MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME

Join the forum, it's quick and easy

MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME
MURTADIN_KAFIRUN
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Latest topics
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
keampuhan syariat islam dalam mengatasi kriminalitas EmptyFri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam

» kenapa muhammad suka makan babi????
keampuhan syariat islam dalam mengatasi kriminalitas EmptyWed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal

» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
keampuhan syariat islam dalam mengatasi kriminalitas EmptyFri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya

» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
keampuhan syariat islam dalam mengatasi kriminalitas EmptyTue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar

» Moon Split or Islamic Hoax?
keampuhan syariat islam dalam mengatasi kriminalitas EmptyWed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin

» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
keampuhan syariat islam dalam mengatasi kriminalitas EmptyWed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin

» Who Taught Allah Math?
keampuhan syariat islam dalam mengatasi kriminalitas EmptyWed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin

» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
keampuhan syariat islam dalam mengatasi kriminalitas EmptyWed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam

» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
keampuhan syariat islam dalam mengatasi kriminalitas EmptySun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN

Gallery


keampuhan syariat islam dalam mengatasi kriminalitas Empty
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia

Kami tidak memfitnah, tetapi menyatakan fakta kebenaran yang selama ini selalu ditutupi oleh muslim untuk menyembunyikan kebejatan nabinya

Menyongsong Punahnya Islam

Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
 

Kebrutalan dan keberingasan muslim di seantero dunia adalah bukti bahwa Islam agama setan (AJARAN JAHAT,BUAS,BIADAB,CABUL,DUSTA).  Tuhan (KEBENARAN) tidak perlu dibela, tetapi setan (KEJAHATAN) perlu mendapat pembelaan manusia agar dustanya terus bertahan

Subscribe to MURTADIN_KAFIRUN

Powered by us.groups.yahoo.com

Who is online?
In total there are 64 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 64 Guests :: 2 Bots

None

[ View the whole list ]


Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
RSS feeds


Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Social bookmarking

Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website


keampuhan syariat islam dalam mengatasi kriminalitas

Go down

keampuhan syariat islam dalam mengatasi kriminalitas Empty keampuhan syariat islam dalam mengatasi kriminalitas

Post by paulusjancok Sat 26 Nov 2011, 10:25 pm

Islam menganggap bahwa kejahatan adalah perbuatan-perbuatan tercela (al-qabih). Sedangkan yang dimaksud dengan tercela (al-qabih) adalah perbuatan-perbuatan yang Allah cela. Itu sebabnya, suatu perbuatan tidak dianggap jahat kecuali jika ditetapkan oleh syara’ bahwa perbuatan tersebut tercela. Ketika syara’ telah menetapkan bahwa perbuatan itu tercela, maka sudah pasti perbuatan tersebut disebut kejahatan, tanpa melihat lagi apakah tingkat dan jenis kejahatan tersebut besar ataupun kecil. Syara’ telah menetapkan perbuatan tercela sebagai dosa (dzunub) yang harus dikenai sanksi. Jadi, dosa itu substansinya adalah kejahatan.
Kejahatan sendiri bukan berasal dari fitrah manusia. Kejahatan bukan pula semacam “profesi” yang diusahakan oleh manusia. Kejahatan bukan juga ‘penyakit’ yang menimpa manusia. Kejahatan (jarimah) adalah tindakan melanggar aturan yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Rabbnya, dengan dirinya sendiri, dan hubungannya dengan manusia lain. Allah Swt telah menciptakan manusia lengkap dengan potensi kehidupannya, yaitu meliputi naluri-naluri dan kebutuhan jasmani. Naluri-naluri dan kebutuhan jasmani adalah potensi hidup manusia yang mampu mendorong manusia untuk melakukan pemenuhan terhadap potensi hidupnya. Manusia yang mengerjakan suatu perbuatan yang muncul dari potensi hidup tadi, adalah dalam rangka mendapatkan pemenuhan terhadap potensi hidupnya.
Meskipun demikian membiarkan pemenuhan itu tanpa aturan, akan menghantarkan kepada kekacauan dan kegoncangan. Juga akan menghantarkan kepada pemenuhan naluri maupun kebutuhan jasmani yang salah, atau pemenuhan yang tercela. Oleh karena itu, ketika Allah Swt. mengatur perbuatan-perbuatan manusia, Allah juga telah mengatur pemenuhan terhadap naluri-naluri dan kebutuhan jasmani harus diatur dan sesuai dengan hukum. Syari’at Islam telah menjelaskan kepada manusia, hukum atas setiap peristiwa yang terjadi. Itu sebabnya Allah Swt. mensyari’atkan halal dan haram. Syara’ mengandung perintah dan larangan-Nya, dan Allah Swt. meminta manusia untuk berbuat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah Swt. dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Jika menyalahi hal tersebut, maka manusia telah melakukan perbuatan tercela, yakni melakukan kejahatan. Oleh karena itu, orang-orang yang berdosa harus dikenai sanksi (‘iqab). Dengan demikian, manusia dituntut untuk mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Perintah dan larangan tersebut tidak akan berarti sama sekali jika tidak ada sanksi bagi orang yang melanggarnya. Syari’at Islam menjelaskan bahwa bagi pelanggar akan dikenai sanksi di akhirat dan di dunia. Allah Swt. akan memberi sanksi di akhirat bagi pelanggar, dan Allah juga akan mengadzabnya kelak di hari kiamat. Firman Allah Swt:
وَإِنَّ لِلطَّاغِينَ لَشَرَّ مَآبٍجَهَنَّمَ يَصْلَوْنَهَا فَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Beginilah (keadaan mereka). Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka benar-benar (disediakan) tempat kembali yang buruk, (yaitu) neraka Jahannam, yang mereka masuk ke dalamnya; maka amat buruklah Jahannam itu sebagai tempat tinggal.” (TQS. Shâd [38]: 55-56)

Sanksi (‘iqab) disyari’atkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Allah Swt. berfirman:

﴿وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
‘Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.’ (TQS. al-Baqarah [2]:179)

Maksud ayat tersebut bahwa di dalam pensyari’atan qishash bagi kalian, yakni membunuh lagi si pembunuh, terdapat hikmah yang sangat besar, yaitu menjaga jiwa (manusia). Sebab, jika pembunuh mengetahui akan dibunuh lagi, maka ia akan merasa takut untuk melakukan pembunuhan. Itu sebabnya, di dalam qishash ada jaminan hidup bagi jiwa. Pada ghalibnya, jika orang berakal mengetahui bahwa bila ia membunuh akan dibunuh lagi, maka ia tidak akan melakukan pembunuhan tersebut. Dengan demikian, ‘uqubat (sanksi-sanksi) berfungsi sebagai zawajir (pencegahan). Keberadaannya disebut sebagai zawajir, sebab dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan.

Sanksi di dunia bagi para pendosa atas dosa yang dikerjakannya di dunia dapat menghapuskan sanksi di akhirat bagi pelaku dosa tersebut. Hal itu karena ‘uqubat berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Keberadaan uqubat sebagai zawajir, karena mampu mencegah manusia dari perbuatan dosa dan tindakan pelanggaran. Keberadaan ‘uqubat sebagai zawabir, dikarenakan ’uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara di dunia. Dalilnya adalah apa diriwayatkan oleh Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit ra berkata:

«كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ  فِي مَجْلِسِ فَقَالَ: بَايَعُوْنِي عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئاً، وَلاَ تَسْرُقُوْا وَلاَ تَزْنُوْا، وَقَرَأَ هَذِهِ اْلآيَةِ كُلُّهَا، فَمَنْ وَفَّى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئاً فَعُوْقِبُ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ إِنْ شَاءَ غُفِرَلَهُ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ»

“Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu majelis dan beliau bersabda, “Kalian telah membai’atku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina, kemudian beliau membaca keseluruhan ayat tersebut. “Barangsiapa diantara kalian memenuhinya, maka pahalanya di sisi Allah, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu maka sanksinya adalah kifarat (denda) baginya, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu, maka Allah akan menutupinya, mungkin mengampuni atau mengadzab.”

Hadits ini menjelaskan bahwa sanksi dunia diperuntukkan untuk dosa tertentu, yakni sanksi yang dijatuhkan negara bagi pelaku dosa, dan ini akan menggugurkan sanksi akhirat.
Dengan demikian, tidak ada satu sistem hukum-pun di dunia ini yang serupa sebagaimana sistem hukum Islam. Sistem hukum Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) atas tindak kriminalitas sekaligus sebagai penebus (jawabir) atas tindakan jahat yang telah dilakukan oleh si pelaku.

Keampuhan Syariat Islam karena Dorongan Takwa Individu dan Ketegasan Negara

Membicarakan tentang syariat Islam tidak bisa dipisahkan dengan akidah Islam. Sebab, syariat Islam muncul dan berasal dari akidah Islam. Oleh karena itu syariat Islam tidak akan dapat tegak di tengah-tengah masyarakat, kecuali masyarakat tersebut telah menjadikan akidah Islam (tentu juga syariatnya) sebagai pandangan hidup, sebagai ideologi (mabda)-nya. Sehingga masyarakat tersebut memiliki ciri khas sebagai masyarakat Islam, yang menjalankan sistem hukum (peraturan) Islam secara total.
Al-Quran telah menggandeng keimanan dengan kerelaan untuk menerima dan menjalankan sistem hukum Islam. Firman Allah Swt:

﴿فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْا فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيمًا﴾
‘Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan. Dan mereka menerima dengan sepenuhnya.’ (TQS. an-Nisa [4]: 65)

Ini menunjukkan bahwa keterkaitan antara perkara akidah (yang menyangkut keimanan) dengan syariat (yang menyangkut sikap rela dengan pelaksanaan hukum Islam) tidak dapat dipisahkan. Dan menganggap bahwa Muslim mana saja yang mengaku-ngaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tetapi tidak mau menjalankan hukum-hukum Islam, bahkan menolak penerapan hukum Islam atas dirinya, atas masyarakat dan atas negara, maka sama saja ia dengan orang yang tidak beriman. Seorang Muslim tidak patut melawan dan menolak penarapan sistem hukum Islam. Rasulullah saw bersabda:

«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ»

‘Tidak beriman seseorang sehingga hawa nafsunya (keinginannya) disesuaikan dengan apa yang telah didatangkan bersama aku (yaitu hukum-hukum Islam)’
Sungguh sikap penolakan dan perlawanan atas diterapkannya sistem hukum Islam yang tampak di sebagian masyarakat kaum Muslim –terutama kalangan intelektualnya- sangat berbeda dengan sikap kaum Muslim di masa Rasulullah saw. Ibnu Jarir berkata, telah berkata kepadaku Muhammad bin Khilif, dari Sa’id bin Muhammad al-Harami, dari Abi Namilah, dari Salam maula Hafsh Abi al-Qasim, dari Abi Buraidah dari bapaknya, yang berkata, ‘Kami tengah duduk-duduk sambil minum di atas pasir, dan kami bertiga atau berempat. Di tengah kami terdapat bejana (berisi khamar), dan kami tengah minum-minum menikmatinya. Saat itu Rasulullah saw menerima ayat pengharaman khamar (TQS. al-Maidah [5]: 90-91). Akupun datang kepada sahabat-sahabatku, lalu aku bacakan ayat tersebut sampai pada bagian akhir ayat (yaitu), ‘Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)’. (Ia berkata), sebagian masyarakat (saat itu) tengah memegang minuman di tangannya, sebagian lagi telah meminumnya, dan sebagian lagi (khamarnya) masih berada di dalam cangkirnya. Tatkala cangkirnya diangkat (hampir menyentuh bibirnya), maka seketika itu juga dicampakkannya cangkir dan wadah-wadah khamar, seraya (mereka) berkata: ‘Kami telah berhenti wahai Tuhan kami’ (Tafsir Ibnu Katsir, jilid II/118). Hanya masyarakat yang memiliki akidah mendalam dan terpateri di dalam jiwanyalah yang sanggup menyingkirkan hawa nafsu dan keinginannya yang jahat, seraya mendengar dan mentaati apa saja yang berasal dari Allah Swt dn Rasul-Nya.
Akidah pulalah yang mendorong al-Ghamidiyah mendatangi Rasulullah saw, memintanya untuk mensucikan dirinya dari perbuatan dosa (yaitu berzina). Dari ‘Abdullâh bin Buraidah dari bapaknya berkata:

«جَاءَتْ الْغَامِدِيَّةُ فَقَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّيْ قَدْزَنَيْتُ فَطَهِّرْنِيْ، وَأَنَّهُ رَدَّهَا، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُّ قَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ لِمَ تُرَدَّدْنِيْ، لَعَلَّكَ تَرُدَّدْنِيْ كَمَا رَدَّدْتَ مَاعِزًا، فَوِ اللهِ إِنِّيْ لَحُبْلَى، قَالَ: إِمَّالاَ فَاذْهَبِي حَتَّى تَلِدِيْ: فَلَمَّا وَلَدَتْ أَتَتْهُ بِالصَّبِّي فِي خِرْقَةٍ، قَالَتْ: هَذَا قَدْ وَلَدْتُهُ، قَالَ: اِذْهَبِي فَارْضِعِيْهِ حَتَّى تَفْطِمِيْهِ، فَلَمَّا فَطَمَتْهُ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي يَدِهِ كِسْرَةُ خُبْزٍ، فَقَالَتْ: هَذَا يَا نَبِيَ اللهِ قَدْ فَطَمْتُهُ، وَقَدْ أَكَلَ الطَّعَامَ، فَدَفَعَ الصَّبِيَّ اِلَى رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَحُفِرَ لَهَا اِلَى صَدْرِهَا، وَأَمَرَ النَّاسَ فَرَجَمُوْهَا»

Telah datang kepada Rasulullah saw., al-Ghâmidiyyah dan ia berkata, “Ya Rasulullah saw., aku telah berzina, sucikanlah aku!” Beliau saw. menolaknya. Besoknya ia berkata lagi, “Wahai Rasulullah mengapa engkau menolak aku, engkau menolak aku sebagaimana engkau menolak Ma’iz. Demi Allah aku telah hamil”. Rasulullah saw. bersabda, “Jangan, pulanglah sampai engkau melahirkan.” Ketika ia telah melahirkan, ia mendatangi Rasulullah saw. kembali dengan anaknya yang berada di gendongan, seraya berkata, “Ini adalah anakku.” Rasulullah saw. bersabda, ”Pergi, dan susuilah sampai engkau menyapihnya!” Ketika ia telah menyapihnya ia mendatangi Rasulullah saw. sambil membawa anaknya yang sedang menggenggam sepotong roti. Ia kemudian berkata, “Ya Nabiyullah, aku telah menyapihnya, dan ia sudah bisa memakan makanan”. Lalu, anak itu diberikan kepada salah seorang laki-laki dari kaum Muslim. Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan menanam wanita itu hingga dadanya, lalu memerintahkan manusia untuk merajamnya.

Untuk meraih keridlaan Allah Swt, dan kebahagiaan di akhirat Ghamidiyyah bersedia mengakui perzinaannya, mendatangi Rasulullah saw untuk disucikan dengan diterapkan atasnya hukum rajam bagi pezina, kemudian dirajam hingga mati. Rasulullah saw berkomentar tentang kesediaan Ghamidiyah untuk menerima hukuman rajam:

«لَقَدْ تاَبَتْ تَوْبَة لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ لَوَسِعَتْهُمْ»

“Sungguh ia telah bertaubat, seandainya dibagi antara 70 penduduk Madinah, sungguh akan mencakup semuanya.”

Mereka meminta negara agar menjatuhkan sanksi atas pelanggaran mereka di dunia agar sanksi akhirat bagi mereka gugur. Oleh karena itu Ghamidiyyah berkata kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah sucikanlah aku!” Mereka mengakui pelanggaran yang mereka lakukan agar mereka dikenai had oleh Rasulullah saw sehingga mereka terbebas dari ‘adzab Allah di hari akhir. Mereka rela menanggung sakitnya had dan qishash di dunia, karena takut adzab akhirat. Oleh karena itu ‘uqubat berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus).
Seorang mukmin mengetahui bahwa Allah Swt senantiasa mengawasinya, baik ia tengah sendirian, berduaan, ataupun berada di tengah-tengah kerumunan manusia. Allah Swt Maha Mendengar bisikan hati setiap manusia. Allah Swt Maha Melihat apapun yang manusia lakukan, baik disembunyikannya dari pandangan manusia maupun yang terang-terangan diperlihatkannya. Seorang mukmin juga menyadari bahwa pada hari kiamat nanti ia akan dibangkitkan kembali, lalu akan dihisab seluruh amal perbuatannya. Hal ini adalah ketetapan yang pasti. Dan Allah Swt akan menghisab amal perbuatan baik maupun buruk, meski seberat dzarrah sekalipun. Firman Allah Swt:
﴿فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُوَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ﴾
‘Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (bakasannya) pula.’ (TQS. al-Zalzalah [99]: 7-Cool

Dari sinilah Allah Swt menjadikan hukum-hukum sanksi (‘uqubat) sebagai bentuk hukum praktis sekaligus sebagai metoda pelaksanaan atas perintah maupun larangan Allah Swt bagi siapa saja yang melanggar kewajiban-Nya dan terjerumus dalam tindakan yang diharamkan-Nya.
Tatkala Allah Swt mengharamkan perzinaan, maka Allah Swt mensyariatkan hukum jilid (cambuk) atau rajam atas pelaku zina. Tatkala Allah Swt mengharamkan minum khamar, maka Allah Swt juga mensyariatkan hukum cambuk bagi peminumnya, serta mencela 10 orang yang terlibat di dlam proses produksi minuman khamar. Tatkala Allah Swt melarang untuk membunuh seseorang, maka Allah Swt juga mensyariatkan hukum qishash bagi pelanggarnya. Tatkala Allah Swt melarang tindak pencurian, maka Allah Swt mensyariatkan hukum potong tangan bagi pelaku pencurian. Tatkala Allah Swt mewajibkan untuk mentaati ulil amri (Khalifah), maka Allah Swt mensyariatkan hukum bughat bagi para pembangkang. Tatkala Allah Swt mewajibkan untuk selalu terikat dengan akidah dan syariat Islam, maka Allah Swt mensyariatkan hukum riddah bagi orang-orang yang murtad. Dan banyak lagi.
Semua itu menunjukkan bahwa tidaklah Allah Swt dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu melainkan terdapat pula hukum-hukum (sanksi) bagi yang meninggalkannya. Begitu juga tidaklah Allah Swt dan Rasul-Nya memerintahkan untuk meninggalkan sesuatu, melainkan pasti dijumpai hukum-hukum yang berkaitan dengan ‘iqab (sanksi) atas pelakunya.
Pihak yang menjadi pelaksana atas seluruh hukum-hukum sanksi yang dijatuhkan kepada para pelanggar adalah negara, melalui proses peradilan dengan menghadirkan terdakwa, pendakwa, saksi-saksi maupun bukti. Dalam hal ini syariat Islam juga memiliki sistem hukum yang menjadi salah satu unsur dari sistem peradilan Islam, yaitu hukum-hukum tentang pembuktian (ahkam al-bayyinaat). Bukti merupakan hujjah bagi si pendakwa untuk memperkuat dakwaannya. Bukti juga merupakan penjelas untuk memperkuat dakwaan. Oleh karenanya bukti haruslah bersifat pasti dan meyakinkan. Untuk itu Rasulullah saw meminta bukti-bukti haruslah meyakinkan:
«إِذَا رَأَيْتَ مِثْلَ الشَّمْسِ فَاشْهَدْ وَاِلاَّ فَدَعْ»

‘Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (namun) jika tidak, maka tinggalkanlah’.
Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa tatkala Khalifah Ali bin Abi Thalib ra mendakwa salah seorang Yahudi dengan tuduhan pencurian (atas baju zirahnya), dan bukti-bukti yang diminta oleh qadliy Syuraih kepada Khalifah Ali tidak mencukupi (tidak meyakinkan), maka qadliy memutuskan untuk membebaskan si Yahudi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun seorang kepala negara (Khalifah) yang mendakwa salah seorang rakyatnya dengan tindak kejahatan, maka tetap melalui prosedur persidangan. Jika tidak terbukti, maka dibebaskan. Artinya, seluruh warga negara –siapapun orangnya- sama kedudukannya di depan hukum.
Hal yang sama ditunjukkan oleh sikap Rasulullah saw yang tetap menjatuhkan hukum potong tangan terhadap salah seorang wanita bangsawan yang kedapatan mencuri, meskipun Usamah bin Zaid (sahabat kesayangan beliau) meminta untuk tidak menjatuhkan sanksi tersebut. Lalu Rasulullah saw bersabda:

»إِنَّماَ هَلَكَ مَنْ كاَنَ قَبْلَكُمْ بِأَنَّهُمْ كَانُوْا إِذاَ سَرَقَ فِيْهِمُ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ، وَإِذاَ سَرَقَ فِيْهِمُ الضَّعِيْفُ قَطَعُوْهُ«

‘Kehancuran orang-orang sebelum kalian (diakibatkan) karena jika pembesar-pembesar mereka mencuri, mereka biarkan. Namun jika orang yang lemah mencuri, mereka memotong (tangan)-nya.’

Sikap tegas negara (dalam hal ini diwakili oleh sikap Rasulullah saw selaku kepala negara) tampak di dalam sabdanya:

«لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»
‘Seandainya Fathimah binti Muhammad kedapatan mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya’. (HR al-Bukhari).
Berdasarkan paparan diatas, maka pelaksanaan sistem hukum Islam termasuk sanksi-sanksi, ditentukan oleh dorongan ketakwaan kaum Muslim dan ketegasan negara di dalam menjalankan sistem hukum Islam. Apabila hal ini terwujud, maka fungsi hukum Islam sebagai pencegah (zawajir) dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun, semua itu memerlukan eksistensi masyarakat Islam –yang memiliki ketakwaan tinggi- yang berada di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah, yang menjalankan sistem hukum Islam secara total. Tanpa itu, mustahil !

paulusjancok
paulusjancok
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Male
Number of posts : 809
Age : 36
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6476
Registration date : 2011-08-12

Back to top Go down

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum