomodasi nilai-nilai agama lain yang dianut masyarakat Indonesia.
Dalam proses penyusunan konstitusi negara kala itu, panggung politik diwarnai benturan keras karena perbedaan ideologi. Sejumlah tokoh-tokoh Islam bersemangat memperjuangkan Indonesia yang merdeka dengan menerapkan Islam sebagai dasar negara. Upaya itu mendapat penentangan luar biasa dari tokoh-tokoh non muslim dan kalangan nasionalis. Perdebatan para founding fathers dalam sidang BPUPK dihadapi kesulitan menemukan konsensus untuk mempertemukan posisi-posisi ideologis masing-masing.
Mohammad Natsir, tokoh Islam dari Partai Masyumi menilai, Pancasila adalah sekuler. Natsir dalam artikel berjudul: Keindonesiaan Mononutu yang ditulis Syafii Maarif, memperingatkan umat Islam bahwa bilamana berpindah dari Islam ke Pancasila samalah artinya melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa.
Namun, pendapat itu dibantah Arnold Mononutu yang mengatakan bahwa Pancasila tidak bercorak sekular. "Pancasila merupakan satu weltaan schauung yang bersumber kepada Ketuhanan yang Maha Esa," ujarnya seperti dikutip dalam buku berjudul Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), karya Endang Saifuddin Anshari, Gema Insani Press, 1997.
Pernyataan Natsir juga disambut Arnold Mononutu dengan berucap, "Dari ideologi Pancasila ke negara Indonesia berdasar agama Islam, bagi umat Kristen adalah ibarat: melompat dari bumi, yang tenang dan sentosa untuk menjalankan agamanya sebagai manusia Indonesia yang volwaardig, ke ruang kosong, vacuum, tak berhawa."
Arnold Mononutu adalah salah satu elit PNI yang menjadi anggota Majelis Konstituante (1956-1959), tidak sepakat jika nilai-nilai Islam menjadi corak dasar negara Indonesia yang majemuk ini.
Dia begitu gigih membela Pancasila sebagai dasar negara dalam Majelis Konstituante ditinjau dari sudut ajaran Kristen berhadapan dengan kelompok Islam yang mengusung Islam sebagai dasar negara. Bagi Mononutu, Pancasila menawarkan nilai-nilai Kristen yang religius monistis. Dia menentang anggapan Natsir yang menganggap Pancasila adalah ideologi sekularisme.
Dalam konteks ini, Arnold Mononutu menempatkan diri sebagai pihak yang alergi terhadap Islam. Namun, dia lebih mengutamakan kepentingan nasional bangsa secara lebih luas. Sama seperti halnya Mohammad Hatta yang dianggap berperan dalam menghapus kata Islam tersebut. Hatta nampaknya menangkap realitas sosiologis masyarakat Indonesia saat itu.
Dia khawatir Indonesia timur yang mayoritas Kristen tidak akan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia bila dasar negara mengadopsi Islam. Presiden Soekarno juga mengungkapkan kekhawatirannya tentang implikasi-implikasi negatif terhadap kesatuan nasional jika kelompok Islam memaksakan tuntutan mereka untuk sebuah negara Islam.
Arnold Mononutu, adalah politisi asal negara federal (NIT), tetapi dia sosok republiken, bukan federalis. Dalam parlemen NIT, ia memimpin Fraksi Progresif yang lebih berorientasi kepada RI daripada NIT. Dia adalah seorang nasionalis Indonesia Bagian Timur yang pro Republik Indonesia di zaman perjuangan kemerdekaan.
Arnold juga akrab dengan Hatta saat menjadi mahasiswa di Negeri Belanda tahun 1920-an. Di Belanda, dia bergabung dalam gerakan Perhimpunan Indonesia (PI) yang gencar melakukan propaganda antikolonial di luar negeri. Arnold Mononutu ke Paris, Perancis mewakili PI memperkuat jaringan dengan beberapa mahasiswa Asia. Pada waktu itu gerakan demokrasi internasional di bawah pimpinan besar anggota Parlemen Perancis, Marc Sangnier, sedang menyiapkan suatu kongres untuk perdamaian.
Dalam menyuarakan propaganda anti penjajahan, Arnold Mononutu bersama mahasiswa Indonesia lainnya seperti Muhammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdoel Madjib Djojoadhiningrat, Pamontjak dan sebagainya pernah diancam pemerintah kolonial.
Tahun 1925, pemerintah kolonial mengeluarkan ancaman agar mahasiswa yang belajar di Negeri Belanda tidak boleh dikirimi belanja jika orang tuanya adalah pegawai di Hindia Belanda. Mononutu terkena ancaman ini, karena ayahnya adalah seorang komis di Manado. Tidak ada pilihan bagi ayahnya kecuali mematuhi ancaman itu.
Mononutu pun dihadapkan dua pilihan: mundur dari PI agar kiriman tidak putus atau tetap dalam PI dengan akibat tidak ada lagi kiriman dari orang tua. Mononutu memilih tetap bergabung dengan PI. Ia meminta maaf kepada ayahnya karena terputusnya kiriman. Kata Hatta, dengan adanya kasus Mononutu ini, rasa solidaritas PI malah semakin kuat dan meningkat. Mereka kemudian beriuran untuk meringankan biaya hidup Mononutu, sekalipun tidak sebanyak kiriman orang tuanya.
Setelah Indonesia merdeka, Mononutu bergabung dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri. Kabinet itu terdiri dari 13 menteri dan 3 menteri negara dan 11 orang di antaranya adalah Republiken. Tokoh-tokoh terkemuka yang duduk dalam kabinet itu adalah dari pihak Republik seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Djuanda, Wilopo, Supomo, Leimena, Herling Laoh, Sultan Hamid II dan Ide Anak Agung Gde Agung. Kabinet itu merupakan zaken cabinet (kabinet ahli) dan bukan kabinet koalisi yang bersandar pada kekuatan partai-partai politik.
Arnold juga berperan membangun hubungan antara Indonesia dengan China. Dia pernah ditunjuk sebagai Duta Besar RI untuk Beijing. Penunjukan Arnold sebagai duta besar itu menandai mulai eratnya hubungan kedua negara. Dalam buku berjudul: Merangkul Cina, Hubungan Indonesia-Cina Pasca Soeharto, PT Gramedia Pustaka Utama, 2009.
SUASANA rapat menjadi panas saat anggota Konstituante yang beragama Kristen, Arnold Mononutu melampiaskan kekecewaannya saat tokoh-tokoh Islam memaksa nilai-nilai Islam menjadi konstitusi negara.
"Wajar saja jika Anda sekalian dari golongan Islam punya nilai-nilai demikian. Kami sebagai orang Kristen juga punya nilai-nilai dan kami tahu-nilai-nilai tak boleh dikorbankan. Tetapi, jangan minta negara Islam. Jika itu terjadi, maka kiranya kami menjadi tamu Anda sekalian dan kami bukan tamu di negara ini."
Arnold Mononutu, politisi PNI beragama Kristen tak menerima nilai-nilai Islam menjadi dasar negara. Dia lebih menekankan agar Sila Pertama Pancasila yang fundamental mengakomodasi nilai-nilai religis juga mengakomodasi nilai-nilai agama lain yang dianut masyarakat Indonesia.
Dalam proses penyusunan konstitusi negara kala itu, panggung politik diwarnai benturan keras karena perbedaan ideologi. Sejumlah tokoh-tokoh Islam bersemangat memperjuangkan Indonesia yang merdeka dengan menerapkan Islam sebagai dasar negara. Upaya itu mendapat penentangan luar biasa dari tokoh-tokoh non muslim dan kalangan nasionalis. Perdebatan para founding fathers dalam sidang BPUPK dihadapi kesulitan menemukan konsensus untuk mempertemukan posisi-posisi ideologis masing-masing.
Mohammad Natsir, tokoh Islam dari Partai Masyumi menilai, Pancasila adalah sekuler. Natsir dalam artikel berjudul: Keindonesiaan Mononutu yang ditulis Syafii Maarif, memperingatkan umat Islam bahwa bilamana berpindah dari Islam ke Pancasila samalah artinya melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa.
Namun, pendapat itu dibantah Arnold Mononutu yang mengatakan bahwa Pancasila tidak bercorak sekular. "Pancasila merupakan satu weltaan schauung yang bersumber kepada Ketuhanan yang Maha Esa," ujarnya seperti dikutip dalam buku berjudul Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), karya Endang Saifuddin Anshari, Gema Insani Press, 1997.
Pernyataan Natsir juga disambut Arnold Mononutu dengan berucap, "Dari ideologi Pancasila ke negara Indonesia berdasar agama Islam, bagi umat Kristen adalah ibarat: melompat dari bumi, yang tenang dan sentosa untuk menjalankan agamanya sebagai manusia Indonesia yang volwaardig, ke ruang kosong, vacuum, tak berhawa."
Arnold Mononutu adalah salah satu elit PNI yang menjadi anggota Majelis Konstituante (1956-1959), tidak sepakat jika nilai-nilai Islam menjadi corak dasar negara Indonesia yang majemuk ini.
Dia begitu gigih membela Pancasila sebagai dasar negara dalam Majelis Konstituante ditinjau dari sudut ajaran Kristen berhadapan dengan kelompok Islam yang mengusung Islam sebagai dasar negara. Bagi Mononutu, Pancasila menawarkan nilai-nilai Kristen yang religius monistis. Dia menentang anggapan Natsir yang menganggap Pancasila adalah ideologi sekularisme.
Dalam konteks ini, Arnold Mononutu menempatkan diri sebagai pihak yang alergi terhadap Islam. Namun, dia lebih mengutamakan kepentingan nasional bangsa secara lebih luas. Sama seperti halnya Mohammad Hatta yang dianggap berperan dalam menghapus kata Islam tersebut. Hatta nampaknya menangkap realitas sosiologis masyarakat Indonesia saat itu.
Dia khawatir Indonesia timur yang mayoritas Kristen tidak akan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia bila dasar negara mengadopsi Islam. Presiden Soekarno juga mengungkapkan kekhawatirannya tentang implikasi-implikasi negatif terhadap kesatuan nasional jika kelompok Islam memaksakan tuntutan mereka untuk sebuah negara Islam.
Arnold Mononutu, adalah politisi asal negara federal (NIT), tetapi dia sosok republiken, bukan federalis. Dalam parlemen NIT, ia memimpin Fraksi Progresif yang lebih berorientasi kepada RI daripada NIT. Dia adalah seorang nasionalis Indonesia Bagian Timur yang pro Republik Indonesia di zaman perjuangan kemerdekaan.
Arnold juga akrab dengan Hatta saat menjadi mahasiswa di Negeri Belanda tahun 1920-an. Di Belanda, dia bergabung dalam gerakan Perhimpunan Indonesia (PI) yang gencar melakukan propaganda antikolonial di luar negeri. Arnold Mononutu ke Paris, Perancis mewakili PI memperkuat jaringan dengan beberapa mahasiswa Asia. Pada waktu itu gerakan demokrasi internasional di bawah pimpinan besar anggota Parlemen Perancis, Marc Sangnier, sedang menyiapkan suatu kongres untuk perdamaian.
Dalam menyuarakan propaganda anti penjajahan, Arnold Mononutu bersama mahasiswa Indonesia lainnya seperti Muhammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdoel Madjib Djojoadhiningrat, Pamontjak dan sebagainya pernah diancam pemerintah kolonial.
Tahun 1925, pemerintah kolonial mengeluarkan ancaman agar mahasiswa yang belajar di Negeri Belanda tidak boleh dikirimi belanja jika orang tuanya adalah pegawai di Hindia Belanda. Mononutu terkena ancaman ini, karena ayahnya adalah seorang komis di Manado. Tidak ada pilihan bagi ayahnya kecuali mematuhi ancaman itu.
Mononutu pun dihadapkan dua pilihan: mundur dari PI agar kiriman tidak putus atau tetap dalam PI dengan akibat tidak ada lagi kiriman dari orang tua. Mononutu memilih tetap bergabung dengan PI. Ia meminta maaf kepada ayahnya karena terputusnya kiriman. Kata Hatta, dengan adanya kasus Mononutu ini, rasa solidaritas PI malah semakin kuat dan meningkat. Mereka kemudian beriuran untuk meringankan biaya hidup Mononutu, sekalipun tidak sebanyak kiriman orang tuanya.
Setelah Indonesia merdeka, Mononutu bergabung dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri. Kabinet itu terdiri dari 13 menteri dan 3 menteri negara dan 11 orang di antaranya adalah Republiken. Tokoh-tokoh terkemuka yang duduk dalam kabinet itu adalah dari pihak Republik seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Djuanda, Wilopo, Supomo, Leimena, Herling Laoh, Sultan Hamid II dan Ide Anak Agung Gde Agung. Kabinet itu merupakan zaken cabinet (kabinet ahli) dan bukan kabinet koalisi yang bersandar pada kekuatan partai-partai politik.
Arnold juga berperan membangun hubungan antara Indonesia dengan China. Dia pernah ditunjuk sebagai Duta Besar RI untuk Beijing. Penunjukan Arnold sebagai duta besar itu menandai mulai eratnya hubungan kedua negara. Dalam buku berjudul: Merangkul Cina, Hubungan Indonesia-Cina Pasca Soeharto, PT Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Re: Kafir Ikut Berjuang Dalam Kemerdekaan RI
Tijel Djelau
Hari ini, 10 November 2010, negeri yang dilanda berbagai bencana memperingati Hari Pahlawan ke-65. Sebuah hari bersejarah yang barangkali sudah terlupa di tanah gempa dan gunung api sana. Lalu, bagaimana dengan Kalteng? Tulisan ini coba mengingatkan salah satu pejuang Dayak.
Namanya Tijel Djelau. Lahir di Kasongan, 10 Agustus 1927. Oleh keluarga dan para kemenakannya, dia sering dipanggil Mamang Dangek. Sesuai kebiasaan orang Dayak Ngaju, Tijel juga kerap disapa Bapa Dino, sedang istrinya, Indu Dino. Mereka bertempat tinggal di Jalan Beruk Angis Palangka Raya, dan Jalan Raya Katunen, Kasongan, Kabupaten Katingan.
Sosok Tijel tercatat sebagai salah satu tokoh pejuang veteran kemerdekaan yang memberikan dharma bakti, pengabdian, baik dalam perjuangan mempertahankan proklamasi maupun ikut mengisi kemerdekaan dengan pembangunan. Termasuk upaya membangun daerah Kalteng.
Usai mengenyam pendidikan Zending Vervolgschool di Kasongan (1936- 1941), Kioin Joseijo Sekolah Guru zaman Jepang di Sampit (1942–1944), dan kursus Kader Kementerian Penerangan RI di Yogyakarta (1949), Tijel diangkat menjadi guru sekolah dasar–dulu disebut Sekolah Rendah (SR)–ditempatkan di Rantau Pulut, Kecamatan Seruyan Tengah, Kabupaten Seruyan, 1944-1947.
Pada tahun 1948, ia kemudian dipindahkan ke Samba Bakumpai, Tumbang Samba, Kecamatan Katingan Tengah, Katingan. Sang guru muda Tijel atas panggilan jiwanya melakukan gerakan perjuangan menentang penjajah NICA/Belanda dan bergabung dengan pasukan MN 1001/MTKI (Mohammad Noor 1001/Mandau Telawang Kalimantan Indonesia) untuk kawasan Sungai Seruyan.
Saat melaksanakan tugas sebagai guru di Tumbang Samba awal 1948, oleh ALRI Divisi-IV dari Banjarmasin–tentu saja secara rahasia–Tijel ditunjuk sebagai Perwakilan ALRI Divisi-IV Daerah Katingan, berkedudukan di Tumbang Samba.
Sebagai anggota pasukan MN 1001/MTKI, dengan pangkat Kapten, Tijel melaksanakan tugas mempersiapkan pembentukan Markas Pedalaman di Sepan Biha-hulu Sungai Manjul, anak Sungai Seruyan.
TT Suan, pemerhati sejarah budaya Kalteng, kepada Tabengan menceritakan, pada pertengahan 1946, ada seorang lelaki datang menemui Tijel Djelau seraya memperkenalkan diri bernama “Tjilik Riwut”.
Tjilik adalah saudara sepupu Tijel, sangat mengenal kakak sepupunya itu. Maka, saat “perkenalan” itu, membuat Tijel senyum dikulum. Orang yang menyebut dirinya “Tjilik Riwut” itu pun buka kartu, bahwa dia adalah Kapten Mulyono, PMC (Penyelidik Militer Chusus MBT/TNI) mendapat tugas rahasia dari Tjilik untuk menemui Tijel. Rombongan Kapten Mulyono datang dari Jawa berjumlah 11 orang, di antaranya Opsir Muda AURI Marconi R. Mangkin yang asal muasalnya warga domestik etnik Dayak, juga dari suku Dayak Ngaju. Pasukan itu meneruskan perjalanan ke Tumbang Manjul, selanjutnya menuju Sepan Biha tempat latihan militer MN 1001.
Dalam kurun waktu 1945-1949, Tijel menjadi “langganan” penangkapan dan penyiksaan, ditahan, dihukum, serta mengalami penderitaan berat akibat tindakan pasukan NICA/KNIL Belanda. Penguasa NICA/KNIL Belanda memang cukup repot dan “pusing” atas gerakan “ekstremis” pemuda Tijel itu.Betapa tidak, pada Oktober 1945, ketika rombongan PETA/BPRI dari Surabaya tiba di Kuala Pembuang membentuk Pemerintahan RI, Tijel sebagai anggota sekaligus melatih para pemuda mengikuti latihan pelajaran baris berbaris dengan senjata bambu runcing.Desember 1945, datang pasukan NICA/KNIL menggempur. Tijel ditangkap lalu dibawa ke Sampit, diperiksa dan disiksa. Pada 17 September 1946, Pasukan MN 1001/TKR, dipimpin Kapten Mulyono dengan persenjataan senapan dan mandau, tengah malam menyergap pasukan KNIL/KL yang bercokol di Sanggrahan Tumbang Manjul.
Di pihak KNIL/KL banyak yang gugur dan pihak MN 1001 pun jatuh korban. Setelah pertempuran itu, Kapten Mulyono kembali ke Jawa melaporkan perkembangan perjuangan di Kalimantan. Sementara pasukannya diperintahkan kembali ke markas di pedalaman, siap sedia mempertahankan daerah Seruyan dari serangan NICA/Belanda.Dari Rantau Pulut, Kapten Mulyono menulis surat kepada Kapten FJ Hips, Wakil Kontrolir (Controleur) Onderafdeling Sampit di Sampit. Tijel diminta mengantar surat itu ke Sampit. Isi surat itu antara lain menyatakan pertempuran di Tumbang Manjul, yang bertanggung jawab Kapten Mulyono/pasukan MN 1001/TKR. Hips jangan menyakiti rakyat yang tidak berdosa. Setelah surat itu disampaikan setangan ke alamatnya, tak ayal Tijel pun ditangkap sang Kapten KNIL si Hips. Tijel menjadi bulan-bulanan penyiksaan. Rakyat dan pasukan MN 1001 di Seruyan banyak terbunuh akibat operasi militer KNIL/KL yang berlangsung sampai awal tahun 1947.
Menjelang akhir 1949, Tijel menerima berita adanya gencatan senjata. Sewaktu pergi dan tiba di Kasongan, dia ditangkap oleh serdadu Belanda, lalu diikat di tiang bendera di depan Kantor HPB (Hoofd van Plaatselijk Bestuur) Kasongan selama dua hari dua malam. Namun, pada malam ketiga, datanglah kapal dari Sampit menjemput pasukan KNIL di Katingan. Bersamaan itu, diterima surat dari Kapten Mulyono ditujukan kepada Tijel. Surat itu memberitahukan, Sampit telah menjadi daerah kekuasaan RI dan agar Tijel segera mengatur roda pemerintahan RI di Kasongan. Maka, segera pimpinan HPB membebaskan Tijel.Tindakan mengatur kelancaran pemerintahan, oleh Tijel diserahkan sepenuhnya kepada HPB (Kiai Kepala), dan Tijel segera melaksanakan tugas lain di daerah Katingan.
Atas jasa-jasanya kepada negara dan bangsa, Tijel telah dianugerahi tanda jasa dan penghargaan dari pemerintah, berupa Bintang Gerilya, Bintang Sewindu, Satya Lencana PPK (Peristiwa Perang Kemerdekaan) I dan II, Satya Lencana Kesetiaan VIIII tahun, Bintang Legiun Veteran RI, dan Satya Lencana Legiun Veteran RI.Hingga wafatnya pada 6 September, dua bulan lalu, gelar pejuang masih melekat padanya, seperti Ketua/Anggota Pengurus Markas Daerah Legiun Veteran RI Kalteng dan Anggota Pengurus Dewan Harian Daerah Angkatan-45 Kalteng. Tijel wafat pada usia 83 tahun, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Jalan Tjilik Riwut Km2,5 Palangka Raya
Hari ini, 10 November 2010, negeri yang dilanda berbagai bencana memperingati Hari Pahlawan ke-65. Sebuah hari bersejarah yang barangkali sudah terlupa di tanah gempa dan gunung api sana. Lalu, bagaimana dengan Kalteng? Tulisan ini coba mengingatkan salah satu pejuang Dayak.
Namanya Tijel Djelau. Lahir di Kasongan, 10 Agustus 1927. Oleh keluarga dan para kemenakannya, dia sering dipanggil Mamang Dangek. Sesuai kebiasaan orang Dayak Ngaju, Tijel juga kerap disapa Bapa Dino, sedang istrinya, Indu Dino. Mereka bertempat tinggal di Jalan Beruk Angis Palangka Raya, dan Jalan Raya Katunen, Kasongan, Kabupaten Katingan.
Sosok Tijel tercatat sebagai salah satu tokoh pejuang veteran kemerdekaan yang memberikan dharma bakti, pengabdian, baik dalam perjuangan mempertahankan proklamasi maupun ikut mengisi kemerdekaan dengan pembangunan. Termasuk upaya membangun daerah Kalteng.
Usai mengenyam pendidikan Zending Vervolgschool di Kasongan (1936- 1941), Kioin Joseijo Sekolah Guru zaman Jepang di Sampit (1942–1944), dan kursus Kader Kementerian Penerangan RI di Yogyakarta (1949), Tijel diangkat menjadi guru sekolah dasar–dulu disebut Sekolah Rendah (SR)–ditempatkan di Rantau Pulut, Kecamatan Seruyan Tengah, Kabupaten Seruyan, 1944-1947.
Pada tahun 1948, ia kemudian dipindahkan ke Samba Bakumpai, Tumbang Samba, Kecamatan Katingan Tengah, Katingan. Sang guru muda Tijel atas panggilan jiwanya melakukan gerakan perjuangan menentang penjajah NICA/Belanda dan bergabung dengan pasukan MN 1001/MTKI (Mohammad Noor 1001/Mandau Telawang Kalimantan Indonesia) untuk kawasan Sungai Seruyan.
Saat melaksanakan tugas sebagai guru di Tumbang Samba awal 1948, oleh ALRI Divisi-IV dari Banjarmasin–tentu saja secara rahasia–Tijel ditunjuk sebagai Perwakilan ALRI Divisi-IV Daerah Katingan, berkedudukan di Tumbang Samba.
Sebagai anggota pasukan MN 1001/MTKI, dengan pangkat Kapten, Tijel melaksanakan tugas mempersiapkan pembentukan Markas Pedalaman di Sepan Biha-hulu Sungai Manjul, anak Sungai Seruyan.
TT Suan, pemerhati sejarah budaya Kalteng, kepada Tabengan menceritakan, pada pertengahan 1946, ada seorang lelaki datang menemui Tijel Djelau seraya memperkenalkan diri bernama “Tjilik Riwut”.
Tjilik adalah saudara sepupu Tijel, sangat mengenal kakak sepupunya itu. Maka, saat “perkenalan” itu, membuat Tijel senyum dikulum. Orang yang menyebut dirinya “Tjilik Riwut” itu pun buka kartu, bahwa dia adalah Kapten Mulyono, PMC (Penyelidik Militer Chusus MBT/TNI) mendapat tugas rahasia dari Tjilik untuk menemui Tijel. Rombongan Kapten Mulyono datang dari Jawa berjumlah 11 orang, di antaranya Opsir Muda AURI Marconi R. Mangkin yang asal muasalnya warga domestik etnik Dayak, juga dari suku Dayak Ngaju. Pasukan itu meneruskan perjalanan ke Tumbang Manjul, selanjutnya menuju Sepan Biha tempat latihan militer MN 1001.
Dalam kurun waktu 1945-1949, Tijel menjadi “langganan” penangkapan dan penyiksaan, ditahan, dihukum, serta mengalami penderitaan berat akibat tindakan pasukan NICA/KNIL Belanda. Penguasa NICA/KNIL Belanda memang cukup repot dan “pusing” atas gerakan “ekstremis” pemuda Tijel itu.Betapa tidak, pada Oktober 1945, ketika rombongan PETA/BPRI dari Surabaya tiba di Kuala Pembuang membentuk Pemerintahan RI, Tijel sebagai anggota sekaligus melatih para pemuda mengikuti latihan pelajaran baris berbaris dengan senjata bambu runcing.Desember 1945, datang pasukan NICA/KNIL menggempur. Tijel ditangkap lalu dibawa ke Sampit, diperiksa dan disiksa. Pada 17 September 1946, Pasukan MN 1001/TKR, dipimpin Kapten Mulyono dengan persenjataan senapan dan mandau, tengah malam menyergap pasukan KNIL/KL yang bercokol di Sanggrahan Tumbang Manjul.
Di pihak KNIL/KL banyak yang gugur dan pihak MN 1001 pun jatuh korban. Setelah pertempuran itu, Kapten Mulyono kembali ke Jawa melaporkan perkembangan perjuangan di Kalimantan. Sementara pasukannya diperintahkan kembali ke markas di pedalaman, siap sedia mempertahankan daerah Seruyan dari serangan NICA/Belanda.Dari Rantau Pulut, Kapten Mulyono menulis surat kepada Kapten FJ Hips, Wakil Kontrolir (Controleur) Onderafdeling Sampit di Sampit. Tijel diminta mengantar surat itu ke Sampit. Isi surat itu antara lain menyatakan pertempuran di Tumbang Manjul, yang bertanggung jawab Kapten Mulyono/pasukan MN 1001/TKR. Hips jangan menyakiti rakyat yang tidak berdosa. Setelah surat itu disampaikan setangan ke alamatnya, tak ayal Tijel pun ditangkap sang Kapten KNIL si Hips. Tijel menjadi bulan-bulanan penyiksaan. Rakyat dan pasukan MN 1001 di Seruyan banyak terbunuh akibat operasi militer KNIL/KL yang berlangsung sampai awal tahun 1947.
Menjelang akhir 1949, Tijel menerima berita adanya gencatan senjata. Sewaktu pergi dan tiba di Kasongan, dia ditangkap oleh serdadu Belanda, lalu diikat di tiang bendera di depan Kantor HPB (Hoofd van Plaatselijk Bestuur) Kasongan selama dua hari dua malam. Namun, pada malam ketiga, datanglah kapal dari Sampit menjemput pasukan KNIL di Katingan. Bersamaan itu, diterima surat dari Kapten Mulyono ditujukan kepada Tijel. Surat itu memberitahukan, Sampit telah menjadi daerah kekuasaan RI dan agar Tijel segera mengatur roda pemerintahan RI di Kasongan. Maka, segera pimpinan HPB membebaskan Tijel.Tindakan mengatur kelancaran pemerintahan, oleh Tijel diserahkan sepenuhnya kepada HPB (Kiai Kepala), dan Tijel segera melaksanakan tugas lain di daerah Katingan.
Atas jasa-jasanya kepada negara dan bangsa, Tijel telah dianugerahi tanda jasa dan penghargaan dari pemerintah, berupa Bintang Gerilya, Bintang Sewindu, Satya Lencana PPK (Peristiwa Perang Kemerdekaan) I dan II, Satya Lencana Kesetiaan VIIII tahun, Bintang Legiun Veteran RI, dan Satya Lencana Legiun Veteran RI.Hingga wafatnya pada 6 September, dua bulan lalu, gelar pejuang masih melekat padanya, seperti Ketua/Anggota Pengurus Markas Daerah Legiun Veteran RI Kalteng dan Anggota Pengurus Dewan Harian Daerah Angkatan-45 Kalteng. Tijel wafat pada usia 83 tahun, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Jalan Tjilik Riwut Km2,5 Palangka Raya
Similar topics
» Penyesatan : Kafir Tidak ikut berjuang dalam Kemerdekaan RI
» Tidak Ada Andil Kristen dalam Kemerdekaan RI
» IKUT YESUS APA IKUT PAULUS ?!
» Tidak Ada Andil Kristen dalam Kemerdekaan RI
» IKUT YESUS APA IKUT PAULUS ?!
Page 1 of 1
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum
Sat 20 Jul 2024, 3:43 pm by darwinToo
» Kenapa Muhammad & muslim ngamuk kalo Islam dikritik?
Sat 20 Jul 2024, 3:41 pm by darwinToo
» Penistaan "Agama"...==> Agama sama seperti cewek/cowok.
Sat 20 Jul 2024, 3:40 pm by darwinToo
» kenapa muhammad suka makan babi????
Sat 20 Jul 2024, 3:39 pm by darwinToo
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
Fri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam
» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
Fri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya
» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
Tue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar
» Moon Split or Islamic Hoax?
Wed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin
» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
Wed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin