Similar topics
Latest topics
Most Viewed Topics
Most active topic starters
kuku bima | ||||
admin | ||||
kermit katak lucu | ||||
hamba tuhan | ||||
feifei_fairy | ||||
paulusjancok | ||||
agus | ||||
gusti_bara | ||||
Muslim binti Muskitawati | ||||
Bejat |
Most active topics
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia Menyongsong Punahnya Islam
Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
Who is online?
In total there are 34 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 34 Guests :: 2 BotsNone
Most users ever online was 412 on Tue 29 Oct 2024, 11:45 pm
Social bookmarking
Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website
Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website
Aforisme Orang Gila
Page 1 of 1
Aforisme Orang Gila
Aforisme Orang Gila
Menatap sejarah masa depan mengisyaratkan kita untuk melirik kepada pemikiran si rajawali eksistensialisme, Frederich Nietzsche. Sebagai seorang “dyanosian” yang antipati terhadap moralitas kristenitas, ia mendesain suatu pemikiran dengan mengisyaratkan keharusan untuk curiga terhadap nilai-nilai yang ada. Tugasnya antara lain adalah mengkritisi kecenderungan manusia terjebak ke dalam dogma, keyakinan dan ideologi indoktriner tertentu.
Dalam desain masa depannya, Nietzshe menggeser status ontologis dan makna eksistensial manusia ke spektrum tertinggi humanitas. Untuk obsesi ini, Nietzsche memproklamasikan suatu maklumat kematian Tuhan. Tindakan ini mutlak dilakukan untuk membidani lahirnya humanitas baru.
“Tidakkah kau dengar orang gila yang menyalakan pelita di pagi yang cerah. Dia berlari menuju alun-alun kota, dan tidak henti-hentinya berteriak: “Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan”. Ketika orang banyak yang tidak percaya pada Tuhan, datang mengerumuninya, orang gila itu mengundang gelak tawa”. Apakah dia ini orang yang hilang?, tanya seseorang. Apakah ia tersesat seperti anak kecil? Apakah ia baru saja mengadakan pelayaran? Apakah ia seorang perantau? Demikianlah mereka saling bertanya sinis dan tertawa.
Orang gila itu lalu melompat dan menyusup ke tengah tengah kerumunan dan menatap mereka dengan pandangan yang tajam. ‘Mana Tuhan?’, serunya. ‘Aku hendak berkata kepada kalian. Kita telah membunuh Tuhan-kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Bagaimana mungkin kita telah melakukan perbuatan semacam ini?. Bagaimana mungkin kita meminum habis lautan? Siapakah yang memberikan penghapus kepada kita untuk melenyapkan seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan jikalau kita melepaskan bumi dari mataharinya? Lalu kemana bumi ini akan bergerak? Kemana kita bergerak? Menjauhi seluruh matahari? Tidakkah kita jatuh terus-menerus? Ke belakang, ke samping, ke depan, ke semua arah? Masih adakah atas dan bawah?. Tidakkah kita berkeliaraan melewati ketiadaan yang tak terbatas? Tidakkah kita merasa menghirup ruangan yang kosong? Bukankah hari sudah menjadi semakin dingin? Tidakkah malam terus menerus semakin meliputi kita? Bukankah pada siang hari lentara pun kita nyalakan? Tidakkah kita mendengar kebisingan para penggali liang kubur yang sedang memakamkan Tuhan? Tidakkah kita mencium bau busuk Tuhan, ya para Tuhan pun membusuk! Tuhan telah mati, Tuhan tetap mati!. Dan kita telah membunuhnya!.
Bagaimana kita - para pembunuh – merasa terhibur?. Dia yang maha kudus dan maha kuasa yang dimiliki dunia ini kini telah mati kehabisan darah, karena pisau-pisau kita – Siapakah yang hendak menghapuskan darah ini dari kita? Dengan air apakah kita dapat membersihkan diri kita? Pertayaan tobat apa, pertunjukan iudus apa yang harus kita andalkan? Bukankah kedahsyatan tindakan ini terlalu berat bagi kita? Tidakkah kita harus menjadikan diri kita sendiri sebagai Tuhan? Supaya tindakan ini kelihatan bernilai? Belum pernah ada perbuatan yang lebih besar, dan siapa yang lahir setelah kita, demi tindakan ini akan termasuk ke dalam sejarah yang lebih besar dari seluruh sejarah sampai sekarang ini!.
Sampai di sini orang gila lalu diam dan kembali memandang para pendengarnya; dan mereka pun diam dan dengan keheran-heranan memelototinya. Akhirnya orang gila membuang pelitanya ke tanah, dan pelita itu hancur, kemudian padam.’ Aku datang terlalu awal’, katanya kemudian.. ‘Waktuku belum tiba. Peristiwa yang dahsyat ini masih terus berjalan, masih terus berkeliaran dan belum sampai pada telinga orang-orang. Kilat dan guntur memerlukan waktu, cahaya bintang-bintang memerlukan waktu, tindakan, meskipun sudah dilakukan, masih memerlukan waktu untuk dapat dilihat dan didengar. Tindakan ini masih lebih jauh dari mereka, daripada bintang-bintang yang paling jauh - namun mereka telah melakukannya untuk diri mereka sendiri.
Masih diceritakan lagi bahwa pada hari yang sama orang gila itu nekat masuk ke dalam berbagai gereja, dan di sana menyanyikan lagu requitem aeternam deo (Istirah kekal bagi Tuhan). Setelah keluar dan diminta pertanggung jawaban, dia hanya selalu menangkis dan berkata : ‘Apalagi gereja-geraja ini kalau bukan makam bagi nisan-nisan bagi Tuhan?!.
Maklumat pembunuhan Tuhan bergaung dalam bentuk yang bervariasi. Masa akut anomali pemikiran, disorientasi nilai, sekularitas, krisis iman. Distorsi kehidupan agama, desakralisasi dunia transendental, penggusuran tanpa ampun habitat dan kerahiman Tuhan, adalah lahan subur bagi implementasi Nietzschean.
Dekonstruksi dan anti logosentrime dan narasi agung Lyotardian bersambut dengan gagasan ateistik Nietzsche. Dalam pada itu, diperlukan suatu kedewaan budi. Antisipasi dan pemikiran proyektif Nietzchean patut untuk didengarkan. Makna ultimo yang dikandungnya memang menohok, akan tetapi makna ultimo manusia yang dikandungnya mutlak untuk didengarkan. Impuls dan opsi “dyonisian” tidak perlu dicurigai dan sebaliknya diarahkan menuju penataan suatu dunia yang lebih human. Aporisme “Orang Gila” mutlak dijadikan sebagai suatu refleksi dan kilas balik bagi masa depan. Adalah naïf bilamana mencurigai atau menyingkirkannya. Melalui ”Orang Gila” penyakit manusia modern dewasa ini dapat dikurangi.
Modernitas menuntut suatu nilai baru. Perjuangan emansipasi individu menjadi opsi dan semakin tak terbendung. Tuntutan untuk mendesain suatu dunia baru dengan segenap kemungkinan untuk kreativitas, inovasi dan keniscayaan untuk aktualisasi diri. Singkatnya suatu dunia yang serba mungkin menjadi opsi baru pula, tanpa meninggalkan humanitas. Awal abad melenium ketiga, humanitas dipertanyakan. Proyeksi masa depan penuh dengan harapan sekaligus ketidak-pastian. Manusia global berbicara mengenai moralitas baru. Sementara dekadensi moral dan krisis iman semakin mencekam. Timbul pertanyaan, apakah wajah muram dan pesimistik abad milenium beroleh terang dari kegilaan Nietzsche?
Sastraprateja dalam Manusia Multi Dimensional, mengatakan bahwa di Amerika terutama berkembang “Teologi Allah sudah mati”. Sindrom Nietzschean semakin berkecambah, Kristenitas mengalami kegoncangan. Terorisme, pembunuhan dan kebencian, puas terhadap penderitaan orang lain, virus destruktif, patologis masyarakat semakin pula tak terbendung. Reaksi terhadap semua itu kelompok agama bertindak. Jihad terhadap kebatilan dan ketidak-adilan dinyatakan. Bom bunuh diri menjadi tontonan. Teror, penculikan. Konspirasi politik dan intrik kekuasaan terlegalkan. Kebatilan menjadi legitim. Ada yang mengatakan konsep Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa menjadi sahih. Pandangan ini menyesatkan. Nietzsche sebaliknya menunggikan martabat manusia. Sementara yang disebutkan di atas adalah pengejawantahan dari kekerdilan, kelicikan analog dengan moral budak. Semua itu merupakan sublimasi dari dekadensi moral sekaligus sebagai musuh kemanusian.
Sebaliknya, Nietzsche mengagungkan moral tuan. penting untuk dicamkan bahwa dibalik keganasan dan ketegaran hati membunuh Tuhan tersirat suatu nilai humanitas yang patut diacungkan jempol. Dalam formula tersebut, Nietzsche mengajarkan logika kekuasaan. Ia mengutuk kelemahan dan moraltas budak. Ditandaskan bahwa hidup adalah perjuangan.
Dewasa ini humanisme terdistorsi. Pembunuhan menjadi suatu kewajaran. Terorisme berkecambah. Kekerasan ditolerir. Hukum rimba merajalela, pembunuhan dihalalkan. Dalam kondisi galau seperti ini kita boleh mengkaji pesan-pesan intrinsik dan apokaliptik serta orientasi ateistik Nietzsche.
Dalam sejarahnya, agama membutuhkan tekanan agar senantiasa terjaga, dan tidak terjebak dalam ignoransi pengembalaan. Apa yang enggan disentuh agama dibongkar secara radikal. Banalitasi dunia transendental kegemaran Nietzsche, tak urung membuat agama kaget dan dipaksa mawas diri. Itulah sumbangsih Nietzsche. Adalah Paul Ricoeur, dengan ancangan hermeneutik, dengan menggunakan metode fenomenologi terusik untuk menggali harta karun humanitas warisan Nietzsche.
Ateisme Nietzsche menurut Paul Ricoeuer menghubungkan agama dan iman, dan termaknai secara baru. Kondisi ini disebut sebagai iman post religius. Ateisme merupakan jembatan karena di satu pihak meninggalkan apa yang telah ditolak, yang tidak lagi bermakna dan di lain pihak mengarah ke depan pada yang dituju, pada sesuatu yang baru. Namun Recouer selanjutnya memperingatkan bahwa langkah ini tidak boleh disederhanakan dengan membedakan agama dan iman begitu saja, kemudian dengan memperalat ateisme berusaha menyelamatkan iman.
Sikap filsafat – dan bukan teologi – dalam telaah dialektika agama, ateisme dan iman ini menurut Recouer kita harus berani menempuh jalan baru yang belum jelas arahnya. Nietzsche -menurut Recouer – mencipta suatu jenis hermeneutika khas dan tidak terdapat pada atheis-atheis sebelumnya. Kritik Nietzsche tidaklah ditujukan pada ide tentang Allah tetapi pertama-tama pada kondisi kesadaran manusia sebagai representasi kultural.
Sebagai “pengajar kecurigaan” Nietzsche menganggap kepercayaan akan Allah adalah ilusi. Ilusi ini lalu dibongkar. Manusia dikembalikan kepada habitus dan keotentikan dan keagungannya. Sebagai mahluk yang dituntut untuk aktualisasi prinsip “kehendak yang berkuasa”.
Untuk mencari makna religius yang mungkin terdapat dalam atheisme Nietzsche, tidak bisa dengan cara langsung menghadapi ide tentang Allah. Fenomenolog Paul Recouer, mencoba membandingkan sikap Nietzsche dengan kepekaan religius yang paling purba, yakni “keinginan akan hukuman” dan ” kedambaan akan perlindungan. Allah dalam pengalaman religius ini adalah Allah yang tidak hanya menyayangi dan melindungi melainkan juga Allah yang mengadili dan menghukum, yang marah dan cemburu.(Sunardi, 1966)
Maklumat pembunuhan Tuhan mengejawantahkan realitas dan keterpurukan sekaligus kelemahan manusia dalam menghadapi tantangan kehidupan yang menuntut suatu pertanggung-jawaban. Kebebasan yang diemban manusia begitu berat dan menakutkan, demikian menurut Dostoievsky, terutama bagi manusia pengecut, manusia lemah dan munafik, bermoral budak sebagaimana cenderung untuk melarikan diri.
Agama memang sering menjadi pelarian dan mungkin juga menjadi kambing hitam. Akan tetapi sinisme dan dekonstruksi terhadap dogmatisme, terhadap nilai dan terhadap stagnasi agama, yang menjadi musuh Nietzsche penting untuk direnungkan. Paling tidak para rohanian dan institusi yang diserang dan dicerca Nietzsche boleh mendapat gagasan emansiopatoris. Dalam dunia yang sesak kemunafikan, pesimistik, virus teror, labiran anomali, serta disorientasi nilai, ketidak-pastian hidup melalui aporisme “Orang Gila” tampaknya menjanjikan dan penuh harapan. Nietzsche menyodorkan suatu terapheutik. Pemberontakan terhadap fetitisme, hedonisme, dan kemunafikan dan dekadensi moral, kebohongan terkritisi. Pendarasan imani menjadi suatu keniscayaan. Akan tetapi sebagai suatu refleksi, maklumat tersebut dapat menjadi titik tolak untuk tujuan refleksif.
Dengan semangat amorfati, Nietzsche menyingkap masa depan. Dalam agenda pemikirannya ia memposisikan manusia dalam cahaya “kehendak untuk berkuasa”. Penampilan sosok manusia agung dengan ketegaran dan tekad untuk mengamini kehidupan, takzim kepada watak “dyonisiak” bangsa Yunani, Nietzsche mengutuk filsafat Socrates yang telah menebar dekadensi moral dan degradasi pemikiran. Kristenitas, ahli waris Socrates terpuruk dalam kebancian; sujud kepada nasib, submisif dan apologetik terhadap kelemahan dan kepengecutan.
Dalam kristenitas, demikian Nietzsche, manusia sebagai mahluk agung dan indefinitif dibikin beku dan kerdil di hadapan Tuhan. Dengan dalih dosa awal, manusia telah tersulap menjadi sekedar kawanan domba bermahkotakan moral budak, didalamnya kemunafikan dan kepalsuan terayomi.
Aporisme ”Orang Gila” adalah sebuah lantera masa depan berfungsi sebagai platform untuk menstimulir vitalitas dan segenap kemungkinan manusia untuk berkembang. Namun pada umumnya, nubuat dan ajaran Nietzsche didaulat sebagai bi’dah dan dilaknat. Akan tetapi, lepas dari pandangan tersebut aporisme ”Orang Gila” mengusung makna equivok. Gagasan yang diusungnya segar, orisinil, sarat dengan makna apokaliptik, penuh passi dan tentu saja menggelitik untuk diakses. Namun apapun alasannya, karya monumental ini, secara tak terbantahkan tetap aktual untuk dicermati.
Sebagai suatu karya yang lugas, berani dan menantang, sinistik, watak cair dan operasional dan senantiasa terbuka terhadap eksplorasi dan petualangan pemikiran. Didalamnya formula “kehendak berkuasa” terstruktur. Kredo amorfati terintegrasikan pula di dalamnya. Bagi Nietzsche, Formula ini mutlak diaktualisasikan. Watak “dyanosian”, yang dikandungnya, petualangan dan semangat juang stoik, serta fatalistik bangsa Rusia, adalah bagian integral dari kehendak untuk berkuasa dijadikan pegangan untuk mengarungi lautan kehidupan. Nietzsche tidak pernah jemu dan putusasa berjuang untuk mengliminir watak “apolonis”, yang telah mercuni manusia.
Perlukah Nietzsche dimusuhi atas peringatan dan nubuat ateistik dahsyat tersebut. Perlu untuk direnungkan bahwa sesungguhnya pesan intrinsik Nietzsche tentang peringatan tentang stagnasi dan dekadensi moral yang mematikan watak dyanosian yang dimaksudkan tetap aktual untuk diperbicangkan, terutama dalam suatu diskursus filsafat.
Pembunuhan, kemalasan, kepengecutan dan kemunafikan, yang dikategorisasikan Nietzsche sebagai dekadensi moral, marginalisasidan pemandulan segenap potensi dan kreativitas, kidung “Orang Gila” dengan makna emansipatoris yang dikandungnya, nilai intrinsik humanitas agung di dalamnya diangkat ke permukaan.
Dalam krisis iman dan kepercayaan, masa anomali dan kekisruhan kehidupam agamis yang semakin akut, kritik Nietzsche terhadap kristenitas cukup untuk menyadarkan kita untuk tidak mengulangi tragedi Eropa Barat abad lampau.
Nubuat Nietzsche bagi orang picik adalah monster. Bagi orang bijak, menjadi cahaya bagi penamgkaran pikiran. Daripadanya iluminasi muncul. Aporisme “Orang Gila” memungkinkan kita untuk mengadakan refleksi filosofis agar dapat keluar dari pemikiran stagnan, dari disorientasi nilai, sekaligus mengkritisi narasi agung, logosentisme yang menjadi ciri khas posmodernisme.
Melalui aporisme “Orang Gila”, suatu menu pemikiran yang mengusung gagasan humanitas pasca renaisans dan bersifat emansipatoris, yang secara unik dan menantang, diracik oleh Nietzsche tersajikan.
Menatap sejarah masa depan mengisyaratkan kita untuk melirik kepada pemikiran si rajawali eksistensialisme, Frederich Nietzsche. Sebagai seorang “dyanosian” yang antipati terhadap moralitas kristenitas, ia mendesain suatu pemikiran dengan mengisyaratkan keharusan untuk curiga terhadap nilai-nilai yang ada. Tugasnya antara lain adalah mengkritisi kecenderungan manusia terjebak ke dalam dogma, keyakinan dan ideologi indoktriner tertentu.
Dalam desain masa depannya, Nietzshe menggeser status ontologis dan makna eksistensial manusia ke spektrum tertinggi humanitas. Untuk obsesi ini, Nietzsche memproklamasikan suatu maklumat kematian Tuhan. Tindakan ini mutlak dilakukan untuk membidani lahirnya humanitas baru.
“Tidakkah kau dengar orang gila yang menyalakan pelita di pagi yang cerah. Dia berlari menuju alun-alun kota, dan tidak henti-hentinya berteriak: “Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan”. Ketika orang banyak yang tidak percaya pada Tuhan, datang mengerumuninya, orang gila itu mengundang gelak tawa”. Apakah dia ini orang yang hilang?, tanya seseorang. Apakah ia tersesat seperti anak kecil? Apakah ia baru saja mengadakan pelayaran? Apakah ia seorang perantau? Demikianlah mereka saling bertanya sinis dan tertawa.
Orang gila itu lalu melompat dan menyusup ke tengah tengah kerumunan dan menatap mereka dengan pandangan yang tajam. ‘Mana Tuhan?’, serunya. ‘Aku hendak berkata kepada kalian. Kita telah membunuh Tuhan-kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Bagaimana mungkin kita telah melakukan perbuatan semacam ini?. Bagaimana mungkin kita meminum habis lautan? Siapakah yang memberikan penghapus kepada kita untuk melenyapkan seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan jikalau kita melepaskan bumi dari mataharinya? Lalu kemana bumi ini akan bergerak? Kemana kita bergerak? Menjauhi seluruh matahari? Tidakkah kita jatuh terus-menerus? Ke belakang, ke samping, ke depan, ke semua arah? Masih adakah atas dan bawah?. Tidakkah kita berkeliaraan melewati ketiadaan yang tak terbatas? Tidakkah kita merasa menghirup ruangan yang kosong? Bukankah hari sudah menjadi semakin dingin? Tidakkah malam terus menerus semakin meliputi kita? Bukankah pada siang hari lentara pun kita nyalakan? Tidakkah kita mendengar kebisingan para penggali liang kubur yang sedang memakamkan Tuhan? Tidakkah kita mencium bau busuk Tuhan, ya para Tuhan pun membusuk! Tuhan telah mati, Tuhan tetap mati!. Dan kita telah membunuhnya!.
Bagaimana kita - para pembunuh – merasa terhibur?. Dia yang maha kudus dan maha kuasa yang dimiliki dunia ini kini telah mati kehabisan darah, karena pisau-pisau kita – Siapakah yang hendak menghapuskan darah ini dari kita? Dengan air apakah kita dapat membersihkan diri kita? Pertayaan tobat apa, pertunjukan iudus apa yang harus kita andalkan? Bukankah kedahsyatan tindakan ini terlalu berat bagi kita? Tidakkah kita harus menjadikan diri kita sendiri sebagai Tuhan? Supaya tindakan ini kelihatan bernilai? Belum pernah ada perbuatan yang lebih besar, dan siapa yang lahir setelah kita, demi tindakan ini akan termasuk ke dalam sejarah yang lebih besar dari seluruh sejarah sampai sekarang ini!.
Sampai di sini orang gila lalu diam dan kembali memandang para pendengarnya; dan mereka pun diam dan dengan keheran-heranan memelototinya. Akhirnya orang gila membuang pelitanya ke tanah, dan pelita itu hancur, kemudian padam.’ Aku datang terlalu awal’, katanya kemudian.. ‘Waktuku belum tiba. Peristiwa yang dahsyat ini masih terus berjalan, masih terus berkeliaran dan belum sampai pada telinga orang-orang. Kilat dan guntur memerlukan waktu, cahaya bintang-bintang memerlukan waktu, tindakan, meskipun sudah dilakukan, masih memerlukan waktu untuk dapat dilihat dan didengar. Tindakan ini masih lebih jauh dari mereka, daripada bintang-bintang yang paling jauh - namun mereka telah melakukannya untuk diri mereka sendiri.
Masih diceritakan lagi bahwa pada hari yang sama orang gila itu nekat masuk ke dalam berbagai gereja, dan di sana menyanyikan lagu requitem aeternam deo (Istirah kekal bagi Tuhan). Setelah keluar dan diminta pertanggung jawaban, dia hanya selalu menangkis dan berkata : ‘Apalagi gereja-geraja ini kalau bukan makam bagi nisan-nisan bagi Tuhan?!.
Maklumat pembunuhan Tuhan bergaung dalam bentuk yang bervariasi. Masa akut anomali pemikiran, disorientasi nilai, sekularitas, krisis iman. Distorsi kehidupan agama, desakralisasi dunia transendental, penggusuran tanpa ampun habitat dan kerahiman Tuhan, adalah lahan subur bagi implementasi Nietzschean.
Dekonstruksi dan anti logosentrime dan narasi agung Lyotardian bersambut dengan gagasan ateistik Nietzsche. Dalam pada itu, diperlukan suatu kedewaan budi. Antisipasi dan pemikiran proyektif Nietzchean patut untuk didengarkan. Makna ultimo yang dikandungnya memang menohok, akan tetapi makna ultimo manusia yang dikandungnya mutlak untuk didengarkan. Impuls dan opsi “dyonisian” tidak perlu dicurigai dan sebaliknya diarahkan menuju penataan suatu dunia yang lebih human. Aporisme “Orang Gila” mutlak dijadikan sebagai suatu refleksi dan kilas balik bagi masa depan. Adalah naïf bilamana mencurigai atau menyingkirkannya. Melalui ”Orang Gila” penyakit manusia modern dewasa ini dapat dikurangi.
Modernitas menuntut suatu nilai baru. Perjuangan emansipasi individu menjadi opsi dan semakin tak terbendung. Tuntutan untuk mendesain suatu dunia baru dengan segenap kemungkinan untuk kreativitas, inovasi dan keniscayaan untuk aktualisasi diri. Singkatnya suatu dunia yang serba mungkin menjadi opsi baru pula, tanpa meninggalkan humanitas. Awal abad melenium ketiga, humanitas dipertanyakan. Proyeksi masa depan penuh dengan harapan sekaligus ketidak-pastian. Manusia global berbicara mengenai moralitas baru. Sementara dekadensi moral dan krisis iman semakin mencekam. Timbul pertanyaan, apakah wajah muram dan pesimistik abad milenium beroleh terang dari kegilaan Nietzsche?
Sastraprateja dalam Manusia Multi Dimensional, mengatakan bahwa di Amerika terutama berkembang “Teologi Allah sudah mati”. Sindrom Nietzschean semakin berkecambah, Kristenitas mengalami kegoncangan. Terorisme, pembunuhan dan kebencian, puas terhadap penderitaan orang lain, virus destruktif, patologis masyarakat semakin pula tak terbendung. Reaksi terhadap semua itu kelompok agama bertindak. Jihad terhadap kebatilan dan ketidak-adilan dinyatakan. Bom bunuh diri menjadi tontonan. Teror, penculikan. Konspirasi politik dan intrik kekuasaan terlegalkan. Kebatilan menjadi legitim. Ada yang mengatakan konsep Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa menjadi sahih. Pandangan ini menyesatkan. Nietzsche sebaliknya menunggikan martabat manusia. Sementara yang disebutkan di atas adalah pengejawantahan dari kekerdilan, kelicikan analog dengan moral budak. Semua itu merupakan sublimasi dari dekadensi moral sekaligus sebagai musuh kemanusian.
Sebaliknya, Nietzsche mengagungkan moral tuan. penting untuk dicamkan bahwa dibalik keganasan dan ketegaran hati membunuh Tuhan tersirat suatu nilai humanitas yang patut diacungkan jempol. Dalam formula tersebut, Nietzsche mengajarkan logika kekuasaan. Ia mengutuk kelemahan dan moraltas budak. Ditandaskan bahwa hidup adalah perjuangan.
Dewasa ini humanisme terdistorsi. Pembunuhan menjadi suatu kewajaran. Terorisme berkecambah. Kekerasan ditolerir. Hukum rimba merajalela, pembunuhan dihalalkan. Dalam kondisi galau seperti ini kita boleh mengkaji pesan-pesan intrinsik dan apokaliptik serta orientasi ateistik Nietzsche.
Dalam sejarahnya, agama membutuhkan tekanan agar senantiasa terjaga, dan tidak terjebak dalam ignoransi pengembalaan. Apa yang enggan disentuh agama dibongkar secara radikal. Banalitasi dunia transendental kegemaran Nietzsche, tak urung membuat agama kaget dan dipaksa mawas diri. Itulah sumbangsih Nietzsche. Adalah Paul Ricoeur, dengan ancangan hermeneutik, dengan menggunakan metode fenomenologi terusik untuk menggali harta karun humanitas warisan Nietzsche.
Ateisme Nietzsche menurut Paul Ricoeuer menghubungkan agama dan iman, dan termaknai secara baru. Kondisi ini disebut sebagai iman post religius. Ateisme merupakan jembatan karena di satu pihak meninggalkan apa yang telah ditolak, yang tidak lagi bermakna dan di lain pihak mengarah ke depan pada yang dituju, pada sesuatu yang baru. Namun Recouer selanjutnya memperingatkan bahwa langkah ini tidak boleh disederhanakan dengan membedakan agama dan iman begitu saja, kemudian dengan memperalat ateisme berusaha menyelamatkan iman.
Sikap filsafat – dan bukan teologi – dalam telaah dialektika agama, ateisme dan iman ini menurut Recouer kita harus berani menempuh jalan baru yang belum jelas arahnya. Nietzsche -menurut Recouer – mencipta suatu jenis hermeneutika khas dan tidak terdapat pada atheis-atheis sebelumnya. Kritik Nietzsche tidaklah ditujukan pada ide tentang Allah tetapi pertama-tama pada kondisi kesadaran manusia sebagai representasi kultural.
Sebagai “pengajar kecurigaan” Nietzsche menganggap kepercayaan akan Allah adalah ilusi. Ilusi ini lalu dibongkar. Manusia dikembalikan kepada habitus dan keotentikan dan keagungannya. Sebagai mahluk yang dituntut untuk aktualisasi prinsip “kehendak yang berkuasa”.
Untuk mencari makna religius yang mungkin terdapat dalam atheisme Nietzsche, tidak bisa dengan cara langsung menghadapi ide tentang Allah. Fenomenolog Paul Recouer, mencoba membandingkan sikap Nietzsche dengan kepekaan religius yang paling purba, yakni “keinginan akan hukuman” dan ” kedambaan akan perlindungan. Allah dalam pengalaman religius ini adalah Allah yang tidak hanya menyayangi dan melindungi melainkan juga Allah yang mengadili dan menghukum, yang marah dan cemburu.(Sunardi, 1966)
Maklumat pembunuhan Tuhan mengejawantahkan realitas dan keterpurukan sekaligus kelemahan manusia dalam menghadapi tantangan kehidupan yang menuntut suatu pertanggung-jawaban. Kebebasan yang diemban manusia begitu berat dan menakutkan, demikian menurut Dostoievsky, terutama bagi manusia pengecut, manusia lemah dan munafik, bermoral budak sebagaimana cenderung untuk melarikan diri.
Agama memang sering menjadi pelarian dan mungkin juga menjadi kambing hitam. Akan tetapi sinisme dan dekonstruksi terhadap dogmatisme, terhadap nilai dan terhadap stagnasi agama, yang menjadi musuh Nietzsche penting untuk direnungkan. Paling tidak para rohanian dan institusi yang diserang dan dicerca Nietzsche boleh mendapat gagasan emansiopatoris. Dalam dunia yang sesak kemunafikan, pesimistik, virus teror, labiran anomali, serta disorientasi nilai, ketidak-pastian hidup melalui aporisme “Orang Gila” tampaknya menjanjikan dan penuh harapan. Nietzsche menyodorkan suatu terapheutik. Pemberontakan terhadap fetitisme, hedonisme, dan kemunafikan dan dekadensi moral, kebohongan terkritisi. Pendarasan imani menjadi suatu keniscayaan. Akan tetapi sebagai suatu refleksi, maklumat tersebut dapat menjadi titik tolak untuk tujuan refleksif.
Dengan semangat amorfati, Nietzsche menyingkap masa depan. Dalam agenda pemikirannya ia memposisikan manusia dalam cahaya “kehendak untuk berkuasa”. Penampilan sosok manusia agung dengan ketegaran dan tekad untuk mengamini kehidupan, takzim kepada watak “dyonisiak” bangsa Yunani, Nietzsche mengutuk filsafat Socrates yang telah menebar dekadensi moral dan degradasi pemikiran. Kristenitas, ahli waris Socrates terpuruk dalam kebancian; sujud kepada nasib, submisif dan apologetik terhadap kelemahan dan kepengecutan.
Dalam kristenitas, demikian Nietzsche, manusia sebagai mahluk agung dan indefinitif dibikin beku dan kerdil di hadapan Tuhan. Dengan dalih dosa awal, manusia telah tersulap menjadi sekedar kawanan domba bermahkotakan moral budak, didalamnya kemunafikan dan kepalsuan terayomi.
Aporisme ”Orang Gila” adalah sebuah lantera masa depan berfungsi sebagai platform untuk menstimulir vitalitas dan segenap kemungkinan manusia untuk berkembang. Namun pada umumnya, nubuat dan ajaran Nietzsche didaulat sebagai bi’dah dan dilaknat. Akan tetapi, lepas dari pandangan tersebut aporisme ”Orang Gila” mengusung makna equivok. Gagasan yang diusungnya segar, orisinil, sarat dengan makna apokaliptik, penuh passi dan tentu saja menggelitik untuk diakses. Namun apapun alasannya, karya monumental ini, secara tak terbantahkan tetap aktual untuk dicermati.
Sebagai suatu karya yang lugas, berani dan menantang, sinistik, watak cair dan operasional dan senantiasa terbuka terhadap eksplorasi dan petualangan pemikiran. Didalamnya formula “kehendak berkuasa” terstruktur. Kredo amorfati terintegrasikan pula di dalamnya. Bagi Nietzsche, Formula ini mutlak diaktualisasikan. Watak “dyanosian”, yang dikandungnya, petualangan dan semangat juang stoik, serta fatalistik bangsa Rusia, adalah bagian integral dari kehendak untuk berkuasa dijadikan pegangan untuk mengarungi lautan kehidupan. Nietzsche tidak pernah jemu dan putusasa berjuang untuk mengliminir watak “apolonis”, yang telah mercuni manusia.
Perlukah Nietzsche dimusuhi atas peringatan dan nubuat ateistik dahsyat tersebut. Perlu untuk direnungkan bahwa sesungguhnya pesan intrinsik Nietzsche tentang peringatan tentang stagnasi dan dekadensi moral yang mematikan watak dyanosian yang dimaksudkan tetap aktual untuk diperbicangkan, terutama dalam suatu diskursus filsafat.
Pembunuhan, kemalasan, kepengecutan dan kemunafikan, yang dikategorisasikan Nietzsche sebagai dekadensi moral, marginalisasidan pemandulan segenap potensi dan kreativitas, kidung “Orang Gila” dengan makna emansipatoris yang dikandungnya, nilai intrinsik humanitas agung di dalamnya diangkat ke permukaan.
Dalam krisis iman dan kepercayaan, masa anomali dan kekisruhan kehidupam agamis yang semakin akut, kritik Nietzsche terhadap kristenitas cukup untuk menyadarkan kita untuk tidak mengulangi tragedi Eropa Barat abad lampau.
Nubuat Nietzsche bagi orang picik adalah monster. Bagi orang bijak, menjadi cahaya bagi penamgkaran pikiran. Daripadanya iluminasi muncul. Aporisme “Orang Gila” memungkinkan kita untuk mengadakan refleksi filosofis agar dapat keluar dari pemikiran stagnan, dari disorientasi nilai, sekaligus mengkritisi narasi agung, logosentisme yang menjadi ciri khas posmodernisme.
Melalui aporisme “Orang Gila”, suatu menu pemikiran yang mengusung gagasan humanitas pasca renaisans dan bersifat emansipatoris, yang secara unik dan menantang, diracik oleh Nietzsche tersajikan.
Similar topics
» agama Kristen/Yahudi/Israel adalah agama yang gila dari orang–orang yang gila
» yesus ternyata biangnye teror....!!!!! waspada waspada...!
» Firman Tuhan atau Orang GILA??
» yesus ternyata biangnye teror....!!!!! waspada waspada...!
» Firman Tuhan atau Orang GILA??
Page 1 of 1
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum
Sat 20 Jul 2024, 3:43 pm by darwinToo
» Kenapa Muhammad & muslim ngamuk kalo Islam dikritik?
Sat 20 Jul 2024, 3:41 pm by darwinToo
» Penistaan "Agama"...==> Agama sama seperti cewek/cowok.
Sat 20 Jul 2024, 3:40 pm by darwinToo
» kenapa muhammad suka makan babi????
Sat 20 Jul 2024, 3:39 pm by darwinToo
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
Fri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam
» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
Fri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya
» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
Tue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar
» Moon Split or Islamic Hoax?
Wed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin
» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
Wed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin