MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME

Join the forum, it's quick and easy

MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME
MURTADIN_KAFIRUN
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Latest topics
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
teologi inklusifnya cak nur EmptyFri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam

» kenapa muhammad suka makan babi????
teologi inklusifnya cak nur EmptyWed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal

» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
teologi inklusifnya cak nur EmptyFri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya

» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
teologi inklusifnya cak nur EmptyTue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar

» Moon Split or Islamic Hoax?
teologi inklusifnya cak nur EmptyWed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin

» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
teologi inklusifnya cak nur EmptyWed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin

» Who Taught Allah Math?
teologi inklusifnya cak nur EmptyWed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin

» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
teologi inklusifnya cak nur EmptyWed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam

» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
teologi inklusifnya cak nur EmptySun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN

Gallery


teologi inklusifnya cak nur Empty
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia

Kami tidak memfitnah, tetapi menyatakan fakta kebenaran yang selama ini selalu ditutupi oleh muslim untuk menyembunyikan kebejatan nabinya

Menyongsong Punahnya Islam

Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
 

Kebrutalan dan keberingasan muslim di seantero dunia adalah bukti bahwa Islam agama setan (AJARAN JAHAT,BUAS,BIADAB,CABUL,DUSTA).  Tuhan (KEBENARAN) tidak perlu dibela, tetapi setan (KEJAHATAN) perlu mendapat pembelaan manusia agar dustanya terus bertahan

Subscribe to MURTADIN_KAFIRUN

Powered by us.groups.yahoo.com

Who is online?
In total there are 48 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 48 Guests :: 1 Bot

None

[ View the whole list ]


Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
RSS feeds


Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Social bookmarking

Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website


teologi inklusifnya cak nur

Go down

teologi inklusifnya cak nur Empty teologi inklusifnya cak nur

Post by paulusjancok Sat 27 Aug 2011, 12:04 am

Wacana 'Islam Inklusif' marak diperbincangkan di Indonesia pada tahun 1997, menyusul terbitnya buku 'Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama', karya Dr. Alwi Shihab. Wacana ini menjadi menarik banyak pihak, karena dibenturkan dengan wacana 'Islam eksklusif' yang dimaknai sebagai Islam yang beku, Islam kolot, ortodoks, kaku, dan sebagainya.

Wacana ini menjadi lebih ramai lagi, setelah pada tahun 2001, penerbit Kompas dari kelompok Gramedia, meluncurkan buku 'Teologi Inklusif Cak Nur' karya Sukidi. Berbagai artikel di media massa kemudian dengan begitu saja mendiskusikan wacana 'Teologi Inklusif' tanpa meneliti akar persoalan ini lebih jauh. Banyak yang mendukung gagasan 'Teologi Inklusif', hanya karena tidak mau disebut 'eksklusif'.

Konflik SARA di berbagai daerah di Indonesia ikut mendorong populernya wacana 'Islam Inklusif' atau 'Teologi Inklusif', karena adanya pandangan yang superfisial, bahwa konflik-konflik antar-agama terjadi akibat 'pemahaman keagamaan yang eksklusif' dan fundamentalistik di kalangan Muslim. Maka, ketika wacana 'inklusivitas' dimunculkan, sambutan datang bertubi-tubi, tanpa mengkaji masalahnya lebih jauh. Padahal, wacana 'Teologi Inklusif' bukan hal baru dan sudah lama menjadi perhatian kalangan ilmuwan keagamaan, khususnya para orientalis Barat.

Pemopuleran 'Teologi Inklusif' bisa ditelusuri dari pidato Nurcholish Madjid di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992, yang ia beri judul "Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia". Dalam orasi tersebut Nurcholish menjelaskan panjang lebar tentang krisis kemanusian yang sedang melanda dunia pada saat ini yang dalam pandangannya disebabkan oleh terjadinya radikalisasi dalam memahami agama khususnya Islam. Untuk menghindarkan sikap radikal dan fundamentalisk dikalangan ummat ini yang selalu mengklaim bahwa agama merekalah yang paling benar sementara yang lain adalah kafir, ia berpendapat bahwa sudah saatnya kita untuk mendefinisi kembali perkataan 'Islam'. Islam, jelas Cak Nur, bukanlah proper name yang menunjukkan sebuah apa yang beliau sebut organized religion yang dikenal pada saat ini. Islam, katanya, hanyalah sikap ketundukan dan penyerahan kepada Tuhan. Sikap ini bukanlah dominasi ajaran Islam. Ia juga menjadi intisari (core) semua ajaran agama yang ada didunia ini baik Kristen, Yahudi, Buddha, Hindu, dst. Oleh sebab itu semua penganut-penganut agama ini dengan sendirinya dapat juga disebut sebagai muslim karena pada esensinya mereka juga melakukan penyerahan diri kepada Tuhan.
Dalam buku Teologi Inklusif Cak Nur, makna 'Islam' versi Cak Nur itu dipertegas lagi oleh Sukidi dengan justifikasi QS 2:62 dan 5:69). "Dengan kata lain, sesuai firman Tuhan ini, terdapat jaminan teologis bagi umat beragama, apa pun 'agama"nya, untuk menerima pahala (surga) dari Tuhan," begitu tulis Sukidi.
Pendapat Nucrholish ini diaminkan begitu saja oleh Ulil Abshar Abdalla tanpa kritis. Dalam tulisannya "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" di Kompas (18/11/2002), Ulil mengatakan bahwa Kebenaran Tuhan lebih besar dari Islam itu sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam. Islam hanyalah sebuah "proses" yang tak pernah selesai. Ia bukan sebuah "lembaga agama" yang dikenal selama ini. Oleh sebab itu ayat Inna al-ddina 'inda Allahi al-Islam (QS 3:19) lebih tepat diartikan sebagai "Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar)."

Lebih jauh Ulil menulis: "Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya."

Smith dan Redefinisi Makna 'Agama'
Terlepas dari pro-kontra tentang wacana 'Teologi Inklusif', satu hal yang jarang atau belum terungkap ketika isu ini ramai didiskuiskan adalah tentang perkembangan historis wacana itu sendiri. Seolah-olah wacana itu baru muncul begitu saja, dan merupakan gagasan orisinal dari Nurcholish Madjid. Padahal, usaha pendefinisian ulang terhadap makna 'Islam' itu sebenarnya sudah lama digagas oleh para orientalis Barat. Salah seorang pengasas ide ini adalah orientalis kawakan Wilfred C. Smith. Smith telah mengasas ide sejak tahun 1960an.

Smith merasa gelisah dengan perkembangan agama yang terjadi sesudah perang dunia kedua. Dia melihat betapa banyaknya agama yang sedang berkembang pada saat ini dimana setiap penganutnya menggap diri mereka sebagai kebenaran tunggal. Dalam pandangannya agama bukanlah sebagai kekuatan penyatu manusia (unifying force of human kind) akan tetapi sebaliknya sebagai pemecah persaudaran kemanusian. Oleh sebab itulah, menurut dia, sudah sepantasnya dilakukan studi kritis terhadap perkataan 'agama' ini, dan tidak seharusnya menerima terma ini "taken for granted", tanpa mempertanyakan historisitas terbentuknya istilah tersebut.

Dalam bukunya, The Meaning and End of Religion (London, SPCK, 1978 --pertama kali terbit tahun 1962), Smith berusaha mengungkapkan bagiamana istilah agama itu terbentuk. Bagi Smith istilah 'religion' hanyalah merupakan istilah baru yang muncul pada dua dekade terakhir ini saja dan sampai sekarang tidak ada satu definisi tunggalpun yang dapat dijadikan acuan. There has been in recent decades a bewildering variety definitions; and no one of them has commanded wide acceptance. (1978: 17) Disebabkan perbedaan tajam inilah dia terus mengkonklusikan bahwa terma ini dibuang saja dari perbendaharaan kita. Baginya "it is a distorted concept not really corresponding to anything definite or distinctive in the objective world." (1978:17)
Bagi Smith agama yang kita kenal selama ini hanyalah merupakan hasil dari process of reification (prosess graduasi dalam sejarah). Ia adalah akumulasi pengalaman individu atau kelompok yang terinstitusikan dalam sejarah. (On Understanding Islam, (The Hague: Mouton Publisher, 1981: 45 dan 46) Semua agama mengalami proses ini tak terkecuali Islam. Bahkan dengan berani dia mengatakan kalau Islam itu adalah "the most of all reified of all the world's religion)" (p. 44).

Klaim Smith ini dicoba dibuktikan melalui artikelnya berjudul The Historical Development in Islam of the Concept of Islam as an historical Development yang dirangkum dalam bukunya On Understanding Islam. Dalam artikel ini dia menulis "[T]he history of Muslim religion has yet to be written". (1981:46). Untuk itu usaha mempelajari kembali sejarah penggunaan dan pemaknaan perkataan 'Islam'- konotasi apa saja yang telah ditujukan oleh istilah ini dalam sejarah harus dilakukan. Inilah yang disebutnya sebagai 'the rewarding task'.

Dalam kajiannya Smith memberikan kesan seolah-olah dia memang telah menemukan perkembangan yang berlaku dalam pemaknaan perkataan Islam. Makna Islam pada masa awalnya tidak sama dengan masa sesudahnya. Dengan ini dia selanjutnya memaknai Islam dengan tiga makna. Pertama Islam sebagai komitmen individu Muslim untuk menyerahkan dirinya kepada Islam. Kedua, Islam sebagai ide platonic yang transenden. Dan ketiga, adalah Islam sebagai aktualisasi sebuah sistem yang terinstitusikan dalam sejarah. (1981: 43). Menurutnya apabila perkataan Islam disebutkan, maka yang dimaksud adalah makna pertama (1981: 47). Namun Islam sebagai nama sebuah agama hanya dikonotasikan oleh makna kedua dan ketiga. Dan inipun hanya merupakan perkembangan terakhir saja. (1981: 45).

Beban Sejarah dan Pisikologi Peradaban Barat
Keinginan Smith untuk melakukan definisi ulang terhadap istilah 'agama' sebenarnya tidak terlepas dari beban sejarah dan pisikologi yang harus ditanggungnya sebagai bagian dari peradaban Barat. Smith benar bahwa sampai sekarang tidak ada satu definisi tuggal mengenai 'agama' yang dapat di jadikan rujukan dalam tradisi intellektual Barat. Di dalam The Encyclopedia of Philosophy, William P. Altson (Paul Edwards (ed. In Chief), New York: Macmillan Publishing Co., Inc & The Free Press, 1972, vol. 7, hal.140) misalnya menurunkan paling sedikit sembilan definisi agama. Kesemua definisi ini adakalanya hanya secara parsial mengungkap hakikat sebenar agama ataupun terjadi kontradiksi diantara mereka. Inilah yang membuat Smith frustasi sehingga dia menyarankan agar terma ini dibuang saja.

Kenyataan yang dialami Smith ini tentu tidak bisa begitu saja diaplikasikan kepada Islam. Dalam tradisi intellektual Islam, istilah 'din' mempunyai konotasi yang cukup jelas. 'Din' yang berderivasi dari huruf dal ya dan nun dapat dihuraikan dengan terperinci sehingga secara komprehensive merefleksikan arti Islam sebagai Din. Hal ini telah diuraikan dengan panjang lebar oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya Islam: The Concept of Religion and The Foundation of Ethics and Morality yang sudah dirangkum dalam bukunya Islam and Secularism dan Prolegomena to the Metaphysics of Islam.

Berbeda dengan Kristen, Yahudi, dan agama-agama lain, nama Islam bukanlah produk sejarah atau kreasi manusia. Dia bukan dicipta oleh Nabi Muhammad (saw) atau ummat Islam untuk menunjukkan identitas diri mereka akan tetapi diberi oleh sang Pencipat Allah (swt). Allah-lah yang menamakan agama yang dibawa oleh Muhammad saw itu sebagai Islam (al-Maidah: 19). Bukan hanya itu. Bahkan Dia juga yang menentukan muatan (risalah) yang dibawa agama ini. Sehingga dengan demikian tidak benar tuduhan Smith bahwa agama Islam adalah the most reified religion. Dalam tulisannya yang kita kutip diatas. Smith gagal menunjukkan aspek dimana Islam ini telah mengalami proses graduasi. Sejak dari zaman Rasul hingga sekarang, salat, puasa, zakat, dan haji adalah wajib. Berdusta, mengkhianat, membunuh, berzina dan seterusnya adalah haram. Dimanakah proses reification itu terjadi.

Tidak bisa dinafikan bahwa ada bahagian-bahagian dari fiqih Islam - hsil ijtihad para ulama terdahulu -- yang telah mengalami perubahan seiring dengan berubahnya "pijakan" penetapan hukum ('illatul hukmi). Tapi perubahan tersebut tidak terjadi pada persoalan-persoalan fundamental dalam Islam seperti yang disebutkan diatas. Sesungguhnya kesediaan beberapa bahagian fiqih Islam untuk melakukan perubahan sejalan dengan perubahan "illatul hukmi", telah menjadikan Syari'at Islam salih li kulli zaman wa makan (applicable in all times and places).

Sebenarnya Smith mengakui akan keunikan Islam ini. Hal ini dapat dilihat dengan jelas sekali dalam bukunya The Meaning and End of Religion. Oleh sebab itulah dia telah menulis Bab khusus untuk mendiskusikan Islam dengan judul Special Case of Islam. Dalam pembukaan bab ini dengan jelas dia menuliskan "This particular case has been reserved for separate treatment because it is both unusual and intricate." (1978: 80)

Ketidakbiasaan Islam itu terletak pada nama agama itu. Lanjutnya lagi, "In contrast to what has happened with other religious communities,..., this is not a name devised by outsiders... this name for religious system, moreover has the sanction not of the Muslims and their tradition but, they aver, of God Himself." (1978: 80-81)

Kesadarannya ini bagaimanapun tidak secara intellektual diikutinya secara jujur. Oleh sebab itu dalam buku yang sama, ia mencoba mencari-cari celah dimana dia dapat menyamakan Islam dengan agama lain. Hasilnya, argumen yang dikemukannya sama sekali tidak meyakinkan (convincing) dan memang terkesan dibuat-buat.

Kebingungan tokoh orientalis Barat ini juga dapat dipahami dari faktor pisikologis yang dialami masyrakat Barat sendiri. Di awal kebangkitan Kebudayaan Barat, para penguasa gereja dengan mengatasnamakan agama telah melakukan tekanan terhadap kalangan saintis yang menentang ajaran-ajaran gereja. Akhirnya inkusisi diberlakukan dan jatuhlah - misalnya, Galileo Galilei -- sebagai korbannya. Galileo diadili oleh Mahkamah Inquisisi pada 1633 dan dipaksa meralat pendapatnya bahwa 'bumi beredar mengelilingi matahari'. Sebab, dalam doktrin gereja, bumi adalah pusat tata surya. (Robert Lomas, The Invisible College, 2002:18).

Peristiwa seperti yang dialami Galileo itu menjadikan masyarakat Barat trauma dengan agama. Oleh karena itu kata Scott Peck, pakar psikologi terkenal abad ini, dalam buku best seller-nya Roadless Traveled, jika perkataan agama disebutkan di dunia Barat maka ia akan segera mengajak orang berpikir tentang inkuisisi, ketahyulan, pelemahan semangat, dogmatisme, kebodohan, hipokrasi, kebaikan sendiri, rigiditas, keganasan, pembakaran buku dan tukang sihir wanita, halangan, ketakutan, konfirmasi, kesalahan yang tidak normal. (1990, 237-238). Disebabkan ketakutan ini akhirnya mereka memilih untuk melemparkan agama sejauh-jauhnya dari kehidupan mereka dan sejak itu bermulalah proses sekularisasi. Keadaan pisikologis ini juga tidak dapat begitu saja diaplikasikan untuk menilai Islam. Islam tidak pernah mengalami trauma sejarah seperti yang dialami oleh peradaban Barat. Memang benar sejarah Islam pernah mencatat adanya penyiksaan terhadap beberapa orang tokoh intelektual. Tapi ini bukan disebabkan ajaran Islam mengahalang mereka untuk berpendapat demikian. Keadaan ini lebih disebabkan oleh sikap penguasa yang ketika itu tidak toleran dengan perbedaan. Berbeda dengan Kristen yang dari awal sudah menyatakan oposan kepada penemuan sains.

Islam dan Konsep Ketuhanan
Memang benar Islam secara generic berarti "pasrah dan tunduk". Akan tetapi ia tidak berhenti sampai di situ saja. Islam juga mengajarkan cara dan bentuk ketundukan. Melalui Malaikat Jibril yang diutus Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad saw, pengartikulasian Islam diajarkan dengan sempurna kepada manusia. Disamping mengucapkan dua kalimah Syahadat, sikap keislaman (ketundukan) itu juga harus diikuti dengan salat, puasa, zakat dan haji, dan berbagai ibadah lainnya. Dengan itu, barulah sifat ketundukan itu sempurna. Jadi pasrah saja tidak cukup, tapi hendaklah diikuti dengan perbuatan sesuai dengan yang digariskan Allah.

Karena itulah, seorang Muslim dilarang keras membuat-buat tata cara ibadah kepada Allah. Allah mengutuk kaum musyrik Mekkah kerana mereka membuat-buat sendiri cara penyerahan diri kepada Allah. Mereka menyembah patung yang mereka anggap sebagai perantara kepada Tuhan. Karena itulah, tidak tepat sama sekali menyebut Kristen, Yahudi dan yang lain sebagai Muslim. Kerana bentuk penyerahan yang mereka lakukan tidak sesuai dengan yang diperintahkan Allah. Allah jelas mengkategorikan mereka sebagai kafir, karena mengingkari perintah-Nya. (QS 5:72-75, QS 98:1).

Demikian juga tidak tepat memasukkan dalam kategori Islam, hanya semata-mata melakukan ketundukan kepada Tuhan. Ini karena Tuhan yang mereka maksud berbeda dengan Tuhan yang diajarkan Islam. Islam mengajarkan bahwa Tuhan adalah Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Sementara Tuhan Kristen adalah trinitas, mengakaui Satu dalam tiga. Mereka mengimani bahwa 'Isa adalah anak Tuhan sebagaimana juga Yahudi yang mendakwa 'Uzair anak Allah. Jadi Tuhan yang menjadi tempat penyerahan kaum beragama berbeda antar satu dengan yang lain.

Artinya sampai pada level yang transendence-pun semua agama tidak bisa sama, apatah lagi pada level eksetoris yang merupakan manifestasi dari yang transendence tadi. Perbedaan ini sangat signifikan. Karena pada akhirnya seperti yang diungkapkan oleh Prof. al-Attas konsep Ketuhananlah yang akan menentukan cara dan bentuk ketundukan kepada Tuhan (Prolegomena to Metaphysics of Islam, 1995). Jelaslah, ide persamaan agama yang semata-mata dibangun atas dasar prinsip "ketundukan dan kepasrahan" sama sekali tidak tepat, baik dari sudut pandang teologis maupun syari'at. Wallahu a'lam
paulusjancok
paulusjancok
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Male
Number of posts : 809
Age : 36
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6486
Registration date : 2011-08-12

Back to top Go down

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum