MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME

Join the forum, it's quick and easy

MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME
MURTADIN_KAFIRUN
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Latest topics
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
Buddhism = kejahatan di Indonesia? EmptyFri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam

» kenapa muhammad suka makan babi????
Buddhism = kejahatan di Indonesia? EmptyWed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal

» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
Buddhism = kejahatan di Indonesia? EmptyFri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya

» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
Buddhism = kejahatan di Indonesia? EmptyTue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar

» Moon Split or Islamic Hoax?
Buddhism = kejahatan di Indonesia? EmptyWed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin

» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
Buddhism = kejahatan di Indonesia? EmptyWed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin

» Who Taught Allah Math?
Buddhism = kejahatan di Indonesia? EmptyWed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin

» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
Buddhism = kejahatan di Indonesia? EmptyWed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam

» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
Buddhism = kejahatan di Indonesia? EmptySun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN

Gallery


Buddhism = kejahatan di Indonesia? Empty
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia

Kami tidak memfitnah, tetapi menyatakan fakta kebenaran yang selama ini selalu ditutupi oleh muslim untuk menyembunyikan kebejatan nabinya

Menyongsong Punahnya Islam

Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
 

Kebrutalan dan keberingasan muslim di seantero dunia adalah bukti bahwa Islam agama setan (AJARAN JAHAT,BUAS,BIADAB,CABUL,DUSTA).  Tuhan (KEBENARAN) tidak perlu dibela, tetapi setan (KEJAHATAN) perlu mendapat pembelaan manusia agar dustanya terus bertahan

Subscribe to MURTADIN_KAFIRUN

Powered by us.groups.yahoo.com

Who is online?
In total there are 70 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 70 Guests :: 2 Bots

None

[ View the whole list ]


Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
RSS feeds


Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Social bookmarking

Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website


Buddhism = kejahatan di Indonesia?

3 posters

Go down

Buddhism = kejahatan di Indonesia? Empty Buddhism = kejahatan di Indonesia?

Post by zebaoth_jehova Wed 31 Dec 2008, 12:30 pm

Buddhism = kejahatan di Indonesia?

Artikel lengkapnya di sini:
http://www.indonesiamatters.com/673/atheism-crime/


Quote: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang
siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan:
yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. dengan maksud agar orang
tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha
Esa.

.......

What's more in the proposed criminal code those who become atheists
or encourage others to lose faith in their religion are subject to
penalties.
(Bahkan dalam RKUHP ini menjadi atheis atau mengajak orang untuk tidak
meyakini agama dijadikan tindak pidana.)

Ini bertanggal 7/9/2006. Masih relevan?

Meskipun diakui hukum, tetapi agama Buddha tidak mengakui KeTuhanan yg
Maha Esa??

Terus krn tidak mengenal konsep "God", berarti Buddhist = atheist?? dan
menurut hukum indonesia maka umat budha harus di tindak pidana karena
tidak bertuhan.
zebaoth_jehova
zebaoth_jehova
MURTADIN
MURTADIN

Number of posts : 176
Reputation : -5
Points : 5669
Registration date : 2008-12-18

Back to top Go down

Buddhism = kejahatan di Indonesia? Empty Re: Buddhism = kejahatan di Indonesia?

Post by JIMMY05 Wed 31 Dec 2008, 4:00 pm

karna anda menulis budhism=kejahatan di indonesia,,,

terus pointnya apa nih,,, apakah mesti diberangus semua umat buddha di indonesia ????
JIMMY05
JIMMY05
KAFIRUN
KAFIRUN

Number of posts : 8
Reputation : 0
Points : 5597
Registration date : 2008-12-31

Back to top Go down

Buddhism = kejahatan di Indonesia? Empty ketuhanan

Post by miau_chang Wed 28 Jan 2009, 2:31 pm

Agama Buddha diakui pemerintah Indonesia sebagai Agama yang sah. Agama Buddha mengenal konsep ketuhanan versinya sendiri, karena memang tiap agama bebas punya konsep Tuhan yg berbeda

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang
Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam
bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha
menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi
marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah
negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara
yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan,
yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu
Negara yang bertuhan!

Soekarno mengenai Dasar Negara Pancasila

Sebenarnya jika kita melihat, perhatikan sila pertama Pancasila Dasar
Negara Indonesia yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, kita tidak bisa
mengatakan dan mengartikannya bahwa Indonesia mengakui adanya satu
tuhan, tetapi mengakui sifat-sifat tuhan yang mutlak. Kata ”Ketuhanan”
merupakan kata yang memiliki awalan ”ke-” dan akhiran ”–an”, ketika
suatu kata dasar diberi imbuhan awalan ”ke-” dan akhiran ”–an”, maka
kata tersebut memiliki perubahan arti. Dalam hal ini kata ”tuhan” yang
merupakan kata benda ketika ditambah dengan awalan ”ke-” dan akhiran
”–an” akan berubah menjadi kata sifat. Dengan kata lain, kata
”ketuhanan” berarti sifat –sifat atau hal-hal yang berhubungan dengan
tuhan, bukan tuhan itu sendiri.

Kata “maha” berasal dari bahasa Sanskerta / Pali yang bisa berarti
mulia atau besar (bukan dalam pengertian bentuk). Kata “maha” bukan
berarti “sangat”. Jadi adalah salah jika penggunaan kata “maha”
dipersandingkan dengan kata seperti besar menjadi maha besar yang
berarti sangat besar.

Kata “esa” juga berasal dari bahasa Sanskerta / Pali. Kata “esa” bukan
berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata “esa” berasal dari kata
“etad” yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan yang mutlak atau
mengacu pada kata “ini” (this – Inggris). Sedangkan kata “satu” dalam
pengertian jumlah dalam bahasa Sanskerta maupun bahasa Pali adalah kata
“eka”. Jika yang dimaksud dalam sila pertama adalah jumlah Tuhan yang
satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah “eka”, bukan kata
“esa”.

Dari penjelasan yang telah disampaikan di atas dapat di tarik
kesimpulan bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah berarti
Tuhan Yang Hanya Satu, bukan mengacu pada suatu individual yang kita
sebut Tuhan yang jumlahnya satu. Tetapi sesungguhnya, Ketuhanan Yang
Maha Esa berarti Sifat-sifat Luhur / Mulia Tuhan yang mutlak harus ada.
Jadi yang ditekankan pada sila pertama dari Pancasila ini adalah
sifat-sifat luhur / mulia, bukan Tuhannya.

Dan apakah sifat-sifat luhur / mulia (sifat-sifat Tuhan) itu ?
Sifat-sifat luhur / mulia itu antara lain : cinta kasih, kasih sayang,
jujur, rela berkorban, rendah hati, memaafkan, dan sebagainya. Dan
ajaran agama Buddha mengandung semua hal itu.


“Ketahuilah Para Bhikkhu, Ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak
Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Wahai para Bhikkhu, apabila
Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak
Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari
kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Tetapi
para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma,
Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari
kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Kebenaran terakhir ini, seperti Nibbana yang memungkinkan kita untuk mencapai pembebasan.
Buddha telah mencapai Pencerahan Sempurna, dengan demikian Buddha menghayati dan memahami Ketuhanan dengan sempurna pula.

Buddha bersabda: “Ada Yang Tidak Terlahir, Yang Tidak Terjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak (Udana VIII:3).

Yang
Mutlak = Asamkhata-Dhamma = Yang Tak Terkondisi. Dengan adanya Yang Tak
Terkondisi (Asamkhata), maka manusia yang terkondisi (Samkhata) dapat
mencapai kebebasan mutlak dari samsara.
Dengan adanya hukum Dharma,
unsur IMANEN dari Ketuhanan YME tidak lenyap sama sekali, namun ajaran
Buddha menekankan unsur TRANSENDEN dari Ketuhanan YME. Semua yang
transenden adalah TIDAK TERKONSEPKAN, harus dipahami secara INTUITIF
melalui PENCERAHAN, bukan melalui konsep.

Tak terelakkan, ketika
kita bicara tentang konsep Ketuhanan, diperlukanlah: SEBUTAN. Salah
satu sebutan: Adi-Buddha. Sebutan lain: Advaya, Diwarupa, Mahavairocana
(kitab-kitab Buddhis bahasa Kawi), Vajradhara (Tibet: Kargyu &
Gelug), Samantabhadra (Tibet: Nyingma), Adinatha (Nepal). Daftar ini
tidak lengkap dan masih bisa diperpanjang lagi sesuai dengan kebutuhan
Ajaran-ajaran
mengenai Adi Buddha telah lama dianut oleh leluhur-leluhur kita di
tanah Jawa yang menganut aliran Buddha esoterik yang mendirikan candi
borobudur serta candi-candi Buddhis lainnya.

Adi-Buddha = Realitas Tertinggi
Adi-Buddha = Kebenaran Mutlak.
Adi-Buddha = Ketuhanan Yang Maha Esa
Adi-Buddha = Dharmakaya


Dharmakaya:
tubuh Dharma yang absolut, kekal, meliputi segalanya, tidak terbatasi
oleh ruang dan waktu, ada dengan sendirinya, bebas dari pasangan yang
berlawanan, bebas dari pertalian sebab-akibat.

Adi-Buddha bukan suatu personifikasi.
Adi-Buddha bukan sosok yang punya inti-ego (ego-conscious).
Adi-Buddha bukan Tuhan antropomorfik (menyerupai manusia).
Adi-Buddha bukan Tuhan antropopatis (berperasaan = manusia).

Dalam Anguttara Nikaya, Buddha menjelaskan ada 3 (tiga) pandangan yang
berbeda yang dianut masyarakat luas pada masa kehidupannya. Salah satu
di antaranya adalah pandangan bahwa baik penderitaan maupun kebahagiaan
kedua-duanya berasal semata-mata dari seorang Tuhan Pencipta
(Issaranimmanahetu). Menurut pandangan ini kita tidak lebih dari hasil
karya seorang Tuhan Pencipta dan sebagai konsekuensinya, seluruh nasib
dan takdir kita bergantung mutlak pada kehendaknya yang absolut. Dalam
pandangan ini manusia tidak memiliki sedikit kebebasan lagi untuk
menentukan nasib dan takdirnya sendiri.

Terhadap pandangan ini,
Sakyamuni Buddha bersabda, “Jadi, karena diciptakan oleh seorang Tuhan
yang maha tinggi, maka manusia akan menjadi pembunuh, pencuri,
penjahat, pembohong, pemfitnah, penghina, pembual, pencemburu,
pendendam dan orang yang keras kepala. Oleh karena bagi mereka yang
berpandangan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan seorang Tuhan, maka
mereka tidak akan lagi mempunyai keinginan, ikhtiar ataupun untuk
menghindar dari perbuatan lain. (Majjhima Nikaya II, Sutta no. 101).

Jika
ada suatu makhluk yang merancang kehidupan dunia, kemuliaan dan
kesengsaraan, tindakan baik dan tindakan jahat – maka manusia tidak
lain adalah alat dari kehendaknya dan tentu makhluk itu yang
bertanggung jawab (Jataka VI : 208).

SANGHYANG ADI BUDDHA adalah
asal usul dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, ia sendiri
tanpa asal dan tanpa akhir, ada dengan sendirinya, tidak terhingga,
Supreme dalam segala kondisi, conditionlesss, absolute, ada
dimana-mana, esa tiada duanya, kekal abadi. Namun semua kata-kata indah
dan besar itu tidak mampu melukiskan keadaannya yang sebenarnya dari
Sanghyang Adi Buddha.

Apakah Adi Buddha tersebut ?

Adi
Buddha tak dapat dikatakan sebagai zat Ilahi yang memiliki inti ego
(ego conscious). Adi Buddha bukanlah Tuhan Antrofomorfik (menyerupai
manusia) maupun Tuhan Antropopatis (memiliki perasaan dan emosi seperti
manusia) yang membuat sebuah rencana dibenaknya, lalu berkeinginan
untuk mewujudkannya dan dikemudian hari memutuskan untuk menilai baik
tidaknya hasil karya itu – layaknya seorang arsitek yang memandangi
gedung hasil ciptaannya sendiri untuk memuji atau mencela.

Dalam
Literatur Mahayana dapat kita jumpai konsep pemahaman mengenai
Ketuhanan tersebut. Dalam kitab Sutra Vimalakirti Nirdesa, disebutkan
Dharma tertinggi adalah tak terkatakan.

Sumber Pencantuman Ketuhanan

Konsep mengenai Adi Buddha dapat kita jumpai dalam
1. Kitab Namasangiti Karanda Vyuha.
2. Svayambu Purana
3. Maha Vairocanabhisambodhi Sutra
4. Guhya Samaya Sutra
5. Tattvasangraha Sutra dan
6. Paramadi Buddhodharta Sri Kalacakra Sutra.

Di Indonesia,
1. Kitab Namasangiti versi Chandrakirti dari Sriwijaya dan
2. Sanghyang Kamahayanikan pada jaman Pemerintahan Mpu Sindok.



The Indonesian Buddhists had suggested Buddhism’s belief
in God by speaking in terms of
Adibuddha. This was from the Kalachakra (Cycle of Time) teachings, which had been spread
to Indonesia a little more than a thousand years ago. Adibuddha means, literally, the first or
primordial Buddha. You could speak about it in terms of the clear light mind. In each person,
this is the creator of our appearances, what we perceive; so in this sense it’s like a creator.
During a lecture tour of Indonesia in 1988, I had many discussions with
Buddhist monks about the issue of God in Buddhism. Since Adibuddha can
be interpreted as the clear light primordial consciousness, and since
all appearances of samsara and nirvana are the play or “creation” of
that mind, we concluded that there is no reason to feel uncomfortable
in saying that Buddhism accepts a creator God. The fact that Buddhism
asserts Adibuddha not to be an individual separate being, but something
present in each sentient being, is just a matter of theological
differences concerning the nature of God. Many Jewish, Christian,
Islamic, and Hindu thinkers assert that God is abstract and present in
all beings. As the Muslims say, “Allah has many names.”

Therefore, from my experience in Indonesia, I agreed, on the basis of Adibuddha, that Buddhism does accept a creator God, but with its own unique interpretation.

http://www.berzinarchives.com/web/en/archives/study/islam/general/islamic_buddhist_dialog.html?query=indonesia
miau_chang
miau_chang
KAFIRUN
KAFIRUN

Number of posts : 52
Reputation : 0
Points : 5585
Registration date : 2009-01-28

Back to top Go down

Buddhism = kejahatan di Indonesia? Empty Re: Buddhism = kejahatan di Indonesia?

Post by miau_chang Wed 28 Jan 2009, 3:35 pm

Pertama, lihat dulu kenapa sampe ada Undang-Undang anti Ateis? Karena trauma akan komunis.
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia
Perubahan penting terhadap agama-agama juga terjadi sepanjang era Orde Baru. [12] Antara tahun 1964 dan 1965, ketegangan antara PKI
dan pemerintah Indonesia, bersama dengan beberapa organisasi,
mengakibatkan terjadinya konflik dan pembunuhan terburuk di abad ke-20.
[13]
Atas dasar peristiwa itu, pemerintahan Orde Baru mencoba untuk menindak
para pendukung PKI, dengan menerapkan suatu kebijakan yang mengharuskan
semua untuk memilih suatu agama, karena kebanyakan pendukung PKI adalah
ateis.[12]
Sebagai hasilnya, tiap-tiap warganegara Indonesia diharuskan untuk
membawa kartu identitas pribadi yang menandakan agama mereka. Kebijakan
ini mengakibatkan suatu perpindahan agama secara massal, dengan
sebagian besar berpindah agama ke Kristen Protestan dan Kristen
Katolik. Karena Konghucu bukanlah salah satu dari status pengenal agama, banyak orang Tionghoa juga berpindah ke Kristen atau Buddha. [12]
Secara
formal negara Indonesia hanya mengakui 6 agama yaitu: Islam, Kristen,
Katholik, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Pengakuan ini diberikan melalui
UU No 1/PNPS Tahun 1965.

Tahun
60an-70an Agama Buddha dipertanyakan Ke-Tuhan-an-nya. Ada ga sih? Dan
kalau ada Dia ngapain dan dipanggil Siapa? Karena Definisi Agama di
Indonesia adalah ada Tuhan, Nabi/Rasul/Kitab, upacara keagamaan. (Yang
jelas-jelas ngambil dari konsep Islam. Jesus itu dianggap Tuhan bukan
Nabi, Hindu ga punya Nabi.) Untungnya Agama Buddha masih bisa selamat.
Nabi = Buddha, Kitab = Tripitaka (yg versi mana aja ok), Upacara
banyak. Tuhan?

Mungkin ada
mungkin tidak ada dalam agama Buddha. Karena jarang disebut. Tidak
disangkal, tidak disetujui, kadang disinggung topiknya sedikit, tapi ga
pernah dijelaskan tuntas. Tergantung alirannya juga. Theravada ga
pernah bahas. Mahayana bahas tapi tidak jelas. Vajrayana bahas secara
dalam, tapi maaf, ajaran itu agak rahasia.

Tapi zaman
dahulu kala ketika Borobudur dibangun, yang dianut di Indonesia adalah
agama Buddha, aliran Vajrayana. Dan masih terselamatkan dong kitab suci
asli bikinan kita sendiri, ditulis dalam bahasa kawi/ jawa kuno,
berjudul Sanghyang Kamahayanikan. Disitu tertulis bahwa ada "sesuatu
yang mutlak... dst" dan punya banyak nama. Kita ambil satu nama dan
dijadikan nama resmi untuk memanggil Tuhan Yang Maha Esa untuk umat
Buddha.

Jadi, ya
agama Buddha di Indonesia ber-Tuhan. Ada di kitabnya. Diakui Hukum
Indonesia. Tapi beda dengan konsep Tuhan agama lain. Kok beda? Ya
terserah kita dong, wong agama kita.

Kalaupun
masih bersikeras bahwa agama Buddha ga ber-Tuhan, so what? Yang salah
malah peraturan hukum anti-ateis itu. Yang salah pemerintah terlalu
ikut campur urusan beragama. ga percaya? Baca artikel di bawah:


Pluralisme dan Kerukunan Hidup Beragama


Oleh John A Titaley




ADALAH merupakan sesuatu yang wajar bila terdapat
perbedaan di antara manusia, bahkan di antara anak kembar sekalipun.
Patutlah disadari bahwa penyebab dasar yang membedakan di antara anak
kembar adalah faktor bawaan genetiknya. Gen yang dimiliki setiap
manusia adalah sesuatu yang kodrati, bawaan yang tak bisa ditolak.
Ketika seseorang lahir, bawaan gennya sudah begitu. Hanya robot atau
mesin saja yang sama spesifikasinya karena dibuat manusia.
Bawaan genetik manusia tidaklah dapat ditentukan menurut kemauan
seseorang, sekalipun belakangan ini orang sudah bisa melakukan rekayasa
genetika manusia. Adanya perbedaan ba-waan gen manusia itulah yang
me-nyebabkan sifat, karakter dan do-rongan seorang manusia tidak sama
dengan manusia lainnya. Oleh sebab itu, perbedaan di antara ma-nusia
adalah sesuatu yang kodrati adanya. Menolak perbedaan adalah
mengingkari kodrat manusia.
Demikianlah halnya pluralisme. Yang dimaksud dengan pluralisme
adalah kenyataan bahwa dalam suatu kehidupan bersama manusia terdapat
keragaman suku, ras, budaya dan agama. Keragaman agama itu terjadi juga
karena adanya faktor lingkungan tempat manusia itu hidup yang juga
tidak sama. Lingkungan hidup empat musim bagi seseorang akan membuat
orang tersebut memiliki karakter dan pembawaan yang berbeda dengan
orang yang hidup dalam lingkungan yang hanya terdiri dari dua musim,
seperti musim hujan dan musim panas.
Agama bukan saja suatu lembaga yang berhubungan dengan Yang Mutlak
saja, tetapi juga adalah lembaga sosial. Dia adalah bagian dari
kebudayaan karena dia dihidupi dalam kehidupan manusia sehari-hari,
sama seperti kehidupan lainnya. Karenanya, sebagai suatu institusi
sosial, agama itu juga adalah bagian dari satu sistem kebudayaan. Jadi
kalau kebudayaan manusia itu beragam, maka dapat dipahami pula kalau
agama itu pun juga beragam. Mengapa agama itu juga bagian dari
kebudayaan? Karena manusia tidaklah dapat hidup di luar kebudayaannya.
Memang yang Mutlak itu kekal adanya. Dia universal, dalam pengertian
berada bagi manusia dan alam. Dia sesuatu yang sudah jadi, mutlak dan
kekal, melampaui batas-batas kemanusiaan dan kebudayaannya. Ketika Yang
Mutlak, yang universal itu berhubungan dengan manusia, bagaimanakah
manusia menanggapi hubungan Yang Mutlak tersebut? Sudahlah pasti bahwa
manusia akan menanggapi hubungan itu dengan keterbatasan simbol-simbol
budayanya. Salah satu simbol tersebut adalah bahasa. Supaya suatu
hubungan (komunikasi) bisa terjadi haruslah ada kesamaan bahasa. Entah
Yang Mutlak yang menggunakan bahasa manusia itu, atau manusia yang
harus menyesuaikan dirinya untuk memahami bahasa Yang Mutlak itu.
Kalau terakhir yang terjadi, maka sudahlah pasti manusia tidak akan
dapat memahami kehendak Yang Mutlak itu secara sempurna. Selalu saja
terjadi reduksi (pengurangan) dalam upaya manusia memahami Yang Mutlak
itu. Reduksi terjadi karena dalam memahami kehendak Yang Mutlak itu,
manusia melakukannya dengan bahasa dan simbol-simbol budayanya sendiri,
bukanlah simbol dan bahasa Yang Mutlak.
Itulah keterbatasan manusia di hadapan Yang Mutlak itu. Dalam
keadaan seperti itu, maka tidak seorang manusia pun yang dapat
mengklaim bahwa dia dapat memahami kehendak Yang Mutlak itu secara
sempurna. Pastilah terjadi penyaringan-penyaringan (reduksi) dalam
komunikasi tersebut. Reduksi itu adalah wajar saja.
Lalu, kalau Yang Mutlak itu atas kehendak bebasnya sendiri juga
berkomunikasi dengan manusia-manusia lainnya di berbagai belahan bumi
ini dan ditanggapi oleh manusia-manusia tersebut dengan cara yang sama,
sehingga terbentuk berbagai macam agama sebagai upaya untuk hidup
menurut kehendak Yang Mutlak itu, bisakah satu agama menyatakan dirinya
sendiri sendiri sebagai satu-satunya agama yang paling benar? Kalau
klaim seperti itu yang terjadi, maka sudahlah pasti itu adalah
klaim-klaim manusia, bukan klaim Yang Mutlak. Menyatakan dirinya
sendiri yang paling benar dan paling murni adalah sifat manusia. Yang
mutlak tidak butuh klaim seperti itu. Jadi, pluralisme agama adalah
sesuatu yang sangat wajar.
Kalau dalam komunikasi itu Yang Mutlak menggunakan ''bahasa dan
budaya'' manusia tertentu supaya bisa dimengerti seluruhnya dengan
baik, pertanyaan yang patut dikemukakan adalah bisakah seorang manusia
merekam proses komunikasi itu dalam ingatannya ibarat video-camera dan
kemudian menuturkan ulang proses komunikasi itu secara sempurna tanpa
reduksi seperti halnya video itu diputar ulang?
Lalu, kalau Yang Mutlak itu boleh berkomunikasi dengan cara itu bagi
seseorang dalam suatu budaya tertentu, apakah Yang Mutlak itu tidak
dibolehkan berkomunikasi dengan cara seperti itu bagi manusia lain di
tempat lain, pada waktu yang lain dengan menggunakan bahasa yang lain
pula?
Apakah benar bahwa Yang Mutlak itu hanya ingin berkomunikasi dengan
manusia dari bangsa tertentu dan tidak ingin atau tidak boleh
mengkomunikasikan kehendakNya kepada manusia dan bangsa yang lain?
Sudahlah pasti yang biasanya suka mengklaim seperti itu adalah manusia
juga dan itu adalah juga sifat manusia. Karenanya, pluralisme adalah
sesuatu yang manusiawi adanya.
Kriteria
Pluralisme seperti ini berarti pula bahwa manusia pemeluk
suatu agama tertentu yang lahir ribuan tahun yang lalu, harus bisa
menerima lahirnya atau bermunculannya suatu agama baru pada masa kini
atau masa depan. Karena Yang Mutlak itu memiliki kehendak bebas, dan
manusia juga mengalami perkembangan kebudayaan dalam kehidupannya, maka
selalu saja bisa terbentuk agama yang baru di mana-mana dan di masa
depan. Ini juga sesuatu yang kodrati adanya. Membatasi kehadiran
agama-agama lain dari masa lalu dan di masa depan, sudah tentu bukanlah
kehendak Yang Mutlak. Itu adalah kecenderungan manusia yang selalu
ingin menang sendiri.
Dalam kerangka pemikiran seperti inilah, maka pluralisme agama harus
diterima. Masalahnya, apakah di Indonesia hal itu sudah terjadi? Ketika
bangsa ini menerima hanya lima dan kemudian menjadi enam agama resmi,
dan celakanya kelima-keenam agama itu bukanlah agama-agama yang lahir
dari pangkuan budaya bangsa Indonesia sendiri, apakah bangsa ini sudah
berbuat adil kepada dirinya sendiri? Tidakkah dengan mengingkari hak
hidup agama-agama lain di luar lima-enam agama itu, bangsa ini telah
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, yaitu hak untuk
beragama? Jadi ketidakadilan dalam kehidupan beragama juga sedang
dipraktikkan bangsa ini, tanpa harus menunjuk ketidakadilan bangsa lain.
Pengakuan terhadap kelima-enam agama itu juga sesuatu yang patut
dipersoalkan. Kriteria apakah yang digunakan? Dalam suatu diskusi di
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama RI, disebutkan bahwa
dasar yang digunakan pada waktu lampau adalah ''agama yang banyak di
anut bangsa ini''. Lalu kalau ada kriteria agama yang banyak dianut,
bagaimana dengan agama yang penganutnya tidak banyak?
Kalau ditinjau sedikit lebih jauh agama-agama seperti apa yang
dimaksud dengan yang penganutnya tidak banyak itu? Kalau dicari dalam
perbendaharaan agama-agama di Indonesia, maka sudah tentu akan ditemui
agama-agama seperti Perbegu di Sumatera Utara, Kaharingan di
Kalimantan, Marapu di pulau Sumba, Kejawen di pulau Jawa, Aluk Tadolo
di Tana Toraja, dan sebagainya.
Agama-agama itu, meski jumlah penganutnya sedikit, tidaklah berarti
bahwa eksistensinya diingkari. Kriteria seperti itu seharusya tidak
boleh dijadikan alasan penolakan pengakuan eksistensi suatu agama.
Kalau hendak ditolak eksistensi suatu agama, maka harus ada dasarnya.
Dasarnya itu tidaklah lain dari pada definisi agama itu sendiri.
Meminjam cara perumusan mudah Swidler dan Mojzes, suatu agama harus
memiliki empat struktur yang diringkas dengan empat C. Pertama adalah
adanya pengakuan (creed) tentang sesuatu yang mutlak benar bagi kehidupan manusia. Kedua adalah kode (code) tindakan (etika) yang timbul sebagai buah dari kepercayaan itu. Ketiga adalah kultus (cult) sebagai upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang dipercayainya itu. Terakhir adalah umat (community)
yang bersama-sama memiliki kepercayaan yang sama. Ketika empat struktur
ini ada dalam suatu lembaga sosial, maka lembaga sosial itu adalah
agama.
Orang selalu menghubungkan agama dengan isi kepercayaan (creed),
terutama kalau itu berhubungan dengan Yang Mutlak yang disebut Tuhan,
Dewa, dengan berbagai nama yang diberi manusia kepadaNya.
Di kalangan bangsa Yahudi, Yang Mutlak itu disebut Yahweh, di tanah
Arab: Allah SWT, di kalangan Kekristenan: Tritunggal, di India: Krisna,
di Bali: Sang Hyang Widi Wasa, di Toraja: Puang Matua, dan sebagainya.
Kalau itu yang terjadi, bagaimana dengan agama Buddha yang tidak memiliki unsur kepercayaan terhadap Yang Mutlak itu?
Itulah sebabnya, definisi seperti di atas menolong, karena dia tidak
perlu merepotkan isi kepercayaan. Kalau isi kepercayaan harus
diperhitungkan, maka akan terjadi dua macam agama. Agama yang theistik,
yaitu agama yang memiliki isi kepercayaan terhadap Yang Mutlak itu
dalam bentuk ilah (theos: Bahasa Yunani) dan agama non-theistik, yaitu
agama yang isi kepercayaan terhadap yang mutlak itu bukan dalam bentuk
ilah, akan tetapi gagasan misalnya. Kalau ini bisa diterima, maka agama
Buddha adalah agama non-theistik.
Akibat dari definisi seperti ini, lalu akan muncul banyak sekali
agama, karena hampir setiap suku di Tanah Air ini, memiliki agamanya
masing-masing. Ya, mereka harus diakui sebagai agama dan masuk dalam
kategori agama yang penganutnya sedikit.
Kalau sudah ada pengakuan terhadap keragaman agama seperti ini,
bagaiman mengatur supaya mereka bisa hidup rukun? Aturlah mereka
seperti halnya mengatur kehidupan warga negara biasa saja. Tidak perlu
diatur lewat suatu departemen agama seperti yang ada sekarang ini.
Pengaturan seperti sekarang ini hanya mempertontonkan kepada dunia
bahwa negara ini sedang mempraktikkan diskriminasi struktural dan
pelanggaran hak asasi manusia secara transparan.
Jaminlah hak mereka untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaannya, dan aturlah mereka dengan hukum nasional apabila
terjadi pelanggaran dalam kehidupan beragama itu, tanpa harus
merumuskan undang-undang yang secara khusus mengatur agama. Terlalu
banyak nanti yang harus diatur. (24)
-John A Titaley, guru besar ilmu teologi pada PPs Sosiologi Agama UKSW dan guru besar luar biasa pada CRCS UGM. http://www.suaramerdeka.com/harian/0512/09/opi4.htm
miau_chang
miau_chang
KAFIRUN
KAFIRUN

Number of posts : 52
Reputation : 0
Points : 5585
Registration date : 2009-01-28

Back to top Go down

Buddhism = kejahatan di Indonesia? Empty Re: Buddhism = kejahatan di Indonesia?

Post by Sponsored content


Sponsored content


Back to top Go down

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum