MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME

Join the forum, it's quick and easy

MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME
MURTADIN_KAFIRUN
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Latest topics
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
manfaat punya agama EmptyFri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam

» kenapa muhammad suka makan babi????
manfaat punya agama EmptyWed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal

» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
manfaat punya agama EmptyFri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya

» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
manfaat punya agama EmptyTue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar

» Moon Split or Islamic Hoax?
manfaat punya agama EmptyWed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin

» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
manfaat punya agama EmptyWed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin

» Who Taught Allah Math?
manfaat punya agama EmptyWed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin

» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
manfaat punya agama EmptyWed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam

» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
manfaat punya agama EmptySun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN

Gallery


manfaat punya agama Empty
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia

Kami tidak memfitnah, tetapi menyatakan fakta kebenaran yang selama ini selalu ditutupi oleh muslim untuk menyembunyikan kebejatan nabinya

Menyongsong Punahnya Islam

Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
 

Kebrutalan dan keberingasan muslim di seantero dunia adalah bukti bahwa Islam agama setan (AJARAN JAHAT,BUAS,BIADAB,CABUL,DUSTA).  Tuhan (KEBENARAN) tidak perlu dibela, tetapi setan (KEJAHATAN) perlu mendapat pembelaan manusia agar dustanya terus bertahan

Subscribe to MURTADIN_KAFIRUN

Powered by us.groups.yahoo.com

Who is online?
In total there are 100 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 100 Guests :: 3 Bots

None

[ View the whole list ]


Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
RSS feeds


Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Social bookmarking

Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website


manfaat punya agama

Go down

manfaat punya agama Empty manfaat punya agama

Post by paulusjancok Fri 26 Aug 2011, 2:56 pm

1. Definisi agama
Ketika mendikusikan soal agama, yang rumit adalah mendefinisikan tentang agama itu sendiri. Apa itu agama (religion, dEn, millah, dan sebagainya)? Ada yang mengatakan, agama berasal dari bahasa Sansekerta; a=tidak, gama=kacau. Jadi, ‘agama’ artinya ‘tidak kacau’. Sejumlah pakar juga memberikan definisi ‘agama’ yang beragam. Mircea Eliade menyatakan, orang yang beragama ( religious man) adalah: “A Religious man is one who recognizes the essential differences between the sacred and the profane and prefers the sacred.” Emile Durkheim mendefinisikan agama sebagai: “Religion is an interdependent whole composed of beliefs ant rites (faiths and practices) related to sacred things, unites adherents in a single community known as a Church”.
Endang Saifuddin Anshari mendefinsikan agama sebagai “Sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu Yang Mutlak di luar manusia dan satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya Yang Mutlak itu serta sistema norma (tata-kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud.”

Apa pun definisinya, biasanya para cendekiawan tidak terlalu memegang definisi tertentu tentang ‘agama’ dan lebih menerima agama sebagai ‘realitas atau pengakuan sosial’. Sebagai contoh, Joesoef Sou'yb, membuat daftar agama-agama besar di dunia beserta kitab suci, dan pendirinya:

No.
Nama Agama
Pembangun Agama
Kitab Suci

1.
Yahudi
Musa (lk. 1200 SM)
Taurat

2.
Brahma
....... (lk 2000 SM)
Veda

3.
Zarathustra
Zarathustra (660-583 SM)
Avesta

4.
Buddha
Sidharta (563-483 SM)
Tripitaka

5.
Jaina
Mahavira (556-429 SM)
Agamas

6.
Shinto
..... (lk 660 SM)
Kojiki/Nihongi

7.
Konghuchu
Konghuchu (551-479 SM)
Lun Yu, dll.

8.
Tao
Lao Tze (604-524 SM)
Tao The King

9.
Kristen
Jesus (lk 1-30 M)
New Testament

10.
Islam
Muhammad SAW (570-632 M)
Al Quran

11.
Sikh
Guru Nanak (1469-1538)
Adi Granth

Tapi, selain ke-11 agama yang disebutkan tersebut, masih banyak agama lain
yang kini dikenal di muka bumi, seperti Agama Bahai yang berpusat di Israel, Agama Jainisme (agama non-kekerasan dari Indian yang diajarkan oleh Mahavira pada abad ke-5 SM, bersamaan dengan kemunculan Budhisme, yang kini mempunyai sekitar 70.000 pengikut di AS), dan sebagainya. Dalam daftar penandatangan naskah deklarasi bernama "Declaration Toward a Global Ethic", pada 28 Agustus 1993 di Cicago, tercatat sejumlah wakil-wakil dari agama/kelompok: Bahai, Brahma Kumaris, Budhisme, Kristen, Agama-agama Asli, Hinduisme, Jainisme, Yudaisme, Islam, Neo Pagan, Sikh, Taois, Teosofis, Zoroasterian, dan sebagainya. Dalam Atlas of The World's Religions (1999), disebutkan daftar agama-agama di dunia beserta jumlah pemeluknya:

----------------------------------------------------------------
World Population by Religion: mid-1998
----------------------------------------------------------------

Christian
1.965.993.000

Muslim
1.179.326.000

Hindu
760.424.000

Non-religious
766.672.000

Buddhist
356.875.000

Tribal Religion
244.164.000

Atheist
146.406.000

New Religions
99.191.000

Sikh
22.874.000

Daoist
20.050.000

Jewish
15.050.000

Baha'i
6.251.000

Confucian
5.067.000

Jain
4.152.000

Shinto
3.571.000

Parsi (Zoroastrian)
479.000


Data yang berbeda diberikan oleh International Bulletin of Missionary Research, Januari 1998. Data ini menyebutkan (dalam milyar):

Agama
1998
2025 (prediksi)

Kristen
2
2,25

Islam
1,8
1,96

Hindu
0,767
1 milyar (lebih)

Ateis
0,146
0,152


2. Polemik tentang hubungan agama- negara
Sejak awal berdirinya, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah memandang dan mengakui, bahwa agama adalah faktor penting dalam NKRI. Perdebatan di BPUPKI soal agama, bukanlah dalam hal penolakan terhadap agama, tetapi soal posisi agama; dimana agama ditempatkan dalam NKRI? Pihak Islam ketika itu, mengusulkan suatu bentuk negara agama (bukan teokrasi); di mana Islam ditempatkan sebagai dasar negara; setidaknya Islam menjadi agama resmi negara. Pihak lain, yang dikenal sebagai golongan kebangsaan menolak usulan itu. Pihak Komunis dan minoritas lainnya, tidak secara resmi mengajukan sikap, kecuali sikap perorangan yang – misalnya disampaikan oleh Latuharhary pada rapat BPUPKI tgl 11 Juli 1945. Ketika itu, Piagam Jakarta baru diterima sebagai kesepakatan Panitia Sembilan pada 9 Juli 1945. Latuharhary mengajukan keberatan terhadap Piagam Jakarta, dengan alasan akan dapat mengalami kesulitan dalam aplikasinya di berbagai daerah, khususnya ketika berhadapan dengan adat istiadat. Soekarno kemudian kembali meminta agar "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta itu tidak dipersoalkan, sebab itu adalah hasil jerih payah dan kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Tokoh Kebatinan Wongsonegoro mengusulkan, agar tidak usah diubah, tetapi ditambah "bagi pemeluk-pemeluk agama lain dengan jalan menurut agamanya masing-masing". Akhirnya Wachid Hasyim memperingatkan agar pembahasan soal "tujuh kata" itu tidak diperpanjang lagi. Lalu, Soekarno kembali mengingatkan bahwa "tujuh kata" itu adalah "kompromi untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama."

Namun, pada rapat tgl 13 Juli 1945, Wachid Hasjim mengusulkan: agar syarat presiden ditambah “yang beragama Islam”. Juga, pasal 29 ditambahkan: “Agama negara ialah agama Islam.” Bahkan, pada rapat tgl 14 Juli 1945, tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikoesoemo mengusulkan: agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dicoret. Jadi, bunyi sila pertama dari Pancasila versi Piagam Jakarta adalah: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam”. Tetapi, usul ini ditolak. Sampai dengan rapat terakhir BPUPKI tgl 16 Juli 1945, tidak ada pencabutan kesepakatan tentang Piagam Jakarta. Bahkan ketika itu, Soekarno menegaskan, disepakatinya klausul: “Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam.” Dan pasal 28 tetap berbunyi: “Negara berdasar atas ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Terakhir, ketua BPUPKI yang merupakan aktivis Gerakan Teosofi, yaitu dr. Radjiman Widijodiningrat, menyimpulkan: “Jadi, rancangan ini sudah diterima semuanya… dengan suara bulat diterima Undang-undang Dasar ini.”

Masalah Piagam Jakarta ini sangat penting diperhatikan, sebab dalam perjalanan sejarah Indonesia, konflik keagamaan dan politik banyak membawa isu ini. Sebagian kalangan Muslim masih tetap berusaha mengembalikan Piagam Jakarta, sampai dengan Sidang Umum MPR 2001. Namun, usaha itu tidak berhasil. Penolakan terhadap Piagam Jakarta dapat ditelusuri pada sikap Latuharhary di BPUPKI. Seperti diketahui, pada tanggal 18 Agustus 1945, Piagam Jakarta yang sudah disepakati di BPUPKI dihapus, dengan alasan ada keberatan dari pihak Kristen Indonesia Timur. Konon, datanglah seorang utusan dari Indonesia Bagian Timur, melalui opsir Tentara Jepang yang waktu itu masih berwenang di Jakarta. Utusan tersebut menyampaikan pesan kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Opsir Jepang itu mengaku, membawa pesan dari umat Kristen di Indonesia bagian Timur. Isi pesan itu pendek saja, "ada tujuh kata yang tercantum dalam Mukaddimah UUD 1945 yang harus dicabut. Kalau tidak, umat Kristen di Indonesia sebelah Timur tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia yang barus aja diproklamirkan. Tujuh kata yang harus dicoret itu berbunyi, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Tokoh Islam, Dr. Mohammad Natsir menyebut peristitiwa 18 Agustus 1945 itu sebagai "Peristiwa ultimatum terhadap Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan". Sementara dari kalangan lain, seperti dikatakan Pendeta Oktavianus, disebutkan bahwa mengembalikan Piagam Jakarta, berarti sama dengan membentuk Indonesia menjadi negara Islam, dan "Indonesia bagian Timur dengan tegas menolak dan hanya mau bergabung dengan Republik jika Indonesia menjadi negara kesatuan". Natsir menyatakan, Kaum minoritas Kristen sangat konsisten dalam menjalankan ultimatum 18 Agustus 1945. "Sungguhpun tujuh kata-kata itu sudah digugurkan. Tetapi mereka tidak puas begitu saja," kata Natsir. Di bidang legislatif, kaum Kristen berusaha keras menggagalkan setiap usaha pengesahan Undang-undang yang diinginkan kaum Muslim untuk dapat lebih mentaati ajaran-ajaran agama mereka.

Dari dua kutub pendapat itu, Oktavianus dan Natsir, bisa dilihat, bagaimana senjangnya pemahaman terhadap masalah yang sama, yaitu posisi agama – khususnya Islam – di dalam NKRI. Perdebatan tentang posisi agama di NKRI telah menyita begitu banyak perhatian para cendekiawan, tokoh politik, ulama dan tokoh-tokoh masyarakat. Bahkan, sebelum masa kemerdekaan, sudah terjadi polemik antara Soekarno dengan A. Hasan dan Natsir. Soekarno melontarkan gagasannya soal hubungan agama dan negara di Majalah “Pandji Islam” -- pimpinan tokoh Masyumi Zainal Abidin Ahmad – nomor 12 dan 13 tahun 1940. Ia menulis sebuah artikel berjudul “Memudakan Islam”. Dalam tulisannya, Bung Karno menyebut sekularisasi yang dijalankan Kemal Attaturk di Turki – yakni pemisahan agama dari negara -- sebagai langkah “paling modern” dan “paling radikal”. Kata Bung Karno: “Agama dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri, dan tidak kepada negara. Maka oleh karena itu, salahlah kita kalau kita mengatakan bahwa Turki adalah anti-agama, anti-Islam. Salahlah kita, kalau kita samakan Turki itu dengan, misalnya, Rusia.” Menurut Soekarno, apa yang dilakukan Turki sama dengan yang dilakukan negara-negara Barat. Di negara-negara seperti Inggris, Perancis, Belanda, Belgia, Jerman, dan lain-lain, urusan agama diserahkan kepada individu pemeluknya, agama menjadi urusan pribadi, dan tidak dijadikan sebagai urusan negara, tidak dijadikan sebagai agama resmi negara. Jadi, simpul Soekarno, buat keselamatan dunia dan buat kesuburan agama – bukan untuk mematikan agama itu – urusan dunia diberikan kepada pemerintah, dan urusan agama diberikan kepada yang mengerjakan agama. “Geef den Keizer wat des Keizers is, en God wat Godes is,” kata Soekarno mengutip Bijbel.

Tokoh Islam A. Hassan – pendiri Persatuan Islam -- mengritik keras pandangan Soekarno tentang sekularisme. Di Majalah yang sama ia menulis artikel berjudul “Membudakkan Pengertian Islam”. Hassan menyebut logika Soekarno sebagai “logika otak lumpur”. Sebagian besar pejabat pemerintah Turki di masa Attaturk, menurut A. Hassan, adalah pemabok, hobi dansa, dan pelaku berbagai kegiatan maksiat lainnya. Tetapi, itulah yang justru dipuji Soekarno sebagai tindakan paling modern dan radikal. Mereka juga yang menghapus hukum-hukum Allah dari masyarakat Turki. A. Hassan mencontohkan, di negara Rusia saja, orang Islam bebas salat di masjid dan boleh berazan dalam bahasa Arab.

A. Hassan menegaskan: “Ir. Soekarno tidak mengerti, bahwa Eropa memisahkan agama Kristen dari Staat (negara), tidak lain karena di dalam agama Kristen tidak ada ajaran (konsep) tentang pemerintah. Dari jaman Nabi Isa hingga sekarang ini belum pernah terdengar bahwa suatu negara menjalankan hukum agama Kristen.” Soal penyalahgunaan Islam oleh negara, menurut A. Hassan, hal yang sama bisa terjadi pada paham yang lain, seperti paham kebangsaan yang dianut oleh Soekarno. “Apabila suatu negara atau kerajaan telah menjadikan Islam sebagai perabot (alat) sehingga ia menjadi penghambat kemajuan dan hilang pengaruhnya, maka siapakah yang bersalah? Negara atau Agama? Kalau di suatu tempat (paham) kebangsaan dijadikan untuk memecah belah, maukah saudara Ir. (Soekarno) membuang dan menyingkirkan (paham) kebangsaan dengan alasan yang sama,” kata A. Hassan.

Alasan bahwa jika agama dipakai untuk memerintah maka akan digunakan sebagai alat penghukum oleh rezim yang zalim, juga ditolak keras oleh A. Hassan. Alasan semacam itu disebutnya sangat dangkal, “cethek”, dan menunjukkan pikiran yang “cethek” pula. Ia menulis: “Kalau raja-raja, orang zalim dan orang-orang bertangan besi menggunakan agama Islam sebagai alat penghukum – katakanlah dengan cara yang zalim – maka dapatkah ini berarti bahwa agama itu tidak mampu menjadi hukum negara, atau memang merupakan hukumyang tidak adil? Tidakkah pembaca perhatikan, berapa banyak raja-raja, orang-orang zalim dan orang-orang tangan besi menggunakan hukum negara bikinan manusia untuk memeras, menindas, dan menganiaya rakyat? Lihatlah Perancis sebelum revolusi besar, lihatlah Rusia sebelum dan sesudah komunis. Bacalah pula sejarah di lain-lain negara, niscaya pembaca akan menemukan, betapa panggung sejarah penuh dengan kekejaman raja-raja dengan menggunakan hukum buatan manusia sendiri. Bahkan lihatlah negara-negara yang mengatakan dirinya sebagai negara maju, betapa mudah mereka itu membuat hukum yang sewaktu-waktu diperlukan untuk menindas rakyat!” Penggunaan dalil Bijbel untuk memisahkan urusan negara dan urusan agama dinilai sebagai alasan “sontoloyo” oleh A. Hassan. “Saudara Ir. Rupanya tidak atau belum mengetahuinya, bahwa bencana dunia yang sebegini banyak datangnya justru dari negara yang tidak menggunakan agama sebagai hukum positif. Kalau negara diurus secara atau menurut agama, niscaya selamatlah dunia dari segala bencana,” tulis A. Hassan.

Polemik Soekarno-A. Hasan di tahun 1940-an itu menjadi kasus perdebatan intelektual yang menarik dan cerdas. Perdebatan yang sangat cerdas soal ini juga bisa dilihat dalam sidang-sidang Majelis Konstituante. Perdebatan ini bisa dianalisis dan dikembangkan lebih jauh dengan menekankan aspek substansi disamping juga ‘bentuk’ (form). Terlepas dari situasi politik dan hasil yang dicapai, perdebatan soal-soal kenegaraan dalam wacana yang sehat dan cerdas merupakan suatu hal yang positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan catatan, masing-masing pihak harusnya menahan emosi dan menyadari bahwa perjuangan menyampaikan aspirasinya dalam masyarakat yang majemuk adalah hal yang wajar dan biasanya berakhir dengan kondisi yang tidak seperti diedealkan. Sayang sekali, polemik yang cerdas dan sehat di kalangan elite-elite bangsa, seperti Soekarno-A Hasan, kemudian berakhir untuk masa yang panjang (1959-1990-an). Tentu, banyak faktor yang bisa dianalisis untuk itu.

3. Kedudukan dan Peran Agama di Indonesia
Pada level konstitusional dan kelembagaan negara, sebenarnya, NKRI sudah menyediakan ruang yang cukup besar untuk meningkatkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada level konstitusional ada pasal 29 UUD 1945. Pada level institusi, tersedia Departemen Agama, yang dibentuk tahun 1946. Sejarah pembentukannya juga memicu pro-kontra.
Menyimak konstitusi UUD 1945, maka bisa dikatakan, agama mendapatkan tempat yang cukup strategis dalam bab khusus tentang agama. Pasal 29 UUD 1945, menyatakan: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Dengan rumusan pasal ini, sebenarnya tersedia ruang yang sangat besar bagi pemeluk agama di Indonesia untuk menjalankan ibadah dan konsep-konsep agamanya dalam kehidupan pribadi, keluarga, sosial, dan negara. Tentu, pada masing-masing level tersebut memerlukan bentuk dan metode aplikasi tersendiri. Bagi kaum Muslim, dengan rumusan pasal 29 itu, sudah terbuka ruang yang luas untuk menjalankan agama Islam, termasuk syariat (hukum) Islam. Pada level individu dan keluarga, syariat Islam bisa dijalankan. Bahkan, pada level sosial kenegaraan, hukum-hukum Islam praktis sudah berlaku, dengan dikeularkannya berbagai per-UU-an dalam bidang muamalat. Juga, terutama dengan dibentuknya Badan Arbitrase Muamalat (BAMUI) yang dibentuk MUI. Para tokoh dan pemimpin Muslim, idealnya, semaksimal mungkin menjalankan aspek-aspek syariat Islam itu pada individu, keluarga, dan lingkungan social terdekatnya (organisasinya), sebelum meneriakkanya pada level yang lebih tinggi (kenegaraan).

Secara konstitusional, pelaksanaan syariah Islam di Indonesia memiliki landasan historis dan juridis yang kuat. Pakar hukum adat dan hukum Islam dari Universitas Indonesia, Prof. Hazairin, berpendapat bahwa kata “beribadat” sebagai kelanjutan dari jaminan negara bagi tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dalam pasal 29 ayat (2) adalah dengan pengertian menjalankan syariat (hukum) agama. Negara berkewajiban menjalankan syariat agama Islam sebagai hukum dunia untuk ummat Islam, syariat agama Kristen untuk ummat Kristen dan seterusnya sesuai syariat agama yang dianut oleh bangsa Indonesia bilsa agama tersebut mempunyai syariat agama untuk penganutnya. Juga, Dekrit Presiden, 5 Juli 1959, menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Prof. Notonagoro, guru besar Universitas Gadjah Mada dan pakar soal Pancasila, memberikan arti terhadap kata “menjiwai” dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu, sebagai berikut: “… bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945, khususnya terhadap pembukaannya dan pasal 29, pasal mana harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan”

Aspirasi politis dari kelompok mana pun dalam soal syariat Islam ini perlu dihargai. Namun, perlu dicatat, dengan konstitusi yang ada saat ini, peluang berlakunya syariat Islam itu sudah sangat besar. Kini, tergantung pada kaum Muslim sendiri, terutama para elite-nya, sejauh mana mereka mampu menjadi teladan yang baik bagi masyarakat lainnya. Sederhananya, bagaimana para elite-elite Muslim mampu menunjukkan aplikasi syariat Islam pada level dirinya sendiri: seperti jujur, amanah dan professional dalam pekerjaan dan jabatan, tidak korupsi, peduli dan berupaya memberantas berbagai kezaliman, mendahulukan kepentingan rakyat, dan sebagainya.

4. Agama dan peradaban
Banyak cendekiawan merumuskan bahwa unsur pokok suatu peradaban (civilization) adalah agama. Agama, kata mereka, adalah faktor terpenting yang menentukan karakteristik suatu peradaban. Bernard Lewis menyebut peradaban Barat dengan sebutan “Christian Civilization”, dengan unsur utama agama Kristian. Samuel P. Huntington juga menulis: “Religion is a central defining characteristic of civilizations.” Menurut Christopher Dawson, “The great religions are the foundations of which the great civilizations rest.” Di antara empat peradaban besar yang masih eksis – Islam, Barat, India, dan Cina, menurut Huntington, terkait dengan agama Islam, Kristian, Hindu, dan Konghucu.

Peradaban-peradaban kuno, seperti Mesopotamia dan Mesir Juno juga menempatkan agama sebagai unsur utama peradaban mereka. Marvin Perry mencatat: “Religion lay at the center of Mesopotamian life. Every human activity - political, military, social, legal, literary, artistic - was generally subordinated to an overriding religious purpose. Religion was the Mesopotamians' frame of reference for understanding nature, society, and themselves; it dominated and inspired all other cultural expressions and human activities.” Begitu juga dalam tradisi peradaban Mesir Kuno, agama menempati peranan yang sangat penting: “Religion was omnipresent in Egyptian life and accounted for the outstanding achievements of Egyptian civilization. Religious beliefs were the basis of Egyptian art, medicine, astronomy, literature, and government.”

Pakar sejarah Arnold Toynbee juga menekankan peran agama dalam suatu peradaban. Tapi, berbeda dengan Huntington, Toynbee tidak menekankan pada wacana clash of civilizations, tetapi lebih menekankan pada aspek ‘peran dinamis agama dan spiritualitas dalam kelahiran dan kehancuran satu peradaban’. Ia menyimpulkan, bahwa banyak peradaban yang hancur (mati) karena ‘bunuh diri’ dan bukan karena benturan dengan kekuatan luar. Dalam studi yang mendalam tentang kebangkitan dan kehancuran peradaban, Toynbee menemukan, bahwa agama dan spiritualitas memainkan peran sebagai ‘chrysalis’ (kepompong), yang merupakan cikal bakal tumbuhnya satu peradaban. Antara kematian dan kebangkitan satu peradaban baru, ada kelompok yang disebut Toynbee sebagai ‘creative minorities’ – yang dengan spiritual yang mendalam (deep spiritual) atau motivasi agama (religious motivation) – bekerja keras untuk melahirkan satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban lama. Kareba itu aspek spiritual memainkan peran sentral dalam mempertahankan eksistensi suatu peradaban. Peradaban yang telah hilang inti spiritualitasnya, maka ia akan mengalami penurunan (Civilizations that lost their spiritual core soon fell into decline).
Pakar sejarah Melayu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, menyebutkan, bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan “bahasa Muslim” kedua terbesar yang digunakan oleh lebih dari 100 juta jiwa.

Sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam tamadun Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas mencatat masalah ini: “Together with the historical factor, the religious and language factors began setting in motion the process towards a national consciousness. It is the logical conclusion of this process that created the evolution of the greater part of the Archipelago into the modern Indonesian nation with Malay as its national language… The coming of Islam constituted the inauguration of a new period in the history of the Malay-Indonesian Archipalego”

Berdasarkan analisis Toynbee, bisa dipertanyakan, dimana posisi agama dalam upaya kebangkitan ‘peradaban Indonesia’? Jika disimak berbagai perdebatan seputar hubungan agama dan negara di Indonesia, seperti perdebatan antara Soekarno dan A. Hassan, masih belum banyak menyentuh aspek ‘civilization’ ini. Generasi Indonesia berikutnya saat ini berkesempatan mengkaji kembali peran agama dalam kehidupan bangsa, tanpa terjebak pada istilah dan konsep-konsep klasik popular yang berasal dari sejarah peradaban lain seperti istilah ‘sekular’ ‘medieval’, ‘teokratis’, ‘militan’, ‘radikal’ dan juga polarisasi politik yang ada. Indonesia perlu melihat secara cermat pada peradaban mana negara ini akan dikaitkan, baik pada masa lalu maupun masa kini dan mendatang? Apakah Indonesia mau mengkaitkan dirinya dengan peradaban Islam, Hindu, atau Barat? Indonesia perlu menelaah dengan cermat sejarah dan perjalanan berbagai peradaban dalam meraih kebangkitan. Bagaimana Inggris, Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan sebagainya, mampu menjelma negara-negara yang disegani saat ini dalam percaturan dunia internasional. Juga, bagaimana muncul dan bertahannya peradaban Islam di Andalusia yang bertahan selama 800 tahun dan Ottoman yang bertahan selama 600 tahun? Bahkan, bisa dilihat bagaimana Malaysia menjadi seperti sekarang. Bagaimana Mahathir Muhammad pada sekitar tahun 1985 memutuskan: “Kita menengok ke Jepang dan bukan ke Barat. Ketika itu, Indonesia masih sibuk untuk mengaitkan dirinya dengan ‘peradaban Majapahit’, yang salah satu kulturnya adalah membangun patung-patung dengan dana trilyunan rupiah (bayangkan, kalau dana ini digunakan untuk membantu pendidikan nasional).

Kajian yang kritis terhadap berbagai peradaban ini sangat penting, agar tidak muncul dua sikap ekstrim: yaitu ‘apriori’ dan ‘latah’. Apriori, artinya menolak secara mentah-mentah unsur positif dari peradaban lain, tanpa memahaminya dengan baik. Misalnya, kaum Muslim perlu realistis, bahwa dalam berbagai aspek, Barat telah mengambil alih dan mengembangkan tongkat estafet peradaban yang pernah dikembangkan Islam selama ratusan tahun. Sepanjang sejarah interaksi antar peradaban, bahkan di masa konflik sekali pun, telah terjadi tukar-menukar khazanah peradaban. Sikap latah artinya kecenderungan menjiplak aspek-aspek peradaban lain yang dianggap mampu memperbaiki kondisi bangsa tanpa mengkajinya secara kritis. Misalnya, kelatahan Kemal Attaturk dalam menjiplak segala sesuatu dari Barat, karena dianggapnya mampu memajukan bangsa Turki, seperti mengganti literasi Arab ke Latin, melarang jilbab, torbus. Dengan mengubah literasi Arab, bangsa Turki terputus dari akar sejarahnya yang dalam dari Ottoman yang mewariskan jutaan manuskrip dan literatur. Attaturk terpengaruh antara lain oleh pendapat seorang tokoh Young Turk Movement, Abdullah Cevdet, yang menyatakan: “There is only one civilization, and that is European civilization. Therefore, we must borrow western civilizaton with both its rose and its thorn. Jika tidak berhati-hati, idealisme tentang ‘demokrasi’ juga dapat menjadi satu bentuk kelatahan.

Sikap apriori dan dalam beberapa hal mungkin ada unsur ‘Islamfobia’ akan berakibat pada terputusnya generasi berikutnya dari khazanah intelektual bangsa, sehingga memunculkan keengganan banyak kalangan untuk menengok kembali khazanah sejarah Islam. Jika Nilai dan isi Piagam Madinah (623) sangat menarik untuk dikaji, disamping isi Magna Charta (1215), Bill of Right-nya Inggris (1688), Declaration of Independence-nya USA (1776). Sejarah Peradaban Melayu, misalnya, sangat kaya dengan khazanah pemikiran intelektual di berbagai bidang, yang sangat tinggi dan bermutu. Sebut saja, misalnya, karya Nuruddin al-Raniri: ‘×ujjatu’l-?iddEq li daf’il-ZindEq’ yang memuat wacana yang sangat tinggi tentang filsafat, hukum, sufi, dan sebagainya. Di sekolah, para siswa di Indonesia tidak dikenalkan dengan karya-karya besar seperti ini. Sejarah yang diajarkan, biasanya berupa sejarah perang dan perpecahan, dan bukan sejarah intelektual.

5. Penutup
Agama, diakui atau tidak, masih tetap merupakan satu unsure penting dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara. Para elite bangsa perlu segera merumuskan peranan agama untuk mengatasi krisis bangsa saat ini. Masing-masing agama perlu merumuskan dan menekankan aspek-aspek idealis dan pragmatis yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan bangsa dan negara. Terlepas dari semua itu, kunci-kunci hancur dan bengkitnya satu umat atau bangsa, sebenarnya ada pada para tokoh agama (ulama, cendekiawan, pemimpin organisasi agama) itu sendiri. Jika mereka tidak memiliki kualifikasi – baik intelektual maupun moral – yang memadai, maka agama akan semakin dijauhi oleh masyarakat. Agama akan diposisikan sebagai faktor marjinal dalam berbagai aspek kehidupan. Dan ini berarti -- sebagaimana disebutkan oleh Toynbee – merupakan proses kehancuran suatu peradaban. Ulama harusnya berfungsi sebagai ‘pelita’ atau ‘bintang’. Nabi Muhammad (saw) bersabda: Seumpama ulama di bumi adalah seperti bintang-bintang di langit yang memberi petunjuk di dalam kegelapan bumi dan laut. Apabila dia terbenam maka jalan akan kabur. (HR Imam Ahmad). Jika ulama hancur, maka dapat menimbulkan multiplier effect yang dahsyat. Namun, pemimpin (umara) juga harus baik. Dalam al-Quran disebutkan: Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepatutnya berlaku keputusan Kami terhadap mereka, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS al-Isra’:16). Wallahu a’lam. (***)
paulusjancok
paulusjancok
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Male
Number of posts : 809
Age : 36
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6465
Registration date : 2011-08-12

Back to top Go down

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum