MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME

Join the forum, it's quick and easy

MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME
MURTADIN_KAFIRUN
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Latest topics
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
melerai konflik umat beragama EmptyFri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam

» kenapa muhammad suka makan babi????
melerai konflik umat beragama EmptyWed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal

» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
melerai konflik umat beragama EmptyFri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya

» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
melerai konflik umat beragama EmptyTue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar

» Moon Split or Islamic Hoax?
melerai konflik umat beragama EmptyWed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin

» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
melerai konflik umat beragama EmptyWed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin

» Who Taught Allah Math?
melerai konflik umat beragama EmptyWed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin

» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
melerai konflik umat beragama EmptyWed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam

» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
melerai konflik umat beragama EmptySun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN

Gallery


melerai konflik umat beragama Empty
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia

Kami tidak memfitnah, tetapi menyatakan fakta kebenaran yang selama ini selalu ditutupi oleh muslim untuk menyembunyikan kebejatan nabinya

Menyongsong Punahnya Islam

Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
 

Kebrutalan dan keberingasan muslim di seantero dunia adalah bukti bahwa Islam agama setan (AJARAN JAHAT,BUAS,BIADAB,CABUL,DUSTA).  Tuhan (KEBENARAN) tidak perlu dibela, tetapi setan (KEJAHATAN) perlu mendapat pembelaan manusia agar dustanya terus bertahan

Subscribe to MURTADIN_KAFIRUN

Powered by us.groups.yahoo.com

Who is online?
In total there are 40 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 40 Guests :: 1 Bot

None

[ View the whole list ]


Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
RSS feeds


Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Social bookmarking

Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website


melerai konflik umat beragama

Go down

melerai konflik umat beragama Empty melerai konflik umat beragama

Post by paulusjancok Wed 14 Dec 2011, 1:56 pm

Dari dulu hingga sekarang, konflik antarumat beragama masih saja bertengger di peringkat atas, bersanding dengan masalah-masalah sosial lainnya. Peristiwa semisal konflik umat Islam dengan umat Kristen di perang salib, umat Islam dengan umat Yahudi di Palestina-Israel, dan umat Islam dengan umat Kristen di Maluku dan Poso-Indonesia, tak bosan-bosannya mencuat ke permukaan, menggelisahkan jiwa kemanusiaan.

Kemunculan konflik tersebut awalnya berakar pada masalah sosial, ekonomi dan politik. Tapi, lantaran agama seringkali dipolitisir, maka permasalahan duniawi (baca: sosial-ekonomi-politik) itu pun terreduksi. Perbedaan agama dijadikan sebagai garis demarkasi, hingga konflik duniawi tadi selanjutnya ditengarai sebagai masalah religius yang lambat laun diganti nama menjadi “konflik antaragama”.[1]

Bila keyakinan yang jadi titik singgung, maka tak mengherankan jika klaim kebenaran diusung tiap pihak seteru. Apriori menggantikan rasio, debat skolastik bahkan debat kusir menyingkirkan dialog demonstratif, pemikiran defensif-opensif menggeser pemikiran rasional-mencari hakekat, dan kerangka berpikirnya pun menjadi paradigma hitam-putih dan insider-outsider. Jika ‘jelaga’nya kian memekat, posisi toleransi dan “menerima yang lain” (qabûl al-akhâr: otherness) akan digeser oleh baku hantam. Akhirnya, membunuh atas nama agama menjadi trend, tanpa merasa berdosa, dan the holy war menjadi panji kebanggaan dan heroisme.

Atas nama keluhuran nilai global agama, perubahan fungsi agama dari risalah untuk kemaslahatan manusia menjadi risalah peresah manusia, tentu enggan kita saksikan. Lebih dari itu, atas nama kemanusiaan, pertumpahan darah dengan dalil membela “agama” lalu melecehkan manusia, tentu kita kecam. Oleh karena itu, selaku insan berasio yang enggan menyaksikan dan mengecam kenyataan itu, upaya apakah yang bisa kita kontribusikan untuk sebuah perdamaian antarumat beragama/agama?

Dalam rangka merajut tali perdamaian antarumat beragama, makalah ini berusaha mencari “pengurai masalah” (problem solving) yang dapat mengggagas dan mengeratkan sendi-sendi perdamaian itu, lalu mengembangkannya. Bila pengurai masalah, secara garis besar, berasal dari kreasi pribadi (ego) atau kreasi orang lain (other), masa kini atau masa lalu, dan bersifat teoritis atau praktis, maka, makalah ini akan menampilkan pengurai masalah dari kreasi orang lain yang berasal dari masa lalu dan bersifat teoritis. Yaitu, mendayagunakan wihdat al-adyân (kesatuan agama) yang digagas oleh Ibnu ‘Arabî,[2] sebagai solusi alternatif bagi konflik antarumat beragama. Dengan target-tujuan untuk mengubah cara pandang kita terhadap agama dan melengkapi upaya dialog antarumat beragama/agama.

Tak dipungkiri solusi-alternatif dari kreasi orang lain dapat menjerat kita ke arah taklid dan dependen. Solusi alternatif dari masa lalu kadang bersifat idealis-melangit. Dan solusi alternatif teoritis-pragmatis (teori yang beriorientasi pada pengejawantahan riil) tak sempurna tanpa direalisasikan. Agar taklid dan dependen tidak menjerat makalah ini, maka penulis akan mengurai hakekat wihdat al-adyân. Tapi sebelum itu, penulis akan mengkaji sosiohistoris wihdat al-adyân, agar korelasi dan aplikabelitasnya teruji bagi problem kekinian. Dan agar solusi alternatif ini tak sebatas teori saja, maka akan diupayakan untuk dipraksiskan.



Sosiohistoris Wihdat al-Adyân Ibnu ‘Arabî

Kendati mewakili suatu hakekat, wihdat al-adyân selaku ide dapat diasumsikan sebagai reaksi atas realitas yang dihadapi. Sebab, pada dasarnya sebuah ide adalah ‘iluminasi’ atau refleksi dari realitas—yang di lain waktu, secara dialektis, dapat membentuk suatu realitas lain—. Oleh karena itu, sebelum hakekat wihdat al-adyân ‘dibongkar’ lalu dikembangkan, sangatlah urgen bila kita mendahulukan bahasan tentang realitas sosiohistoris wihdat al-adyân. Bagaimana keadaan politik, budaya dan sosial-keagamaan pada zaman Ibnu Arabi mencetuskan ide wihdat al-adyân?

Secara historis, jalan kehidupan pria kelahiran Marsiah 17 Romadlon 560 H ini dapat dibagi menjadi dua fase. Pertama, fase keberadaannya di Andalusia (560-597 H). Kedua, fase keberadaannya dalam perjalanan mencari dan memperluas ilmu pengetahuan, hingga meninggal (597-638 H).

Di fase pertama, Ibnu Arabi berada di bawah sistem pemerintahan monarkis Dinasti Muwahiddîn (al-Mohad) yang sedang dipimpin oleh Khalifah Abu Ya‘qûb Yûsuf bin Abdul Mu‘min (551-580 H) lalu Khalifah Ya‘qûb bin Yusuf Al-Manshûr (580-595 H).

Menurut Muhammad Abdullah ‘Inân, khalifah Abu Ya‘qûb terkenal dengan karakter wara’, takwa, luas ilmu pengetahuan dan keagamaannya, teguh dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, kapabel dalam menjalankan roda pemerintahan, gemar berjihad, dan dermawan.[3] Karena corak politik suatu negara monarkis tergantung dengan karakteristik pemegang tampuk pemerintahannya, maka, karakteristik politik pemerintahan khalifah Abu Ya’qûb pun tak jauh dari karakter sang khalifah. Ia didaulat bernuansa religius, teratur, aman, makmur, diiringi stressing pada pengembangan ilmu pengetahuan dan ekspansi ke luar negeri.

Corak pemerintahan semacam itu menstabilitaskan politik dalam negeri, dan memberikan kesempatan hidup dan pendidikan yang lebih nyaman dan baik bagi rakyat. Ibnu ‘Arabî selaku rakyat Dinasti Muwahiddinpun mendapatkan anugerah nikmat serupa itu. Ia memiliki basis ilmu pengetahuan dan tradisi pemikiran Islam yang luas dan konprehensif, setelah berguru pada 20 syeh lebih.[4]

Sepeninggalan Khalifah Abu Ya‘qûb, tongkat estafet kepemimpinan Dinasti Muwahiddin dipegang oleh anaknya, Khalifah Al-Manshur. Ia jalankan roda pemerintahan dengan nuansa politik yang hampir sama dengan ayahnya. Bedanya, dalam masalah budaya-pemikiran-keagamaan, pemerintahan Khalifah Al-Manshûr cenderung fanatik. Ia hanya memberi ruang hidup bagi madzhab pilihannya dan melarang hidup madzhab lain yang berseberangan. Ia berangus buku madzhab Maliki, dan ia inkuisi, asingkan, dan usir ” pemikir liberal (contoh kongkretnya Ibnu Rusyd). Semuanya lantaran sang khalifah dikelilingi oleh fuqaha eksoteris bermadzhab Dzahiriyyah yang gila kekuasaan, hasud dan benci terhadap pemikir liberal dan esoteris.[5]

Kebebasan berpikir di zaman itu tak berjalan leluasa dan kecenderungan untuk berpendapat lain tersumbat. Semua tak boleh berbeda dengan mainstream pemerintah (fuqaha). Karena suasana mengungkung dan tak kondusif lagi, tokoh-tokoh ‘berpikiran liberal’ pun enggan tinggal lama di Andalusia. Termasuk Ibnu Arabi, usai keluar dari penjara akibat benturan pemikiran dengan pemerintah, ia hengkang dari Andalusia pada tahun 597 H, lalu melanglang buana di sekitar Masyriq.[6]

Itu keadaaan politik dan budaya di fase awal kehidupan Ibnu Arabi, bagaimana keadaan sosial-keagamaan waktu itu?

Secara garis besar, model politik pemerintahan Daulah Muwahiddin di fase awal kehidupan Ibnu Arabi mengarah pada religiusitas, stabilitas nasional dan ‘penjajahan’. Adapun corak budayanya: di masa Abu Ya‘kub tergelar suasana inklusif dan toleran, sedangkan di masa Al-Manshur tersaji suasana eklusif dan fanatis.

Saat kehidupan budaya Muwahiddin bercorak inklusif dan toleran, pluralitas terangkul, dan kehidupan sosial-keagamaan terasa nyaman. Namun saat kehidupan budaya bercorak eklusif dan fanatis, keragaman tersingkirkan, dan kehidupan sosial-keagamaan mengenaskan dan menggelisahkan.

Pemerintahan Al-Manshur dengan corak budaya rigid yang dikembangkannya itu telah mendiskriminasi umat ‘beragama’ (baca: bersyariat) lain. Bila kaum dzimmi pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Mu‘min (khalifah pertama Dinasti Muwahiddin) disingkirkan dan diberi alternatif: “menjadi muslim atau keluar dari wilayah Muwahiddin”, di masa Al-Manshûr, mereka dibedakan dari orang ‘Islam’. Pada tahun 595 H, Al-Manshûr mengeluarkan keputusan bahwa umat Yahudi wajib menggunakan baju berwarna hijau agar berbeda dengan umat Islam. [7]

Walaupun tak separah keputusan Khalifah Abdul Ma‘mun, keputusan Khalifah Al-Manshur ini telah menjadikan umat ‘beragama’ lain sebagai warga negara nomor dua pula. Keputusan itu tentu tidak fair dan dapat menjadi preseden buruk bagi sejarah Islam, paradigma integralistik dalam relasi agama dan negara, dan konsep agama resmi negara.

Jika implikasi epistemologis dua keputusan itu berwarna kelabu, implikasi praksisnya berwarna hitam-menyeramkan. Secara khusus, keputusan itu menimbulkan dendam di hati warga yang di nomor duakan. Dan secara umum, ia menimbulkan dendam di hati komunitas lain yang ‘seagama’ dan berempati terhadap mereka.

Contohnya, entah hukum karma atau memang ‘trend keagamaan’ di masa itu, kerajaan Spanyol Kristen melakukan hal yang hampir serupa dengan apa yang dilakukan Dinasti Muwahiddin terhadap kaum dzimmi. Tepatnya di Sevilla, pada akhir abad ke-6 H/12 M, di masa pemerintahan Wiliam I—juga di masa Fedrick II—, kerajaan Spanyol Kristen telah menekan umat Islam minoritas Sevilla dalam bidang hukum dan telah menindas mereka dengan perampasan tanah dan pengekangan kebebasan beragama.[8]

Celakanya, implikasi praksis yang menyeramkan tadi tak berhenti di situ. Antipati terhadap ‘agama’ lain muncul menjadi benih bawah sadar yang sewaktu-waktu dapat digerakkan oleh kekuatan politik ‘kotor’, sebagaimana yang dilakukan oleh kerajaan Muwahiddin dan kerajaan Spanyol Kristen. Dua kerajaan yang haus wilayah kekuasaan luas itu tak segan-segan menggerakkan antipati tersebut dengan politisasi agama untuk memenuhi dahaganya. Kerajaan Muwahiddin gencar mengkampanyekan jihad dan kerajaan Spanyol Kristen gemar mengkampanyekan perang suci membela salib.[9] Akhirnya, setelah antipati umat bangkit oleh kampanye kerajaan, kemudian mulai sinkron dengan hasrat inti kerajaan, maka timbullah “perang antarkerajaan yang bertameng nama perang antaragama”. Di masa Khalifah Al-Mansur terjadi tragedi Arak (591 H/1193 M) antara Andalusia Muslim dengan Spanyol Kristen Qasytalah, lalu di Masa Khalifah Nashir terjadi tragedi ‘Iqâb/Perang Salib (1212 M) antara Andalusia Muslim dengan persatuan umat Kristen Eropa.[10]

Kekeruhan demi kekeruhan yang berakar pada politik pemerintah, tentu saja menggundahkan jiwa. Hal itu dirasakan pula oleh Ibnu ‘Arabî. Hati dan akal tasawufnya yang diliputi cinta kasih menjerit melihat perang yang hakekatnya demi kepentingan duniawi, namun dilabelkan stempel agama (baca: politisasi agama). Cinta kasihnya yang melewati batas-batas teritorial agama juga merintih melihat diskriminasi sesama manusia. Apa yang dapat ia lakukan selain meninggalkan Andalusia?

Dalam pelarian dari kekangan pemikiran dan kekacauan politik dan sosial-keagamaan Andaluasia (fase kedua dari kehidupannya), Ibnu ‘Arabî berjalan mencari hakekat wujud, dan memperdalam serta memperluas ilmu pengetahuan, khususnya bidang tasawuf, di Masyriq.[11] Selama perjalanan itu, tintanya tak pernah kering menulis karya-karya monumental.

Meski tak disebutkan, penulis yakin, karya-karyanya selain memuat hasil ilham—sebagaimana yang diakui oleh Ibnu ‘Arabî sendiri—juga memuat refleksi dari realitas yang dihadapinya. Sebab, seorang yang dianggap genius itu mustahil acuh tak acuh dengan realitas yang dihadapi masyarakatnya, dan suatu pemikiran itu mustahil hadir tanpa sebab materiil yang mendahuluinya .

Bila masalah budaya dan sosial-keagamaan imbas dari politik pemerintah yang tersebut di atas dapat kita sebut sebagai permasalahan krusial yang dihadapi masa Ibnu ‘Arabî, maka, ide apakah yang ia kontribusikan untuk memecahkan masalah itu?



Wihdat al-Adyân Sebuah Ide Solusi (Hakekat Wihdat al-Adyân)

Telah disinggung di atas bahwa dalam bidang budaya berpikir dan sosial-keagamaan, perintahan Islam maupun Kristen telah membelenggu kebebasan berpikir dan telah mempolitisir agama. Karena kungkungan itu, Ibnu ‘Arabi lari dari Andalusia memproduk karya-karya yang sering keluar dari mainstream pemikiran ‘biasa’ atau berupaya menggulirkan ide pluralitas dan kebebasan berpikir-berekpresi. Dan karena penyelewengen itu, Ibnu ‘Arabi berusaha mengungkap hakekat agama dan mencari “lem” perekat antarumat beragama.

Agama (al-dîn), menurut Ibnu Arabi, ada dua. Pertama; agama menurut (‘inda) Allah, menurut orang yang diberitahu Allah dan menurut orang yang diberitahu oleh orang yang diberitahu allah, yang diberikan secara formal oleh Allah dalam bentuk syariat/nâmus yang mengajak manusia tunduk kepadaNya dan berbuat baik. Dan kedua; agama menurut mahluk dan telah dianggap oleh allah.[12] Walaupun agama terbagi dua, Ibnu Arabi katakan; “Agama seluruhnya ‘milik’ (li) Allah dan seluruhnya ‘dari’ (min) manusia bukan dari Allah kecuali dengan hukum otentik (hukm al-ashâlah).”[13]

Secara dzahir, lanjut Ibnu Arabi, Agama adalah Islam, karena Islam merupakan dzat inti dari ketundukan (al-inqiyâd).[14] Namun secara batin, Agama adalah penampakan wujud hak (tajalli wujud al-haq) dalam—semisal—sebuah cermin...yang dapat memantulkan beragam bentuk, tergantung subyek di depan cermin (baca: manusia) dan tangkapan masing subyek.[15]

Ungkapan di atas dapat kita simpulkan bahwa Ibnu Arabi sebenarnya hanya mengakui satu agama saja, sebagaimana ia mengakui adanya satu Tuhan. Namun, sebagaimana Tuhan Yang Maha Esa ‘memantulkan bayangan’ beragam mahluk alam semesta dan konsepsi manusia tentangNya berbeda-beda, agama pun demikian pula adanya. Ia satu akar, tapi modelnya menjadi banyak, sebanyak keragaman manusia dan interpretasinya.

Bila hakekat agama adalah satu, milik satu tuhan, dan ia berbeda-beda tergantung dari perbedaan manusia dan interpretasinya, maka, apa tindak lanjut Ibnu ‘Arabi kemudian?

Dalam Dzakhâir Al-A‘lâq Syarh Tarjumân Al-Asywâq, Syeh Akbar Ibnu Arabi bersyair :



Taurâtuhâ lauh sâqîhâ sinnan wa ana # atlû wa adrusuhâ ka annanî mûsâ

Usqufatun min banât al-rûm ‘âthifatun # tarâ ‘alaihâ min al-anwâri nâmusâ....

Qad a‘jaztu kulla ‘allâmin bi millatinâ # wa dawûdiyyan wa hibran tsumma qissîsâ.[16]



(Taurat adalah permukaan betis kakinya yang kubaca dan kupelajari seolah-olah aku Musa. Ia adalah uskup putri Rowawi yang berbelas kasih dan memancarkan sinar-sinar syariat. Aku telah berkata dengan bahasa indah pada ‘Alâm [Al-Qur‘an], Dawudiyyah [Zabur], Hibra [Taurat] dan Qisîs [Injil]).

Syair ini memang Ibnu ‘Arabi dedikasikan untuk memuji Fakhru Al-Nisâ’ binti Rustum.[17] Seorang syaikhah Hijaz, saudari dari Abu Syujâ‘ Zâhir bin Rustum bin Abu Al-Rajâ’ Al-Isfahânî, yang pandai beriwayat dengan hikmah-hikmah religius. Ibnu ‘Arabi mengumpakan Taurat sebagai betis Fakhru an-Nisâ’: pondasi kokoh yang membantunya berjalan mengarungi hidup. Ia umpakan syaikhah tadi dengan seorang uskup, dalam masalah cinta kasih, pengetahuan dan penghayatan keagamaannya. Maksud Fakhu an-Nisadari itu seperti uskup, pecinta murni tanpa nafsu dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi.

Namun, walaupun syair itu ditujukan sebagai pujian dan perumpamaan ansich, penulis pikir, ada beberapa butiran maghza (significance) yang disimpannya. Antara lain, bait pertama mengindikasikan penerimaannya akan ajaran Yahudi (taurat, atlu, adrusu dan mûsâ). Bait kedua mengindikasian pengakuaannya atas kebenaran ajaran Kristiani (usqufatun, rûm dan anwâr). Interpretasi ini dikuatkan dengan ungkapan Ibnu ‘Arabî di bait ketiga yang mengisyaratkan bahwa Ibnu Arabi menerima kitab suci selain Al-Qur’an, walau ada isu yang mengatakan bahwa Injil dan Taurat telah didistorsi (tahrîf).

Bentuk kongkret indikasi-indikasi penerimaan ajaran selain Islam Muhammadisme dikokohkan dengan syair Ibnu ‘Arabi yang berbunyi:



Wa laqad shâra qalbî qâbilan kulla shûrah # fa mar‘a li ghazlân wa dîrun li rahbân.Wa baitun li autsân wa ka‘batu thâif # wa alwâhu taurât wa mushhaf al-qur‘ân. Adînu bi dîn al-hub annî tawajjahtu # rakâibahu fa al-hub dîniy wa îmâniy.[18]

(Sungguh hatiku sanggup menerima segala bentuk. Ia padang untuk sepasang kijang, biara bagi biarawan, rumah bagi berhala, Ka’bah bagi orang thawaf, dan ia adalah papan/lembaran taurat dan mushaf Al-Qur‘an. Aku memeluk agama cinta kasih. Kuhadapkan dan kuserahkan diriku pada perjalanan kendaraannya. Cinta kasih adalah agama dan imanku).



Syair yang dianggap kontroversial ini, memang benar, hanya berkisah tentang keadaan hati secara global. Yang ia maksud dengan ‘sepasang kijang’ adalah cinta kasih, ‘biara’ adalah tempat ibadah atau tempat spiritual, ‘biarawan’ adalah orang yang mengabdikan hidupnya untuk hal-hal bersifat religius, ‘berhala’ adalah hakekat-hakekat yang dicari atau al-haqaiq al-mathlûbah, dan ka’bah adalah tempat bersemayamnya nilai-nilai religiusitas.[19] Jadi, dengan mengatakan ”...Ia padang untuk sepasang kijang, biara bagi biarawan, rumah bagi berhala...”, Ibnu Arabi secara otomatis sedang mengatakan bahwa hatinya adalah tempat untuk cinta kasih, religiusitas, kebenaran dan asa.[20]

Tapi, pernyataan “lembaran taurat dan mushaf Al-Qur‘an”di akhir bait kedua, ternyata tak lagi berbicara tentang keadaan hati secara global. Di situ, kalimat tersebut berbicara tentang hati khusus, yang hakekatnya menguatkan syair sebelumnya: berbicara tentang pengakuan dan penerimaan Ibnu Arabi atas ajaran selain dari Islam Muhammadisme.

Dalam keterangan bait tersebut, Ibnu Arabi katakan: “setelah hati mencapai ilmu-ilmu Musawiyah dan Ibraniah, hati tersebut menjadi papan/lembaran baginya. Dan setelah hati mewarisi pengetahuan Muhammadiyyah secara sempurna, maka ia telah berposisi sebagai Al-Qur’an...”[21]

Dengan bait dan keterangan semacam itu ditambah bait terakhir “Aku memeluk agama cinta kasih. Kuhadapkan dan kuserahkan diriku pada perjalanan kendaraannya. Cinta kasih adalah agama dan imanku” apakah Ibnu Arabi melakukan sinkretisme? Atau menganut freelance monotheisme? Atau beragama selain Islam Muhammadisme yaitu agama cinta kasih?

Kritikus Ibnu Arabi terbesar Burhanuddin al-Biqâ‘i terang-terangan membenarkan pertanyaan itu. Menurutnya, Ibnu ‘Arabi adalah seorang sinkretis kafir yang meredusir agama.[22] Namun, Belasiyus menolak klaim semacam itu. Ia katakan bahwa Ibnu Arabi tidak sinkretis dan tidak pindah ke agama lain yaitu agama cinta, sebagaimana yang dikatakan orang-orang seperti Al-Biqâ‘î. Ibnu Arabi tetap muslim sebagaimana muslim lainnya, meski bersenandung bait terakhir syair di atas.[23]

Penulis pikir landasan ungkapan Belasius lebih kuat di banding landasan ungkapan al-Biqâ‘î. Untuk mengatakan Ibnu Arabi sinkretis dan menjalani freelance monotheisme, kurang tepat, karena Ibnu Arabi tetap berpegang teguh kepada ajaran Nabi Muhammad, kendati berlapang dada pada hikmah dari ajaran lainnya. Dan untuk mengatakan Ibnu Arabi kafir murtad, keluar dari agama Islam Muhammadisme, lalu masuk ke agama baru warna-warni yang bernama agama cinta kasih, juga kurang pas, karena dalam keterangan bait terakhir tersebut Ibnu Arabi berkata bahwa yang dimaksud dengan ‘agama cinta kasih’ adalah agama Islam Muhammadisme.[24] Dalil yang ia gunakan untuk mengatakan bahwa agama Islam Muhammadisme merupakan agama cinta kasih adalah ayat al-Qur’an yang berbunyi: “Qul in kuntum tuhibbûna allah fa at-tabi‘ûnî yuhbibkum allah wayaghfir lakum dzunûbakum wa allah ghafûrun rahîm”[25] (Jika kamu mencintai allah, maka ikutilah aku, maka Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosamu. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang).

Kesimpulan yang dapat penulis paparkan adalah: Pertama, Ibnu ‘Arabi mengakui adanya Wihdat al-Adyân. Wihdat al-Adyân dengan muatan hakekat: adanya kesatuan akar agama (baca: milik Tuhan) dengan keberagaman corak, dan keragaman corak agama hanya karena keragaman interpretasi manusia (baca: agama dari manusia). Pengakuan itu mengantarkan Ibnu ‘Arabi kepada pengakuan atas pluralitas dan toleransi agama. Ia biarkan setiap pemeluk agama meyakini agamanya. Ia hormati keanekaan agama berkembang. Bahkan Ibnu Arabi menerapkan sikap “menerima yang lain” (baca: qâbul al-âkhar atau otherness). Yaitu, mengambil manfaat dari ajaran agama dan interpretasi manusia lain. Kendati ‘Ibnu Arabi memiliki sikap dan pengakuan semacam itu, Ibnu Arabi tetap berpegang teguh kepada ajaran agama yang diyakininya dan tetap berpegang teguh dengan otentitas jati dirinya. Ia tidak keluar dari agama Islam Muhammadisme, walaupun mengakui dan menerima ajaran, keyakinan dan interpretasi lain.

Kedua, paparan di atas mengantarkan kita pada kesimpulkan bahwa wihdat Al-Adyân Ibnu ‘Arabi, pada hakekatnya tak mengakui kebenaran mutlak pada ajaran, keyakinan dan interpretasi manusia. Ia hanya mengakui kebenaran mutlak yang dimiliki Tuhan. Sehingga ia menganjurkan kepada para pemeluk agama untuk tidak saling menyalahkan, mendiskriminasi, apa lagi membunuh pemeluk agama lainnya.

Ketiga, paparan di atas memberanikan penulis untuk mengatakan bahwa wihdat al-adyân adalah suatu nilai tasawuf transformatif positif yang memuat teologi inklusif-pluralis-perdamaian dan dapat menjadi solusi bagi percekcokan antarumat beragama dipelbagai ruang dan waktu.

Lalu, bagaimana upaya kita untuk mempraksiskan diskursus transformatif-positif-inklusif-pluralis yang mengarah pada perdamaian ini?



Upaya Praksis Wihdat al-Adyân

Setinggi apapun cuatan ide yang mengandung nilai pragmatis ke atas langit, nilainya hanyalah kosong, bila tidak dibumikan. Karena idealisme pragmatis hanya akan menjadi buah bibir penghias pikir, jika tanpa upaya untuk merealisasikannya. Guna menyorong nilai transformatif-positif yang dihimpun wihdat al-adyân ke alam realistas, perlu kiranya upaya-upaya pragmatis lanjutan. Di antara upaya itu adalah: pertama, pembauran dan persaudaraan dalam keragaman. Kedua, dialog antaragama dan umat beragama untuk mencari titik temu, saling memahami dan menambah pengetahuan. Dan ketiga, membaca sumber epistemologis agama lain.

Tiga point tersebut kongkretnya sebagai berikut. Setelah kesatuan agama dan pluralitas coraknya telah kita sadari dan menjadi paradigma, maka sikap sinis terhadap agama dan umat beragama lain mulai kita hapus dari hati dan otak, diganti dengan ‘file’ toleransi, kemudian diiringi usaha berbaur menjadi satu dan bersaudara dalam keragaman.

Pembauran dan kesatuan itu seyogyanya mengedepankan pencarian dan pendayagunaan titik temu antaragama dan umat beragama. Yang diagendakan bukan lagi mengungkit-ungkit perbedaan yang sudah jelas, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahmad Deedat, melainkan berdialog untuk saling mengisi pengetahuan dan memahami, sebagaimana yang sering kami lakukan bersama Baba Yohana Qaltah (pendeta Kristen Ortodok Mesir), Milad Hanna (pemikir Kristen Ortodok Mesir, penulis buku Qabûl al-âkhar, 1999) Murad Wahbah (pemikir Kristen Ortodok Mesir, penulis buku Mulâk al-Haqîqah al-Muthlaqah, 1999), dan pendeta-pendeta L’Institut Dominican d’Études Orientales Georges Chehata Anawati (IDEO).

Di samping itu, untuk membuang jauh sikap sinis dan apriori negatif terhadap agama dan pemikiran keagamaan lain, dan untuk menguatkan dialog antaragama/umat beragama, perlu kiranya kita menggalakkan pembacaan dan pengkajian langsung terhadap sumber epistemologis agama lain. Membaca dan mengkaji melainkan untuk istifâdah al-hikmah dan ziyâdah al-ma’lumah (mengambil hikmah dan menambah pengetahuan), bukan untuk menyalahkan atau membenarkan.



Epilog

Secara komperatif, uraian sosiohistoris wihdat al-adyan di atas telah berusaha memberikan gambaran gamblang tentang kesamaan situasi antara situasi yang dihadapi kemunculan wacana wihdat al-adyan dengan situasi situasi yang sering terjadi hingga sekarang. Kedua ruang dan waktu yang berbeda itu sama-sama menghadapi masalah percekcokan antarumat beragama/agama. Karena kesamaaan situasi itu tampak jelas, maka upaya pengembangan wacana tersebut di masa kekinian berikut upaya untuk mempraktekkannya bagi masalah kekinian, cukup memiliki relevansi yang kuat. Kekuatan relevansi itu pun tambah kokoh, saat esensi wacana wihdat al-adyân itu cocok dengan kenyataan (dassein).

Berbekal pada relevansi situasi dan kecocokan wacana dengan hakekat yang sesungguhnya itu, penulis optimis bahwa konflik antarumat beragama/agama dapat dilerai dan ditiadakan. Masalah tersebut tidak akan abadi, karena ia muncul dari tiada, maka akan kembali ke tiada. Penulis pun optimis bahwa perdamaian dan kerukunan antarumat beragama dapat direkayasa. Harapan itu bukan hanya mimpi, sebaliknya dapat berwujud nyata, asalkan ada upaya untuk merajutnya. Upaya tersebut antara lain adalah meredusir klaim benar sendiri, merangkul seluruh elemen dalam satu kesatuan, dan toleran terhadap keragaman serta sanggup menerima ‘yang lain’. Dan seluruh upaya itu telah tercakup utuh dalam wacana wihdat al-adyân.





Catatan:

[1] Gerakan evolusinya sebagai berikut: dari konflik sosial-ekonomi-politik menjadi konflik antarumat beragama, lalu menjadi konflik antaragama.

[2] Makalah ini sengaja penulis stressingkan pada wihdat al-adyân Ibnu ‘Arabî saja. Adapun wihdat al-adyân yang lebih umum insya allah akan kami bahas pada makalah selanjutnya.

[3] M. Abdullâh ‘Inân, Daulah al-Islâm fi al-Andalus, Vol.5, (Cairo: Haiah Al-Mishriah Al-‘Ammah li Al-Kitâb,2001), h.133-135.

[4] Lih., M.Abdurrahman Al-Mara‘syilî, Tarjamah Ibnu Arabi, dalam pengantar buku Al-Futuhât Al-Makiyyah Ibn Arabi, (Beirut: Dâr Ihyâ’ Al Turâst Al-Arabi,1998), h.11.

[5] Daulah al-Islâm fi al-Andalus, Vol.5, Op.cit., h.223-229 dan 239-240. Cf., Muhammad Yûnas, Al-Takfîr baina al-Dîn wa al-Siyâsah, (Cairo: Markaz Al-Qâhirah li Dirâsât Huqûq al-Insân, 1999), h.83-96.

[6] Wadî‘ Amîn, A‘lâm Shûfiyyah, dalam Jurnal Adab wa Naqd, Edisi 204, Agustus 2002, h.19.

[7] Daulah al-Islâm fi al-Andalus, Vol.5, Op.cit., h.235

[8] Ibid., h.279-281.

[9] Sebagai contoh, Abu Ya‘kub secara pribadi mengarang buku tentang keutamaan jihad dan Alfonso VIII (raja Qasytalah/Spanyol Kristen) membujuk Baba Anushan III menggerakkan umat Kristen Eropa, merebut tanah Andalusia dari umat Islam, hingga terjadilah perang salib ‘Mauqi‘ah Iqâb’ (ibid., h.134 dan 288)

[10] Ibid., h. 196-248 dan 282-326.

[11] Makkah (598 H), Muwashal (601 H), Cairo (603 H), Makkah (604-606 H) Qauniyyah Turki, Armenia (606-607), Baghdad (608 H) Makkah (611H), Halb, terakhir ke Damaskus (620-638 H) (lih., Khalîl Imrân Al-Mansur, Muqadimah Mu‘alliq li al-Kitâb “Dzakhâir Al-A‘lâq Syarh Tarjumân Al-Asywâq li Ibn Arabi”, (Beirut : Dâr Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2000), h.4).

[12] Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, (Baghdad: Dâr Al-Tsaqâfah), tanpa tahun, h.94.

[13] Ibid., h.95.

[14] Ibid., h.96.

[15] Idem.

[16] Ibnu ‘Arabî, Dzakhâir al-A‘lâq Syarh Tarjumân al-Asywâq, (Beirut : Dâr Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2000), h. 14-15.

[17] Ibid., h.9.

[18] Ibid., h.35-36.

[19] Ibid., h.36

[20] Idem.

[21] Idem.

[22] Al-Biqâ‘î, Tanbîh al-GhabîIlâ Takfîr Ibni ‘Arabî, (Cairo: Mathba‘ah Al-Sunnah Al-Muhammadiyah, 1953), h.19

[23] Belasius, Ibnu ‘Arabî Hayâtuhu wa Madzâhibuhu, terj. Abdurrahman Badawî (Cairo; Maktabah Anjalû Al-Mishriyyah, 1965) h.265-266.

[24] Dzakhâir al-A‘lâq Syarh Tarjumân al-Asywâq, Op.cit., h.36.

[25] QS.III:31.





Zainul Ma’arif, lahir di Pekalongan, 1 Desember 1980. Sekolah Menengah Pertama dan Umumnya ditempuh di Pondok Pesantren Daarul Rahman, Jakarta, lulus tahun 1999. Pernah tercatat sebagai santri tahfidz al-Qur‘an di Pondok Pesantren Mambaul Furqan, Bogor. Tapi, nyantri keduanya itu tidak berlangsung lama, karena ia langsung hijrah ke Mesir, kuliah di Universitas Al-Azhar. Di Universitas Islam tertua itu, saat ini ia tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir jurusan Akidah Filsafat, fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Di luar bangku kuliah, ia pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi Informatika (buletin ICMI Orsat Kairo), tepatnya pada tahun 2001-2002. Sekarang dia menjabat sebagai ketua LAKPESDAM Mesir, koordinator NICoS (Network of Islamic and Social Studies) dan staf redaksi jurnal OASE (jurnal ICMI orsat Kairo).
paulusjancok
paulusjancok
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Male
Number of posts : 809
Age : 36
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6486
Registration date : 2011-08-12

Back to top Go down

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum