Similar topics
Latest topics
Most Viewed Topics
Most active topic starters
kuku bima | ||||
admin | ||||
kermit katak lucu | ||||
hamba tuhan | ||||
feifei_fairy | ||||
paulusjancok | ||||
agus | ||||
gusti_bara | ||||
Muslim binti Muskitawati | ||||
Bejat |
Most active topics
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia Menyongsong Punahnya Islam
Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
Who is online?
In total there are 124 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 124 Guests :: 3 BotsNone
Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
Social bookmarking
Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website
Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website
Pendeta Wanita Siap Memberkati Pernikahan Pasangan Homo di RI
+8
vampir kristus
jesus christ
genzo
murtad_is_stupid
admin.
Apen Muslim
pegasus
paulus
12 posters
Page 1 of 1
Pendeta Wanita Siap Memberkati Pernikahan Pasangan Homo di RI
Paulus bilang:
agama pengikut paulus kristen memang agama cinta kasih antar sesama jenis?
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/05/tgl/29/time/151819/idnews/786643/idkanal/10
Jakarta - Setiap manusia punya hak untuk saling mencintai. Dasar inilah yang membuat seorang pendeta wanita siap memberkati pernikahan pasangan sejenis. Pendeta itu bernama Ester Mariani. Dijelaskan dia, pemberkatan itu secara hukum agama, sedangkan pernikahan itu secara hukum nasional. "Secara pribadi saya berani memberkati pernikahan mereka. Buat saya setiap manusia punya hak untuk saling mencintai. Dan manusia bukan untuk agama, tapi agama untuk menghidupkan manusia. Namun tetap saja hukum nasional tidak bisa menerima pernikahan sejenis," ujar Ester. Hal ini disampaikan dia usai diskusi publik memperingati Hari Internasional Melawan Homophobia di Wahid Institute, Jl Taman Amir Hamzah, Matraman, Jakarta, Selasa (29/5/2007). Namun demikian, pendeta Gereja Masehi Injili Ditimor, Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang masih melajang ini, belum pernah sekalipun memberkati pernikahan pasangan sejenis. Ester mengaku tidak takut dengan pernyataannya yang siap memberkati pernikahan sejenis, meski dirinya berada dalam lingkungan gereja konservatif. "Saya siap bertanggung jawab kalau gereja memanggil saya," ujarnya. (nik/sss)
harapannya si anak cengeng ga jadian sama si murid rabi yahudi naif....hehehe
agama pengikut paulus kristen memang agama cinta kasih antar sesama jenis?
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/05/tgl/29/time/151819/idnews/786643/idkanal/10
Jakarta - Setiap manusia punya hak untuk saling mencintai. Dasar inilah yang membuat seorang pendeta wanita siap memberkati pernikahan pasangan sejenis. Pendeta itu bernama Ester Mariani. Dijelaskan dia, pemberkatan itu secara hukum agama, sedangkan pernikahan itu secara hukum nasional. "Secara pribadi saya berani memberkati pernikahan mereka. Buat saya setiap manusia punya hak untuk saling mencintai. Dan manusia bukan untuk agama, tapi agama untuk menghidupkan manusia. Namun tetap saja hukum nasional tidak bisa menerima pernikahan sejenis," ujar Ester. Hal ini disampaikan dia usai diskusi publik memperingati Hari Internasional Melawan Homophobia di Wahid Institute, Jl Taman Amir Hamzah, Matraman, Jakarta, Selasa (29/5/2007). Namun demikian, pendeta Gereja Masehi Injili Ditimor, Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang masih melajang ini, belum pernah sekalipun memberkati pernikahan pasangan sejenis. Ester mengaku tidak takut dengan pernyataannya yang siap memberkati pernikahan sejenis, meski dirinya berada dalam lingkungan gereja konservatif. "Saya siap bertanggung jawab kalau gereja memanggil saya," ujarnya. (nik/sss)
harapannya si anak cengeng ga jadian sama si murid rabi yahudi naif....hehehe
paulus- MUSLIM
-
Number of posts : 2496
Age : 43
Location : sekitar israel
Reputation : 35
Points : 8152
Registration date : 2010-01-12
kok ga ada respon ya?
paulus bilang:
forum ini sepi......dari komentar murtadin kafir
forum ini sepi......dari komentar murtadin kafir
paulus- MUSLIM
-
Number of posts : 2496
Age : 43
Location : sekitar israel
Reputation : 35
Points : 8152
Registration date : 2010-01-12
Re: Pendeta Wanita Siap Memberkati Pernikahan Pasangan Homo di RI
saking hebatnya ajaran kasih di kristen, hingga melegalkan pernikahan sesama jenis yg di berkati pendeta/pastur.
pegasus- RED MEMBERS
-
Number of posts : 40
Age : 27
Location : athena palace
Reputation : 2
Points : 5142
Registration date : 2010-05-24
Apen Muslim- RED MEMBERS
- Number of posts : 50
Reputation : 9
Points : 5062
Registration date : 2010-08-17
Re: Pendeta Wanita Siap Memberkati Pernikahan Pasangan Homo di RI
Udah sakit jiwa kali tuh pendeta, suruh aja di hidup di jaman Nabi Luth biar kena kutuk...
udah mau kiamat kale ni dunia...
udah mau kiamat kale ni dunia...
admin.- BLUE MEMBERS
-
Number of posts : 712
Location : Kandang Domba
Job/hobbies : Mengajarkan cinta kasih...
Humor : oh yes... oh no...
Reputation : 19
Points : 5813
Registration date : 2010-07-10
Re: Pendeta Wanita Siap Memberkati Pernikahan Pasangan Homo di RI
admin. wrote:Udah sakit jiwa kali tuh pendeta, suruh aja di hidup di jaman Nabi Luth biar kena kutuk...
udah mau kiamat kale ni dunia...
itulah agama kasih yang sebanrnya bro....
buah ajaran pengikut paulus yahudi kristen laknatullah
demi mendapat domba yg tersesat
btw...
emang kaum tersesat ga keliatan di tread ini
mereka malu....
malu sejadi2nya...
paulus- MUSLIM
-
Number of posts : 2496
Age : 43
Location : sekitar israel
Reputation : 35
Points : 8152
Registration date : 2010-01-12
homoSEX
itulah PENDETA PENDETA WANITA LESBIAN makanya dia kagak kawin kawin , biasa lesbian alias MAIN SESAMA JENIS , begitu juga pastor pastornya rata-rata HOMOSEX , Dimana- mana namanya manusia adalah mahluk biologis butuh kawin untuk mempertahankan kelanjutan manusia , kalo semua Kristen kelakuannya kayak pastor-pasto/biarawati nya yang kagak kawin bisa punah tuh orang Kristen, habis kagak ada yang kawin sama lawan jenis..., ya nggak , ya nggak Hahahahahahaha..., PAstor pada doyan lobang WC ,jangan jagna banyak yg kena AIDS hehehehe, Nafsu sex itu udah lahiriah kebutuhan biologis ,pake nggak boleh kawin yah jadi HOmosex deh abis kan kagak keliatan kawin normal hehehehe..., Biarawati lesbian iyalah emangnya kagak punya nafsu sex ? , udah deh saling jilat-jilatan lobang kencing hiiiii...., kristen2 goblok hahahaha....kagak pake Logika mo ajah diboongin sama si Paulus hahahaha..., aJARAN agama yang paling ngawur kagak pake logika hahahaha
mau ajah di cipoain sama Iblis yg ngaku 2 paulus hahaha....
mau ajah di cipoain sama Iblis yg ngaku 2 paulus hahaha....
murtad_is_stupid- RED MEMBERS
- Number of posts : 10
Reputation : 2
Points : 5009
Registration date : 2010-09-01
Re: Pendeta Wanita Siap Memberkati Pernikahan Pasangan Homo di RI
kok di thread ini ndak ada neter kristennya ya?
genzo- Number of posts : 7
Reputation : 1
Points : 5063
Registration date : 2010-06-28
Re: Pendeta Wanita Siap Memberkati Pernikahan Pasangan Homo di RI
kristen memang ajaran terkutuk, pendetanya aja udah sesat gitu apalagi umatnya
dan tuhannya pun terkutuk mati di tiang salib, kata bible
dan tuhannya pun terkutuk mati di tiang salib, kata bible
Re: Pendeta Wanita Siap Memberkati Pernikahan Pasangan Homo di RI
yg lebih terkutuk lagi bro, si bego yhowshua dan anjingnya di forum ini....hahaha dasar kristen ajaran idiot
Re: Pendeta Wanita Siap Memberkati Pernikahan Pasangan Homo di RI
gak nongol kan si anjing2 gereja kudisan itu, di trit2 seperti inivampir kristus wrote:yg lebih terkutuk lagi bro, si bego yhowshua dan anjingnya di forum ini....hahaha dasar kristen ajaran idiot
itulah ajaran mereka, hancur sehancur2nya, busuk sebusuk2nya, dan nantipun diakhirat mereka akan lebih parah
diam tak menentang karna memang si shaggytol dan yhowshua itu juga aslinya homo
Re: Pendeta Wanita Siap Memberkati Pernikahan Pasangan Homo di RI
jesus christ wrote:gak nongol kan si anjing2 gereja kudisan itu, di trit2 seperti inivampir kristus wrote:yg lebih terkutuk lagi bro, si bego yhowshua dan anjingnya di forum ini....hahaha dasar kristen ajaran idiot
itulah ajaran mereka, hancur sehancur2nya, busuk sebusuk2nya, dan nantipun diakhirat mereka akan lebih parah
diam tak menentang karna memang si shaggytol dan yhowshua itu juga aslinya homo
iya yah...
ga berani muncul....
sama pengecutnya dengan pemimpin ajaran mereka
di Indonesia yang mayoritas Muslim mereka sembunyi2 melakukan kristenisasi
pake memfitnah Islam segala...demi seekor domba yg tersesat
segala cara dilakukan....termasuk nipu
makanya umatnya ngikutin
buah ajaran sesat memang nyata terlihat
paulus- MUSLIM
-
Number of posts : 2496
Age : 43
Location : sekitar israel
Reputation : 35
Points : 8152
Registration date : 2010-01-12
Re: Pendeta Wanita Siap Memberkati Pernikahan Pasangan Homo di RI
masih belum nongol ya kristen2 idiot itu :04: :04: :04:
memang nyata ketololan shaggy, taro, yhowshua dkk
memang nyata ketololan shaggy, taro, yhowshua dkk
Re: Pendeta Wanita Siap Memberkati Pernikahan Pasangan Homo di RI
harap bersabar saudaraku semua.... , kristen2 idiot lagi sibuk nyembah kolor dulu
antipaganism- BLUE MEMBERS
-
Number of posts : 403
Reputation : 14
Points : 5397
Registration date : 2010-09-18
Skandal Seks dan Dosa Paus Benediktus XVI
murtad_is_stupid wrote:itulah PENDETA PENDETA WANITA LESBIAN makanya dia kagak kawin kawin , biasa lesbian alias MAIN SESAMA JENIS , begitu juga pastor pastornya rata-rata HOMOSEX , Dimana- mana namanya manusia adalah mahluk biologis butuh kawin untuk mempertahankan kelanjutan manusia , kalo semua Kristen kelakuannya kayak pastor-pasto/biarawati nya yang kagak kawin bisa punah tuh orang Kristen, habis kagak ada yang kawin sama lawan jenis..., ya nggak , ya nggak Hahahahahahaha..., PAstor pada doyan lobang WC ,jangan jagna banyak yg kena AIDS hehehehe, Nafsu sex itu udah lahiriah kebutuhan biologis ,pake nggak boleh kawin yah jadi HOmosex deh abis kan kagak keliatan kawin normal hehehehe..., Biarawati lesbian iyalah emangnya kagak punya nafsu sex ? , udah deh saling jilat-jilatan lobang kencing hiiiii...., kristen2 goblok hahahaha....kagak pake Logika mo ajah diboongin sama si Paulus hahahaha..., aJARAN agama yang paling ngawur kagak pake logika hahahaha
mau ajah di cipoain sama Iblis yg ngaku 2 paulus hahaha....
Mencuatnya skandal seks para pendeta Katolik, mencoreng muka Vatikan, sebagai instutusi keagamaan tertinggi umat Katolik. Sikap Paus Benediktus XVI atas skandal memalukan ini membuat umat Katolik kecewa dan membuat banyak orang makin tidak percaya dengan institusi gereja. Alih-alih menghukum pelakunya, Paus Benediktus malah menyelenggarakan pengakuan dan pengampunan dosa bagi para pelakunya. Inikah awal kehancuran Gereja Katolik Roma?
Sejak Awal Menolak Bertanggung Jawab
Bagaimana seseorang menebus dosa atas sesuatu hal yang mengerikan, seperti Inkuisisi (pengadilan oleh Gereja Katolik Roma)? Joseph Ratzinger, seorang Kardinal asal Jerman mencoba melakukan hal itu untuk Gereja Katolik Roma dalam upacara megah penebusan dosa yang digelar Vatikan, disebut Hari Pengampunan yang diselenggarakan pada tanggal 12 Maret 2000. Ritual yang dipimpin langsung oleh Paus Yohanes Paulus II bertujuan untuk memurnikan sejarah gereja dan kurun waktu dua milenium ini. Di hadapan sebuah salib kayu- salib keramat yang selalu berhasil diselamatkan dalam setiap peristiwa pengepungan Roma sejak abad ke-15- para Kardinal dan uskup berdiri untuk mengakui dosa-dosa yang pernah mereka lakukan terhadap berbagai etnis di masyarakat, pada kaum perempuan, orang-orang Yahudi, pada kebudayaan masyarakat minoritas, sesama orang Kristen lainnya dan pada agama. Ratzinger merupakan pilihan yang tepat untuk mewakili Kantor Kudus Inkuisisi yang mengerikan: Ia, ketika itu mengepalai kantor Kongregasi Doktrin Keimanan, yang bersejarah itu. Ketika gilirannya pengampunan dosanya tiba, Ratzinger yang dikenal sebagai teolog terkemuka gereja, mengucapkan sebuah doa pendek, “Bahkan orang-orang gereja, atas nama iman dan moral, kadang-kadang menggunakan metode tidak sesuai dengan Injil dalam tugas mulia membela kebenaran. “
Jika orang yang mendengarnya meraka adanya kata-kata yang bertentangan, maka ia akan memahami kesulitan yang sedang dihadapi Ratzinger-sekarang Paus Benediktus XVI-dalam memipin Gereja Katolik untuk benar-benar menghapus noda hitam dari sekian noda hitam yang pernah terjadi di Gereja Katolik yaitu kasus-kasus yang menyangkut perilaku yang tidak pantas yang dilakukan para pendeta pada anak-anak dan ditutup-tutupi oleh para uskup gereja. Dan ketika seorang Kardinal yang memiliki jabatan di gereja melontarkan spekulasi pada publik bahwa Benediktus akan menyampaikan “mea culpa” (pengakuan bahwa sesuatu yang buruk terjadi karena kesalahannya) pada awal Juni, menurutnya, kata-kata maaf yang akan disampaikan–jika memang hal yang buruk itu memang terbukti–akan sangat dibatasi oleh persoalan teologi, sejarah dan orang-orang yang sangat dekat dengan kantor kepausan. Pernyataan itu, masih kata sumber Kardinal tadi, kemungkinan tidak akan memuaskan para pengikut Benediktus yang menginginkan pertanggungjawaban yang lebih modern, bukan hanya sekedar pernyataan yang tidak ada gaungnya dengan berlindung dibalik filosofi agama yang misterius. Olan Home, 50, salah satu orang yang menjadi korban pelecehan yang dilakukan pendeta Kristen di Amerika pada masa anal-anak mengatakan, “Seseorang mengatakan pada saya, jika gereja selamat dari inkuisis, maka gereja akan tetap bertahan. Tapi masa lalu berbeda dengan masa sekarang. Saat ini ini, dunia modern menutup mata dan telinganya terkait persoalan-persoalan besar yang terjadi di Gereja Katolik.”
Gereja mengalami krisis yang rumit oleh fakta bahwa pada tahun 1980, sebagai Uskup Agung Munich, Ratzinger namapkanya telah melakukan kesalahan dengan menugaskan seorang pendeta yang dicurigai terlibat kasus pedofilia, yang berada di bawah tanggung jawabnya. Terungkapnya kasus ini—yang menjadi pertanyaan bagaimana Ratzinger, sebagai pejabat Vatikan akan melakukan pengawasan selanjutnya–memicu pengalihan perhatian atas berbagai skandal nasional ke isu epik dan ujian eksistensi gereja yang universal, ujian bagi para pemimpinnya dan pada saat yang sama ujian bagi ajaran agama itu sendiri. Kenyataan ini mengandaskan ambisi Benediktus untuk megembalikan lagi kejayaan evangelis di kota-kota Eropa, sebuah imperium kekristenan seperti di masa lalu. Selama dua bulan terakhir, Paus telah menimbulkan pergeseran Tahta Suci, dari sikap diam dan pengingkaran menjadi terpanggil untuk menghadapi musuh dari dalam gereja. Meski demikian, rasanya tetap ada bagian yang hilang, terkait tudingan bahwa Bapa Suci terlibat dalam skandal itu. Mampukah Paus, sosok yang menjadi lambang masih hidupnya ajaran Injil kuno dan pemimpin spiritual 1,2 miliar umat Katolik dunia ini , menebus dosa-dosanya di hadapan publik tanpa harus kehilangan sifat kepausan yang tak terkalahkan dari sisi teologi?
Tanpa menyinggung krisis yang terjadi, di hadapan jamaahnya di Lapangan Santo Petrus pada tanggal 26 Mei, Benediktus mengatakan “Bahkan seorang Paus tidak dapat melakukan apa yang ia inginkan. Sebaliknya, Paus adalah penjaga ketaatan kepada Kristus, kepada firman-Nya.”
Benediktus tampaknya sudah memahami apa taruhannya. Alberto Melloni, seorang sejarawan gereja di Universitas Modena mengatakan, para pemegang kekuasaan lainnya di Vatikan optimis gereja bisa menanggulangi “badai” yang menerpa gereja. “Mereka tidak menyadari kepahitan yang mendalam dari semua keyakinan yang ada, yaitu isolasi yang akan dialami para pemuka gereja. Kita tidak bisa memprediksi akhir dari semua krisis ini,” ujar Melloni. Pada Time, seorang pejabat senior Vatikan memprediksi akan adanya konsekuensi besar bagi seluruh gereja. “Sejarah sudah sampai pada episode yang penting. Kami sedang menghadapi salah satu dari masa-masa itu, sekarang,” ujar sumber tadi.
Lembaran Hitam Gereja
Pada akhirnya, ujian bagi gereja bukan tentang doktrin atau dogma, bahkan bukan tentang kata-kata yang akan diucapkan dalam “mea culpa” dan pengunduran diri atau tuntutan terhadap para wali gereja. Tapi ujian itu adalh suara tangisan anak-anak akhirnya terdengar keluar, lama setelah masa kecil mereka. Dengarlah penuturan Bernie McDaid yang membuat jamaah di Lapangan Santo Petrus bergetar.
“Dia meraih tubuh saya, menggelitik dan bergulat seperti yang saya lakukan dengan ayah saya, dan awalnya saya pikir ini menyenangkan,” kata McDaid yang menurut imam parokinya, McDaid menghabiskan masa kecil dan remajanya di Salem.
“Tapi kemudian ada yang berubah … Dia mulai memegang kemaluan saya. Saya merasa dia menggosok-gosokan dirinya ke tubuh saya dari belakang … Saya sangat takut … Aku tahu ini salah. Saya memandang keluar jendela. Aku mulai berdoa,” tutur McDaid.
Menurutnya, kejadian itu terjadi lagi dan lagi selama tiga tahun. Ibu McDaid yang saleh, tidak tahu apa-apa dan selalu senang jika pendeta datang ke rumah untuk menjemput putranya untuk bergabung bersama anak-anak lelaki lainnya pergi tamasya ke pantai. McDaid baru berusia 11 tahun ketika pelecehan itu dalaminyai. McDaid, yang sekarang berusia 54 tahun ingat bahwa anak terakhir yang keluar dari mobil pendeta yang akan jadi korban pelecehan seksual. McDaid akhirnya bicara kepada ayahnya, yang kemudian membawanya kepada imam di kota tetangga untuk melaporkan apa yang terjadi.
“Kami menunggu selama berbulan-bulan. Lalu ada rotasi para pendeta. Dia (pendeta pelaku pelecehan) pergi,. Tapi gereja membuat pendeta itu tampak seperti orang penting. Kepindahannya dirayakan dengan kue dan es krim,” ujar McDaid yang akhirnya dalam kebisuan, menyimpan sendiri rasa malu akibat perbuatan Pastor Joseph Birmingham yang setelah itu diketahui masih terus melakukan pelecehan seksual pada anak-anak di tiga paroki di wilayah Boston, sampai ia meninggal pada tahun 1989.
“Ada sistem yang diyakini,” kata McDaid, “bahwa para pendeta, uskup dan Paus adalah orang-orang yang selalu benar. Manusia memberi mereka kekuasaan karena kekuasaan itu seharusnya menjadi sumber kebaikan .. sebuah kekuasaan Allah. Sekarang, banyak orang setengah napas … Mereka tidak tahu di mana akan menempatkan iman mereka. Apa yang harus saya lakukan saat berdoa?”
Injil Markus menetapkan nasib mereka yang menganiaya anak-anak, “Dan siapa pun yang membahayakan anak-anak yang beriman kepadaku, adalah lebih baik bagi orang itu digantungkan batu pada lehernya dan dilemparkan ke dalam laut. ” Namun peringatan keras dalam Injil itu tidak terlihat dalam respon gereja terhadap kejahatan seksual yang dilakukan para pendetanya. Selama bertahun-tahun, para pemuka gereja yang menyinggung masalah pelecehan seksual ini, hanya berakhir dalam kebisuan.
Saat ini Vatikan tampak menghimbau para uskup mulai dari dari India sampai Italia untuk segera melimphakan kasus-kasus baru kepada otoritas sipil. Tapi bagaimana dengan ketidakadilan yang terjadi pada masa lalu? Mea culpa akan dimulai dan Benediktus memiliki draft tentang apa saja yang harus dikerjakan; mulai dari menulis surat kepada umat Katolik di Irlandia pada tanggal 19 Maret, setelah terungkapnya skandal seks yang telah melemahkan institusi gereja di sana.
“Anda telah sangat menderita dan saya benar-benar menyesal,” tulis Benediktus. “Saya tahu bahwa tidak ada yang kesalahan seperti yang kalian alami. Kepercayaan yang kalian berikan telah dikhianati dan martabat kalian telah dilanggar … Banyak di antara kalian menyaksikan bahwa ketika kalian cukup berani untuk berbicara tentang apa yang terjadi pada kalian, tidak ada yang mau mendengarkan .. Bisa dimengerti jika kalian merasa sulit untuk memaafkan atau berdamai dengan gereja. Atas nama gereja , aku secara terbuka menyatakan rasa malu dan penyesalan atas semua kita semua rasakan. “
Kata-kata itu begitu menyentuh dan untuk beberapa umat Katolik, mungkin sudah cukup mendengar Paus menyatakan penyesalan dengan cara ini. Tapi Benediktus juga bicara tentang penebusan dosa. Dalam istilah gereja, sakramen pengampunan dosa melibatkan pengakuan dan kemudian memaafan seluruh dosa orang yang melakukan dosa. Tapi penebusan dosa macam apa yang akan dilakukan seorang Paus yang dengan tangannya telah menimbulkan kontroversi? Di sinilah letak persoalan teologi yang rumit.
Krisis Gereja Katolik terus memanas pada bulan Maret sampai April, banyak orang di Vatikan khawatir krisis itu akan membawa dampak buruk magisterium kepausan-yang menyangkut sejarah, otoritas kumulatif dan otoritas tertinggi pada sosok Paus untuk mengajarkan dan memberitakan firman-firman Allah. Para pejabat Vatikan khawatir bahwa “mea culpa” akan melemahkan institusi kepausan yang tak terpisahkan dengan kemampuan kepausan dalam merefleksikan kekuatannya pada dunia, di sepanjang sejarahnya. Mulai dari tindakan mempermalukan Kaisar Romawi yang Suci Henry IV di Canossa pada abad ke-11 sampai melecehkan kekuasaan Soviet di Polandia pada abad ke-20. Sikap itu memainkan peran penting dalam doktrin infalibilitas kepausan, yang menyatakan bahwa Paus tidak pernah membuat kesalahan saat ia memberikan ajaran-ajaran ex cathedra – yaitu, dogma dari tahta Santo Petrus, terikat dengan hak istimewa tradisional dari seorang “rasul”, kepada siapa diberikan kekuasaan di surga dan di bumi “untuk mengikat dan mlonggarkan” atau dengan kata lain bahwa gereja memiliki kemampuan untuk membuka pintu-pintu langit dan neraka, karena “rasul” itu akan selalu suci daripada manusia biasa
.Pihak gereja berkeyakinan, dengan menggelar “mea cupla” terkait skandal pelecehan seksual, maka magsiterium gereja akan tetap terjaga. Di sisi lain, faktanya, Ratzinger ketika masih masih menjadi uskup lokal di Munich tahun 1877-1981 dan sebagai pengawas doktrin universal di Roma, merupakan bagian dari sistem yang sangat meremehkan kasus-kasus pelecehan yang dilakukan pemuka gereja. dalam setengah abad terakhir.
Paus Benediktus XVI mencoba menyelamat citra Gereja Katolik yang tercoreng. lagi-lagi karena kasus kekerasan dan pedofilia yang dilakukan sejumlah pendeta di balik dinding gereja. Paus ternyata tidak mampu menunjukkan sikap tegasnya terhadap pendeta yang memiliki perilaku menyimpang, bahkan sejak ia masih menjadi kardinal di Munich, kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan para pendeta dianggapnya bukan masalah serius.
Ketika Gereja Menjadi Negara
Fakta bahwa skandal pelecehan seksual yang dilakukan oleh para pendeta Katolik sudah berlangsung sejak berpuluh-puluh tahun lalu, tak terbantahkan. “Yang menyedihkan, banyak penyelesaian kasus-kasus pelecehan seksual yang memakan waktu lama,” kata “orang dalam” Vatikan yang tidak mau disebut namanya. Pertanyaannya, mengapa Gereja Katolik tidak melaporkan saja para pendeta yang dituduh melakukan tindak kriminal itu ke aparat hukum sipil?
Tapi para pejabat Gereja membela diri dengan mengatakan bahwa semua kejahatan yang dituduhkan pada Gereja, sebenarnya adalah bagian dari persoalan sosial di masyarakat, dimana jarang sekali ada tuntutan terhadap kasus-kasus pelecehan seksual pada anak-anak.
Apapun pembelaan yang dilontarkan Gereja, realitas menunjukkan bahwa Gereja cenderung menutupi skandal-skandal seks yang terjadi di paroki-parokinya dan di panti-panti asuhan dimana anak-anak dipercayakan diasuh oleh Gereja. Dan tidak ada yang memiliki kecenderungan sistemik seperti itu, selain Gereja. Gereja betul-betul menghindari otoritas sipil, bahkan saat ini, ketika tekanan pada Vatikan begitu besar agar menyerahkan saja pendeta-pendeta bermasalah ke pengadilan sipil dan bukan pengadilan Gereja. Tapi sebagian pejabat Vatikan tetap bersikeras memegang teguh etos kuno Gereja Katolik.
Awal April kemarin, Uskup Agung yang dikenal eksentris, Dadeus Grings dari Porto Alegre, Brazil, pada surat kabar O Globo mengatakan, bahwa skandal seks para pendeta adalah masalah internal Gereja, bukan sesuatu yang harus dilaporkan ke polisi. “Akan terlihat aneh jika Gereja datang ke kantor polisi dan melaporkan anak sendiri,” kata Grings memberi perumpamaan.
Pola pikir macam Grings sudah berurat akar dalam sejarah Gereja. Gereja memiliki hak prerogatif yang melampaui batas teritorialnya sejak berabad-abad yang lalu. Gereja Katolik mengklaim sebagai wakil Yesus Kristus di dunia, sebuah otoritas yang sangat berkuasa dan tidak mungkin berdosa, karena menjadi penerus Sang Juru Selamat. Para pejabat Gereja akan selalu memegang teguh doktrin, bahwa menjaga kekuasaan gereja, kesucian Paus tidak bisa hanya menciptakan “Kota Tuhan”, tapi gereja juga harus punya kekuasaan di bumi, karenanya Gereja harus dilengkapi dengan divisi militer. Selanjutnya, Gereka paling tidak harus memegang kekuasaan pemerintahan sekuler. Gereja harus menjadi sebuah negara.
Ambisi Gereja itu menjadi begitu penting karena otoritas sekuler negara-negara yang berada di bawah kepausan di Italia, terus dilucuti oleh kerajaan Perancis dan Spanyol, Napoleon dan Garibaldi, Mussolini dan Hitler. Sejarawan bernama Melloni menyatakan bahwa Kepausan berhasil memanfaatkan situasi saat posisi Gereja lemah, untuk menarik simpati dari kalangan masyarakat yang masih beriman. Gereja menempatkan dirinya seolah-olah sebagai korban dan menyalahkan pihak lain yang dianggap telah menggerogoti kekuasaan Gereja.
“Taktik Gereja itulah yang menimbulkan kembali sikap penghormatan kepada Paus,” kata Melloni.
Taktik itu merupakan warisan selama 32 tahun kekuasaan Giovanni Maria Mastai-Ferretti, Paus Pius IX, tokoh yang pertama kali menggelar Konsili Dewan Gereja Vatikan yang pertama pada tahun 1869, yang mengakui kegagalan Gereja dan para tersangka yang dianggap bersalah dalam kegagalan itu mayoritas adalah para uskup. Selanjutnya, kekuasaan Gereja menjadi lebih terpusat dan mendominasi, dengan mengatasnamakan ketataaan pada kekuasaan Ilahi yang mutlak, birokrasi Vatikan dan Kuria Romawi. Bahkan ketika Paus kehilangan para divisinya, kerajaan Kristus yang berbasis di Roma membangun sebuah pemerintahan untuk menyaingi otoritas sipil di negara-negara dimana para pemuka agamanya bekerja hanya untuk melayani umat penganut agamanya. Gereja dan Katedral menjadi wakil Tuhan dan “utusannya” yaitu Paus, di negara-negara sekuler.
Dalam sistem seperti ini, setiap kecurigaan tentang perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pendeta atau biarawati secara naluriah akan dilaporkan ke rantai komando gereja daripada dan bukan ke kantor kejaksaan-tindakan yang menurut Gereja dilarang oleh Tuhan. Kebijakan yang diberlakukan sampai ke tingkat paroki ini, dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan Gereja, menghindari skandal dan untuk menjaga nama baik Geereja dengan cara apapun-kecenderungan ini makin buruk oleh kenyataan bahwa lembaga tinggi Gereja dijalankan oleh kumpulan lelaki yang berpengalaman dalam melakukan kecurangan. Pada kasus pedofilia, itu artinya yang diutamakan adalah kepentingan gereja dan para pendetanya, bukan kesejahteraan anak-anak yang dipercayakan diasuh oleh Gereja.
Menurut sumber Vatikan yang mengaku loyal kepada Paus, sebagai Kardinal Ratzinger, Paus tahu bagaimana bertindak dalam lingkungan Kuria berbahasa Italia, Bizantium, begitu ia tiba dari Jerman ke Roma pada tahun 1981. Dalam situasi dimana Paus Yohanes Paulus II ketika itu, tidak tertarik dalam masalah administrasi dan sering jauh dari kantor pusatnya di Vatikan, Ratzinger menjadi salah satu dari sedikit Kardinal yang saling bersaing untuk memberikan pengaruh terhadap pengelolaan Gereja. Ia terus mencari reputasi dalam pengambil keputusan yang penting dan prinsipil terutama dalam doktrin Gereja yang menjadi bidangnya, meskipun ia kurang transparan ketika menyangkut laporan memalukan terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh oleh para pendeta dan uskup. Tapi, kata seorang pengamat kawakan Vatikan, Ratzinger “tahu tempatnya berada dengan baik dan melihat banyak pisau panjang” dan dia tampaknya memilih bertempur dengan hati-hati.
Pada tahun 1995, Ratzinger berhasil memaksa pemecatan Kardinal Hans Hermann GroËr sebagai sebagai Uskup Agung di Wina. Tapi menurut surat kabar New York Times, Ratzinger melakukan itu tanpa perjuangan misalnya dengan membentuk tim komisi pencari fakta untuk menyelidiki kasus penganiayaan anak-anak yang dituduhkan pada GroËr. Ratzinger mengambil keuntungan dari situasi itu, setelah kasus penganiayaan itu berhasil diblokir–sehingga tidak menjadi pemberitaan panas–oleh sekretaris pribadi Yohanes Paulus II, Stanislaw Dziwisz (sekarang Uskup Agung Krakow) dan Menteri Luar Negeri Vatikan yang sangat kuar pengaruhnya, Kardinal Angelo Sodano (sekarang dekan di College of Cardinals). Ratzinger, akhirnya bisa menyaksikan mahasiswa dan sekaligus temannya Christoph SchÖnborn berhasil menggantikan GroËr sebagai Uskup Agung Wina.
Dikenal sebagai orang yang efisien, Ratzinger ternyata berpandangan picik. Dalam satu hal, ia bertekad untuk mempertahankan sumber daya manusia, yaitu para kardinal yang jumlahnya makin sedikit daripada menegakkan keadilan. Dalam kasus yang diungkap Associated Press bulan April kemarin, seorang pendeta yang merupakan anak hasil selingkuh, minta dipecat . Uskup lokal di Oakland, California, berulang kali mengirimkan surat ke kantor Ratzinger di Roma untuk membereskan prosedur permintaan pemecatan itu. Kasus ini diproses sangat lama, sampai pada tahun 1985 datang surat yang ditandatangani Kardinal yang isinya mengingatkan keuskupan Oakland ” untuk mempertimbangkan kepentingan Gereja Universal” dan menunda permintaan pemecatan pendeta dengan alasan pendeta yang minta dipecat itu “masih berusia muda.”
Para pembela Benediktus XVI beranggapan, bagaimanapun juga tidak adil jika Paus Benediktus diseret ke tengah skandal yang dilakukan para pendeta dan uskup Gereka Katolik. Sebelum terpilih menjadi Paus, Ratzinger dinilai berjasa dalam mengatasi krisis yang dialami Gereja sementara rekan-rekannya sesama Kardinal masih berusaha membersihkan Gereja dari aneka tuduhan. Memang, kebijakan Ratzinger, terutama setelah kantornya ditugaskan untuk mengawasi kasus-kasus besar pada tahun 2001, telah memberikan kontribusi sehingga ada penurunan jumlah kasus-kasus baru pelecehan seksual oleh para pendeta. Beberapa saat sebelum ia terpilih sebagai Paus, dalam khotbah Jumat Agung tahun 2005, Kardinal menegaskan tentang kebutuhan untuk “membersihkan kotoran” di kalangan pejabat gereja.
Begitu resmi diangkat sebagai Paus, dengan cepat Benediktus mengasingkan Pendeta Marcial Maciel Degollado ke sebuah biara dan disana ia hidup dalam penebusan dosa. Degodallo adalah orang yang cukup berpengaruh dan salah satu pendiri Legiun Kristus di Meksiko. Pendeta itu sudah lama mendapat perlindungan dari para pejabat Gereja, termasuk Yohanes Paulus II, terkait dengan sejumlah tuduhan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Pendeta Degollado.
Tiindakan Paus yang paling diingat orang adalah, ketika ia berkunjung ke Amerika Serikat pada tahun 2008. Di AS Benediktus bertemu lima korban pelecehan seks yang dilakukan oleh pendeta di kedutaan besar Vatikan di Washington, sebuah pertemuan yang tak terduga dan lolos dari lpitan pers karena pertemuan dilakukan tanpa pemberitahuan, Peristiwa ini menunjukkan betapa berkuasanya Kepausan Benediktus, dan peristiwa itu terulang lagi dalam kunjungan Paus ke Australia dan Malta bulan April kemarin.
Tapi pada bulan Maret 2010, sejumlah wartawan Jerman berhasil mengungkap catatan yang mengancam reputasi Paus Benediktus. Catatan itu membeberkan bahwa pada tahun 1980 di Munich, Ratzinger–yang kemudian menjadi uskup agung–secara pribadi mengesahkan mutasi seorang pendeta yang berperilaku kejam, Peter Hullermann, dari Jerman ke keuskupannya dengan dalih untuk menjalani terapi. Tapi hanya beberapa hari setelah kedatangannya, pendeta itu diizinkan untuk melayani jamaah.
Hullermann sendiri, di kemudian hari, tepatnya tahun 1986, tersangkut sejumlah pelecehan seksual. Atas kasus Ratzinger-Hullermann, Vatikan menegaskan bahwa, seperti Uskup Agung lainnya, Ratzinger tidak bertanggung jawab atas penugasan para pendeta di paroki, termasuk para pendeta yang memiliki sejarah melakukan pelecehan dan penganiayaan terhadap anak-anak. Namun Ratzinger adalah bintang yang bersinar – seorang filsuf yang religius dan brilian – telah mengambil posisi di jalur administrasi dan tinggal selangkah lagi melangkah ke Vatikan. Akhirnya tahun 1981, Ratzinger ditugaskan kembali ke Roma untuk bekerja di Gereja Vatikan.
Reputasi Ratzinger sebagai orang yang detail, membuat banyak orang sulit percaya bahwa Ratzinger tidak tahu apa-apa tentang Hullermann yang melakukan pelayanan Gereja, padahal pendeta itu bermasalah.. Paus tidak pernah menjelaslkan kasus ini secara eksplisit selama masa tugasnya. Tapi kalau dia hruas memuaskan para korban dan keluarga korban, ia harus melakukannya satu hari nanti.. Namun kenyataannya, seorang korban pelecehan seksual bernama Home yang bertemu Benediktus di Washington tahun 2008, mengatakan bahwa Benediktus menampakkan sikap yang terkejut sama sekali mendengar pengakuan korban.
Pada kesempatan itu, Home menuntut pertanggungjawaban penuh Vatikan atas kasus-kasus pelecehan seksual di masa lalu. Ia menegaskan bahwa dirinya bersama para korban lainnya tidak punya kepentingan untuk menumbangkan kekuasaan Benediktus. “Kami sedang meminta tanggung jawab moral dari Gereja,” ujar Home.
hamba tuhan- MUSLIM
-
Number of posts : 9932
Age : 23
Location : Aceh
Humor : Obrolan Santai dengan Om Yesus
Reputation : -206
Points : 15871
Registration date : 2010-09-20
Re: Pendeta Wanita Siap Memberkati Pernikahan Pasangan Homo di RI
hamba tuhan wrote:murtad_is_stupid wrote:itulah PENDETA PENDETA WANITA LESBIAN makanya dia kagak kawin kawin , biasa lesbian alias MAIN SESAMA JENIS , begitu juga pastor pastornya rata-rata HOMOSEX , Dimana- mana namanya manusia adalah mahluk biologis butuh kawin untuk mempertahankan kelanjutan manusia , kalo semua Kristen kelakuannya kayak pastor-pasto/biarawati nya yang kagak kawin bisa punah tuh orang Kristen, habis kagak ada yang kawin sama lawan jenis..., ya nggak , ya nggak Hahahahahahaha..., PAstor pada doyan lobang WC ,jangan jagna banyak yg kena AIDS hehehehe, Nafsu sex itu udah lahiriah kebutuhan biologis ,pake nggak boleh kawin yah jadi HOmosex deh abis kan kagak keliatan kawin normal hehehehe..., Biarawati lesbian iyalah emangnya kagak punya nafsu sex ? , udah deh saling jilat-jilatan lobang kencing hiiiii...., kristen2 goblok hahahaha....kagak pake Logika mo ajah diboongin sama si Paulus hahahaha..., aJARAN agama yang paling ngawur kagak pake logika hahahaha
mau ajah di cipoain sama Iblis yg ngaku 2 paulus hahaha....
Mencuatnya skandal seks para pendeta Katolik, mencoreng muka Vatikan, sebagai instutusi keagamaan tertinggi umat Katolik. Sikap Paus Benediktus XVI atas skandal memalukan ini membuat umat Katolik kecewa dan membuat banyak orang makin tidak percaya dengan institusi gereja. Alih-alih menghukum pelakunya, Paus Benediktus malah menyelenggarakan pengakuan dan pengampunan dosa bagi para pelakunya. Inikah awal kehancuran Gereja Katolik Roma?
Sejak Awal Menolak Bertanggung Jawab
Bagaimana seseorang menebus dosa atas sesuatu hal yang mengerikan, seperti Inkuisisi (pengadilan oleh Gereja Katolik Roma)? Joseph Ratzinger, seorang Kardinal asal Jerman mencoba melakukan hal itu untuk Gereja Katolik Roma dalam upacara megah penebusan dosa yang digelar Vatikan, disebut Hari Pengampunan yang diselenggarakan pada tanggal 12 Maret 2000. Ritual yang dipimpin langsung oleh Paus Yohanes Paulus II bertujuan untuk memurnikan sejarah gereja dan kurun waktu dua milenium ini. Di hadapan sebuah salib kayu- salib keramat yang selalu berhasil diselamatkan dalam setiap peristiwa pengepungan Roma sejak abad ke-15- para Kardinal dan uskup berdiri untuk mengakui dosa-dosa yang pernah mereka lakukan terhadap berbagai etnis di masyarakat, pada kaum perempuan, orang-orang Yahudi, pada kebudayaan masyarakat minoritas, sesama orang Kristen lainnya dan pada agama. Ratzinger merupakan pilihan yang tepat untuk mewakili Kantor Kudus Inkuisisi yang mengerikan: Ia, ketika itu mengepalai kantor Kongregasi Doktrin Keimanan, yang bersejarah itu. Ketika gilirannya pengampunan dosanya tiba, Ratzinger yang dikenal sebagai teolog terkemuka gereja, mengucapkan sebuah doa pendek, “Bahkan orang-orang gereja, atas nama iman dan moral, kadang-kadang menggunakan metode tidak sesuai dengan Injil dalam tugas mulia membela kebenaran. “
Jika orang yang mendengarnya meraka adanya kata-kata yang bertentangan, maka ia akan memahami kesulitan yang sedang dihadapi Ratzinger-sekarang Paus Benediktus XVI-dalam memipin Gereja Katolik untuk benar-benar menghapus noda hitam dari sekian noda hitam yang pernah terjadi di Gereja Katolik yaitu kasus-kasus yang menyangkut perilaku yang tidak pantas yang dilakukan para pendeta pada anak-anak dan ditutup-tutupi oleh para uskup gereja. Dan ketika seorang Kardinal yang memiliki jabatan di gereja melontarkan spekulasi pada publik bahwa Benediktus akan menyampaikan “mea culpa” (pengakuan bahwa sesuatu yang buruk terjadi karena kesalahannya) pada awal Juni, menurutnya, kata-kata maaf yang akan disampaikan–jika memang hal yang buruk itu memang terbukti–akan sangat dibatasi oleh persoalan teologi, sejarah dan orang-orang yang sangat dekat dengan kantor kepausan. Pernyataan itu, masih kata sumber Kardinal tadi, kemungkinan tidak akan memuaskan para pengikut Benediktus yang menginginkan pertanggungjawaban yang lebih modern, bukan hanya sekedar pernyataan yang tidak ada gaungnya dengan berlindung dibalik filosofi agama yang misterius. Olan Home, 50, salah satu orang yang menjadi korban pelecehan yang dilakukan pendeta Kristen di Amerika pada masa anal-anak mengatakan, “Seseorang mengatakan pada saya, jika gereja selamat dari inkuisis, maka gereja akan tetap bertahan. Tapi masa lalu berbeda dengan masa sekarang. Saat ini ini, dunia modern menutup mata dan telinganya terkait persoalan-persoalan besar yang terjadi di Gereja Katolik.”
Gereja mengalami krisis yang rumit oleh fakta bahwa pada tahun 1980, sebagai Uskup Agung Munich, Ratzinger namapkanya telah melakukan kesalahan dengan menugaskan seorang pendeta yang dicurigai terlibat kasus pedofilia, yang berada di bawah tanggung jawabnya. Terungkapnya kasus ini—yang menjadi pertanyaan bagaimana Ratzinger, sebagai pejabat Vatikan akan melakukan pengawasan selanjutnya–memicu pengalihan perhatian atas berbagai skandal nasional ke isu epik dan ujian eksistensi gereja yang universal, ujian bagi para pemimpinnya dan pada saat yang sama ujian bagi ajaran agama itu sendiri. Kenyataan ini mengandaskan ambisi Benediktus untuk megembalikan lagi kejayaan evangelis di kota-kota Eropa, sebuah imperium kekristenan seperti di masa lalu. Selama dua bulan terakhir, Paus telah menimbulkan pergeseran Tahta Suci, dari sikap diam dan pengingkaran menjadi terpanggil untuk menghadapi musuh dari dalam gereja. Meski demikian, rasanya tetap ada bagian yang hilang, terkait tudingan bahwa Bapa Suci terlibat dalam skandal itu. Mampukah Paus, sosok yang menjadi lambang masih hidupnya ajaran Injil kuno dan pemimpin spiritual 1,2 miliar umat Katolik dunia ini , menebus dosa-dosanya di hadapan publik tanpa harus kehilangan sifat kepausan yang tak terkalahkan dari sisi teologi?
Tanpa menyinggung krisis yang terjadi, di hadapan jamaahnya di Lapangan Santo Petrus pada tanggal 26 Mei, Benediktus mengatakan “Bahkan seorang Paus tidak dapat melakukan apa yang ia inginkan. Sebaliknya, Paus adalah penjaga ketaatan kepada Kristus, kepada firman-Nya.”
Benediktus tampaknya sudah memahami apa taruhannya. Alberto Melloni, seorang sejarawan gereja di Universitas Modena mengatakan, para pemegang kekuasaan lainnya di Vatikan optimis gereja bisa menanggulangi “badai” yang menerpa gereja. “Mereka tidak menyadari kepahitan yang mendalam dari semua keyakinan yang ada, yaitu isolasi yang akan dialami para pemuka gereja. Kita tidak bisa memprediksi akhir dari semua krisis ini,” ujar Melloni. Pada Time, seorang pejabat senior Vatikan memprediksi akan adanya konsekuensi besar bagi seluruh gereja. “Sejarah sudah sampai pada episode yang penting. Kami sedang menghadapi salah satu dari masa-masa itu, sekarang,” ujar sumber tadi.
Lembaran Hitam Gereja
Pada akhirnya, ujian bagi gereja bukan tentang doktrin atau dogma, bahkan bukan tentang kata-kata yang akan diucapkan dalam “mea culpa” dan pengunduran diri atau tuntutan terhadap para wali gereja. Tapi ujian itu adalh suara tangisan anak-anak akhirnya terdengar keluar, lama setelah masa kecil mereka. Dengarlah penuturan Bernie McDaid yang membuat jamaah di Lapangan Santo Petrus bergetar.
“Dia meraih tubuh saya, menggelitik dan bergulat seperti yang saya lakukan dengan ayah saya, dan awalnya saya pikir ini menyenangkan,” kata McDaid yang menurut imam parokinya, McDaid menghabiskan masa kecil dan remajanya di Salem.
“Tapi kemudian ada yang berubah … Dia mulai memegang kemaluan saya. Saya merasa dia menggosok-gosokan dirinya ke tubuh saya dari belakang … Saya sangat takut … Aku tahu ini salah. Saya memandang keluar jendela. Aku mulai berdoa,” tutur McDaid.
Menurutnya, kejadian itu terjadi lagi dan lagi selama tiga tahun. Ibu McDaid yang saleh, tidak tahu apa-apa dan selalu senang jika pendeta datang ke rumah untuk menjemput putranya untuk bergabung bersama anak-anak lelaki lainnya pergi tamasya ke pantai. McDaid baru berusia 11 tahun ketika pelecehan itu dalaminyai. McDaid, yang sekarang berusia 54 tahun ingat bahwa anak terakhir yang keluar dari mobil pendeta yang akan jadi korban pelecehan seksual. McDaid akhirnya bicara kepada ayahnya, yang kemudian membawanya kepada imam di kota tetangga untuk melaporkan apa yang terjadi.
“Kami menunggu selama berbulan-bulan. Lalu ada rotasi para pendeta. Dia (pendeta pelaku pelecehan) pergi,. Tapi gereja membuat pendeta itu tampak seperti orang penting. Kepindahannya dirayakan dengan kue dan es krim,” ujar McDaid yang akhirnya dalam kebisuan, menyimpan sendiri rasa malu akibat perbuatan Pastor Joseph Birmingham yang setelah itu diketahui masih terus melakukan pelecehan seksual pada anak-anak di tiga paroki di wilayah Boston, sampai ia meninggal pada tahun 1989.
“Ada sistem yang diyakini,” kata McDaid, “bahwa para pendeta, uskup dan Paus adalah orang-orang yang selalu benar. Manusia memberi mereka kekuasaan karena kekuasaan itu seharusnya menjadi sumber kebaikan .. sebuah kekuasaan Allah. Sekarang, banyak orang setengah napas … Mereka tidak tahu di mana akan menempatkan iman mereka. Apa yang harus saya lakukan saat berdoa?”
Injil Markus menetapkan nasib mereka yang menganiaya anak-anak, “Dan siapa pun yang membahayakan anak-anak yang beriman kepadaku, adalah lebih baik bagi orang itu digantungkan batu pada lehernya dan dilemparkan ke dalam laut. ” Namun peringatan keras dalam Injil itu tidak terlihat dalam respon gereja terhadap kejahatan seksual yang dilakukan para pendetanya. Selama bertahun-tahun, para pemuka gereja yang menyinggung masalah pelecehan seksual ini, hanya berakhir dalam kebisuan.
Saat ini Vatikan tampak menghimbau para uskup mulai dari dari India sampai Italia untuk segera melimphakan kasus-kasus baru kepada otoritas sipil. Tapi bagaimana dengan ketidakadilan yang terjadi pada masa lalu? Mea culpa akan dimulai dan Benediktus memiliki draft tentang apa saja yang harus dikerjakan; mulai dari menulis surat kepada umat Katolik di Irlandia pada tanggal 19 Maret, setelah terungkapnya skandal seks yang telah melemahkan institusi gereja di sana.
“Anda telah sangat menderita dan saya benar-benar menyesal,” tulis Benediktus. “Saya tahu bahwa tidak ada yang kesalahan seperti yang kalian alami. Kepercayaan yang kalian berikan telah dikhianati dan martabat kalian telah dilanggar … Banyak di antara kalian menyaksikan bahwa ketika kalian cukup berani untuk berbicara tentang apa yang terjadi pada kalian, tidak ada yang mau mendengarkan .. Bisa dimengerti jika kalian merasa sulit untuk memaafkan atau berdamai dengan gereja. Atas nama gereja , aku secara terbuka menyatakan rasa malu dan penyesalan atas semua kita semua rasakan. “
Kata-kata itu begitu menyentuh dan untuk beberapa umat Katolik, mungkin sudah cukup mendengar Paus menyatakan penyesalan dengan cara ini. Tapi Benediktus juga bicara tentang penebusan dosa. Dalam istilah gereja, sakramen pengampunan dosa melibatkan pengakuan dan kemudian memaafan seluruh dosa orang yang melakukan dosa. Tapi penebusan dosa macam apa yang akan dilakukan seorang Paus yang dengan tangannya telah menimbulkan kontroversi? Di sinilah letak persoalan teologi yang rumit.
Krisis Gereja Katolik terus memanas pada bulan Maret sampai April, banyak orang di Vatikan khawatir krisis itu akan membawa dampak buruk magisterium kepausan-yang menyangkut sejarah, otoritas kumulatif dan otoritas tertinggi pada sosok Paus untuk mengajarkan dan memberitakan firman-firman Allah. Para pejabat Vatikan khawatir bahwa “mea culpa” akan melemahkan institusi kepausan yang tak terpisahkan dengan kemampuan kepausan dalam merefleksikan kekuatannya pada dunia, di sepanjang sejarahnya. Mulai dari tindakan mempermalukan Kaisar Romawi yang Suci Henry IV di Canossa pada abad ke-11 sampai melecehkan kekuasaan Soviet di Polandia pada abad ke-20. Sikap itu memainkan peran penting dalam doktrin infalibilitas kepausan, yang menyatakan bahwa Paus tidak pernah membuat kesalahan saat ia memberikan ajaran-ajaran ex cathedra – yaitu, dogma dari tahta Santo Petrus, terikat dengan hak istimewa tradisional dari seorang “rasul”, kepada siapa diberikan kekuasaan di surga dan di bumi “untuk mengikat dan mlonggarkan” atau dengan kata lain bahwa gereja memiliki kemampuan untuk membuka pintu-pintu langit dan neraka, karena “rasul” itu akan selalu suci daripada manusia biasa
.Pihak gereja berkeyakinan, dengan menggelar “mea cupla” terkait skandal pelecehan seksual, maka magsiterium gereja akan tetap terjaga. Di sisi lain, faktanya, Ratzinger ketika masih masih menjadi uskup lokal di Munich tahun 1877-1981 dan sebagai pengawas doktrin universal di Roma, merupakan bagian dari sistem yang sangat meremehkan kasus-kasus pelecehan yang dilakukan pemuka gereja. dalam setengah abad terakhir.
Paus Benediktus XVI mencoba menyelamat citra Gereja Katolik yang tercoreng. lagi-lagi karena kasus kekerasan dan pedofilia yang dilakukan sejumlah pendeta di balik dinding gereja. Paus ternyata tidak mampu menunjukkan sikap tegasnya terhadap pendeta yang memiliki perilaku menyimpang, bahkan sejak ia masih menjadi kardinal di Munich, kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan para pendeta dianggapnya bukan masalah serius.
Ketika Gereja Menjadi Negara
Fakta bahwa skandal pelecehan seksual yang dilakukan oleh para pendeta Katolik sudah berlangsung sejak berpuluh-puluh tahun lalu, tak terbantahkan. “Yang menyedihkan, banyak penyelesaian kasus-kasus pelecehan seksual yang memakan waktu lama,” kata “orang dalam” Vatikan yang tidak mau disebut namanya. Pertanyaannya, mengapa Gereja Katolik tidak melaporkan saja para pendeta yang dituduh melakukan tindak kriminal itu ke aparat hukum sipil?
Tapi para pejabat Gereja membela diri dengan mengatakan bahwa semua kejahatan yang dituduhkan pada Gereja, sebenarnya adalah bagian dari persoalan sosial di masyarakat, dimana jarang sekali ada tuntutan terhadap kasus-kasus pelecehan seksual pada anak-anak.
Apapun pembelaan yang dilontarkan Gereja, realitas menunjukkan bahwa Gereja cenderung menutupi skandal-skandal seks yang terjadi di paroki-parokinya dan di panti-panti asuhan dimana anak-anak dipercayakan diasuh oleh Gereja. Dan tidak ada yang memiliki kecenderungan sistemik seperti itu, selain Gereja. Gereja betul-betul menghindari otoritas sipil, bahkan saat ini, ketika tekanan pada Vatikan begitu besar agar menyerahkan saja pendeta-pendeta bermasalah ke pengadilan sipil dan bukan pengadilan Gereja. Tapi sebagian pejabat Vatikan tetap bersikeras memegang teguh etos kuno Gereja Katolik.
Awal April kemarin, Uskup Agung yang dikenal eksentris, Dadeus Grings dari Porto Alegre, Brazil, pada surat kabar O Globo mengatakan, bahwa skandal seks para pendeta adalah masalah internal Gereja, bukan sesuatu yang harus dilaporkan ke polisi. “Akan terlihat aneh jika Gereja datang ke kantor polisi dan melaporkan anak sendiri,” kata Grings memberi perumpamaan.
Pola pikir macam Grings sudah berurat akar dalam sejarah Gereja. Gereja memiliki hak prerogatif yang melampaui batas teritorialnya sejak berabad-abad yang lalu. Gereja Katolik mengklaim sebagai wakil Yesus Kristus di dunia, sebuah otoritas yang sangat berkuasa dan tidak mungkin berdosa, karena menjadi penerus Sang Juru Selamat. Para pejabat Gereja akan selalu memegang teguh doktrin, bahwa menjaga kekuasaan gereja, kesucian Paus tidak bisa hanya menciptakan “Kota Tuhan”, tapi gereja juga harus punya kekuasaan di bumi, karenanya Gereja harus dilengkapi dengan divisi militer. Selanjutnya, Gereka paling tidak harus memegang kekuasaan pemerintahan sekuler. Gereja harus menjadi sebuah negara.
Ambisi Gereja itu menjadi begitu penting karena otoritas sekuler negara-negara yang berada di bawah kepausan di Italia, terus dilucuti oleh kerajaan Perancis dan Spanyol, Napoleon dan Garibaldi, Mussolini dan Hitler. Sejarawan bernama Melloni menyatakan bahwa Kepausan berhasil memanfaatkan situasi saat posisi Gereja lemah, untuk menarik simpati dari kalangan masyarakat yang masih beriman. Gereja menempatkan dirinya seolah-olah sebagai korban dan menyalahkan pihak lain yang dianggap telah menggerogoti kekuasaan Gereja.
“Taktik Gereja itulah yang menimbulkan kembali sikap penghormatan kepada Paus,” kata Melloni.
Taktik itu merupakan warisan selama 32 tahun kekuasaan Giovanni Maria Mastai-Ferretti, Paus Pius IX, tokoh yang pertama kali menggelar Konsili Dewan Gereja Vatikan yang pertama pada tahun 1869, yang mengakui kegagalan Gereja dan para tersangka yang dianggap bersalah dalam kegagalan itu mayoritas adalah para uskup. Selanjutnya, kekuasaan Gereja menjadi lebih terpusat dan mendominasi, dengan mengatasnamakan ketataaan pada kekuasaan Ilahi yang mutlak, birokrasi Vatikan dan Kuria Romawi. Bahkan ketika Paus kehilangan para divisinya, kerajaan Kristus yang berbasis di Roma membangun sebuah pemerintahan untuk menyaingi otoritas sipil di negara-negara dimana para pemuka agamanya bekerja hanya untuk melayani umat penganut agamanya. Gereja dan Katedral menjadi wakil Tuhan dan “utusannya” yaitu Paus, di negara-negara sekuler.
Dalam sistem seperti ini, setiap kecurigaan tentang perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pendeta atau biarawati secara naluriah akan dilaporkan ke rantai komando gereja daripada dan bukan ke kantor kejaksaan-tindakan yang menurut Gereja dilarang oleh Tuhan. Kebijakan yang diberlakukan sampai ke tingkat paroki ini, dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan Gereja, menghindari skandal dan untuk menjaga nama baik Geereja dengan cara apapun-kecenderungan ini makin buruk oleh kenyataan bahwa lembaga tinggi Gereja dijalankan oleh kumpulan lelaki yang berpengalaman dalam melakukan kecurangan. Pada kasus pedofilia, itu artinya yang diutamakan adalah kepentingan gereja dan para pendetanya, bukan kesejahteraan anak-anak yang dipercayakan diasuh oleh Gereja.
Menurut sumber Vatikan yang mengaku loyal kepada Paus, sebagai Kardinal Ratzinger, Paus tahu bagaimana bertindak dalam lingkungan Kuria berbahasa Italia, Bizantium, begitu ia tiba dari Jerman ke Roma pada tahun 1981. Dalam situasi dimana Paus Yohanes Paulus II ketika itu, tidak tertarik dalam masalah administrasi dan sering jauh dari kantor pusatnya di Vatikan, Ratzinger menjadi salah satu dari sedikit Kardinal yang saling bersaing untuk memberikan pengaruh terhadap pengelolaan Gereja. Ia terus mencari reputasi dalam pengambil keputusan yang penting dan prinsipil terutama dalam doktrin Gereja yang menjadi bidangnya, meskipun ia kurang transparan ketika menyangkut laporan memalukan terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh oleh para pendeta dan uskup. Tapi, kata seorang pengamat kawakan Vatikan, Ratzinger “tahu tempatnya berada dengan baik dan melihat banyak pisau panjang” dan dia tampaknya memilih bertempur dengan hati-hati.
Pada tahun 1995, Ratzinger berhasil memaksa pemecatan Kardinal Hans Hermann GroËr sebagai sebagai Uskup Agung di Wina. Tapi menurut surat kabar New York Times, Ratzinger melakukan itu tanpa perjuangan misalnya dengan membentuk tim komisi pencari fakta untuk menyelidiki kasus penganiayaan anak-anak yang dituduhkan pada GroËr. Ratzinger mengambil keuntungan dari situasi itu, setelah kasus penganiayaan itu berhasil diblokir–sehingga tidak menjadi pemberitaan panas–oleh sekretaris pribadi Yohanes Paulus II, Stanislaw Dziwisz (sekarang Uskup Agung Krakow) dan Menteri Luar Negeri Vatikan yang sangat kuar pengaruhnya, Kardinal Angelo Sodano (sekarang dekan di College of Cardinals). Ratzinger, akhirnya bisa menyaksikan mahasiswa dan sekaligus temannya Christoph SchÖnborn berhasil menggantikan GroËr sebagai Uskup Agung Wina.
Dikenal sebagai orang yang efisien, Ratzinger ternyata berpandangan picik. Dalam satu hal, ia bertekad untuk mempertahankan sumber daya manusia, yaitu para kardinal yang jumlahnya makin sedikit daripada menegakkan keadilan. Dalam kasus yang diungkap Associated Press bulan April kemarin, seorang pendeta yang merupakan anak hasil selingkuh, minta dipecat . Uskup lokal di Oakland, California, berulang kali mengirimkan surat ke kantor Ratzinger di Roma untuk membereskan prosedur permintaan pemecatan itu. Kasus ini diproses sangat lama, sampai pada tahun 1985 datang surat yang ditandatangani Kardinal yang isinya mengingatkan keuskupan Oakland ” untuk mempertimbangkan kepentingan Gereja Universal” dan menunda permintaan pemecatan pendeta dengan alasan pendeta yang minta dipecat itu “masih berusia muda.”
Para pembela Benediktus XVI beranggapan, bagaimanapun juga tidak adil jika Paus Benediktus diseret ke tengah skandal yang dilakukan para pendeta dan uskup Gereka Katolik. Sebelum terpilih menjadi Paus, Ratzinger dinilai berjasa dalam mengatasi krisis yang dialami Gereja sementara rekan-rekannya sesama Kardinal masih berusaha membersihkan Gereja dari aneka tuduhan. Memang, kebijakan Ratzinger, terutama setelah kantornya ditugaskan untuk mengawasi kasus-kasus besar pada tahun 2001, telah memberikan kontribusi sehingga ada penurunan jumlah kasus-kasus baru pelecehan seksual oleh para pendeta. Beberapa saat sebelum ia terpilih sebagai Paus, dalam khotbah Jumat Agung tahun 2005, Kardinal menegaskan tentang kebutuhan untuk “membersihkan kotoran” di kalangan pejabat gereja.
Begitu resmi diangkat sebagai Paus, dengan cepat Benediktus mengasingkan Pendeta Marcial Maciel Degollado ke sebuah biara dan disana ia hidup dalam penebusan dosa. Degodallo adalah orang yang cukup berpengaruh dan salah satu pendiri Legiun Kristus di Meksiko. Pendeta itu sudah lama mendapat perlindungan dari para pejabat Gereja, termasuk Yohanes Paulus II, terkait dengan sejumlah tuduhan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Pendeta Degollado.
Tiindakan Paus yang paling diingat orang adalah, ketika ia berkunjung ke Amerika Serikat pada tahun 2008. Di AS Benediktus bertemu lima korban pelecehan seks yang dilakukan oleh pendeta di kedutaan besar Vatikan di Washington, sebuah pertemuan yang tak terduga dan lolos dari lpitan pers karena pertemuan dilakukan tanpa pemberitahuan, Peristiwa ini menunjukkan betapa berkuasanya Kepausan Benediktus, dan peristiwa itu terulang lagi dalam kunjungan Paus ke Australia dan Malta bulan April kemarin.
Tapi pada bulan Maret 2010, sejumlah wartawan Jerman berhasil mengungkap catatan yang mengancam reputasi Paus Benediktus. Catatan itu membeberkan bahwa pada tahun 1980 di Munich, Ratzinger–yang kemudian menjadi uskup agung–secara pribadi mengesahkan mutasi seorang pendeta yang berperilaku kejam, Peter Hullermann, dari Jerman ke keuskupannya dengan dalih untuk menjalani terapi. Tapi hanya beberapa hari setelah kedatangannya, pendeta itu diizinkan untuk melayani jamaah.
Hullermann sendiri, di kemudian hari, tepatnya tahun 1986, tersangkut sejumlah pelecehan seksual. Atas kasus Ratzinger-Hullermann, Vatikan menegaskan bahwa, seperti Uskup Agung lainnya, Ratzinger tidak bertanggung jawab atas penugasan para pendeta di paroki, termasuk para pendeta yang memiliki sejarah melakukan pelecehan dan penganiayaan terhadap anak-anak. Namun Ratzinger adalah bintang yang bersinar – seorang filsuf yang religius dan brilian – telah mengambil posisi di jalur administrasi dan tinggal selangkah lagi melangkah ke Vatikan. Akhirnya tahun 1981, Ratzinger ditugaskan kembali ke Roma untuk bekerja di Gereja Vatikan.
Reputasi Ratzinger sebagai orang yang detail, membuat banyak orang sulit percaya bahwa Ratzinger tidak tahu apa-apa tentang Hullermann yang melakukan pelayanan Gereja, padahal pendeta itu bermasalah.. Paus tidak pernah menjelaslkan kasus ini secara eksplisit selama masa tugasnya. Tapi kalau dia hruas memuaskan para korban dan keluarga korban, ia harus melakukannya satu hari nanti.. Namun kenyataannya, seorang korban pelecehan seksual bernama Home yang bertemu Benediktus di Washington tahun 2008, mengatakan bahwa Benediktus menampakkan sikap yang terkejut sama sekali mendengar pengakuan korban.
Pada kesempatan itu, Home menuntut pertanggungjawaban penuh Vatikan atas kasus-kasus pelecehan seksual di masa lalu. Ia menegaskan bahwa dirinya bersama para korban lainnya tidak punya kepentingan untuk menumbangkan kekuasaan Benediktus. “Kami sedang meminta tanggung jawab moral dari Gereja,” ujar Home.
musti berkata apa ya daku?????
heran aja kok ada ajaran yg punya pendirian kayak gini...
dimana akal dan logika sehat anda wahai kaum tersesat????
paulus- MUSLIM
-
Number of posts : 2496
Age : 43
Location : sekitar israel
Reputation : 35
Points : 8152
Registration date : 2010-01-12
Re: Pendeta Wanita Siap Memberkati Pernikahan Pasangan Homo di RI
paulus wrote:Paulus bilang:
agama pengikut paulus kristen memang agama cinta kasih antar sesama jenis?
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/05/tgl/29/time/151819/idnews/786643/idkanal/10
Jakarta - Setiap manusia punya hak untuk saling mencintai. Dasar inilah yang membuat seorang pendeta wanita siap memberkati pernikahan pasangan sejenis. Pendeta itu bernama Ester Mariani. Dijelaskan dia, pemberkatan itu secara hukum agama, sedangkan pernikahan itu secara hukum nasional. "Secara pribadi saya berani memberkati pernikahan mereka. Buat saya setiap manusia punya hak untuk saling mencintai. Dan manusia bukan untuk agama, tapi agama untuk menghidupkan manusia. Namun tetap saja hukum nasional tidak bisa menerima pernikahan sejenis," ujar Ester. Hal ini disampaikan dia usai diskusi publik memperingati Hari Internasional Melawan Homophobia di Wahid Institute, Jl Taman Amir Hamzah, Matraman, Jakarta, Selasa (29/5/2007). Namun demikian, pendeta Gereja Masehi Injili Ditimor, Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang masih melajang ini, belum pernah sekalipun memberkati pernikahan pasangan sejenis. Ester mengaku tidak takut dengan pernyataannya yang siap memberkati pernikahan sejenis, meski dirinya berada dalam lingkungan gereja konservatif. "Saya siap bertanggung jawab kalau gereja memanggil saya," ujarnya. (nik/sss)
harapannya si anak cengeng ga jadian sama si murid rabi yahudi naif....hehehe
kaum tersesat merasa senang udah ikut dalam membela HAM ....
paulus- MUSLIM
-
Number of posts : 2496
Age : 43
Location : sekitar israel
Reputation : 35
Points : 8152
Registration date : 2010-01-12
iman indah- BLUE MEMBERS
- Number of posts : 547
Reputation : -22
Points : 5391
Registration date : 2011-05-25
Re: Pendeta Wanita Siap Memberkati Pernikahan Pasangan Homo di RI
jangan-jangan sudah ada yang daftar duluan nih..................
mistik6666- SILVER MEMBERS
- Number of posts : 1475
Location : pangkalan becak
Job/hobbies : tukang becak
Reputation : 7
Points : 6406
Registration date : 2011-03-31
Similar topics
» Pasangan Pendeta Lesbian Pertama Menikah di Kolombia
» jamuan pernikahan ala pendeta gay malaysia
» Debat 1 Da’i VS 20 Pendeta Dihadiri 10.000 Orang = 144 Masuk Islam, Termasuk 3 Pendeta Balas Topik Ini
» jamuan pernikahan ala pendeta gay malaysia
» Debat 1 Da’i VS 20 Pendeta Dihadiri 10.000 Orang = 144 Masuk Islam, Termasuk 3 Pendeta Balas Topik Ini
Page 1 of 1
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum
Fri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam
» kenapa muhammad suka makan babi????
Wed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal
» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
Fri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya
» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
Tue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar
» Moon Split or Islamic Hoax?
Wed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin
» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
Wed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin
» Who Taught Allah Math?
Wed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin
» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
Wed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam
» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
Sun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN