Similar topics
Latest topics
Most Viewed Topics
Most active topic starters
kuku bima | ||||
admin | ||||
kermit katak lucu | ||||
hamba tuhan | ||||
feifei_fairy | ||||
paulusjancok | ||||
agus | ||||
gusti_bara | ||||
Muslim binti Muskitawati | ||||
Bejat |
Most active topics
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia Menyongsong Punahnya Islam
Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
Who is online?
In total there are 45 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 45 Guests :: 1 BotNone
Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
Social bookmarking
Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website
Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website
hukum pancung dalam perspektif islam
3 posters
Page 1 of 1
hukum pancung dalam perspektif islam
Beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan oleh sebuah berita bahwa salah seorang Nakerwan Indonesia yang berada di Saudi Arabia akan terkena hukum pancung; suatu hukum – yang menurut sebagian kalangan tertentu – diterapkan oleh negara-negara Arab, tidak mengacu dan bertentangan dengan HAM PBB.
Semenjak berita itu ‘bocor’ di masyarakat, pemerintah Indonesia kalang kabut untuk melobi sana-sini supaya hukuman itu gagal. Dan banyak sekali kecaman yang ditujukan pada pemerintah Arab Saudi yang dianggap sadis dalam menentukan hukuman bagi pelaku-pelaku kriminal. Terjadilah banyak demonstrasi di sana-sini. Mereka ada yaang mengecam ketidakadilan Saudi dalam memvonis Nashirah, ada juga yang memprotes supaya dihapuskan hukuman mati karena dianggap melanggar HAM. Namun ada yang lebih lucu, salah satu demonstran berteriak-teriak seraya berkata :”Tegakkan hukum pancung !!! …. Bebaskan Nashirah !!!”
Polemik hukuman pancung (mati) merebak lagi setelah lenyap begitu saja pada kasus pembunuhan satu keluarga yang dilakukan oleh seseorang, dimana ia dijatuhi hukuman mati oleh hakum. Hukuman pancung (mati) menjadi polemik yang berkepanjangan di kalangan praktisi hukum ketika mereka mengkaitu-kaitkannya dengan persoalan HAM.
Dalam tulisan singkat ini, persoalan tersebut akan dibahas dan diletakkan pada porsi yang jelas, yaitu hukuman pancung sebagai sebuah produk Ilahi (Islam) yang sangat relevan dengan HAM. Dan dalam tulisan ini akan dibahas pula diskursus hukum pidana dalam pandangan normatif Islam.
Substansi Hukum Pidana Islam : Suatu Kajian Kritis Normatif
Islam adalah agama prophetis yang ditujukan untuk segenap masyarakat dunia tanpa terkecuali. Islam juga selalu memperhatikan kemaslahatan manusia secara umum dan komprehensif, tidak membedakan-bedakan dari suku dan ras mana seseorang berasal. Ia diturunkan untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia, artinya Islam lebih mengutamakan hak-hak asasi manusia. Namun hal itu bukan berarti menafikan kewajiban-kewajiban asasi manusia yang harus dilakukannya sebagai penunjukan ketaatan manusia pada Sang Pencipta. Dalam pidato terakhirnya, Baginda Rasulullah telan memberikan pesan-pesan yang bernuansakan nilai-nilai kemanusiaan; di mana beliau memerintahkan segenap manusia untuk selalu saling menjaga darah dan harta mereka sendiri([1]) dan supaya mereka mempererat persaudaraan.
Bentuk konkrit dari pengejawantahan HAM dalam Islam terlihat dari pengakuan Islam terhadap lima hal yang harus diwujudkan dalam kehidupan dan selalu dijaga melalui prose-proses hukum. Kelima hal itu adalah : Agama, Jiwa, Akal, Harga Diri dan Harta. Kelimanya dalam Islam benar-benar diperhatikan keberadaannya dengan mewujudkannya dalam kehidupan manusia melalui hukum syara’ dan menjaganya pun dengan hukum-hukum tertentu([2]). Misalnya : ketika Islam menghendaki adanya harta dalam kehidupan, maka ia menurunkan hukum-hukum yang berkenaan untuk mewujudkan harta itu pada masyarakat dengan melalui perintah (syari’at) untuk bekerja dan beusaha. Dan Islam menjaga harta manusia melalui syari’at bahwa mencuri itu haram serta sanksinya adalah potong tangan.
Demikian pula misalnya dalam urusan nyawa/jiwa, Islam memerintahkan melalui syari’at bahwa jiwa harus diwujudkan melalui pernikahan dan silaturahim, sehingga dengan itu jiwa akan selalu ada dan berkembang biak. Namun tidak hanya sekedar diwujudkan, jiwa tersebut dalam Islam harus dijaga kelanggengannya melalui pelarangan adanya pembunuhan dan qishash (sanksi bunuh) bagi yang membunuh.
Berkaitan dengan penjagaan Islam terhadap jiwa tersebut lahirlah hukum pidana dalam Islam.
Hukum Pidana dalam Syari’at Islam
Para ulama dan ahli hukum muslim awal tidak membedakan antara aspek perundang-undangan, etika dan agama dalam syari’at, apalagi memilah bidang-bidang hukum tertentu secara terpisah. Akibatnya prinsip-prinsip dan aturan-aturan syari’at yang sesuai dengan apa yang dikenal dalam terminologi modern sebagai hukum pidana, pembuktian dan prosedur, hanya bisa disarikan dari risalah dan fiqh Islam yang umum dan luas([3]).
Para ulama mutaakhirin (modern) telah mengidentifikasi tiga kategori pokok pelanggaran, yakni : hudud, jinayat dan ta’zir. Hudud adalah sanksi-sanksi yang diberikan pada pelanggar-pelanggar aturan yang telah dijelaskan oleh Allah dan itu adalah haq Allah. Karena sanksi itu adalah haq Allah, maka tidak ada peluang bagi lembaga, penguasa atau individu untuk membatalkannya([4]). Adapun pelanggaran yang masuk kategori hudud : berzina, mencuri, mabuk, homoseksual, murtad/memberontak, dan tuduhan palsu([5]).
Jinayat mencakup pelanggaran pembunuhan dan melukai anggota badan dan dikenai hukuman baik dengan qishash (pembalasan yang serimpal) ataupun membayar diyat (denda dengan uang/senilai) bagi korban atau diberikan kepada sanak familinya([6]). Sanksi ini adalah hak manusia. Oleh karena itu selama masih hak manusia, hukuman itu bisa diganti dengan denda (diyat) ataupun dimaafkan([7]).
Kategori terakhir adalah Ta’zir, merujuk pada kekuasaan kebijaksanaan yang tersisa bagi penguasa, para hakimnya dan wakil-wakilnya untuk memperbaharui dan mendisiplinkan pada warga mereka.
Hukum Pidana Sebagai Bentuk Penjagaan Terhadap Kelangsungan Hidup Manusia
Islam mensyari’atkan hukum pidana pada manusia bukan untuk melanggar hak asasi manusia, tetapi sebaliknya bagaimana supaya kelanggengan dari hak asasi untuk hidup itu tetap terjaga. Dari ayat-ayat suci Al-Qur’an dapat dilihat bahwa hukum pidana diterapkan berfungsi antara lain :
q Untuk mencegah manusia melakukan tindak kriminal. Hal itu bisa dilihat dalam firman Allah :
“Bagi kalian dalam hukum Qishash itu ada ‘kehidupan’ wahai manusia yang memiliki akal.”
‘Kehidupan’, yang dimaksud adalah : jika kita tahu bahwa ganjaran bagi pembunuhan adalah bunuh, maka kita tidak akan melakukannya. Dan tidak adanya aktivitas pembunuhan yang disebabkan karena sanksinya bunuh itulah yang disebut “kehidupan dalam qishash”. Sehingga dari sini masyarakat akan hidup tenang dan saling mengontrol supaya tidak terjadi pembunuhan-pembunuhan lainnya.
q Untuk menghilangkan siksa yang ada di akhirat, karena sanksi sudah dilakukan di dunia. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW berkaitan dengan kasus perajaman Ma’iz dimana beliau bersabda,
“Sungguh ia telah bertaubat dengan taubat yang kalau seluruh taubat ahli madinah dikumpulkan akan menandinginya.”
Hukum Pancung, Primitif-kah ?
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pelanggaran itu dikategorikan pada : hudud, jinayat dan ta’zir. Namun karena waktu yang sempit dan juga untuk memenuhi target topik pembahasan, maka penulis hanya akan mengemukakan mengenai kasus pelanggaran jinayat saja.
Pembunuhan dan melukai anggota badan disebut-sebut di dalam sejumlah teks Al-Qur’an dan Sunnah. Sehubungan dengan sifat yuridis pelanggaran-pelanggaran itu kita hanya mempunyai kutipan Al-Qur’an pada surat 2 : 178 dan 5 : 45 untuk mengilustrasikan tentang jinayat. Ayat-ayat itu dapat diterjemahkan sebagai berikut :
“Wahai orang-orang yang beriman ! Telah diwajibkan kepadamu hukum qishash dalam pembunuhan; yang merdeka dengan yang merdeka, budak dengan budak, perempuan dengan perempuan. Tetapi bila kepadanya ada pemaafan dari pihak saudara yang terbunuh, penuhilah permintaannya dengan baik dan bayarlah ganti rugi kepadanya dengan cara yang baik pula. Inilah keringanan dan rahmat dari Tuhan-mu. Barangsiapa melakukan pelanggaran setelah itu maka baginya adzab yang berat.”
“Di dalamnya kami tentukan kepada mereka : nyawa dibayar nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, fifi dengan gigi dan luka ada qishash-nya. Tetapi barangsiapa melepaskan hak pembalasannya sebagai sedekah, maka itu penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang dlalim.”
Dari ayat-ayat di atas sangat jelas bahwa berlaku hukum qishash (setimpal) bagi pelanggaran pembunuhan atau melukai anggota tubuh. Dan dari penjelasan mengenai fungsi diberlakukannya hukum pidana, maka demikian pula bagi hukum qishash; justru dengan adanya qishash tersebut, hak asasi manusia untuk hidup terlindungi.
Pengkritik-pengkritik terhadap hukum qishash, mereka hanya melihat skup yang kecil yaitu hukuman mati. Mereka tidak melihat pasca pelaksanaan hukuman itu. Jika ditilik dari kemaslahatan masyarakat secara umum- sebab Islam diturunkan bukan untuk individu-individu, namun untuk seluruh manusia secara keseluruhan- coba dibayangkan seandainya ada seorang bapak pada keluarga kecil dibunuh, maka siapa yang akan menanggung anak-anaknya itu. Misalnya dalam kasus Udin (wartawan Bernas yang dibunuh), Masa depan keluarga itu ada dipundak bapak (selaku kepala rumah tangga). Dan dengan diberlakukannya hukum qishash, yakni mati bagi yang membunuh, maka diharapkan supaya tidak terjadi pembunuhan lagi. Itulah yang dimaksud – hayaatun- : kehidupan dalam ayat di atas, yaitu kehidupan pada masyarakat karena tidak terjadi pembunuhan-pembunuhan lagi.
Adapun teknik eksekusi hukuman mati bagi yang membunuh tidak ada penjelasan pada nash-nash syar’iy, artinya itu diserahkan kepada manusia dan lingkungan (budaya). Bisa saja eksekusi dilakukan dengan model tembak, listrik atau pancung.
Jadi hukuman pancung itu primitif atau tidak, sebenarnya tidak perlu dipersoalkan lagi, karena di dalam Islam mengenai teknik eksekusi hukuman mati diserahkan kepada budaya setempat. Yang penting, hukuman mati bagi yang membunuh tersebut dilaksanakan dengan yang terbaik dalam pembunuhan. Sebagaimana hadist Rosulullah SAW,
“Jika kalian berkehendak mengadakan eksekusi mati, lakukanlah yang terbaik.” (HR. Muslim)([8])
Batasan, Prosedur dan Fleksibilitas Hukuman Mati
Sebenarnya hukuman mati hanya diberlakukan pada orang yang membunuh secara sengaja. Adapun pembunuhan yang tidak sengaja, bisa karena salah atau lalai, maka hukuman mati tidak berlaku atasnya. Namun dia harus membayar diyat (kompensasi) sebagai balasan atas kecerobohannya.
Seseorang itu dianggap membunuh secara sengaja kalau dia:
§ Mengakui pembunuhannya
§ Ada dua orang saksi yang menyaksikan pembunuhan itu
Dari sini maka sebenarnya sangatlah prodedural sekali hakim pidana Islam itu.
Sebenarnya kalau kita kaji di dalam hukuman qishash ada peluang-peluang yang bisa menggugurkannya, dengan catatan peluang-peluang tersebut sebagai rahmat dari Allah SWT.Di samping peluang untuk digugurkannya, juga ada hal-hal yang sangat manusiawi dalam hukum qishash itu, yaitu :
1. Hukum qishash tidak akan terjadi kalau tidak sesuai dengan prosedur, yaitu pengakuan dan saksi, artinya kalau tidak ada pengakuan dan tidak ada 2 orang sebagai saksi maka qishash tidak berlaku.
2. Di dalam yurisprudensi (fiqh) Islam dianjurkan supaya tidak menyegerakan eksekusi mati, karena bisa diharapkan untuk mencari bukti-bukti atau peluang yang bisa membatalkan eksekusi itu. Karena ada kaidah fiqh yang mengatakan :
”Sesungguhnya Imam (penguasa) yang salah dalam memberikan ampunan itu lebih baik daripada salah dalam memberikan sanksi.”
3. Dengan adanya penundaan eksekusi tersebut bisa diharapkan ada lobi/ musyawarah dengan keluarga yang dibunuh. Karena hanya merekalah yang mampu menggagalkan eksekusi tersebut. Sebab dengan maafnya ahli waris yang ditinggalkan (akibat dibunuh) eksekusi tidak bisa dilaksanakan (QS. Al-Maidah : 45) atau diganti dengan diyat (denda) pada ahli waris (QS. Al-Baqarah : 178)
4. Eksekusi harus dengan alat yang membuat terdakwa tidak merasakan sakit yang lama, sebagaimana perintah Rasulullah SAW,
“Bunuhlah mereka dengan cara yang terbaik !” (HR. Muslim)
Khotimah
Dari uraian di atas dapat dilihat betapa besarnya Agama Islam, karena dengan begitu rapi dan sistemik mampu menjelaskan hukum pidana semenjak abad ke-7 M. Dan itu tidak dilihat pada ideologi lain yang baru kuat dan mencul pada abad ke M, demikian pula pada agama-agama lain.
Oleh karena itu, suatu hal yang mengherankan kalau ada orang atau sekelompok golongan yang mengkritik hukum pidana Islam sebagai hukum yang tidak manusiawi. Kiranya, mereka tidak akan mengkritik sedemikian itu ketika pembunuhan itu terjadi pada keluarga mereka bahkan mungkin mereka lebih emosional dalam menghadapi pembunuhan keluarganya itu.
Namun demikian, kita janganlah terbuai dengan indahnya sebuah ajaran tanpa melaksanakannya. Dan hukum pidana ini kayaknya mungkin masih bersifat hidden transcription ada di otak manusia-manusia beriman saja, selama sistem tidak memberikan otoritas umtuk pelaksanaannya.
Wa Allahu A’lamu bi Ash-Showaab
[1] Ramadhan Al-Baughty, Fiqh As-Sirah, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 1979, hal. 439
[2] Abdul Wahab Al-Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dar Al-Qalam, Kairo, 1978, hal. 200
[3] Abd. Ahmad An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, LKIS, Yogyakarta, hal. 199. Selanjutnya disebut An-Na’im
[4] Abd. Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ Al-Jinay Al-Islamy, Maktabah Dar Al-‘Arubah, Mesir, 1963, jilid III, hal. 344. Selanjutnya disebut ‘Audah
[5] Abd. Rahman Al-Maliky, Nizham Al-Uqubath, Dar Al-Ummah, Libanon, 1990, hal. 23. Selanjutnya disebut Al-Maliky
[6] An-Na’im, loc. cit., Jilid II, hal. 26
[7] Al-Maliky, op. cit., hal. 20
[8] Al-Maliky, op. cit., hal. 109
Semenjak berita itu ‘bocor’ di masyarakat, pemerintah Indonesia kalang kabut untuk melobi sana-sini supaya hukuman itu gagal. Dan banyak sekali kecaman yang ditujukan pada pemerintah Arab Saudi yang dianggap sadis dalam menentukan hukuman bagi pelaku-pelaku kriminal. Terjadilah banyak demonstrasi di sana-sini. Mereka ada yaang mengecam ketidakadilan Saudi dalam memvonis Nashirah, ada juga yang memprotes supaya dihapuskan hukuman mati karena dianggap melanggar HAM. Namun ada yang lebih lucu, salah satu demonstran berteriak-teriak seraya berkata :”Tegakkan hukum pancung !!! …. Bebaskan Nashirah !!!”
Polemik hukuman pancung (mati) merebak lagi setelah lenyap begitu saja pada kasus pembunuhan satu keluarga yang dilakukan oleh seseorang, dimana ia dijatuhi hukuman mati oleh hakum. Hukuman pancung (mati) menjadi polemik yang berkepanjangan di kalangan praktisi hukum ketika mereka mengkaitu-kaitkannya dengan persoalan HAM.
Dalam tulisan singkat ini, persoalan tersebut akan dibahas dan diletakkan pada porsi yang jelas, yaitu hukuman pancung sebagai sebuah produk Ilahi (Islam) yang sangat relevan dengan HAM. Dan dalam tulisan ini akan dibahas pula diskursus hukum pidana dalam pandangan normatif Islam.
Substansi Hukum Pidana Islam : Suatu Kajian Kritis Normatif
Islam adalah agama prophetis yang ditujukan untuk segenap masyarakat dunia tanpa terkecuali. Islam juga selalu memperhatikan kemaslahatan manusia secara umum dan komprehensif, tidak membedakan-bedakan dari suku dan ras mana seseorang berasal. Ia diturunkan untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia, artinya Islam lebih mengutamakan hak-hak asasi manusia. Namun hal itu bukan berarti menafikan kewajiban-kewajiban asasi manusia yang harus dilakukannya sebagai penunjukan ketaatan manusia pada Sang Pencipta. Dalam pidato terakhirnya, Baginda Rasulullah telan memberikan pesan-pesan yang bernuansakan nilai-nilai kemanusiaan; di mana beliau memerintahkan segenap manusia untuk selalu saling menjaga darah dan harta mereka sendiri([1]) dan supaya mereka mempererat persaudaraan.
Bentuk konkrit dari pengejawantahan HAM dalam Islam terlihat dari pengakuan Islam terhadap lima hal yang harus diwujudkan dalam kehidupan dan selalu dijaga melalui prose-proses hukum. Kelima hal itu adalah : Agama, Jiwa, Akal, Harga Diri dan Harta. Kelimanya dalam Islam benar-benar diperhatikan keberadaannya dengan mewujudkannya dalam kehidupan manusia melalui hukum syara’ dan menjaganya pun dengan hukum-hukum tertentu([2]). Misalnya : ketika Islam menghendaki adanya harta dalam kehidupan, maka ia menurunkan hukum-hukum yang berkenaan untuk mewujudkan harta itu pada masyarakat dengan melalui perintah (syari’at) untuk bekerja dan beusaha. Dan Islam menjaga harta manusia melalui syari’at bahwa mencuri itu haram serta sanksinya adalah potong tangan.
Demikian pula misalnya dalam urusan nyawa/jiwa, Islam memerintahkan melalui syari’at bahwa jiwa harus diwujudkan melalui pernikahan dan silaturahim, sehingga dengan itu jiwa akan selalu ada dan berkembang biak. Namun tidak hanya sekedar diwujudkan, jiwa tersebut dalam Islam harus dijaga kelanggengannya melalui pelarangan adanya pembunuhan dan qishash (sanksi bunuh) bagi yang membunuh.
Berkaitan dengan penjagaan Islam terhadap jiwa tersebut lahirlah hukum pidana dalam Islam.
Hukum Pidana dalam Syari’at Islam
Para ulama dan ahli hukum muslim awal tidak membedakan antara aspek perundang-undangan, etika dan agama dalam syari’at, apalagi memilah bidang-bidang hukum tertentu secara terpisah. Akibatnya prinsip-prinsip dan aturan-aturan syari’at yang sesuai dengan apa yang dikenal dalam terminologi modern sebagai hukum pidana, pembuktian dan prosedur, hanya bisa disarikan dari risalah dan fiqh Islam yang umum dan luas([3]).
Para ulama mutaakhirin (modern) telah mengidentifikasi tiga kategori pokok pelanggaran, yakni : hudud, jinayat dan ta’zir. Hudud adalah sanksi-sanksi yang diberikan pada pelanggar-pelanggar aturan yang telah dijelaskan oleh Allah dan itu adalah haq Allah. Karena sanksi itu adalah haq Allah, maka tidak ada peluang bagi lembaga, penguasa atau individu untuk membatalkannya([4]). Adapun pelanggaran yang masuk kategori hudud : berzina, mencuri, mabuk, homoseksual, murtad/memberontak, dan tuduhan palsu([5]).
Jinayat mencakup pelanggaran pembunuhan dan melukai anggota badan dan dikenai hukuman baik dengan qishash (pembalasan yang serimpal) ataupun membayar diyat (denda dengan uang/senilai) bagi korban atau diberikan kepada sanak familinya([6]). Sanksi ini adalah hak manusia. Oleh karena itu selama masih hak manusia, hukuman itu bisa diganti dengan denda (diyat) ataupun dimaafkan([7]).
Kategori terakhir adalah Ta’zir, merujuk pada kekuasaan kebijaksanaan yang tersisa bagi penguasa, para hakimnya dan wakil-wakilnya untuk memperbaharui dan mendisiplinkan pada warga mereka.
Hukum Pidana Sebagai Bentuk Penjagaan Terhadap Kelangsungan Hidup Manusia
Islam mensyari’atkan hukum pidana pada manusia bukan untuk melanggar hak asasi manusia, tetapi sebaliknya bagaimana supaya kelanggengan dari hak asasi untuk hidup itu tetap terjaga. Dari ayat-ayat suci Al-Qur’an dapat dilihat bahwa hukum pidana diterapkan berfungsi antara lain :
q Untuk mencegah manusia melakukan tindak kriminal. Hal itu bisa dilihat dalam firman Allah :
“Bagi kalian dalam hukum Qishash itu ada ‘kehidupan’ wahai manusia yang memiliki akal.”
‘Kehidupan’, yang dimaksud adalah : jika kita tahu bahwa ganjaran bagi pembunuhan adalah bunuh, maka kita tidak akan melakukannya. Dan tidak adanya aktivitas pembunuhan yang disebabkan karena sanksinya bunuh itulah yang disebut “kehidupan dalam qishash”. Sehingga dari sini masyarakat akan hidup tenang dan saling mengontrol supaya tidak terjadi pembunuhan-pembunuhan lainnya.
q Untuk menghilangkan siksa yang ada di akhirat, karena sanksi sudah dilakukan di dunia. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW berkaitan dengan kasus perajaman Ma’iz dimana beliau bersabda,
“Sungguh ia telah bertaubat dengan taubat yang kalau seluruh taubat ahli madinah dikumpulkan akan menandinginya.”
Hukum Pancung, Primitif-kah ?
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pelanggaran itu dikategorikan pada : hudud, jinayat dan ta’zir. Namun karena waktu yang sempit dan juga untuk memenuhi target topik pembahasan, maka penulis hanya akan mengemukakan mengenai kasus pelanggaran jinayat saja.
Pembunuhan dan melukai anggota badan disebut-sebut di dalam sejumlah teks Al-Qur’an dan Sunnah. Sehubungan dengan sifat yuridis pelanggaran-pelanggaran itu kita hanya mempunyai kutipan Al-Qur’an pada surat 2 : 178 dan 5 : 45 untuk mengilustrasikan tentang jinayat. Ayat-ayat itu dapat diterjemahkan sebagai berikut :
“Wahai orang-orang yang beriman ! Telah diwajibkan kepadamu hukum qishash dalam pembunuhan; yang merdeka dengan yang merdeka, budak dengan budak, perempuan dengan perempuan. Tetapi bila kepadanya ada pemaafan dari pihak saudara yang terbunuh, penuhilah permintaannya dengan baik dan bayarlah ganti rugi kepadanya dengan cara yang baik pula. Inilah keringanan dan rahmat dari Tuhan-mu. Barangsiapa melakukan pelanggaran setelah itu maka baginya adzab yang berat.”
“Di dalamnya kami tentukan kepada mereka : nyawa dibayar nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, fifi dengan gigi dan luka ada qishash-nya. Tetapi barangsiapa melepaskan hak pembalasannya sebagai sedekah, maka itu penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang dlalim.”
Dari ayat-ayat di atas sangat jelas bahwa berlaku hukum qishash (setimpal) bagi pelanggaran pembunuhan atau melukai anggota tubuh. Dan dari penjelasan mengenai fungsi diberlakukannya hukum pidana, maka demikian pula bagi hukum qishash; justru dengan adanya qishash tersebut, hak asasi manusia untuk hidup terlindungi.
Pengkritik-pengkritik terhadap hukum qishash, mereka hanya melihat skup yang kecil yaitu hukuman mati. Mereka tidak melihat pasca pelaksanaan hukuman itu. Jika ditilik dari kemaslahatan masyarakat secara umum- sebab Islam diturunkan bukan untuk individu-individu, namun untuk seluruh manusia secara keseluruhan- coba dibayangkan seandainya ada seorang bapak pada keluarga kecil dibunuh, maka siapa yang akan menanggung anak-anaknya itu. Misalnya dalam kasus Udin (wartawan Bernas yang dibunuh), Masa depan keluarga itu ada dipundak bapak (selaku kepala rumah tangga). Dan dengan diberlakukannya hukum qishash, yakni mati bagi yang membunuh, maka diharapkan supaya tidak terjadi pembunuhan lagi. Itulah yang dimaksud – hayaatun- : kehidupan dalam ayat di atas, yaitu kehidupan pada masyarakat karena tidak terjadi pembunuhan-pembunuhan lagi.
Adapun teknik eksekusi hukuman mati bagi yang membunuh tidak ada penjelasan pada nash-nash syar’iy, artinya itu diserahkan kepada manusia dan lingkungan (budaya). Bisa saja eksekusi dilakukan dengan model tembak, listrik atau pancung.
Jadi hukuman pancung itu primitif atau tidak, sebenarnya tidak perlu dipersoalkan lagi, karena di dalam Islam mengenai teknik eksekusi hukuman mati diserahkan kepada budaya setempat. Yang penting, hukuman mati bagi yang membunuh tersebut dilaksanakan dengan yang terbaik dalam pembunuhan. Sebagaimana hadist Rosulullah SAW,
“Jika kalian berkehendak mengadakan eksekusi mati, lakukanlah yang terbaik.” (HR. Muslim)([8])
Batasan, Prosedur dan Fleksibilitas Hukuman Mati
Sebenarnya hukuman mati hanya diberlakukan pada orang yang membunuh secara sengaja. Adapun pembunuhan yang tidak sengaja, bisa karena salah atau lalai, maka hukuman mati tidak berlaku atasnya. Namun dia harus membayar diyat (kompensasi) sebagai balasan atas kecerobohannya.
Seseorang itu dianggap membunuh secara sengaja kalau dia:
§ Mengakui pembunuhannya
§ Ada dua orang saksi yang menyaksikan pembunuhan itu
Dari sini maka sebenarnya sangatlah prodedural sekali hakim pidana Islam itu.
Sebenarnya kalau kita kaji di dalam hukuman qishash ada peluang-peluang yang bisa menggugurkannya, dengan catatan peluang-peluang tersebut sebagai rahmat dari Allah SWT.Di samping peluang untuk digugurkannya, juga ada hal-hal yang sangat manusiawi dalam hukum qishash itu, yaitu :
1. Hukum qishash tidak akan terjadi kalau tidak sesuai dengan prosedur, yaitu pengakuan dan saksi, artinya kalau tidak ada pengakuan dan tidak ada 2 orang sebagai saksi maka qishash tidak berlaku.
2. Di dalam yurisprudensi (fiqh) Islam dianjurkan supaya tidak menyegerakan eksekusi mati, karena bisa diharapkan untuk mencari bukti-bukti atau peluang yang bisa membatalkan eksekusi itu. Karena ada kaidah fiqh yang mengatakan :
”Sesungguhnya Imam (penguasa) yang salah dalam memberikan ampunan itu lebih baik daripada salah dalam memberikan sanksi.”
3. Dengan adanya penundaan eksekusi tersebut bisa diharapkan ada lobi/ musyawarah dengan keluarga yang dibunuh. Karena hanya merekalah yang mampu menggagalkan eksekusi tersebut. Sebab dengan maafnya ahli waris yang ditinggalkan (akibat dibunuh) eksekusi tidak bisa dilaksanakan (QS. Al-Maidah : 45) atau diganti dengan diyat (denda) pada ahli waris (QS. Al-Baqarah : 178)
4. Eksekusi harus dengan alat yang membuat terdakwa tidak merasakan sakit yang lama, sebagaimana perintah Rasulullah SAW,
“Bunuhlah mereka dengan cara yang terbaik !” (HR. Muslim)
Khotimah
Dari uraian di atas dapat dilihat betapa besarnya Agama Islam, karena dengan begitu rapi dan sistemik mampu menjelaskan hukum pidana semenjak abad ke-7 M. Dan itu tidak dilihat pada ideologi lain yang baru kuat dan mencul pada abad ke M, demikian pula pada agama-agama lain.
Oleh karena itu, suatu hal yang mengherankan kalau ada orang atau sekelompok golongan yang mengkritik hukum pidana Islam sebagai hukum yang tidak manusiawi. Kiranya, mereka tidak akan mengkritik sedemikian itu ketika pembunuhan itu terjadi pada keluarga mereka bahkan mungkin mereka lebih emosional dalam menghadapi pembunuhan keluarganya itu.
Namun demikian, kita janganlah terbuai dengan indahnya sebuah ajaran tanpa melaksanakannya. Dan hukum pidana ini kayaknya mungkin masih bersifat hidden transcription ada di otak manusia-manusia beriman saja, selama sistem tidak memberikan otoritas umtuk pelaksanaannya.
Wa Allahu A’lamu bi Ash-Showaab
[1] Ramadhan Al-Baughty, Fiqh As-Sirah, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 1979, hal. 439
[2] Abdul Wahab Al-Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dar Al-Qalam, Kairo, 1978, hal. 200
[3] Abd. Ahmad An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, LKIS, Yogyakarta, hal. 199. Selanjutnya disebut An-Na’im
[4] Abd. Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ Al-Jinay Al-Islamy, Maktabah Dar Al-‘Arubah, Mesir, 1963, jilid III, hal. 344. Selanjutnya disebut ‘Audah
[5] Abd. Rahman Al-Maliky, Nizham Al-Uqubath, Dar Al-Ummah, Libanon, 1990, hal. 23. Selanjutnya disebut Al-Maliky
[6] An-Na’im, loc. cit., Jilid II, hal. 26
[7] Al-Maliky, op. cit., hal. 20
[8] Al-Maliky, op. cit., hal. 109
paulusjancok- BLUE MEMBERS
-
Number of posts : 809
Age : 36
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6488
Registration date : 2011-08-12
Re: hukum pancung dalam perspektif islam
klo zaman dulu hukuman begitu mungkin masih bisa brur.tapi dizaman sekarang dimana pikiran dan hati nurani manusia sudah semakin baik...hukuman seperti itu sangat tidak relevan lagi..
hukuman tsb..dulu berlaku bukan hanya dinegara2x islam saja dinegara2x barat juga banyak
klo sekarang kan lambat namun pasti hukuman tsb tidak dipakai lagi,klo mereka bisa kenapa negara2x arab (islam)gak bisa?...
hukuman tsb..dulu berlaku bukan hanya dinegara2x islam saja dinegara2x barat juga banyak
klo sekarang kan lambat namun pasti hukuman tsb tidak dipakai lagi,klo mereka bisa kenapa negara2x arab (islam)gak bisa?...
liga21- BLUE MEMBERS
- Number of posts : 454
Reputation : 0
Points : 5053
Registration date : 2011-11-12
Re: hukum pancung dalam perspektif islam
liga21 wrote:klo zaman dulu hukuman begitu mungkin masih bisa brur.tapi dizaman sekarang dimana pikiran dan hati nurani manusia sudah semakin baik...hukuman seperti itu sangat tidak relevan lagi..
hukuman tsb..dulu berlaku bukan hanya dinegara2x islam saja dinegara2x barat juga banyak
klo sekarang kan lambat namun pasti hukuman tsb tidak dipakai lagi,klo mereka bisa kenapa negara2x arab (islam)gak bisa?...
karena negara arab KONSISTEN menjaga HUKUM ALLAH, sebagaimana Yesus KONSISTEN Menjaga hukum Taurat.....demokrasi karangan manusialah yang mengacaukannya..........
paulusjancok- BLUE MEMBERS
-
Number of posts : 809
Age : 36
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6488
Registration date : 2011-08-12
Re: hukum pancung dalam perspektif islam
malahan hukuman mati dan pancung didepan umum lebih cocok untuk zaman sekarang........
hidup HUKUMAN PANCUNG......!!!!
raymondantes- BLUE MEMBERS
-
Number of posts : 723
Reputation : 3
Points : 5437
Registration date : 2011-10-06
Re: hukum pancung dalam perspektif islam
ASTAGA...!.,rupanya kalian sangat2x setuju dengan hukuman ala islam warisan zaman dulu itu..!
padahal para TKW tsb adalah juga saudara2x kalian,dan beragama islam juga??
dimana hati nurani kalian..?
bagaimana jika korban hukum pancung itu saudara kandung loe sendiri,ibu adik,kakak loe..!?????...apa loe menerima dengan iklas??? (jawaban jujur yha??)
klo menurut gw brur para tkw tsb,masih punya otak dari pada kalian
gak mungkin mereka mau coba2x maen bunuh orang jika tidak terpepet..!
apalagi wanita..!..jauh untuk bisa melakukan pembunuhan,kecuali terpaksa..!
apa kalian gak sadar bahwa tkw disana dianiaya,diperkosa..?
karena ajaran salah muhamad lah semua itu terjadi....!
kacau juga jalan pikiran kalian yha....????!
kalian boleh bebas membunuh...dengan alasan itu ajaran islam,ajaran nabi,perinta dari tuhan..!
begitu kafir melakukan hal sama(ambil contoh israel) kalian treak-treak..menuntut,kalian bilang binatang dll.........waduhhhh gila bener kalian yha....????
padahal para TKW tsb adalah juga saudara2x kalian,dan beragama islam juga??
dimana hati nurani kalian..?
bagaimana jika korban hukum pancung itu saudara kandung loe sendiri,ibu adik,kakak loe..!?????...apa loe menerima dengan iklas??? (jawaban jujur yha??)
klo menurut gw brur para tkw tsb,masih punya otak dari pada kalian
gak mungkin mereka mau coba2x maen bunuh orang jika tidak terpepet..!
apalagi wanita..!..jauh untuk bisa melakukan pembunuhan,kecuali terpaksa..!
apa kalian gak sadar bahwa tkw disana dianiaya,diperkosa..?
karena ajaran salah muhamad lah semua itu terjadi....!
kacau juga jalan pikiran kalian yha....????!
kalian boleh bebas membunuh...dengan alasan itu ajaran islam,ajaran nabi,perinta dari tuhan..!
begitu kafir melakukan hal sama(ambil contoh israel) kalian treak-treak..menuntut,kalian bilang binatang dll.........waduhhhh gila bener kalian yha....????
liga21- BLUE MEMBERS
- Number of posts : 454
Reputation : 0
Points : 5053
Registration date : 2011-11-12
Re: hukum pancung dalam perspektif islam
liga21 wrote:ASTAGA...!.,rupanya kalian sangat2x setuju dengan hukuman ala islam warisan zaman dulu itu..!
padahal para TKW tsb adalah juga saudara2x kalian,dan beragama islam juga??
dimana hati nurani kalian..?
bagaimana jika korban hukum pancung itu saudara kandung loe sendiri,ibu adik,kakak loe..!?????...apa loe menerima dengan iklas??? (jawaban jujur yha??)
klo menurut gw brur para tkw tsb,masih punya otak dari pada kalian
gak mungkin mereka mau coba2x maen bunuh orang jika tidak terpepet..!
apalagi wanita..!..jauh untuk bisa melakukan pembunuhan,kecuali terpaksa..!
apa kalian gak sadar bahwa tkw disana dianiaya,diperkosa..?
karena ajaran salah muhamad lah semua itu terjadi....!
kacau juga jalan pikiran kalian yha....????!
kalian boleh bebas membunuh...dengan alasan itu ajaran islam,ajaran nabi,perinta dari tuhan..!
begitu kafir melakukan hal sama(ambil contoh israel) kalian treak-treak..menuntut,kalian bilang binatang dll.........waduhhhh gila bener kalian yha....????
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pelanggaran itu dikategorikan pada : hudud, jinayat dan ta’zir. Namun karena waktu yang sempit dan juga untuk memenuhi target topik pembahasan, maka penulis hanya akan mengemukakan mengenai kasus pelanggaran jinayat saja.
Pembunuhan dan melukai anggota badan disebut-sebut di dalam sejumlah teks Al-Qur’an dan Sunnah. Sehubungan dengan sifat yuridis pelanggaran-pelanggaran itu kita hanya mempunyai kutipan Al-Qur’an pada surat 2 : 178 dan 5 : 45 untuk mengilustrasikan tentang jinayat. Ayat-ayat itu dapat diterjemahkan sebagai berikut :
“Wahai orang-orang yang beriman ! Telah diwajibkan kepadamu hukum qishash dalam pembunuhan; yang merdeka dengan yang merdeka, budak dengan budak, perempuan dengan perempuan. Tetapi bila kepadanya ada pemaafan dari pihak saudara yang terbunuh, penuhilah permintaannya dengan baik dan bayarlah ganti rugi kepadanya dengan cara yang baik pula. Inilah keringanan dan rahmat dari Tuhan-mu. Barangsiapa melakukan pelanggaran setelah itu maka baginya adzab yang berat.”
“Di dalamnya kami tentukan kepada mereka : nyawa dibayar nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, fifi dengan gigi dan luka ada qishash-nya. Tetapi barangsiapa melepaskan hak pembalasannya sebagai sedekah, maka itu penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang dlalim.”
Dari ayat-ayat di atas sangat jelas bahwa berlaku hukum qishash (setimpal) bagi pelanggaran pembunuhan atau melukai anggota tubuh. Dan dari penjelasan mengenai fungsi diberlakukannya hukum pidana, maka demikian pula bagi hukum qishash; justru dengan adanya qishash tersebut, hak asasi manusia untuk hidup terlindungi.
Pengkritik-pengkritik terhadap hukum qishash, mereka hanya melihat skup yang kecil yaitu hukuman mati. Mereka tidak melihat pasca pelaksanaan hukuman itu. Jika ditilik dari kemaslahatan masyarakat secara umum- sebab Islam diturunkan bukan untuk individu-individu, namun untuk seluruh manusia secara keseluruhan- coba dibayangkan seandainya ada seorang bapak pada keluarga kecil dibunuh, maka siapa yang akan menanggung anak-anaknya itu. Misalnya dalam kasus Udin (wartawan Bernas yang dibunuh), Masa depan keluarga itu ada dipundak bapak (selaku kepala rumah tangga). Dan dengan diberlakukannya hukum qishash, yakni mati bagi yang membunuh, maka diharapkan supaya tidak terjadi pembunuhan lagi. Itulah yang dimaksud – hayaatun- : kehidupan dalam ayat di atas, yaitu kehidupan pada masyarakat karena tidak terjadi pembunuhan-pembunuhan lagi.
Adapun teknik eksekusi hukuman mati bagi yang membunuh tidak ada penjelasan pada nash-nash syar’iy, artinya itu diserahkan kepada manusia dan lingkungan (budaya). Bisa saja eksekusi dilakukan dengan model tembak, listrik atau pancung.
Jadi hukuman pancung itu primitif atau tidak, sebenarnya tidak perlu dipersoalkan lagi, karena di dalam Islam mengenai teknik eksekusi hukuman mati diserahkan kepada budaya setempat. Yang penting, hukuman mati bagi yang membunuh tersebut dilaksanakan dengan yang terbaik dalam pembunuhan. Sebagaimana hadist Rosulullah SAW,
“Jika kalian berkehendak mengadakan eksekusi mati, lakukanlah yang terbaik.” (HR. Muslim)([8])
paulusjancok- BLUE MEMBERS
-
Number of posts : 809
Age : 36
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6488
Registration date : 2011-08-12
Similar topics
» HUKUM dalam ISLAM ibarat Hukum Rimba
» hukum poligami dalam islam
» hukum rajam islam biadab dalam gambar
» hukum poligami dalam islam
» hukum rajam islam biadab dalam gambar
Page 1 of 1
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum
Fri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam
» kenapa muhammad suka makan babi????
Wed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal
» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
Fri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya
» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
Tue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar
» Moon Split or Islamic Hoax?
Wed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin
» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
Wed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin
» Who Taught Allah Math?
Wed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin
» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
Wed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam
» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
Sun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN