Similar topics
Latest topics
Most Viewed Topics
Most active topic starters
kuku bima | ||||
admin | ||||
kermit katak lucu | ||||
hamba tuhan | ||||
feifei_fairy | ||||
paulusjancok | ||||
agus | ||||
gusti_bara | ||||
Muslim binti Muskitawati | ||||
Bejat |
Most active topics
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia Menyongsong Punahnya Islam
Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
Who is online?
In total there are 30 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 30 Guests :: 1 BotNone
Most users ever online was 412 on Tue 29 Oct 2024, 11:45 pm
Social bookmarking
Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website
Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website
Tuhannya Umat Kepercayaan
Page 1 of 1
Tuhannya Umat Kepercayaan
eorang ulama yang sangat fanatik pada akidah yang dianutnya marah besar ketika membaca bagian sebuah buku yang memuat pandangan bahwa Tuhan adalah satu, tetapi disebut dengan banyak nama, seperti Yahweh, God, Allah, Brahman, dan Tao, dan disembah dengan banyak cara. Ulama itu marah besar karena pandangan pluralis ini merusak akidah Islam dan dengan demikian berbahaya bagi umat Islam di Indonesia, apalagi paham ini mulai digandrungi banyak kawula muda Muslim. Baginya, paham ini adalah pelecehan terhadap Islam karena ditujukan dan disebarkan kepada khalayak umum di Indonesia, yang mayoritas adalah umat Islam. Karena itu, menurut dia, paham yang dianggapnya sesat ini tidak boleh dibiarkan berkembang.
Bagi sang ulama, Allah adalah satu-satunya Tuhan yang sebenarnya; Yahweh, Brahman, dan Tao bukanlah Tuhan yang sebenarnya, tetapi adalah Tuhan palsu, Tuhan buatan manusia. Baginya, Tuhan yang dipercayai dan disembah oleh umat Islam berbeda dengan Tuhan yang dipercayai dan disembah oleh umat Yahudi, Tuhan yang dipercayai dan disembah oleh umat Kristen, Tuhan yang dipercayai dan disembah oleh umat Hindu, dan Tuhan yang dipercayai dan ditaati oleh umat Taois. Bagi sang ulama, Tuhan yang sebenarnya adalah Tuhan dalam kepercayaannya. Ia menyalahkan kepercayaan orang lain yang berbeda dengan kepercayaannya, bukan hanya orang lain yang berbeda agama dengan dia, tetapi juga orang lain yang seagama dengan dia. Ia mengangap orang lain yang berbeda aliran, paham, atau mazhab teologi dengan dia sebagai orang yang sesat. Dengan demikian, ia sebenarnya telah memutlakkan, atau “menuhankan,” aliran, paham, atau mazhabnya sendiri.
Ibn al-`Arabi (560-638/1165-1240), salah seorang Sufi terbesar sepanjang masa, mengkritik orang yang memutlakkan, atau “menuhankan,” kepercayaannya kepada Tuhan, yang menganggap kepercayaannya itu sebagai satu-satunya yang benar dan menyalahkan kepercayaan orang lain. Orang seperti itu memandang bahwa Tuhan yang dipercayainya adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan yang dipercayai oleh orang lain yang dianggapnya salah. Ibn al-`Arabi menyebut Tuhan yang dipercayai oleh manusia “Tuhan kepercayaan” (ilâh al-mu`taqad), “Tuhan yang dipercayai” (al-ilâh al-mu`taqad), “Tuhan dalam kepercayaan” (al-ilâh fî al-i`tiqâd), “Tuhan yang dalam kepercayaan” (al-haqq alladzî fî al-i`tiqâd), dan “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan” (al-haqq al-makhlûq fî al-i`tiqâd). Kata i`tiqâd dan mu`taqad, yang dalam tulisan ini diterjemahkan dengan “kepercayaan,” secara harfiah berarti “menjadi terikat atau tersusun dengan kuat.” Maka i`tiqâd, atau mu`taqad, “kepercayaan,” adalah suatu “ikatan” yang diikat dengan kuat dalam kalbu atau pikiran, yaitu sebuah keyakinan bahwa sesuatu adalah benar. Bagi Ibn al-`Arabi, “kepercayaan” adalah sebuah (peng)ikatan dan (pem)batasan Wujud Yang Tidak Terbatas, Wujud Mutlak, yang dilakukan oleh dan berlangsung dalam subyek manusiawi.
“Tuhan kepercayaan” adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada Diri-Nya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai dengan kemampuan, pengetahuan, penangkapan, dan persepsinya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang “ditempatkan” oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, atau gagasannya dan “diikat”-nya dengan dan dalam kepercayaannya. “Bentuk,” “gambar,” atau “wajah” Tuhan seperti itu ditentukan dan diwarnai oleh pengetahuan, penangkapan, dan persepsi manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Yang diketahui diwarnai oleh yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan al-Junaid, seorang Sufi terkemuka, Ibn al-`Arabi berkata: “Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya” (Lawn al-mâ’ lawn inâ’ihi). Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadis qudsi berkata: “Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku” (Anâ `inda zhanni `abdî bî). Tuhan disangka oleh manusia, bukan diketahuinya. Dengan kata lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan tidak diketahuai dan tidak dapat diketahui.
Menarik untuk memperhatikan lanjutan firman Tuhan dalam hadis qudsi tadi, yaitu: “Maka hendaklah ia [sang hamba] bersangka baik tentang Aku” (Fal-yazhunn bî khayran). Tuhan menyuruh agar kita bersangka baik tentang Dia. Meskipun ditimpa musibah, kita harus tetap bersangka baik tentang Dia. Kita harus menjadikan sangkaan kita sebagai pengetahuan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Penolong, dan Maha Pengampun. Kita tidak boleh bersangka bahwa Tuhan adalah “pengawas yang selalu mencari kesalahan,” “petugas keamanan yang kasar dan galak,” atau “tuan besar yang bengis.” Kita tidak boleh menganggap bawa Tuhan tidak adil, tidak cinta, dan tidak sayang kepada kita. Sangkaan baik tentang Tuhan mendorong kita untuk mendekati dan mencintai-Nya agar kita mendapatkan rahmat-Nya. Nabi SAW berkata: “Rahmat Allah mendahului (mengalahkan) murka-Nya.” Sangkaan buruk tentang Tuhan membuat kita jauh dari-Nya, menyalahkan-Nya, dan akhirnya putus asa. Tuhan tidak menyukai orang-orang yang berputus asa.
Kritik Ibn al-`Arabi terhadap orang yang memutlakkan Tuhan dalam kepercayaannya, Tuhan yang diciptakannya dalam kepercayaannya, mengingatkan kita kepada kritik Xenophanes (kira-kira 570-480 SM), seorang filsuf Yunani, terhadap antropofisme Tuhan atau tuhan-tuhan. Filsuf dari Kolophon, Asia Kecil, ini berkata: “Seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia, tentu kuda akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai kuda, sapi akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan seperti terdapat dalam diri mereka sendiri. Orang Etiopia mempunyai tuhan-tuhan hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang Trasia mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan berambut merah.”
Teori Ibn al-`Arabi tentang “Tuhan kepercayaan” didasarkan pula kepada sebuah hadis Nabi SAW tentang penampakan Diri Tuhan (tajallî al-haqq) pada hari kiamat. Nabi meceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan Diri-Nya kepada umat manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan ditolak oleh setiap orang yang tidak mengenalnya dan diterima oleh setiap orang yang mengenalnya. Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa tidak satu pun di antara bentuk-bentuk itu yang merupakan Tuhan yang sebenarnya, dan akan menyadari pula bahwa sebenarnya Tuhan yang menampakkan Diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu dan sama; itu juga, tidak lain.
Pandangan Ibn al-`Arabi ini sesuai dengan larangan Nabi SAW agar para sahabatnya tidak menyalahkan seorang awam yang pernah mengatakan kepada beliau di hadapan mereka bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Para sahabat mempersoalkan kepercayaan orang awam itu karena Tuhan dalam kepercayaan orang itu “berada di langit, nun jauh di atas,” sedangkan Tuhan yang sebenarnya berada di mana saja, tidak terikat oleh ruang dan waktu, tidak berbentuk. Tetapi Nabi SAW memandang bahwa “sangkaan” orang awam itu tentang Tuhan sudah memadai baginya. Bukankah Nabi SAW sendiri pernah berkata, “Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya kamu akan dikasihi oleh siapa yang di langit” (Irhamû man fî al-ardh, yarham-kum man fî al-samâ’)? Yang dimaksud dengan “siapa yang di langit” dalam hadis ini adalah Tuhan. Tuhan berada di langit. Dengan alasan ini, dapat dikatakan bahwa Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah “Tuhan Langit” (“the Sky God”), “Tuhan Surgawi” [karena surga berada di langit] (“the Heavenly God”), atau “Wujud Tertinggi Samawi” (“the Celestial Supreme Being”). Langit adalah simbol ketinggian, keagungan, keindahan, dan keabadian. Karena itu, langit dijadikan simbol Tuhan. Simbol bukan menunjukkan dirinya sendiri, tetapi menunjukkan sesuatu yang lain di luar dirinya. Simbol Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi menunjukkan Tuhan.
Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah seorang “laki-laki,” atau, lebih tepatnya, disimbolkan dengan seorang “laki-laki.” Tuhan dalam kepercayaan Islam, sebagaimana Tuhan dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah Huwa (“He”), bukan Hiya (“She”). Tuhan dalam kepercayaan Islam selalu diungkapkan dengan kata-kata maskulin. Pandangan yang menekankan aspek maskulin Tuhan atau memahami Tuhan sebagai “Tuhan Laki-laki” seperti ini ditentang oleh teologi feminis radikal yang menekankan aspek feminin Tuhan atau memandang-Nya sebagai “Tuhan Perempuan.” Tuhan dalam kepercayaan Islam, karena merupakan Huwa (“He”), sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah seorang “person,” seorang “pribadi.” Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa Tuhan dalam agama-agama monoteistik atau teistik, termasuk Islam, adalah “personal,” “berpribadi.” Tuhan dalam arti ini bukan “impersonal,” bukan “tak-berpribadi,” dan, karena itu, Dia bukan “Itu” (“It”).
Sekali lagi, semua deskripsi dan ungkapan ini adalah simbol (yang menunjukkan) Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan kaum politeis terletak pada penuhanan mereka akan simbol-simbol, seperti langit, matahari, bulan, dan bumi. Kaum politeis tidak tidak lagi sepenuhnya bertuhan kepada Tuhan, tetapi telah bertuhan kepada simbol-simbol.
Di mata Ibn al-`Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan lain kepada Tuhan adalah orang yang bodoh karena Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannnya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya karena Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal Tuhan yang menampakkan Diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berbeda itu adalah satu dan sama. Kritik Ibn al-`Arabi ini, jika harus konsisten, tertuju kepada setiap orang yang mencela kepercayaan-kepercayaan lain kepada Tuhan yang berbeda dengan kepercayaannya, baik dalam lingkungan orang-orang yang seagama dengannya maupun dalam lingkungan orang-orang yang berbeda agama. Ulama yang disebutkan di awal tulisan ini tampaknya termasuk orang yang menjadi sasaran kritik Ibn al-`Arabi karena ia menyalahkan dan mencela kepercayaan-kepercayaan lain kepada Tuhan yang berbeda dengan kepercayaannya sendiri. Ulama itu, seperti dikatakan di atas, sebenarnya telah memutlakkan dan “menuhankan” kepercayaannya sendiri, alirannya sendiri, atau mazhabnya sendiri. Ia sebenarnya telah membatasi Tuhan Yang Tidak Terbatas dalan kepercayaannya yang terbatas.
Ibn al-`Arabi memperingatkan kita sebagai berikut: “Maka berhati-hatilah agar Anda tidak mnengikatkan diri kepada ikatan (`aqd) [yaitu kepercayaan, doktrin, dogma, atau ajaran] tertentu dan mengingkari ikatan lain yang mana pun, karena dengan demikian itu Anda akan kehilangan kebaikan yang banyak; sebenarnya Anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu yang sebenarnya. Karena itu, hendaklah Anda menerima sepenuhnya semua bentuk kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta`âlâ terlalu luas dan terlalu besar untuk dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain. Allah berkata: ‘Kemana pun kamu berpaling, di situ ada wajah Tuhan’ [Q 2:115), tanpa menyebutkan arah tetentu mana pun.”
Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut Sufi dari Andalusia ini, adalah pengetahuan yang tidak terikat oleh bentuk kepercayaan atau agama tertentu. Inilah pengetahuan yang dimiliki oleh “para gnostik” (al-`ârifûn). Karena itu, para gnostik, yaitu para Sufi, tidak pernah menolak Tuhan dalam kepercayaan, sekte, aliran, atau agama apa pun. Ini berarti bahwa bagi para Sufi, Tuhan dalam semua kepercayaan, sekte, aliran, atau agama, adalah satu dan sama. Kata Ibn al-`Arabi, “Barangsiapa yang membebaskan-Nya [yaitu Tuhan] dari pembatasan tidak akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah Diri-Nya.”
Menurut Ibn al-`Arabi, pengetahuan tentang Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada Diri-Nya, Zat Tuhan, harus diperoleh dengan “peniadaan pengetahuan.” Ini berarti mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya; pengetahuan positif tentang Tuhan adalah mustahil. Sufi ini berkata: “Orang yang tidak mempunyai pengetahuan membayangkan bahwa ia mengetahui Tuhan, itu tidak betul,” karena “pengetahuan kita tentang Tuhan adalah mustahil.” “Orang yang mengetahui Tuhan tidak melampaui batas tingkatnya sendiri. Ia mengetahui apa yang dia ketahui bahwa ia adalah salah seorang di antara orang-orang yang tidak mengetahui.” Cara “mengetahi Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya” disebut “teologi apofatik.” Dalam tradisi Kristen, teologi apofatik dianut oleh Dionysius orang Areopagus (St. Denis) dan mistikus yang menulis The Cloud of Unknowing, misalnya. Menurut teologi ini, Tuhan tidak dapat diketahui dan tidak dapat dipikirkan, tetapi dapat dicintai. Teologi apofatik yang lebih tua dapat dtemukan dalam Upanisad. Suatu bagian Kitab Suci Hindu ini berbunyi: “Orang yang dengan benar mengetahui Brahman adalah orang yang mengetahui-Nya di luar pengetahuan; orang yang mengira bahwa ia mengetahui[-Nya], tidak mengetahui. Orang bodoh mengira bahwa Brahman diketahui, tetapi orang bijak mengetahui-Nya di seberang pengetahuan” (Kena) Ini berarti bahwa pengetahuan yang benar tentang Tuhan adalah pengetahuan negatif: “mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya.”
Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakar RA, Ibn al-`Arabi berkata: “Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah persepsi” [“Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan”] (Al-`ajzu `an dark al-idrâk idrâk). Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang tidak dapat diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia tidak dapat mengetahui adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak. Orang yang menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah orang yang tidak mengetahui-Nya; itulah orang yang bodoh. Bukankah Tuhan telah berfirman, “Penglihatan tidak dapat menangkap-Nya [yaitu Tuhan], tetapi Dia menangkap semua penglihatan” (Q 6:103)?
“Tuhan kepercayaan,” seperti dikatakan di atas, adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia. Orang yang memandang bahwa dengan nalarnya ia mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Tuhan adalah orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus menurut pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak dapat dibatasi. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokkan dengan “kotak” akalnya. Orang seperti ini menolak bentuk Tuhan yang tidak cocok dengan bentuk dan ukuran “kotak” akalnya. Ia menyalahkan orang lain yang mempercayai Tuhan dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apa pun sebagai kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn al-`Arabi, adalah “hamba nalar” (`abd nazhar), bukan “hamba Rabb” (`abd rabb).
Dr. Kautsar Azhari Noer. Pengajar pada program Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Bagi sang ulama, Allah adalah satu-satunya Tuhan yang sebenarnya; Yahweh, Brahman, dan Tao bukanlah Tuhan yang sebenarnya, tetapi adalah Tuhan palsu, Tuhan buatan manusia. Baginya, Tuhan yang dipercayai dan disembah oleh umat Islam berbeda dengan Tuhan yang dipercayai dan disembah oleh umat Yahudi, Tuhan yang dipercayai dan disembah oleh umat Kristen, Tuhan yang dipercayai dan disembah oleh umat Hindu, dan Tuhan yang dipercayai dan ditaati oleh umat Taois. Bagi sang ulama, Tuhan yang sebenarnya adalah Tuhan dalam kepercayaannya. Ia menyalahkan kepercayaan orang lain yang berbeda dengan kepercayaannya, bukan hanya orang lain yang berbeda agama dengan dia, tetapi juga orang lain yang seagama dengan dia. Ia mengangap orang lain yang berbeda aliran, paham, atau mazhab teologi dengan dia sebagai orang yang sesat. Dengan demikian, ia sebenarnya telah memutlakkan, atau “menuhankan,” aliran, paham, atau mazhabnya sendiri.
Ibn al-`Arabi (560-638/1165-1240), salah seorang Sufi terbesar sepanjang masa, mengkritik orang yang memutlakkan, atau “menuhankan,” kepercayaannya kepada Tuhan, yang menganggap kepercayaannya itu sebagai satu-satunya yang benar dan menyalahkan kepercayaan orang lain. Orang seperti itu memandang bahwa Tuhan yang dipercayainya adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan yang dipercayai oleh orang lain yang dianggapnya salah. Ibn al-`Arabi menyebut Tuhan yang dipercayai oleh manusia “Tuhan kepercayaan” (ilâh al-mu`taqad), “Tuhan yang dipercayai” (al-ilâh al-mu`taqad), “Tuhan dalam kepercayaan” (al-ilâh fî al-i`tiqâd), “Tuhan yang dalam kepercayaan” (al-haqq alladzî fî al-i`tiqâd), dan “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan” (al-haqq al-makhlûq fî al-i`tiqâd). Kata i`tiqâd dan mu`taqad, yang dalam tulisan ini diterjemahkan dengan “kepercayaan,” secara harfiah berarti “menjadi terikat atau tersusun dengan kuat.” Maka i`tiqâd, atau mu`taqad, “kepercayaan,” adalah suatu “ikatan” yang diikat dengan kuat dalam kalbu atau pikiran, yaitu sebuah keyakinan bahwa sesuatu adalah benar. Bagi Ibn al-`Arabi, “kepercayaan” adalah sebuah (peng)ikatan dan (pem)batasan Wujud Yang Tidak Terbatas, Wujud Mutlak, yang dilakukan oleh dan berlangsung dalam subyek manusiawi.
“Tuhan kepercayaan” adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada Diri-Nya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai dengan kemampuan, pengetahuan, penangkapan, dan persepsinya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang “ditempatkan” oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, atau gagasannya dan “diikat”-nya dengan dan dalam kepercayaannya. “Bentuk,” “gambar,” atau “wajah” Tuhan seperti itu ditentukan dan diwarnai oleh pengetahuan, penangkapan, dan persepsi manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Yang diketahui diwarnai oleh yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan al-Junaid, seorang Sufi terkemuka, Ibn al-`Arabi berkata: “Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya” (Lawn al-mâ’ lawn inâ’ihi). Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadis qudsi berkata: “Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku” (Anâ `inda zhanni `abdî bî). Tuhan disangka oleh manusia, bukan diketahuinya. Dengan kata lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan tidak diketahuai dan tidak dapat diketahui.
Menarik untuk memperhatikan lanjutan firman Tuhan dalam hadis qudsi tadi, yaitu: “Maka hendaklah ia [sang hamba] bersangka baik tentang Aku” (Fal-yazhunn bî khayran). Tuhan menyuruh agar kita bersangka baik tentang Dia. Meskipun ditimpa musibah, kita harus tetap bersangka baik tentang Dia. Kita harus menjadikan sangkaan kita sebagai pengetahuan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Penolong, dan Maha Pengampun. Kita tidak boleh bersangka bahwa Tuhan adalah “pengawas yang selalu mencari kesalahan,” “petugas keamanan yang kasar dan galak,” atau “tuan besar yang bengis.” Kita tidak boleh menganggap bawa Tuhan tidak adil, tidak cinta, dan tidak sayang kepada kita. Sangkaan baik tentang Tuhan mendorong kita untuk mendekati dan mencintai-Nya agar kita mendapatkan rahmat-Nya. Nabi SAW berkata: “Rahmat Allah mendahului (mengalahkan) murka-Nya.” Sangkaan buruk tentang Tuhan membuat kita jauh dari-Nya, menyalahkan-Nya, dan akhirnya putus asa. Tuhan tidak menyukai orang-orang yang berputus asa.
Kritik Ibn al-`Arabi terhadap orang yang memutlakkan Tuhan dalam kepercayaannya, Tuhan yang diciptakannya dalam kepercayaannya, mengingatkan kita kepada kritik Xenophanes (kira-kira 570-480 SM), seorang filsuf Yunani, terhadap antropofisme Tuhan atau tuhan-tuhan. Filsuf dari Kolophon, Asia Kecil, ini berkata: “Seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia, tentu kuda akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai kuda, sapi akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan seperti terdapat dalam diri mereka sendiri. Orang Etiopia mempunyai tuhan-tuhan hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang Trasia mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan berambut merah.”
Teori Ibn al-`Arabi tentang “Tuhan kepercayaan” didasarkan pula kepada sebuah hadis Nabi SAW tentang penampakan Diri Tuhan (tajallî al-haqq) pada hari kiamat. Nabi meceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan Diri-Nya kepada umat manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan ditolak oleh setiap orang yang tidak mengenalnya dan diterima oleh setiap orang yang mengenalnya. Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa tidak satu pun di antara bentuk-bentuk itu yang merupakan Tuhan yang sebenarnya, dan akan menyadari pula bahwa sebenarnya Tuhan yang menampakkan Diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu dan sama; itu juga, tidak lain.
Pandangan Ibn al-`Arabi ini sesuai dengan larangan Nabi SAW agar para sahabatnya tidak menyalahkan seorang awam yang pernah mengatakan kepada beliau di hadapan mereka bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Para sahabat mempersoalkan kepercayaan orang awam itu karena Tuhan dalam kepercayaan orang itu “berada di langit, nun jauh di atas,” sedangkan Tuhan yang sebenarnya berada di mana saja, tidak terikat oleh ruang dan waktu, tidak berbentuk. Tetapi Nabi SAW memandang bahwa “sangkaan” orang awam itu tentang Tuhan sudah memadai baginya. Bukankah Nabi SAW sendiri pernah berkata, “Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya kamu akan dikasihi oleh siapa yang di langit” (Irhamû man fî al-ardh, yarham-kum man fî al-samâ’)? Yang dimaksud dengan “siapa yang di langit” dalam hadis ini adalah Tuhan. Tuhan berada di langit. Dengan alasan ini, dapat dikatakan bahwa Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah “Tuhan Langit” (“the Sky God”), “Tuhan Surgawi” [karena surga berada di langit] (“the Heavenly God”), atau “Wujud Tertinggi Samawi” (“the Celestial Supreme Being”). Langit adalah simbol ketinggian, keagungan, keindahan, dan keabadian. Karena itu, langit dijadikan simbol Tuhan. Simbol bukan menunjukkan dirinya sendiri, tetapi menunjukkan sesuatu yang lain di luar dirinya. Simbol Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi menunjukkan Tuhan.
Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah seorang “laki-laki,” atau, lebih tepatnya, disimbolkan dengan seorang “laki-laki.” Tuhan dalam kepercayaan Islam, sebagaimana Tuhan dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah Huwa (“He”), bukan Hiya (“She”). Tuhan dalam kepercayaan Islam selalu diungkapkan dengan kata-kata maskulin. Pandangan yang menekankan aspek maskulin Tuhan atau memahami Tuhan sebagai “Tuhan Laki-laki” seperti ini ditentang oleh teologi feminis radikal yang menekankan aspek feminin Tuhan atau memandang-Nya sebagai “Tuhan Perempuan.” Tuhan dalam kepercayaan Islam, karena merupakan Huwa (“He”), sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah seorang “person,” seorang “pribadi.” Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa Tuhan dalam agama-agama monoteistik atau teistik, termasuk Islam, adalah “personal,” “berpribadi.” Tuhan dalam arti ini bukan “impersonal,” bukan “tak-berpribadi,” dan, karena itu, Dia bukan “Itu” (“It”).
Sekali lagi, semua deskripsi dan ungkapan ini adalah simbol (yang menunjukkan) Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan kaum politeis terletak pada penuhanan mereka akan simbol-simbol, seperti langit, matahari, bulan, dan bumi. Kaum politeis tidak tidak lagi sepenuhnya bertuhan kepada Tuhan, tetapi telah bertuhan kepada simbol-simbol.
Di mata Ibn al-`Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan lain kepada Tuhan adalah orang yang bodoh karena Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannnya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya karena Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal Tuhan yang menampakkan Diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berbeda itu adalah satu dan sama. Kritik Ibn al-`Arabi ini, jika harus konsisten, tertuju kepada setiap orang yang mencela kepercayaan-kepercayaan lain kepada Tuhan yang berbeda dengan kepercayaannya, baik dalam lingkungan orang-orang yang seagama dengannya maupun dalam lingkungan orang-orang yang berbeda agama. Ulama yang disebutkan di awal tulisan ini tampaknya termasuk orang yang menjadi sasaran kritik Ibn al-`Arabi karena ia menyalahkan dan mencela kepercayaan-kepercayaan lain kepada Tuhan yang berbeda dengan kepercayaannya sendiri. Ulama itu, seperti dikatakan di atas, sebenarnya telah memutlakkan dan “menuhankan” kepercayaannya sendiri, alirannya sendiri, atau mazhabnya sendiri. Ia sebenarnya telah membatasi Tuhan Yang Tidak Terbatas dalan kepercayaannya yang terbatas.
Ibn al-`Arabi memperingatkan kita sebagai berikut: “Maka berhati-hatilah agar Anda tidak mnengikatkan diri kepada ikatan (`aqd) [yaitu kepercayaan, doktrin, dogma, atau ajaran] tertentu dan mengingkari ikatan lain yang mana pun, karena dengan demikian itu Anda akan kehilangan kebaikan yang banyak; sebenarnya Anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu yang sebenarnya. Karena itu, hendaklah Anda menerima sepenuhnya semua bentuk kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta`âlâ terlalu luas dan terlalu besar untuk dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain. Allah berkata: ‘Kemana pun kamu berpaling, di situ ada wajah Tuhan’ [Q 2:115), tanpa menyebutkan arah tetentu mana pun.”
Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut Sufi dari Andalusia ini, adalah pengetahuan yang tidak terikat oleh bentuk kepercayaan atau agama tertentu. Inilah pengetahuan yang dimiliki oleh “para gnostik” (al-`ârifûn). Karena itu, para gnostik, yaitu para Sufi, tidak pernah menolak Tuhan dalam kepercayaan, sekte, aliran, atau agama apa pun. Ini berarti bahwa bagi para Sufi, Tuhan dalam semua kepercayaan, sekte, aliran, atau agama, adalah satu dan sama. Kata Ibn al-`Arabi, “Barangsiapa yang membebaskan-Nya [yaitu Tuhan] dari pembatasan tidak akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah Diri-Nya.”
Menurut Ibn al-`Arabi, pengetahuan tentang Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada Diri-Nya, Zat Tuhan, harus diperoleh dengan “peniadaan pengetahuan.” Ini berarti mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya; pengetahuan positif tentang Tuhan adalah mustahil. Sufi ini berkata: “Orang yang tidak mempunyai pengetahuan membayangkan bahwa ia mengetahui Tuhan, itu tidak betul,” karena “pengetahuan kita tentang Tuhan adalah mustahil.” “Orang yang mengetahui Tuhan tidak melampaui batas tingkatnya sendiri. Ia mengetahui apa yang dia ketahui bahwa ia adalah salah seorang di antara orang-orang yang tidak mengetahui.” Cara “mengetahi Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya” disebut “teologi apofatik.” Dalam tradisi Kristen, teologi apofatik dianut oleh Dionysius orang Areopagus (St. Denis) dan mistikus yang menulis The Cloud of Unknowing, misalnya. Menurut teologi ini, Tuhan tidak dapat diketahui dan tidak dapat dipikirkan, tetapi dapat dicintai. Teologi apofatik yang lebih tua dapat dtemukan dalam Upanisad. Suatu bagian Kitab Suci Hindu ini berbunyi: “Orang yang dengan benar mengetahui Brahman adalah orang yang mengetahui-Nya di luar pengetahuan; orang yang mengira bahwa ia mengetahui[-Nya], tidak mengetahui. Orang bodoh mengira bahwa Brahman diketahui, tetapi orang bijak mengetahui-Nya di seberang pengetahuan” (Kena) Ini berarti bahwa pengetahuan yang benar tentang Tuhan adalah pengetahuan negatif: “mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya.”
Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakar RA, Ibn al-`Arabi berkata: “Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah persepsi” [“Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan”] (Al-`ajzu `an dark al-idrâk idrâk). Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang tidak dapat diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia tidak dapat mengetahui adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak. Orang yang menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah orang yang tidak mengetahui-Nya; itulah orang yang bodoh. Bukankah Tuhan telah berfirman, “Penglihatan tidak dapat menangkap-Nya [yaitu Tuhan], tetapi Dia menangkap semua penglihatan” (Q 6:103)?
“Tuhan kepercayaan,” seperti dikatakan di atas, adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia. Orang yang memandang bahwa dengan nalarnya ia mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Tuhan adalah orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus menurut pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak dapat dibatasi. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokkan dengan “kotak” akalnya. Orang seperti ini menolak bentuk Tuhan yang tidak cocok dengan bentuk dan ukuran “kotak” akalnya. Ia menyalahkan orang lain yang mempercayai Tuhan dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apa pun sebagai kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn al-`Arabi, adalah “hamba nalar” (`abd nazhar), bukan “hamba Rabb” (`abd rabb).
Dr. Kautsar Azhari Noer. Pengajar pada program Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
paulusjancok- BLUE MEMBERS
-
Number of posts : 809
Age : 37
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6669
Registration date : 2011-08-12
Similar topics
» UMAT NGAREP VIP AKA SURGA PADAHAL TUHANNYA AJA GELENDOTAN
» apa seh kepercayaan, kayak sok ngerti aja
» Tolong jelaskan mengapa umat islam lebih banyak dari umat agama manapun di dunia ini?
» apa seh kepercayaan, kayak sok ngerti aja
» Tolong jelaskan mengapa umat islam lebih banyak dari umat agama manapun di dunia ini?
Page 1 of 1
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum
Sat 20 Jul 2024, 3:43 pm by darwinToo
» Kenapa Muhammad & muslim ngamuk kalo Islam dikritik?
Sat 20 Jul 2024, 3:41 pm by darwinToo
» Penistaan "Agama"...==> Agama sama seperti cewek/cowok.
Sat 20 Jul 2024, 3:40 pm by darwinToo
» kenapa muhammad suka makan babi????
Sat 20 Jul 2024, 3:39 pm by darwinToo
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
Fri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam
» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
Fri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya
» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
Tue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar
» Moon Split or Islamic Hoax?
Wed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin
» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
Wed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin