MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME

Join the forum, it's quick and easy

MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME
MURTADIN_KAFIRUN
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Latest topics
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
sudah ketemu yesus gan? EmptyFri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam

» kenapa muhammad suka makan babi????
sudah ketemu yesus gan? EmptyWed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal

» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
sudah ketemu yesus gan? EmptyFri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya

» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
sudah ketemu yesus gan? EmptyTue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar

» Moon Split or Islamic Hoax?
sudah ketemu yesus gan? EmptyWed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin

» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
sudah ketemu yesus gan? EmptyWed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin

» Who Taught Allah Math?
sudah ketemu yesus gan? EmptyWed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin

» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
sudah ketemu yesus gan? EmptyWed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam

» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
sudah ketemu yesus gan? EmptySun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN

Gallery


sudah ketemu yesus gan? Empty
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia

Kami tidak memfitnah, tetapi menyatakan fakta kebenaran yang selama ini selalu ditutupi oleh muslim untuk menyembunyikan kebejatan nabinya

Menyongsong Punahnya Islam

Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
 

Kebrutalan dan keberingasan muslim di seantero dunia adalah bukti bahwa Islam agama setan (AJARAN JAHAT,BUAS,BIADAB,CABUL,DUSTA).  Tuhan (KEBENARAN) tidak perlu dibela, tetapi setan (KEJAHATAN) perlu mendapat pembelaan manusia agar dustanya terus bertahan

Subscribe to MURTADIN_KAFIRUN

Powered by us.groups.yahoo.com

Who is online?
In total there are 40 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 40 Guests :: 1 Bot

None

[ View the whole list ]


Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
RSS feeds


Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Social bookmarking

Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website


sudah ketemu yesus gan?

Go down

sudah ketemu yesus gan? Empty sudah ketemu yesus gan?

Post by paulusjancok Thu 18 Aug 2011, 4:43 pm



SUDAH KETEMU?
Menelusuri jejak Yesus
dalam penelitian ‘Yesus Sejarah’ yang paling mutakhir
E.G. Singgih.

Pengantar yang berbau Derrida
Dalam karangan pertama saya mengemukakan kritik yang berbau anti Derrida. Tetapi dalam mempelajari ‘Yesus Sejarah’ saya teringat pada istilah terkenal yang dipakai Derrida, yaitu “trace” (jejak). Mana yang penting, kaki atau jejak kaki? Menurut banyak orang, yang penting adalah kaki. Kalau tidak ada kaki, pasti tidak ada jejak! Kalau ada jejak kaki di pasir, yang penting adalah mengikuti jejak itu sampai ketemu orangnya. Kalau orangnya sudah mati atau tidak ada lagi? Tidak masalah, direkonstruksi saja! Tetapi bagi Derrida, yang penting adalah jejaknya itu. Biar bagaimanapun bagusnya pekerjaan rekonstruksi kita, pekerjaan itu tetap berangkat dari jejak. Kalau tidak ada jejak, pasti tidak ada kaki! Jadi si rekonstruktor bisa apa? Bisa saja terjadi bahwa rekonstruksi itu begitu bagus, namun ternyata agak dipaksakan terhadap jejak. Maka Derrida menganjurkan dekonstruksi, sehingga jejaknya bisa bebas dari rekonstruksi yang tidak pas tadi, dan bisa saja terjadi bahwa dekonstruksi itu sekaligus mengandung rekonstruksi dari sesuatu yang baru (tentu sebaliknya juga betul, bahwa rekonstruksi bisa berjalan bersama dengan sebuah dekonstruksi dari yang lama). Kalau dalam karangan pertama di atas saya anti Derrida, dalam karangan kedua ini saya pro Derrida.
Saya akan melaporkan dua hal yang berkaitan dengan ‘Yesus Sejarah’, yakni “The Jesus Seminar” (selanjutnya JS) dan dua orang penulis ‘Yesus Sejarah’, yaitu John Dominic Crossan dan Marcus J. Borg. Meskipun kedua orang ini adalah anggota JS, harus dikatakan bahwa peminat ‘Yesus Sejarah’ lebih luas daripada JS, sebab ada penulis ‘Yesus Sejarah’ yang bukan anggota JS misalnya J.P. Meier yang menulis trilogi dan sudah diseminarkan beberapa tahun yl di STT Jakarta.

Apa yang dilakukan oleh JS?
Di halaman akhir dari buku The Five Gospels yang oleh editornya Robert Funk dan teman-temannya disebut “The Scholars’ Version” (fn 1), tertulis definisi dari JS : JS adalah sebuah proyek dari Westar Institute yang merupakan lembaga penelitian pribadi dan nir laba, yang bertekad untuk meningkatkan melek huruf alkitabiah dan religius (biblical and religious literacy) dengan jalan menyediakan hasil-hasil penemuan akademik di bidang agama sehingga dapat dibaca oleh masyarakat umum. Sebagai bagian dari program melek huruf ini, lembaga tsb mensponsori seminar, lokakarya dan publikasi dalam bidang keagamaan. Jadi hasil-hasil penelitian tafsir kritis-historis dalam bidang PB khususnya berkaitan dengan studi Injil-injil (yang sedikit banyak telah saya ketahui juga dari kuliah-kuliah PB ketika saya masih mahasiswa, namun sekarang ditambah dengan andalan pada data histories-sosiologis yang bertambah mengenai dunia Yudaisme pada zaman Yesus, dan dunia Yunani-Romawi di sekitar laut Tengah pada waktu itu) diterapkan langsung ke interpretasi teks-teks dan hasilnya adalah “The Scholar’s Version” di atas. Di bagian belakang buku ini juga ada daftar anggota JS dengan nama-nama terkenal sebanyak 76 orang yang kebanyakan mengajar di USA, tetapi ada juga yang tinggal di Afsel dan Jerman. (fn 2, op.cit., p.34. Mula-mula pada tahun 1985 ada 30 pakar yang ikut namun di tahun 1993 ketika buku ini diterbitkan, jumlahnya sudah sekitar 200).
JS menekankan bahwa kata-kata yang penting, bukan narasi (kecuali narasi dalam perumpamaan). Memang logis, bahwa narasi mengenai Yesus tidak mungkin berasal dari Yesus sendiri. Apa prinsip-prinsip yang membimbing mereka untuk menelusuri Yesus? Beberapa dari antaranya dapat dikemukakan ( fn 3, tidak semua):
1. Hanya kata-kata dan perumpamaan yang dapat diusut ke zaman tradisi lisan (30-50 M) yang mungkin dapat berasal dari Yesus.
2. Kata-kata atau perumpamaan yang terdapat dalam dua atau lebih sumber-sumber yang independen, lebih tua usianya daripada sumber-sumber di mana mereka tertulis.
3. Kata-kata atau perumpamaan yang terdapat dalam dua konteks yang berbeda, mungkin beredar secara terpisah pada masa yang lebih awal.
4. Isi yang sama atau serupa yang terdapat dalam dua atau lebih bentuk-bentuk kalimat yang berbeda, mempunyai asal usul tersendiri, dan karena itu bisa berasal dari tradisi yang lebih tua.
5. Tradisi tidak tertulis yang dimasukkan ke dalam injil-injil yang tertulis dalam masa yang relatif muda, bisa menyimpan ingatan-ingatan yang lebih tua.
Tradisi lisan diperhatikan dan menjadi pertimbangan yang menentukan. Mengapa? Oleh karena Yesus tidak menulis apa-apa (sejauh yang dapat diketahui sampai saat ini). Tidak tentu juga bahwa Yesus bisa menulis atau membaca, meskipun dalam injil-injil ada dikatakan bahwa dia bisa (fn 4, p.27). Saya ingat kisah Yesus yang membaca gulungan Yesaya di sinagoge di Nazaret. Murid-muridnya juga buta huruf, jadi budaya tulis tidak menjadi bagian dari gerakan Kekristenan sampai pada zaman Paulus. Alasan yang kuat mengapa ucapan-ucapan Yesus yang autentik adalah kata-kata, pepatah/peribahasa dan perumpamaan, didasarkan atas tradisi lisan dengan argumentasi sbb :
1. Ingatan lisanlah yang paling mampu menyimpan kata-kata dan anekdot-anekdot yang pendek, provokatip, gampang diingat – dan karena itu sering diulangi.
2. Kata-kata Yesus yang paling sering dicatat di dalam injil-injil, adalah yang berbentuk peribahasa dan perumpamaan.
3. Lapis yang paling tua dari tradisi injil terdiri dari peribahasa-peribahasa dan perumpamaan yang tadinya beredar dari mulut ke mulut, sebelum injil-injil ditulis.
4. Murid-murid Yesus mengingat intisari dari perkataan-perkataan dan perumpamaan-perumpamaan, bukan kata-katanya secara persis, kecuali pada beberapa teks langka tertentu.
Faktor lain yang menentukan adalah kekhasan kata-kata Yesus sbb:
1. Percakapan Yesus mempunyai ciri tersendiri, yang bisa dibedakan dari percakapan umum. Kalau tidak demikian, maka percuma mencari kata-kata autentik dari Yesus (tulisan miring dari saya).
2. Kata-kata dan perumpamaan-perumpamaan Yesus mempersoalkan paham-paham sosial dan religius pada waktu itu.
3. Kata-kata dan perumpamaan-perumpamaan Yesus mengejutkan dan menggoncangkan pendengarnya : ucapan-ucapannya secara khas menuntut pembalikan dari peranan-peranan atau memfrustrasikan harapan-harapan yang biasa dan bersifat sehari-hari (lih. Perumpamaan orang Samaria di Luk 10:30-35; pekerja kebun anggur di Mat 20:1-5; anak yang hilang di Luk 15:11-32; ucapan bahagia di Luk 6:20-23; pinjamkan tanpa mengharapkan imbalan di Thomas 95:1-2).
4. Kata-kata dan perumpamaan-perumpamaan Yesus sering dicirikan oleh pelebih-lebihan, humor dan paradoks.
5. Gambaran-gambaran yang diberikan Yesus bersifat konkret dan hidup; kata-kata dan perumpamaannya bersifat metaforik tanpa penjelasan secara eksplisit.
Dan ada kekhasan dalam keberadaannya sebagai seorang bijak yang “laconic” (fn 4, Funk mengilutrasikannya secara kontekstual : “like the cowboy hero of the American West exemplified by Gary Cooper”, p.32).
1. Yesus tidak membuat aturan bahwa ia harus memulai sebuah dialog atau perdebatan, dan dia tidak juga menawarkan untuk menyembuhkan orang-orang di sekitarnya.
2. Yesus jarang membuat pernyataan-pernyataan atau berbicara mengenai dirinya dalam bentuk orang pertama tunggal.
3. Yesus tidak mengklaim bahwa dirinya adalah Sang Mesias, Yang Diurapi.
Dengan memperhatikan/mengikuti prinsip-prinsip di atas para pakar JS berdebat dan pada akhir acara dilakukan pemungutan suara (voting) dengan menggunakan biji (beads) berwarna ke dalam kotak untuk memperlihatkan derajat keautentikan kata-kata Yesus. Voting ini menunjukkan bahwa kanon bukan kriteria penentu, melainkan penilaian ‘peer’ seperti dalam penilaian tesis di perguruan tinggi. Yang menentukan adalah “scholarly consensus”. Para anggota JS maklum bahwa banyak orang di USA (yang adalah negara dengan budaya voting!) yang tidak senang dengan cara ini. Tetapi mereka mengingatkan bahwa United Bible Society (UBS) juga menggunakan cara voting dalam menentukan mana kalimat yang dijadikan teks (masuk dalam batang tubuh) dan mana yang dijadikan catatan kaki (fn 5, Crossan dalam The Historical Jesus, p.425 juga melaporkan proses voting pada JS dan membandingkannya dengan UBS yang melakukan voting dengan cara memilih di antara A, B, C, dan D. A itu dijamin asli, sedangkan D itu dari zaman kemudian).
Ada 2 pilihan dengan menggunakan biji berwarna ini:
Pilihan pertama :
Merah – Saya memasukkan bahan ini ke dalam database tanpa ragu-ragu dalam rangka menentukan siapakah Yesus.
Jingga – Saya memasukkan bahan ini ke dalam database dengan catatan-catatan atau modifikasi tertentu.
Kelabu – Saya tidak memasukkan bahan ini ke dalam database, tetapi boleh jadi saya akan memanfaatkan sebagian dari isinya dalam rangka menentukan siapakah Yesus.
Hitam – Saya tidak akan memasukkan bahan ini ke dalam database.
Pilihan kedua :
Merah - Tidak diragukan bahwa Yesus mengatakan hal ini atau sesuatu yang seperti itu.
Jingga - Yesus mungkin mengatakan sesuatu yang seperti itu.
Kelabu - Yesus tidak mengatakan hal ini, tetapi idea yang terkandung di dalamnya dekat dengan pemikiran Yesus.
Hitam – Yesus tidak mengatakan hal ini; Bahan ini mewakili perspektif atau isi dari sebuah tradisi yang lebih kemudian atau berbeda.
Nah, sekarang marilah kita mengecek hasil mereka dalam Injil Markus, yang ditempatkan dalam buku di atas sebagai Injil pertama, oleh karena konsekwen dengan kronologi. Dalam Injil Markus yang terdiri dari 12 pasal itu hanya ada 1 (satu) teks dengan warna merah, yaitu Markus 12:17, “Berikan pada Kaisar apa yang menjadi porsi Kaisar dan berikan kepada Allah apa yang menjadi porsi Allah”. Jawaban pintar ini memperlihatkan keautentikan ucapan Yesus. Dia menangkis jebakan para penanya yang bingung, apakah Yesus menganjurkan orang membayar pajak atau tidak membayar pajak. Warna jingga terdapat dalam 26 ayat.
Dalam Injil Matius ucapan Yesus mengenai garam dan terang mendapat warna jingga. Tetapi kalimat “kamu adalah garam/terang dunia” mendapat warna hitam. Mengapa? Oleh karena Yesus yang mau membongkar batas-batas, tidak membedakan di antara “kamu” dan “mereka”. Ayat 13b mengenai garam yang kehilangan keasinannya diberi warna jingga, dengan keterangan “we can no longer determine the precise wording of the original saying and since the original context has been lost (tulisan miring dari saya), we do not know how Jesus applied this to his situation”.
Bagaimana dengan doa “Bapa Kami”?
Mat 6:9-13
Bapa kami
yang ada di surga
dikuduskanlah namaMu
datanglah kerajaanMu
jadilah kehendakmu
berikanlah makanan
ampunilah utang kami
jangan masukkan kami
bebaskanlah kami
Luk 11:2-4
Bapa kami
dikuduskanlah namaMu
datanglah kerajaanMu
berikanlah makanan
ampunilah dosa kami
jangan masukkan kami
Injil Yohanes semuanya hitam.
Injil Thomas yang terdiri dari 114 ayat-ayat mendapat 3 warna merah dan 50 kali warna jingga; bandingkanlah dengan Injil Markus di atas yang hanya mendapat 1 warna merah dan 26 kali warna jingga! Ada keterangan mengenai Injil Thomas dari J.J. den Heyer (fn 6, Lih. J.J. den Heyer, Jesus Matters, p. 152): “Mula-mula Injil Thomas dianggap sebagai injil gnostik dari abad 3-4M, namun kemudian pendapat berubah dan penanggalannya digeser lebih awal ke paruhan abad 2 M di sekitar tahun 140M. Sifatnya bukan gnostik. Memang ada ayat-ayat yang bernada gnostik, namun Injil ini sendiri tidak dipengaruhi oleh Gnostisisme. Inti Injil Thomas sendiri berasal dari antara tahun 50-60M. Di dalam injil ini tidak ada cerita-cerita mujizat dan demikian juga kisah sengsara dan kematian Yesus. Dalam refleksi teologisnya – berbeda dengan Paulus – salib tidak memegang peranan penting. Yesus utamanya adalah pengajar kebijaksanaan (wisdom teacher) yang mengarahkan perhatiannya pada masa kini. Kerajaan Allah adalah masalah masa kini. Thomas 113 : kerajaan Allah sudah ada, tetapi tidak dilihat”.
Jadi hal-ikhwal menjadi bijak atau mendapatkan pencerahan adalah apabila dari tidak melihat (atau salah melihat – ini tafsiran Jawa dari saya!) kita menjadi bisa melihat. Sebenarnya dalam injil-injil kanonis ada juga peringatan Yesus mengenai mata atau persepsi.

Apa yang dibuat oleh para pakar ‘Yesus Sejarah’?
John Dominic Crossan
Menulis buku The Historical Jesus yang laris manis di USA. (fn 7, lih. John Dominic Crossan, The Historical Jesus, tempat, penerbit, tahun? Buku tebal, 426 p di luar appendix, tetapi sudah terjual lebih dari 50.000 eksemplar). Dalam pendahuluan dari buku ini Crossan langsung memberi daftar yang menurut dia adalah kata-kata Yesus, seluruhnya 106 ayat (ada yang panjang seperti perumpamaan-perumpamaan, tetapi ada juga yang sangat pendek “become passersby” yang diambil dari Injil Thomas 42). Crossan berbeda juga dengan JS. Kalau JS menganggap Mat 5:14 sebagai mungkin dari Yesus, Crossan menganggapnya pasti dari Yesus. Di pihak lain Crossan tidak mendaftarkan Mat 5:13a namun menyebut 13b.
Menurut Crossan, teks-teks ini bukan daftar yang harus dibaca. Juga bukan nas untuk dikhotbahkan. Teks-teks ini seperti partitur yang harus dimainkan, program yang harus dilaksanakan (fn 8, p.xxvi). Dengan gaya bahasa yang sangat mempesona ia memberi alasannya, “In the beginning was the performance; not the word alone, not the deed alone, but both, each inedibly marked with the other forever” (fn 9, lih.) Dari 106 ayat ini Crossan merekonstruksi Yesus pra-Paskah, yang tentu saja berbeda dari Yesus yang direkonstruksikan dari seluruh narasi Injil-injil, atau Yesus yang direkonstruksi dari Injil-injil plus surat-surat (kanon PB), apalagi Yesus yang direkonstruksi dari kanon PB plus Chalcedon… Jadi sebenarnya gambaran Yesus yang sebelumnya pun adalah hasil rekonstruksi, dan dengan demikian rekonstruksi dapat dilihat secara positif. “One cannot…dismiss the search for the historical Jesus as mere reconstruction, as if reconstruction invalidated somehow the entire project. Because there is only reconstruction” (fn 10, p.426).
Ada catatan dalam Crossan mengenai usaha ‘Yesus Sejarah’ dari masa yang lalu (fn 11, p. xxvii). “There were always historians who said it could not be done because of historical problems. There were always theologians who said it should not be done because of theological objections. And there were always scholars who said the former when they meant the latter”. Untuk menghindari hal ini maka Crossan mengunakan sebuah metode lapis tiga. Saya harus mengakui bahwa belum tentu saya mengerti uraiannya mengenai metode ini.
Metode ini mempunyai 3 komponen : “the campaign” yang berhubungan dengan latar belakang sosio-historis, “the strategy” yang berhubungan dengan textual problems dan “the tactics”, yang berhubungan dengan “methodological manipulations” (sic). Ketiga hal ini diuraikannya dengan panjang lebar, sehingga dapat dikatakan bukunya yang tebal ini kebanyakan terdiri dari uraian mengenai metode (yang dalam karangan pertama saya golongkan ke dalam cara berpikir akademik era modernitas). “The campaign” ini dibagi tiga lagi, yaitu antropologi sosial, sejarah Yunani-Romawi dan kesusastraan mengenai ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan khusus (di dalam dan di luar Perjanjian Baru). “The strategy” juga dibagi tiga dan terdiri dari “inventory” (sumber yang dipakai – ekstra maupun intra kanonikal), “stratification” (menempatkan materi pada urutan kronologis) dan “attestation” (pengidentifikasian sumber independen). “The tactics” juga dibagi tiga : urutan strata, yaitu mencari stratum pertama, menyusun hirarkhi strata dan “bracketing of singularity” : menetapkan teks asli dari Yesus. Dengan metode ini bukan objektifitas yang mau dicapai sebab hal itu tidak mungkin dapat dicapai (fn 12, p.xxxiv), tetapi yang dikejar adalah “attainable honesty” (fn 13, p. xxxiv). Jika pembaca tidak setuju, silakan, tetapi tentu saja, kejujuran akademik menuntut agar yang tidak setuju itu memberi alternatif yang menurut dia lebih baik dari metode Crossan.

Siapa Yesus menurut Crossan?
Yesus adalah seorang petani yang berpenampilan sederhana namun mendalami filsafat Cynic. Lho, Cynisme ‘kan filsafat Yunani? Ya, tetapi filsafat Cynic pernah dominan di dunia sekitar Laut Tengah yang dikuasai Roma, dan Palestina termasuk dalam lingkungan pengaruh ini. Bagaimana Yesus sampai bisa kenal filsafat ini? Oleh karena kota tempat tinggalnya yaitu Nazaret tidak jauh dari Sepphoris, yang adalah kota pusat budaya Yunani. Ketika Sepphoris dihancurkan sebelum Yesus lahir, warga-warganya mengungsi ke sekitarnya a.l. ke Nazaret…Yesus adalah petani, guru, dukun dan nabi yang revolusioner. Menurut Crossan dia tidak mencari Yesus yang disukai atau tidak disukai, yang disetujui atau tidak disetujui. Tetapi saya merasa bahwa dia menyukai Yesus yang direkonstruksikannya, dan kesukaan itu ditimbulkan oleh kerinduan untuk menemukan Yesus yang seperti itu. Di pihak lain saya harus mengakui bahwa saya juga menyukai Yesus menurut Crossan. Cobalah menikmati bagaimana dia menggambarkan Yesus di p. xi : “He comes as yet unknown into a hamlet of Lower Galilee. He is watched by the cold, hard eyes of the peasants living long enough at subsistence level to know exactly where the line is drawn between poverty and destitution. He looks like a beggar, yet his eyes lack the proper cringe, his voice the proper whine, his walk the proper shuffle…” (fn 14, p. xi)
Saya menutup uraian mengenai Crossan ini dengan sebuah anekdot yang dikarang oleh Crossan sendiri (fn 15, di dalam Jesus a revolutionary biography, p.xiv). Yesus sejarah bertemu dengan Crossan dan mereka bercakap-cakap sbb :
Y : Dominic, saya sudah membaca bukumu. Lumayan deh isinya. Nah, apakah sekarang kau sudah siap untuk hidup berdasarkan visi saya dan menggabungkan dirimu dalam program saya?
D : Waduh, Yesus, saya belum berani. Tetapi yang penting kan saya sudah mendeskripsikannya dengan baik. Dan metode saya baik sekali bukan?
Y : Terima kasih, Dominic, karena kau tidak memalsukan pesanku untuk disesuaikan dengan ketidakmampuanmu. Itu saja sudah lumayan.
D : Apakah itu cukup, Yesus?
Y : Tidak, Dominic, tidak cukup.

Marcus J Borg
Di dalam buku Jesus a New Vision, (fn 16) Borg mulai dengan “clearing the ground”, menjelaskan dulu bahwa ada citra Yesus yang populer dan berakar dalam PB, tetapi tidak dapat dijelaskan dari PB saja. Tradisi sesudah PB ikut berperan besar. Lalu ada citra Yesus pra Paskah menurut para pakar PB yang menggambarkan Yesus sebagai nabi eskatologis-apokaliptik. Tetapi ada citra Yesus yang juga berasal dari para pakar PB yang ketiga, yaitu Yesus pra Paskah sebagai tokoh non apokaliptik. Yesus adalah penyembuh, orang bijak, nabi dan reformis (“revitalization movement founder”). Dalam tulisan-tulisan ‘Yesus Sejarah’ generasi sebelumnya penggambaran Yesus sebagai penyembuh termasuk pengusir setan (exorcist) atau dukun dianggap negatif. Mereka segan menyebutnya demikian. Pastilah itu disebabkan oleh pengaruh Pencerahan dan IPA (sains). Yesus adalah model bagi pendeta Protestan yang terpelajar (alm romo Groenen dalam bukunya mengenai Yesus tidak demikian. Saya ingat oleh karena pernah mendengarkan teman mahasiswa yang tidak senang membaca buku beliau karena menyebut Yesus sebagai dukun). Tetapi dalam era postmodern yang kritis terhadap Pencerahan dan karena pengaruh IP Sosial, deskripsi mengenai Yesus yang semacam itu diterima. Borg (dan Crossan juga) memanfaatkan berbagai hasil penelitian sosial mengenai rujukan terhadap penyembuh dan orang pintar, baik di masa lalu maupun di masa kini. Kalau di lapangan (empirik) ada tokoh semacam itu, mengapa Yesus tidak dapat digambarkan seperti itu? Mungkin antitesa di antara “pendeta” dan “dukun” perlu ditinjau ulang (ini pendapat saya lho), dan kalau ada yang menertawai pendapat ini, nah, orang itu tidak bertolak dari iman tetapi dari prasangka modernitas …
Siapa Yesus menurut Borg? Selain Yesus menurut citra ketiga di atas, Borg menggambarkan Yesus sebagai orang yang dikuasai oleh Roh (dengan huruf besar). Realitas ini adalah realitas yang diisi oleh kehadiran Roh, dan Yesus membiarkan dirinya dipegang oleh Roh, sehingga dia dapat disebut “spirit-person” yang perlu dibedakan dari “holy person”. Yesus tidak “holy” tetapi “spirit-filled”. Oleh karena Yesus sudah dibekali dengan Roh, maka ia berani menghadapi budaya yang di hadapannya. Dia menentang kebijaksanaan konvensional, dia menjadi reformis, dan dia adalah nabi. Justru Yesus yang seperti inilah yang bermakna bagi kita di masa kini. Dalam bagian terakhir buku di atas ada uraian mengenai “his significance for our time”. Yesus dapat menjadi model untuk pemuridan (discipleship), hidup dalam Roh dan Kerajaan Allah, hidup dengan menentang budaya yang dominan. Meskipun Borg dan juga Crossan menekankan bahwa Yesus berasal dari konteks budaya/agama Yahudi, dalam uraian mereka mengenai penilaian Yesus terhadap masyarakat, kadang-kadang terasa bahwa mereka menguraikan masyarakat Yahudi dengan terlampau negatif (fn 17, ini kritik yang baik dari Den Heyer terhadap mereka berdua, lih. Jesus Matters, pp. 156-7. Den Heyer mengeritik Borg berkaitan dengan buku kedua yang saya sebut di bawah ini). Dengan memperlihatkan bagaimana Yesus menentang budaya yang dominan, Borg mencerminkan keprihatinannya terhadap budaya dominan USA. Untuk menghadapi kultur ini, jemaat dapat mengikuti Yesus yang seperti di atas. Gereja kembali menjadi gereja katakombe. Jadi seluruh argumentasi Borg sebenarnya memperlihatkan sebuah keprihatinan teologis, yaitu bagaimana melakukan imitatio Christi, atau lebih baik, imitatio Jesu, dalam konteks.
Buku Borg yang kedua, yaitu Meeting Jesus Again for the First Time, (fn 18) mengandung beberapa kesamaan dengan buku pertama, tetapi dengan tekanan yang berbeda. Yesus adalah tokoh yang berbela-rasa (compassionate), dan dia begitu dipenuhi oleh bela-rasa ini, sehingga bisa menentang struktur politik-kemasyarakatan di zaman dia. Kedengarannya hal ini tidak baru, tetapi yang baru adalah politik bela-rasa Yesus. Politik dihadapi dengan politik! Sikap bela-rasa ini menyebabkan Yesus berani menyerang sistem kemasyarakatan, termasuk yang berkaitan dengan agama. Dalam konteks Yesus, sistem ini adalah tatanan-tatanan Yahudi yang berkaitan dengan kemurnian (purity). Kemurnian berhubungan dengan kekudusan, berarti Yesus juga berani menyerang konsep-konsep kekudusan. Istilah-istilah seperti “berdosa”, “benar”, dapat dilihat bukan (hanya) sebagai istilah teologis tetapi juga sebagai istilah sosiologis yang berurusan dengan batas-batas (boundaries). Kesan mengenai ketatnya batas ini dapat kita baca dalam Kisah Rasul, mengenai dilema Petrus yang diundang berkunjung ke rumah Kornelius. Petrus perlu mendapat 2x penglihatan dari Tuhan, baru dia berani melanggar tatanan larangan berkunjung dan makan di rumah orang non-Yahudi. Yesus mengecam tatanan kemurnian ini. Apa relevansinya bagi kita di masa kini? Di satu pihak, kita menikmati hasil dari kecaman Yesus terhadap tatanan ini. Bagi kita semua makanan halal (babi, anjing). Tetapi di pihak lain kecenderungan manusia adalah mengganti purity system yang satu dengan purity system yang lain. Konteks budaya USA adalah diskriminasi terhadap kaum homoseksual. Andaikata Yesus ada di USA sekarang, hatinya yang penuh bela-rasa pasti akan menerima orang homoseksual, tidak peduli bahwa warga gerejanya banyak yang menolak orang-orang seperti ini. Di Indonesia isyunya bisa lain, yaitu diskriminasi terhadap orang-orang yang dituduh G-30-S/PKI dan keluarganya, orang miskin, perempuan dan anak-anak kecil yang tidak punya tanah yang digusur dengan paksa dan kejam oleh gubernur Sutiyoso dari Jakarta, dan diskriminasi terhadap orang Tionghoa.

Beberapa pertimbangan, baik terhadap JS maupun Crossan & Borg
Positip
1. Seperti telah dikatakan di atas, saya suka pada gambaran Yesus pra Paskah yang disajikan oleh Crossan. Hal ini juga berlaku bagi Yesus menurut Borg. Lukisan mereka mengenai Yesus memiliki keserupaan dengan gambaran Yesus di dalam teologi-teologi pembebasan dan teologi-teologi Asia/dunia ketiga. Kalau yang mereka lakukan cocok dengan apa yang sudah lama dilakukan oleh teolog-teolog Asia/dunia ketiga, maka apa yang mereka lakukan merupakan konfirmasi terhadap teologi dari konteks kita bukan?
2. Tekanan dari JS terhadap sayings dan aphorisms sebagai kata-kata asli dari Yesus perlu direnungkan oleh karena a/ jemaat terlalu biasa dengan apa yang dikatakan mengenai Yesus daripada apa yang dikatakan Yesus mengenai dirinya sendiri, dan b/ kata-kata (proposisi) tidak jelek pada dirinya sendiri, seperti kebanyakan pendapat para teolog yang dipengaruhi oleh teologi narasi (menurut teologi ini proposisi adalah rumus yang abstrak sedangkan narasi membawa kita pada realitas).
3. Keserupaan gambaran Yesus dari ‘Yesus Sejarah’ sebagai guru kebijaksanaan yang revolusioner dengan gambaran Jawa mengenai guru dapat dimanfaatkan oleh teologi kontekstual untuk membangun Kristologi Yesus Sang Guru. Hal ini sudah pernah dilakukan oleh teman saya Banawiratma (Bono), tetapi teksnya adalah Injil Yohanes yang seperti telah kita lihat di atas, diwarnai hitam oleh JS. Barangkali sudah tiba waktunya bagi generasi yang lebih baru untuk mulai memikirkan Yesus sang Guru dengan berangkat dari teks-teks Yesus dari JS.
4. Yesus sebagai guru kebijaksanaan di dalam Injil Thomas yang tidak memanggul salib dapat mendorong kita untuk membangun sebuah teologi pendamaian (atonement) berdasarkan keteladanan (panutan) daripada kedua model pendamaian lainnya (satisfactio dan klasik). Hal ini penting dalam rangka dialog dengan Islam. Selain itu tekanan pada kebijaksanaan akan menjadi titik temu dengan pelbagai macam pemahaman kebijaksanaan Timur (Hindu, Buddha dan Konghucu), sehingga agama Kristen seperti dihayati oleh orang Timur tidak hanya berupa agama keselamatan saja tetapi juga merupakan agama kebijaksanaan.
Negatip
1. Sudah disebut di atas : penggambaran Crossan dan Borg mengenai Yesus sebagai pengiritik masyarakat dapat memberi kesan anti Yahudi.
2. Kembali kepada uraian di karangan pertama mengenai evaluasi saya terhadap Gadamer-Habermas-Ricoeur. Kalau dalam memahami teks, kita melakukan penambahan makna terhadap teks, apakah bukannya usaha JS untuk mereduksi teks mengenai Yesus sampai menjadi minimal dalam usaha menggali kata-kata autentik dari Yesus, akan menjadikan kita malah miskin makna? Pengalaman mengecek warna merah pada Injil Markus tidak membuat saya gembira (entahlah perasaan pembaca sendiri). Crossan dan Borg mungkin akan menjawab : justru makna orisinal inilah yang selama ini terpendam/tertimbun oleh makna-makna lain, yang barangkali masih dihormati tetapi tidak dianggap relevan lagi. Namun tantangan terhadap mereka berdua masih tetap : apakah makna tambahan itu sesuatu yang negatip pada dirinya sendiri? Crossan mengakui bahwa gambaran Yesus historis dari dia tidak objektip, sebab yang objektip tidak mungkin dicapai. Tetapi dengan menyebut “historis”, kesan yang ditimbulkan adalah bahwa yang ia buat itu memang Yesus yang sebenarnya. Yang historis dilawankan dengan yang imani: yang historis itu objektip sedangkan yang imani itu subjektip. Barangkali baik kalau kita mendengarkan C.J. den Heyer yang masih membedakan di antara “the real Jesus” dan “the historical Jesus” (fn 19, p. 163).
3. Apakah kesukaan saya kepada Yesus Sejarah pra-Paskah yang dikemukakan oleh Crossan dan Borg sudah cukup untuk membuat klaim bahwa studi Yesus Sejarah positip dan relevan untuk kita di dunia ketiga/Asia/Indonesia? Sampai batas tertentu saya dapat menjawab “ya”. R.S. Sugirtharajah dalam bukunya Asian Faces of Jesus (fn 20, sudah diterjemahkan) meminta agar teolog-teolog dunia ketiga mencermati perkembangan studi ini – check halaman berapa?). Namun dalam bukunya yang berikut, Asian Biblical Hermeneutics and Postcolonialism, dia mulai kritis terhadap kalangan Jesus Sejarah (fn 21, p. 113). Bahwa Yesus Sejarah dari Crossan dan Borg menolong menggeser gambaran Yesus yang abstrak, a-historis dan imperialistik (“Yesus Belanda”) itu baik, tetapi masalahnya adalah bahwa keduanya adalah orang Barat yang Eropasentrik dan bertabiat Orientalistik. Para Orientalis selalu menganggap bahwa yang bermakna teologis hanya dapat datang dari tradisi Yunani-Yahudi. Yunani dilihat sebagai sumber intelektual, tetapi sumber religius selalu datang dari Timur Tengah. Dengan demikian pemikiran religius timur tidak pernah akan memperoleh kesempatan untuk menyumbang ke dalam gambaran Yesus Sejarah yang sedang dibangun ini.
4. Sugirtharajah malah ganti menguraikan berbagai paham mengenai Yesus dari Buddhisme kuno-India. Menarik bahwa orang seperti den Heyer juga menyebut tentang “Yesus dari India” (fn 22, pp. 127-128). Tetapi akhirnya den Heyer skeptik terhadap kemungkinan ini. Barangkali bukan contoh yang seperti ini yang dimaksudkan oleh Sugirtharajah, tetapi apakah ada kemungkinan bahwa paham Timur (termasuk Yesus menurut agama Islam atau menurut orang beragama Islam di Indonesia!) dapat menyumbang ke dalam gambaran Yesus di Indonesia? Saya ingat bahwa Prof.Dr. Olaf Schumann menulis disertasi mengenai “Yesus dari orang-orang Muslim” dan ringkasannya sudah pernah ditulis dalam bahasa Indonesia (fn 23, apa judulnya di Peninjau?). Saya sendiri tidak sepesimis Sugirtharajah seperti dapat dilihat dari apresiasi saya yang positip di atas. Boleh jadi Sugirtharajah agak melebih-lebihkan sudut pandang postcolonial. Namun benar bahwa kita perlu waspada terhadap gambaran Yesus populis produk era kontemporer Barat, jangan-jangan ada sesuatu di dalamnya, yang akhirnya menindas gambaran Yesus populis dari dunia Timur yang mau dibangun sebagai tuntutan dari sebuah Kristologi yang kontekstual.
5. Tekanan pada sejarah sebagai jaminan objektivitas, dan objektivitas sebagai jaminan kebenaran, mungkin tidak bermakna bagi orang Jawa, termasuk orang Jawa modern. Kalau perkiraan ini betul, maka memang semua program/agenda untuk membangun kembali Yesus Sejarah tidak berguna. Kesan saya tekanan orang Kristen di Asia termasuk Indonesia, adalah pembangunan Kristus Iman daripada Yesus Sejarah. Tentu Kristus Iman ini bukan Kristus Belanda produk kolonial, tetapi tetap tidak dalam kerangka sejarah. Maka kita di satu pihak perlu belajar mengenai kaitan iman dengan sejarah, tetapi di pihak lain perlu mengajar teman-teman kita dari JS mengenai iman yang lebih besar dari sejarah. Kalau begitu bagi orang Asia yang berteologi secara kontekstual, dua-duanya kita pegang: Yesus sejarah Pra-Paskah berguna untuk imitatio Jesu, sedangkan Kristus Iman pasca-Paskah berguna untuk imitatio et contemplatio Christi.
6. Kembali ke teologi panutan tanpa salib di atas. Saya telah memperlihatkan bahwa teologi panutan ini penting dalam rangka dialog dengan Islam. Tetapi di pihak lain saya sebagai orang dunia ketiga yang akrab dengan penderitaan merasa bahwa hidup beriman yang tidak pernah “come to terms” dengan penderitaan tidak pernah dapat menjadi teologi yang kontekstual, justru karena tidak mengakui kenyataan penderitaan di dunia ketiga. Maka teologi panutan begitu saja menurut saya tidak cukup. Acapkali dalam hidup kita, kebijaksanaan mengalami jalan buntu menghadapi penderitaan. Kita bukannya menjadi bijak menghadapi penderitaan tetapi malah habis akal (termasuk dalam hal merumuskan iman)! Pada saat itu Kristus yang memikul dan menanggung penderitaan dunia bermakna bagi kita. Kristus tidak menghapus beban kita tetapi ikut memikul beban kita, dan oleh karena itu kita hidup. Teologi kebijaksanaan selalu harus dilengkapi dengan teologi salib.
Dengan memperlihatkan bahwa segi negatip (6) dari penelusuran Yesus Sejarah masih lebih banyak daripada segi positipnya (4), bisa diperoleh kesan bahwa akhirnya saya lebih banyak melihat segi negatipnya daripada segi positipnya. Saya tidak berpendapat demikian. Tetapi tema apapun yang kita pelajari sebagai bagian dari tugas kita sebagai dosen-dosen Kitab Suci, sedapat-dapatnya kita presentasikan secara apa adanya, dengan memperlihatkan kelebihan-kelebihan maupun kekurangan-kekurangannya. Masalahnya seperti yang telah diperlihatkan oleh para pakar postkolonial, kita di Asia-Indonesia menerima segala sesuatu dari dunia Barat, baik yang kuno maupun yang kontemporer. Akibatnya yang terjadi adalah perdebatan sengit mengenai yang baru dan yang lama, yang sebenarnya tidak bersangkutpaut dengan kita sendiri. JS merupakan keprihatinan kalangan liberal di dunia Barat, sedangkan yang digempur oleh JS adalah keprihatinan kalangan konservatif di dunia Barat. Kapan kita bebas dari lingkaran setan yang terjadi akibat polarisasi liberal-konservatif di dunia Kristen Barat?

Wisma Duta Wacana,
Kaliurang, Yogyakarta,
24 Juli 2002.
dipresentasikan pada Simposium Biblika di Kaliurang tahun 2002

paulusjancok
paulusjancok
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Male
Number of posts : 809
Age : 36
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6486
Registration date : 2011-08-12

Back to top Go down

Back to top


 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum