MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME

Join the forum, it's quick and easy

MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME
MURTADIN_KAFIRUN
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Latest topics
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci EmptyFri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam

» kenapa muhammad suka makan babi????
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci EmptyWed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal

» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci EmptyFri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya

» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci EmptyTue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar

» Moon Split or Islamic Hoax?
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci EmptyWed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin

» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci EmptyWed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin

» Who Taught Allah Math?
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci EmptyWed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin

» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci EmptyWed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam

» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci EmptySun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN

Gallery


Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia

Kami tidak memfitnah, tetapi menyatakan fakta kebenaran yang selama ini selalu ditutupi oleh muslim untuk menyembunyikan kebejatan nabinya

Menyongsong Punahnya Islam

Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
 

Kebrutalan dan keberingasan muslim di seantero dunia adalah bukti bahwa Islam agama setan (AJARAN JAHAT,BUAS,BIADAB,CABUL,DUSTA).  Tuhan (KEBENARAN) tidak perlu dibela, tetapi setan (KEJAHATAN) perlu mendapat pembelaan manusia agar dustanya terus bertahan

Subscribe to MURTADIN_KAFIRUN

Powered by us.groups.yahoo.com

Who is online?
In total there are 101 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 101 Guests :: 1 Bot

None

[ View the whole list ]


Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
RSS feeds


Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Social bookmarking

Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website


Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

+4
seponggol
yang berserah diri
Tom Jerry
kermit katak lucu
8 posters

Go down

Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

Post by kermit katak lucu Thu 23 Jun 2011, 11:26 pm

Yang berikut ini adalah skandal cinta Muhammad dengan Mariyah orang Koptik, yang merupakan salah seorang budak dari isteri-isteri Nabi. Muhammad tidur dengannya tanpa ada upacara apapun, sehingga menyebabkan kegaduhan di antara isteri-isterinya, dan harus diatasi lewat “Intervensi Ilahi.” Kisah ini dicatat dalam sebuah Hadis otentik dan dilaporkan oleh Umar.

Hadis ini menjelaskan alasan turunnya wahyu dalam Quran 66:4.

“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.”

Umar menjelaskan bahwa kedua wanita ini adalah Hafsa dan Aisyah, yang menjadi tidak hormat kepada Nabi, sehingga Nabi merasa sedih dan berpikir untuk menceraikan semua isteri-isterinya. Inilah kisah selengkapnya.

Bukhari Volume 3, Book 43, Number 648:

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas:

Aku sangat ingin bertanya kepada Umar tentang kedua wanita dari antara isteri-isteri Nabi, dalam kaitan dengan siapakah Allah berkata (dalam Quran): Jika kalian berdua (isteri-isteri Rasul yaitu Aisyah dan Hafsa) bertobat kepada Allah, sebab hati kamu berdua telah condong (menentang apa yang disukai oleh Rasul) (Quran 66:4), hingga melaksanakan Haji bersama-sama dengan ‘Umar (dan dalam perjalanan kita pulang berhaji), ia pergi ke suatu tempat (untuk melaksanakan panggilan alam/buang hajat), dan aku juga pergi bersamanya dengan membawa ember berisi air. Ketika ia telah selesai melaksanakan panggilan alam dan telah kembali. Aku menuangkan air ke tangannya dari ember itu dan melaksanakan wudhu. Aku berkata,”Oh Kepala orang-orang beriman! “Siapakah kedua wanita dari antara isteri-isteri Nabi yang kepadanya Allah telah berfirman,‘Jika kamu berdua bertobat (66:4)? Ia menjawab,”Aku terkejut dengan pertanyaanmu, Oh Ibn ‘Abbas. Mereka adalah Aisyah dan Hafsa.”

Kemudian ‘Umar mengkaitkan kisah itu dan berkata:

“Aku dan tetanggaku seorang Ansari berasal dari Bani Umaiya bin Zaid. Kami tinggal di ‘Awali Al-Medina. Kami biasanya mengunjungi Nabi secara bergantian. Ia pergi berkunjung pada satu hari, dan aku di hari yang lain. Ketika aku pergi, aku akan membawa kabar padanya mengenai apa yang telah terjadi pada hari itu, mengenai apa yang diperintahkan, serta aturan-aturan yang diberlakukan. Dan ketika ia pergi, ia juga biasa melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan.

Kami orang-orang Quraish mempunyai otoritas atas para wanita, namun saat kami tinggal bersama dengan Ansar, kami perhatikan wanita-wanita Ansari mempunyai tangan yang lebih tinggi di atas pria-pria mereka. Karena itu para wanita kami mulai meniru kebiasaan wanita-wanita Ansari. Suatu ketika aku meneriaki isteriku, dan kemudian ia membalas meneriakiku dan aku tidak suka kalau ia membalas teriakanku. Isteriku berkata,’Mengapa engkau merasa sakit hati jika aku menjawabmu dengan pedas? Demi Allah, isteri-isteri Nabi pun menjawabnya dengan pedas, dan beberapa dari mereka bahkan tidak mau berbicara dengannya dari pagi hingga malam hari.’

Apa yang ia katakan menakutkanku dan aku berkata padanya,’Siapapun dari antara mereka yang melakukan hal seperti itu, mereka akan mengalami kerugian yang sangat besar.’ Kemudian aku mengenakan pakaian dan pergi menemui Hafsa dan bertanya padanya,’Apakah ada dari antara kalian yang membuat Rasul Allah menjadi marah dari pagi hingga malam hari?’ Ia membenarkan hal itu. Aku berkata,’Ia akan menjadi orang-orang yang rugi (dan tak akan pernah meraih keberhasilan)! Tidakkah ia takut bahwa Allah akan menjadi marah pada mereka yang marah pada Rasul Allah, dan oleh karena itu akan dimusnahkan oleh Allah? Janganlah meminta terlalu banyak pada Rasul Allah, dan jangan menjawabnya dengan pedas untuk hal apapun, juga jangan mengabaikannya. Mintalah dariku apapun yang kamu sukai, dan jangan tergoda untuk meniru perilaku tetanggamu (misalnya Aisyah) terhadap Nabi. Sebab dia (yaitu Aisyah) lebih cantik dari kalian semua, dan lebih dikasihi oleh Rasul Allah.

Pada hari-hari itu, ada rumor bahwa Ghassam (satu suku yang tinggal di Sham), tengah menyiapkan kuda-kuda mereka untuk menginvasi kami. Rekanku berangkat (untuk bertemu Nabi pada hari gilirannya) dan pulang pada malam hari, mengetuk pintu rumahku dengan kasar, bertanya apakah aku sedang tidur. Aku menjadi takut (dengan ketukan keras di pintu) dan segera menemuinya. Ia mengatakan bahwa sebuah kejadian besar tengah terjadi. Aku bertanya padanya: Apakah itu? Apakah Ghassam sudah datang? Ia menjawab bahwa ini adalah hal yang lebih serius dan buruk dari itu, dan menambahkan bahwa Rasul Allah telah menceraikan semua isteri-isterinya.

Aku berkata, Hafsa adalah seorang pembuat masalah! Aku pikir masalah seperti ini akan terjadi.’ Maka aku mengenakan pakaianku dan menawarkan untuk memimpin sembahyang subuh bersama Nabi. Kemudian Nabi memasuki sebuah ruang di sebelah atas dan tinggal di sana sendirian. Aku pergi kepada Hafsa dan menjumpainya tengah menangis. Aku bertanya padanya,’Mengapa engkau menangis? Bukankah aku sudah memperingatkanmu? Benarkah Rasul Allah sudah menceraikan kalian semua?’ Ia menjawab,’Aku tidak tahu. Ia ada di sana, di ruangan atas.’ Kemudian aku pergi keluar menuju mimbar dan menemui satu kelompok orang di sekitar mimbar itu dan beberapa dari mereka tengah menangis.

Kemudian aku duduk dengan mereka untuk beberapa waktu lamanya, tetapi merasa tidak tahan dengan situasi yang terjadi pada waktu itu. Karena itu aku naik ke ruangan atas dimana Nabi tengah berada, dan memohon pada seorang budaknya yang berkulit hitam:”Maukah engkau memberikan ijin (Rasul Allah) kepada Umar (untuk masuk)? Budak itu pun masuk, berbicara dengan Nabi mengenai hal itu dan keluar dengan berkata,’Aku telah memberitahukan bahwa kalian ingin menemuinya, tetapi dia tidak menjawab.’ Karena itu aku pergi dan duduk bersama dengan orang-orang yang tengah duduk di sekitar mimbar, tetapi aku tidak tahan menanggung situasinya, karena itu aku pergi kepada budak itu kembali dan berkata:”Bisakah engkau memberikan ijin bagi Umar?

Ia masuk ke dalam dan membawa jawaban yang sama seperti sebelumnya. Ketika aku akan pulang, budak itu memanggilku sambil berkata,”Rasul Allah telah memberikan ijin kepadamu.” Maka aku pun masuk menemui Nabi dan melihat dia sedang berbaring di atas tikar tanpa alas, dan ada tanda bekas tubuh Nabi di atas tikar itu, dan ia berbaring pada sebuah bantal kulit yang diisi dengan daun palem. Aku mengucapkan salam padanya dan sementara masih berdiri, aku berkata:”Apakah engkau telah menceraikan isteri-isterimu?’ Ia menatapku dengan tajam dan menjawab dengan nada negatif. Sementara masih berdiri, sambil mengobrol aku berkata: ”Bisakah engkau mengindahkan apa yang aku katakan, ‘Oh Rasul Allah! Kami, orang-orang Quraish, biasanya tangan kami berada lebih tinggi dari para wanita (isteri-isteri) kami, dan ketika kami menjumpai orang-orang yang tangan para wanita mereka lebih tinggi daripada mereka…”

‘Umar memberitahukan seluruh kisah (mengenai isteri-isterinya). “Tentang hal itu Nabi tersenyum.” ‘Umar lebih jauh lagi mengatakan,”Kemudian aku berkata,”Aku pergi menemui Hafsa dan berkata kepadanya: Janganlah tergoda untuk meniru teman-temanmu (‘Aisyah), sebab ia itu lebih cantik daripada engkau dan lebih disayangi oleh Nabi.’

Nabi kembali tersenyum. Ketika aku melihatnya tersenyum, aku duduk dan melemparkan pandangan sekilas ke sekeliling ruangan itu, dan demi Allah, aku tidak dapat melihat satupun yang penting kecuali tiga hal yang tersembunyi. Aku berkata (kepada Rasul Allah) “Berdoalah agar Allah membuat para pengikutmu menjadi makmur, sebab orang Persia dan orang Bizantium telah membuat penduduknya menjadi makmur, serta memberikan barang-barang yang mewah, meskipun mereka tidak menyembah Allah?’

Nabi kemudian menyandarkan tubuhnya (dan ketika mendengar apa yang kukatakan, ia duduk dengan tegak) dan berkata,’O Ibn Al-Khattab! Apakah engkau mempunyai keraguan bahwa Hidup sesudah mati adalah lebih baik daripada dunia ini)? Orang-orang itu hanya menerima upah atas perbuatan baik mereka di dunia ini saja.’ Aku bertanya kepada Nabi. ‘Mintalah pengampunan Allah untukku. Nabi tidak mengunjungi isteri-isterinya karena rahasia yang dibukakan Hafsa kepada Aisyah, dan ia berkata bahwa ia tidak akan menemui isteri-isterinya selama satu bulan sebab ia marah pada mereka – ketika Allah menegur dia (atas sumpahnya bahwa ia tidak akan kembali mendekati Mariyah).

Ketika dua puluh sembilan hari telah berlalu, pertama-tama Nabi pergi menemui Aisyah. Ia berkata padanya (pada Rasul Allah), ’Engkau sudah bersumpah bahwa engkau tidak akan datang menemui kami selama satu bulan, dan hari ini baru hari yang keduapuluh sembilan, karena setiap hari aku menghitungnya.’ Nabi berkata,’Bulan ini juga terdiri dari dua puluh sembilan hari.’ Aisyah berkata,’Ketika Pilihan Wahyu Ilahi disingkapkan, Nabi memulainya denganku, dengan mengatakan padaku,’Aku memberitahukanmu sesuatu, tetapi engkau tidak perlu terburu-buru memberikan jawaban hingga engkau berkonsultasi dengan orang tuamu.” Aisyah tahu bahwa orang tuanya tidak akan menasehatinya untuk berpisah dengan Nabi. Nabi mengatakan bahwa Allah telah berfirman:

‘Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.’ (33:28,29). Aisyah bertanya padanya,’Apakah aku perlu mengkonsultasikan hal ini pada orang tuaku? Sesungguhnya aku lebih menyukai Allah, RasulNya, dan Rumah di negeri akhirat.’ Setelah itu, Nabi memberikan pilihan pada isteri-isterinya yang lain, dan mereka pun memberikan jawaban yang sama ‘sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah.”

Hadis ini dilaporkan juga dalam Muslim 9.3511, dan Bukhari 3.43.648,7.62.119

Ini sesuatu yang signifikan sebab berisi dua poin sejarah penting. Pertama, ia menyingkapkan, berdasarkan pengakuan Umar sendiri bahwa, “tangan para wanita Ansari ada di atas tangan para pria mereka”. Bahkan jika kita menganggap hal itu sebagai sesuatu yang dibesar-besarkan, adalah jelas bahwa wanita di Medina mempunyai lebih banyak hak dan otoritas dibandingkan dengan sesama wanita dari suku Quraish. Mekah, rumah dari suku Quraish, darimana Umar dan Muhammad berasal, adalah sebuah pusat keagamaan.

Orang yang tinggal di kota-kota keagamaan biasanya lebih fanatik dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kota-kota lainnya. Agama selalu memainkan peran untuk menundukkan kaum wanita dan mengambil hak-hak kemanusiaan mereka. Sebab itu, merupakan hal yang natural bahwa para wanita Mekah bersikap lebih tunduk dibandingkan dengan wanita yang hidup di tempat lain di Arabia, dan khususnya di Medina, yang pada waktu itu merupakan sebuah kota yang lebih kosmopolitan dan mempunyai penduduk dari bangsa-bangsa yang lebih maju peradabannya seperti Yahudi dan Kristen. Isteri-isteri Umar dan Muhammad lebih menyukai atmosfer emansipasi ini dan ingin menerapkan kebebasan relatif mereka. Tetapi hal ini tidak sesuai dengan keinginan kedua pria tak bermoral dari Mekah, yang bernama Umar dan Muhammad. Karena itu, hadis ini memperlihatkan bagaimana mereka dikejutkan oleh kebebasan yang baru ditemukan oleh isteri-isteri mereka. Hadis ini adalah hadis yang penting, sebab ini membuktikan bahwa para wanita sebelum Islam, memiliki lebih banyak kebebasan. Tetapi kemudian, kebebasan itu diambil dari mereka oleh Muhammad dan para penggantinya yang bejat. Juga menjadi jelas bahwa status yang menyedihkan dari para wanita dalam Islam, sesungguhnya bukanlah karena sebuah keputusan ilahi, namun pada tingkatan yang lebih luas, merupakan refleksi bagaimana para wanita diperlakukan di Mekah 1400 tahun yang lalu.

Fakta bahwa ada begitu banyak penekanan dalam Quran dan hadis mengenai betapa pentingnya para wanita untuk taat kepada suami-suami mereka, sesungguhnya menjadi sebuah indikasi dari keinginan Muhammad sendiri untuk mengontrol isteri-isterinya yang masih muda dan suka memberontak.

Hadis ini juga menyingkapkan skandal seksual nabi yang lain.

Suatu hari Muhammad pergi ke rumah Hafsa isterinya, anak perempuan Umar, dan menjumpai pembantunya yang menarik yaitu Mariyah. Muhammad memikirkan bagaimana ia bisa membuat Hafsa pergi dari rumahnya, sehingga ia bisa berduaan saja dengan Mariyah. Ia berbohong dengan mengatakan pada Hafsa bahwa ayahnya, Umar, memanggilnya. Ketika Hafsa pergi, Muhammad membawa Mariyah ke tempat tidur dan berhubungan seks dengannya. Bagi Mariyah, menolak keinginan Muhammad adalah hal yang tak terpikirkan. Ia adalah seorang budak perempuan yang jauh dari keluarganya, sementara Muhammad sendiri adalah hukum di kota itu. Jadi secara teknis, Muhammad sebenarnya melakukan perkosaan kepada Mariyah.

Sementara itu, Hafsa yang menyadari bahwa ayahnya tidak memanggilnya, dan juga yang kepulangannya ke rumah tidak diduga akan secepat itu, memergoki bagaimana suaminya yang sangat termasyur itu tengah berduaan di tempat tidur dengan pembantunya.

Hafsa menjadi sangat histerikal dan lupa dengan kedudukan nabi yang ia teriaki, sehingga hal itu menjadi sebuah skandal. Nabi meminta Hafsa untuk tenang dan berjanji untuk tidak tidur lagi dengan Mariyah. Ia juga memohon dengan sangat agar Hafsa tidak menceritakan rahasia itu kepada siapa pun.

Meskipun demikian, Hafsa yang tidak sanggup mengontrol dirinya, memberitahukan kejadian itu kepada temannya Aisyah dan keduapuluh isteri-isteri nabi lainnya, sehingga menyebabkan “Sang Karunia Allah bagi dunia” mengalami beban mental yang berat. Sang “Karunia Allah” memutuskan untuk menghukum semua isteri-isterinya, dan mengumumkan bahwa ia tidak akan tidur lagi dengan salah seorang pun dari mereka selama satu bulan. Ini adalah dua tingkatan penghukuman yang direkomendasikan dalam Quran. Tingkat pertama adalah menegur mereka, dan tingkat ketiga adalah hukuman badan. Q. 4: 34.

Ketika seorang pria memutuskan untuk menghukum isterinya dengan berpantang melakukan hubungan seks, ia bisa memuaskan dirinya dengan isteri-isterinya yang lain. Tetapi kemarahan Muhammad menyebabkannya mengucapkan sumpah untuk tidak tidur dengan satu pun dari mereka selama satu bulan. Tentu saja hal ini menjadi terlalu berat bagi yang terkasih Sang Utusan Allah (semoga damai turun atas jiwanya yang tak bernoda). Karena itu Allah, dalam karunianya, datang untuk menolong nabinya dan mewahyukan Sura Tahrim (Larangan). Dalam Sura ini, Allah menegur nabinya karena bersikap terlalu keras terhadap dirinya sendiri, dan untuk menolak melakukan apa yang ia sukai, demi untuk menyenangkan hati isteri-isterinya, padahal hal itu sesungguhnya sudah “dihalalkan” untuk ia lakukan.

1. Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

2. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

3. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

4. Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.

5. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan. (Q. 66:1-5)

Meskipun Muhammad sudah menyampaikan sumpahnya itu kepada Hafsa, yaitu untuk tidak lagi tidur dengan pembantunya, tetapi ia tidak sanggup menahan godaan. Ia sudah mengecap manisnya buah terlarang dan karena itu ia harus menghabiskannya. Ini menjadi hal yang mendesak, karena ia pun juga telah mengucapkan sumpah lainnya, yaitu untuk tidak tidur dengan semua isteri-isterinya yang lain. Bagaimana mungkin “Ciptaan Terbaik” tidak berhubungan seks selama satu bulan penuh?

Ini merupakan situasi yang sulit dan, karena itu, tak seorang pun bisa menolongnya kecuali Allah sendiri. Yang jelas, tak ada yang mustahil, jika Allah ada di dalam saku celanamu sendiri. Serahkan segala sesuatu di tangan sahabatmu yang “maha kuasa”, dan biarkan ia yang mengurusnya.


Inilah yang sebenarnya terjadi. Allah sendiri yang campur tangan dan memberikan lampu hijau pada nabiNya untuk mengikuti hasrat hatinya sendiri. Dalam sura Tahrim, Allah merestui nabi kesayanganNya untuk tetap tinggal bersama Mariyah dan tidak mempedulikan isteri-isterinya. Apa lagi yang lebih dari itu yang bisa diminta oleh seorang nabi? Allah sedemikian peduli dengan hasrat jasmani Muhammad sehingga Ia bahkan mengijinkan SEMUA ORANG untuk membatalkan sumpah-sumpah mereka sebagai “sebuah karunia.” Alhamdulillah! Subhanaallah. Allah itu begitu luar biasa bukan?

Juga patut jika menyebutkan, setelah Muhammad mengetahui kalau Hafsa telah memberitahukan rahasianya kepada Aisyah, maka Muhammad pun kemudian kembali berbohong dengan mengatakan bahwa Allah-lah yang memberitahukan hal itu padanya (ayat 3), padahal yang benar adalah Aisyah sendiri yang memberitahukan hal itu pada Muhammad. Tetapi, tentu saja Muhammad bukanlah pengarang Quran. Melainkan Allah sendiri yang berbohong demi nabiNya.

Dalam sura ini, Muhammad menggambarkan pencipta alam semesta sebagai seorang mucikari, seorang penggosip dan seorang pendusta – semuanya itu ia lakukan untuk menutupi kebejatan dan perzinahannya.

Sebagai reaksi atas ayat-ayat di atas, Aisyah yang tidak hanya masih muda dan cantik, tetapi juga cerdik, melaporkan apa yang telah disampaikan padanya, kepada Muhammad. Ia berkata,”Tuhanmu sedemikian gesitnya menolongmu!”



kermit katak lucu
kermit katak lucu
SILVER MEMBERS
SILVER MEMBERS

Number of posts : 3551
Job/hobbies : memuji muji islam
Reputation : 11
Points : 9506
Registration date : 2011-06-17

Back to top Go down

Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty Re: Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

Post by Tom Jerry Sat 25 Jun 2011, 6:32 pm

kayaknya soal Mariyah budak Mesir si Kristen Koptik pernah saya topikkan... sampe sekarang belum ada muslimer di sini yg ngejelasin tuh...!!! ayo musicman, dik ht (hamba tuhan) aktivis riska (remaja islam sunda kelapa ----karena ngajak saya ketemu di mesjid sunda kelapa), lihd, BOTEL, dll.... mana tanggapannya...???
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci 706181
Tom Jerry
Tom Jerry
SILVER MEMBERS
SILVER MEMBERS

Male
Number of posts : 1829
Location : Jakarta
Job/hobbies : Cari kebenaran
Reputation : 11
Points : 7250
Registration date : 2010-09-21

Back to top Go down

Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty Re: Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

Post by kermit katak lucu Sat 25 Jun 2011, 6:34 pm

Tom Jerry wrote:kayaknya soal Mariyah budak Mesir si Kristen Koptik pernah saya topikkan... sampe sekarang belum ada muslimer di sini yg ngejelasin tuh...!!! ayo musicman, dik ht (hamba tuhan) aktivis riska (remaja islam sunda kelapa ----karena ngajak saya ketemu di mesjid sunda kelapa), lihd, BOTEL, dll.... mana tanggapannya...???
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci 706181


hati hati ketemu langsung dengan muslim bung tom
kermit katak lucu
kermit katak lucu
SILVER MEMBERS
SILVER MEMBERS

Number of posts : 3551
Job/hobbies : memuji muji islam
Reputation : 11
Points : 9506
Registration date : 2011-06-17

Back to top Go down

Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty Re: Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

Post by yang berserah diri Sat 25 Jun 2011, 6:39 pm

sumber kesimpulan lo mana?
yg lo lampirkan hadisnya doang
yang berserah diri
yang berserah diri
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Male
Number of posts : 903
Location : BUMI ALLAH SWT
Job/hobbies : MEMBERI PERINGATAN
Humor : A: kenapa yesus disalib?,,,|B: untuk menebus dosa| | A: salah | B: terus apa dong? | A: karena jalannya lambat|
Reputation : -1
Points : 5794
Registration date : 2011-01-16

Back to top Go down

Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty Re: Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

Post by seponggol Mon 27 Jun 2011, 5:43 am

kermit katak lucu wrote:Yang berikut ini adalah skandal cinta Muhammad dengan Mariyah orang Koptik, yang merupakan salah seorang budak dari isteri-isteri Nabi. Muhammad tidur dengannya tanpa ada upacara apapun, sehingga menyebabkan kegaduhan di antara isteri-isterinya, dan harus diatasi lewat “Intervensi Ilahi.” Kisah ini dicatat dalam sebuah Hadis otentik dan dilaporkan oleh Umar.

Hadis ini menjelaskan alasan turunnya wahyu dalam Quran 66:4.

“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.”

Umar menjelaskan bahwa kedua wanita ini adalah Hafsa dan Aisyah, yang menjadi tidak hormat kepada Nabi, sehingga Nabi merasa sedih dan berpikir untuk menceraikan semua isteri-isterinya. Inilah kisah selengkapnya.

Bukhari Volume 3, Book 43, Number 648:

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas:

Aku sangat ingin bertanya kepada Umar tentang kedua wanita dari antara isteri-isteri Nabi, dalam kaitan dengan siapakah Allah berkata (dalam Quran): Jika kalian berdua (isteri-isteri Rasul yaitu Aisyah dan Hafsa) bertobat kepada Allah, sebab hati kamu berdua telah condong (menentang apa yang disukai oleh Rasul) (Quran 66:4), hingga melaksanakan Haji bersama-sama dengan ‘Umar (dan dalam perjalanan kita pulang berhaji), ia pergi ke suatu tempat (untuk melaksanakan panggilan alam/buang hajat), dan aku juga pergi bersamanya dengan membawa ember berisi air. Ketika ia telah selesai melaksanakan panggilan alam dan telah kembali. Aku menuangkan air ke tangannya dari ember itu dan melaksanakan wudhu. Aku berkata,”Oh Kepala orang-orang beriman! “Siapakah kedua wanita dari antara isteri-isteri Nabi yang kepadanya Allah telah berfirman,‘Jika kamu berdua bertobat (66:4)? Ia menjawab,”Aku terkejut dengan pertanyaanmu, Oh Ibn ‘Abbas. Mereka adalah Aisyah dan Hafsa.”

Kemudian ‘Umar mengkaitkan kisah itu dan berkata:

“Aku dan tetanggaku seorang Ansari berasal dari Bani Umaiya bin Zaid. Kami tinggal di ‘Awali Al-Medina. Kami biasanya mengunjungi Nabi secara bergantian. Ia pergi berkunjung pada satu hari, dan aku di hari yang lain. Ketika aku pergi, aku akan membawa kabar padanya mengenai apa yang telah terjadi pada hari itu, mengenai apa yang diperintahkan, serta aturan-aturan yang diberlakukan. Dan ketika ia pergi, ia juga biasa melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan.

Kami orang-orang Quraish mempunyai otoritas atas para wanita, namun saat kami tinggal bersama dengan Ansar, kami perhatikan wanita-wanita Ansari mempunyai tangan yang lebih tinggi di atas pria-pria mereka. Karena itu para wanita kami mulai meniru kebiasaan wanita-wanita Ansari. Suatu ketika aku meneriaki isteriku, dan kemudian ia membalas meneriakiku dan aku tidak suka kalau ia membalas teriakanku. Isteriku berkata,’Mengapa engkau merasa sakit hati jika aku menjawabmu dengan pedas? Demi Allah, isteri-isteri Nabi pun menjawabnya dengan pedas, dan beberapa dari mereka bahkan tidak mau berbicara dengannya dari pagi hingga malam hari.’

Apa yang ia katakan menakutkanku dan aku berkata padanya,’Siapapun dari antara mereka yang melakukan hal seperti itu, mereka akan mengalami kerugian yang sangat besar.’ Kemudian aku mengenakan pakaian dan pergi menemui Hafsa dan bertanya padanya,’Apakah ada dari antara kalian yang membuat Rasul Allah menjadi marah dari pagi hingga malam hari?’ Ia membenarkan hal itu. Aku berkata,’Ia akan menjadi orang-orang yang rugi (dan tak akan pernah meraih keberhasilan)! Tidakkah ia takut bahwa Allah akan menjadi marah pada mereka yang marah pada Rasul Allah, dan oleh karena itu akan dimusnahkan oleh Allah? Janganlah meminta terlalu banyak pada Rasul Allah, dan jangan menjawabnya dengan pedas untuk hal apapun, juga jangan mengabaikannya. Mintalah dariku apapun yang kamu sukai, dan jangan tergoda untuk meniru perilaku tetanggamu (misalnya Aisyah) terhadap Nabi. Sebab dia (yaitu Aisyah) lebih cantik dari kalian semua, dan lebih dikasihi oleh Rasul Allah.

Pada hari-hari itu, ada rumor bahwa Ghassam (satu suku yang tinggal di Sham), tengah menyiapkan kuda-kuda mereka untuk menginvasi kami. Rekanku berangkat (untuk bertemu Nabi pada hari gilirannya) dan pulang pada malam hari, mengetuk pintu rumahku dengan kasar, bertanya apakah aku sedang tidur. Aku menjadi takut (dengan ketukan keras di pintu) dan segera menemuinya. Ia mengatakan bahwa sebuah kejadian besar tengah terjadi. Aku bertanya padanya: Apakah itu? Apakah Ghassam sudah datang? Ia menjawab bahwa ini adalah hal yang lebih serius dan buruk dari itu, dan menambahkan bahwa Rasul Allah telah menceraikan semua isteri-isterinya.

Aku berkata, Hafsa adalah seorang pembuat masalah! Aku pikir masalah seperti ini akan terjadi.’ Maka aku mengenakan pakaianku dan menawarkan untuk memimpin sembahyang subuh bersama Nabi. Kemudian Nabi memasuki sebuah ruang di sebelah atas dan tinggal di sana sendirian. Aku pergi kepada Hafsa dan menjumpainya tengah menangis. Aku bertanya padanya,’Mengapa engkau menangis? Bukankah aku sudah memperingatkanmu? Benarkah Rasul Allah sudah menceraikan kalian semua?’ Ia menjawab,’Aku tidak tahu. Ia ada di sana, di ruangan atas.’ Kemudian aku pergi keluar menuju mimbar dan menemui satu kelompok orang di sekitar mimbar itu dan beberapa dari mereka tengah menangis.

Kemudian aku duduk dengan mereka untuk beberapa waktu lamanya, tetapi merasa tidak tahan dengan situasi yang terjadi pada waktu itu. Karena itu aku naik ke ruangan atas dimana Nabi tengah berada, dan memohon pada seorang budaknya yang berkulit hitam:”Maukah engkau memberikan ijin (Rasul Allah) kepada Umar (untuk masuk)? Budak itu pun masuk, berbicara dengan Nabi mengenai hal itu dan keluar dengan berkata,’Aku telah memberitahukan bahwa kalian ingin menemuinya, tetapi dia tidak menjawab.’ Karena itu aku pergi dan duduk bersama dengan orang-orang yang tengah duduk di sekitar mimbar, tetapi aku tidak tahan menanggung situasinya, karena itu aku pergi kepada budak itu kembali dan berkata:”Bisakah engkau memberikan ijin bagi Umar?

Ia masuk ke dalam dan membawa jawaban yang sama seperti sebelumnya. Ketika aku akan pulang, budak itu memanggilku sambil berkata,”Rasul Allah telah memberikan ijin kepadamu.” Maka aku pun masuk menemui Nabi dan melihat dia sedang berbaring di atas tikar tanpa alas, dan ada tanda bekas tubuh Nabi di atas tikar itu, dan ia berbaring pada sebuah bantal kulit yang diisi dengan daun palem. Aku mengucapkan salam padanya dan sementara masih berdiri, aku berkata:”Apakah engkau telah menceraikan isteri-isterimu?’ Ia menatapku dengan tajam dan menjawab dengan nada negatif. Sementara masih berdiri, sambil mengobrol aku berkata: ”Bisakah engkau mengindahkan apa yang aku katakan, ‘Oh Rasul Allah! Kami, orang-orang Quraish, biasanya tangan kami berada lebih tinggi dari para wanita (isteri-isteri) kami, dan ketika kami menjumpai orang-orang yang tangan para wanita mereka lebih tinggi daripada mereka…”

‘Umar memberitahukan seluruh kisah (mengenai isteri-isterinya). “Tentang hal itu Nabi tersenyum.” ‘Umar lebih jauh lagi mengatakan,”Kemudian aku berkata,”Aku pergi menemui Hafsa dan berkata kepadanya: Janganlah tergoda untuk meniru teman-temanmu (‘Aisyah), sebab ia itu lebih cantik daripada engkau dan lebih disayangi oleh Nabi.’

Nabi kembali tersenyum. Ketika aku melihatnya tersenyum, aku duduk dan melemparkan pandangan sekilas ke sekeliling ruangan itu, dan demi Allah, aku tidak dapat melihat satupun yang penting kecuali tiga hal yang tersembunyi. Aku berkata (kepada Rasul Allah) “Berdoalah agar Allah membuat para pengikutmu menjadi makmur, sebab orang Persia dan orang Bizantium telah membuat penduduknya menjadi makmur, serta memberikan barang-barang yang mewah, meskipun mereka tidak menyembah Allah?’

Nabi kemudian menyandarkan tubuhnya (dan ketika mendengar apa yang kukatakan, ia duduk dengan tegak) dan berkata,’O Ibn Al-Khattab! Apakah engkau mempunyai keraguan bahwa Hidup sesudah mati adalah lebih baik daripada dunia ini)? Orang-orang itu hanya menerima upah atas perbuatan baik mereka di dunia ini saja.’ Aku bertanya kepada Nabi. ‘Mintalah pengampunan Allah untukku. Nabi tidak mengunjungi isteri-isterinya karena rahasia yang dibukakan Hafsa kepada Aisyah, dan ia berkata bahwa ia tidak akan menemui isteri-isterinya selama satu bulan sebab ia marah pada mereka – ketika Allah menegur dia (atas sumpahnya bahwa ia tidak akan kembali mendekati Mariyah).

Ketika dua puluh sembilan hari telah berlalu, pertama-tama Nabi pergi menemui Aisyah. Ia berkata padanya (pada Rasul Allah), ’Engkau sudah bersumpah bahwa engkau tidak akan datang menemui kami selama satu bulan, dan hari ini baru hari yang keduapuluh sembilan, karena setiap hari aku menghitungnya.’ Nabi berkata,’Bulan ini juga terdiri dari dua puluh sembilan hari.’ Aisyah berkata,’Ketika Pilihan Wahyu Ilahi disingkapkan, Nabi memulainya denganku, dengan mengatakan padaku,’Aku memberitahukanmu sesuatu, tetapi engkau tidak perlu terburu-buru memberikan jawaban hingga engkau berkonsultasi dengan orang tuamu.” Aisyah tahu bahwa orang tuanya tidak akan menasehatinya untuk berpisah dengan Nabi. Nabi mengatakan bahwa Allah telah berfirman:

‘Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.’ (33:28,29). Aisyah bertanya padanya,’Apakah aku perlu mengkonsultasikan hal ini pada orang tuaku? Sesungguhnya aku lebih menyukai Allah, RasulNya, dan Rumah di negeri akhirat.’ Setelah itu, Nabi memberikan pilihan pada isteri-isterinya yang lain, dan mereka pun memberikan jawaban yang sama ‘sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah.”

Hadis ini dilaporkan juga dalam Muslim 9.3511, dan Bukhari 3.43.648,7.62.119

Ini sesuatu yang signifikan sebab berisi dua poin sejarah penting. Pertama, ia menyingkapkan, berdasarkan pengakuan Umar sendiri bahwa, “tangan para wanita Ansari ada di atas tangan para pria mereka”. Bahkan jika kita menganggap hal itu sebagai sesuatu yang dibesar-besarkan, adalah jelas bahwa wanita di Medina mempunyai lebih banyak hak dan otoritas dibandingkan dengan sesama wanita dari suku Quraish. Mekah, rumah dari suku Quraish, darimana Umar dan Muhammad berasal, adalah sebuah pusat keagamaan.

Orang yang tinggal di kota-kota keagamaan biasanya lebih fanatik dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kota-kota lainnya. Agama selalu memainkan peran untuk menundukkan kaum wanita dan mengambil hak-hak kemanusiaan mereka. Sebab itu, merupakan hal yang natural bahwa para wanita Mekah bersikap lebih tunduk dibandingkan dengan wanita yang hidup di tempat lain di Arabia, dan khususnya di Medina, yang pada waktu itu merupakan sebuah kota yang lebih kosmopolitan dan mempunyai penduduk dari bangsa-bangsa yang lebih maju peradabannya seperti Yahudi dan Kristen. Isteri-isteri Umar dan Muhammad lebih menyukai atmosfer emansipasi ini dan ingin menerapkan kebebasan relatif mereka. Tetapi hal ini tidak sesuai dengan keinginan kedua pria tak bermoral dari Mekah, yang bernama Umar dan Muhammad. Karena itu, hadis ini memperlihatkan bagaimana mereka dikejutkan oleh kebebasan yang baru ditemukan oleh isteri-isteri mereka. Hadis ini adalah hadis yang penting, sebab ini membuktikan bahwa para wanita sebelum Islam, memiliki lebih banyak kebebasan. Tetapi kemudian, kebebasan itu diambil dari mereka oleh Muhammad dan para penggantinya yang bejat. Juga menjadi jelas bahwa status yang menyedihkan dari para wanita dalam Islam, sesungguhnya bukanlah karena sebuah keputusan ilahi, namun pada tingkatan yang lebih luas, merupakan refleksi bagaimana para wanita diperlakukan di Mekah 1400 tahun yang lalu.

Fakta bahwa ada begitu banyak penekanan dalam Quran dan hadis mengenai betapa pentingnya para wanita untuk taat kepada suami-suami mereka, sesungguhnya menjadi sebuah indikasi dari keinginan Muhammad sendiri untuk mengontrol isteri-isterinya yang masih muda dan suka memberontak.

Hadis ini juga menyingkapkan skandal seksual nabi yang lain.

Suatu hari Muhammad pergi ke rumah Hafsa isterinya, anak perempuan Umar, dan menjumpai pembantunya yang menarik yaitu Mariyah. Muhammad memikirkan bagaimana ia bisa membuat Hafsa pergi dari rumahnya, sehingga ia bisa berduaan saja dengan Mariyah. Ia berbohong dengan mengatakan pada Hafsa bahwa ayahnya, Umar, memanggilnya. Ketika Hafsa pergi, Muhammad membawa Mariyah ke tempat tidur dan berhubungan seks dengannya. Bagi Mariyah, menolak keinginan Muhammad adalah hal yang tak terpikirkan. Ia adalah seorang budak perempuan yang jauh dari keluarganya, sementara Muhammad sendiri adalah hukum di kota itu. Jadi secara teknis, Muhammad sebenarnya melakukan perkosaan kepada Mariyah.

Sementara itu, Hafsa yang menyadari bahwa ayahnya tidak memanggilnya, dan juga yang kepulangannya ke rumah tidak diduga akan secepat itu, memergoki bagaimana suaminya yang sangat termasyur itu tengah berduaan di tempat tidur dengan pembantunya.

Hafsa menjadi sangat histerikal dan lupa dengan kedudukan nabi yang ia teriaki, sehingga hal itu menjadi sebuah skandal. Nabi meminta Hafsa untuk tenang dan berjanji untuk tidak tidur lagi dengan Mariyah. Ia juga memohon dengan sangat agar Hafsa tidak menceritakan rahasia itu kepada siapa pun.

Meskipun demikian, Hafsa yang tidak sanggup mengontrol dirinya, memberitahukan kejadian itu kepada temannya Aisyah dan keduapuluh isteri-isteri nabi lainnya, sehingga menyebabkan “Sang Karunia Allah bagi dunia” mengalami beban mental yang berat. Sang “Karunia Allah” memutuskan untuk menghukum semua isteri-isterinya, dan mengumumkan bahwa ia tidak akan tidur lagi dengan salah seorang pun dari mereka selama satu bulan. Ini adalah dua tingkatan penghukuman yang direkomendasikan dalam Quran. Tingkat pertama adalah menegur mereka, dan tingkat ketiga adalah hukuman badan. Q. 4: 34.

Ketika seorang pria memutuskan untuk menghukum isterinya dengan berpantang melakukan hubungan seks, ia bisa memuaskan dirinya dengan isteri-isterinya yang lain. Tetapi kemarahan Muhammad menyebabkannya mengucapkan sumpah untuk tidak tidur dengan satu pun dari mereka selama satu bulan. Tentu saja hal ini menjadi terlalu berat bagi yang terkasih Sang Utusan Allah (semoga damai turun atas jiwanya yang tak bernoda). Karena itu Allah, dalam karunianya, datang untuk menolong nabinya dan mewahyukan Sura Tahrim (Larangan). Dalam Sura ini, Allah menegur nabinya karena bersikap terlalu keras terhadap dirinya sendiri, dan untuk menolak melakukan apa yang ia sukai, demi untuk menyenangkan hati isteri-isterinya, padahal hal itu sesungguhnya sudah “dihalalkan” untuk ia lakukan.

1. Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

2. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

3. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

4. Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.

5. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan. (Q. 66:1-5)

Meskipun Muhammad sudah menyampaikan sumpahnya itu kepada Hafsa, yaitu untuk tidak lagi tidur dengan pembantunya, tetapi ia tidak sanggup menahan godaan. Ia sudah mengecap manisnya buah terlarang dan karena itu ia harus menghabiskannya. Ini menjadi hal yang mendesak, karena ia pun juga telah mengucapkan sumpah lainnya, yaitu untuk tidak tidur dengan semua isteri-isterinya yang lain. Bagaimana mungkin “Ciptaan Terbaik” tidak berhubungan seks selama satu bulan penuh?

Ini merupakan situasi yang sulit dan, karena itu, tak seorang pun bisa menolongnya kecuali Allah sendiri. Yang jelas, tak ada yang mustahil, jika Allah ada di dalam saku celanamu sendiri. Serahkan segala sesuatu di tangan sahabatmu yang “maha kuasa”, dan biarkan ia yang mengurusnya.


Inilah yang sebenarnya terjadi. Allah sendiri yang campur tangan dan memberikan lampu hijau pada nabiNya untuk mengikuti hasrat hatinya sendiri. Dalam sura Tahrim, Allah merestui nabi kesayanganNya untuk tetap tinggal bersama Mariyah dan tidak mempedulikan isteri-isterinya. Apa lagi yang lebih dari itu yang bisa diminta oleh seorang nabi? Allah sedemikian peduli dengan hasrat jasmani Muhammad sehingga Ia bahkan mengijinkan SEMUA ORANG untuk membatalkan sumpah-sumpah mereka sebagai “sebuah karunia.” Alhamdulillah! Subhanaallah. Allah itu begitu luar biasa bukan?

Juga patut jika menyebutkan, setelah Muhammad mengetahui kalau Hafsa telah memberitahukan rahasianya kepada Aisyah, maka Muhammad pun kemudian kembali berbohong dengan mengatakan bahwa Allah-lah yang memberitahukan hal itu padanya (ayat 3), padahal yang benar adalah Aisyah sendiri yang memberitahukan hal itu pada Muhammad. Tetapi, tentu saja Muhammad bukanlah pengarang Quran. Melainkan Allah sendiri yang berbohong demi nabiNya.

Dalam sura ini, Muhammad menggambarkan pencipta alam semesta sebagai seorang mucikari, seorang penggosip dan seorang pendusta – semuanya itu ia lakukan untuk menutupi kebejatan dan perzinahannya.

Sebagai reaksi atas ayat-ayat di atas, Aisyah yang tidak hanya masih muda dan cantik, tetapi juga cerdik, melaporkan apa yang telah disampaikan padanya, kepada Muhammad. Ia berkata,”Tuhanmu sedemikian gesitnya menolongmu!”




Lagi2 sikermit bikin ulah, nih aku kasih haditsnya kalau ente kesusahan nyarinya:

Hadits Pertama (Soalnya ada lagi nanti hadits keduanya) no 2288 kitab bukhori, bab "Kamar yang menjulur keluar dan yang tidak menjulur keluar", jangan lupa centang dulu kitab bukhori sebelum mensearchnya yah biar ga keliru, nanti katanya ga jelas alamatnya, cari di http://www.lidwa.com sesuai dengan judul bab, biar gampang nyarinya kermit. nih haditsnya yang ada arabnya:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي ثَوْرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
لَمْ أَزَلْ حَرِيصًا عَلَى أَنْ أَسْأَلَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ الْمَرْأَتَيْنِ مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّتَيْنِ قَالَ اللَّهُ لَهُمَا
{ إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا }
فَحَجَجْتُ مَعَه فَعَدَلَ وَعَدَلْتُ مَعَهُ بِالْإِدَاوَةِ فَتَبَرَّزَ حَتَّى جَاءَ فَسَكَبْتُ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ الْإِدَاوَةِ فَتَوَضَّأَ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ مَنْ الْمَرْأَتَانِ مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّتَانِ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمَا
{ إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا }
فَقَالَ وَا عَجَبِي لَكَ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ عَائِشَةُ وَحَفْصَةُ ثُمَّ اسْتَقْبَلَ عُمَرُ الْحَدِيثَ يَسُوقُهُ فَقَالَ إِنِّي كُنْتُ وَجَارٌ لِي مِنْ الْأَنْصَارِ فِي بَنِي أُمَيَّةَ بْنِ زَيْدٍ وَهِيَ مِنْ عَوَالِي الْمَدِينَةِ وَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا فَإِذَا نَزَلْتُ جِئْتُهُ مِنْ خَبَرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ الْأَمْرِ وَغَيْرِهِ وَإِذَا نَزَلَ فَعَلَ مِثْلَهُ وَكُنَّا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ نَغْلِبُ النِّسَاءَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى الْأَنْصَارِ إِذَا هُمْ قَوْمٌ تَغْلِبُهُمْ نِسَاؤُهُمْ فَطَفِقَ نِسَاؤُنَا يَأْخُذْنَ مِنْ أَدَبِ نِسَاءِ الْأَنْصَارِ فَصِحْتُ عَلَى امْرَأَتِي فَرَاجَعَتْنِي فَأَنْكَرْتُ أَنْ تُرَاجِعَنِي فَقَالَتْ وَلِمَ تُنْكِرُ أَنْ أُرَاجِعَكَ فَوَاللَّهِ إِنَّ أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ليُرَاجِعْنَهُ وَإِنَّ إِحْدَاهُنَّ لَتَهْجُرُهُ الْيَوْمَ حَتَّى اللَّيْلِ فَأَفْزَعَنِي فَقُلْتُ خَابَتْ مَنْ فَعَلَ مِنْهُنَّ بِعَظِيمٍ ثُمَّ جَمَعْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي فَدَخَلْتُ عَلَى حَفْصَةَ فَقُلْتُ أَيْ حَفْصَةُ أَتُغَاضِبُ إِحْدَاكُنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْيَوْمَ حَتَّى اللَّيْلِ فَقَالَتْ نَعَمْ فَقُلْتُ خَابَتْ وَخَسِرَتْ أَفَتَأْمَنُ أَنْ يَغْضَبَ اللَّهُ لِغَضَبِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَهْلِكِينَ لَا تَسْتَكْثِرِي عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تُرَاجِعِيهِ فِي شَيْءٍ وَلَا تَهْجُرِيهِ وَاسْأَلِينِي مَا بَدَا لَكِ وَلَا يَغُرَّنَّكِ أَنْ كَانَتْ جَارَتُكَ هِيَ أَوْضَأَ مِنْكِ وَأَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدُ عَائِشَةَ وَكُنَّا تَحَدَّثْنَا أَنَّ غَسَّانَ تُنْعِلُ النِّعَالَ لِغَزْوِنَا فَنَزَلَ صَاحِبِي يَوْمَ نَوْبَتِهِ فَرَجَعَ عِشَاءً فَضَرَبَ بَابِي ضَرْبًا شَدِيدًا وَقَالَ أَنَائِمٌ هُوَ فَفَزِعْتُ فَخَرَجْتُ إِلَيْهِ وَقَالَ حَدَثَ أَمْرٌ عَظِيمٌ قُلْتُ مَا هُوَ أَجَاءَتْ غَسَّانُ قَالَ لَا بَلْ أَعْظَمُ مِنْهُ وَأَطْوَلُ طَلَّقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءَهُ قَالَ قَدْ خَابَتْ حَفْصَةُ وَخَسِرَتْ كُنْتُ أَظُنُّ أَنَّ هَذَا يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ فَجَمَعْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي فَصَلَّيْتُ صَلَاةَ الْفَجْرِ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ مَشْرُبَةً لَهُ فَاعْتَزَلَ فِيهَا فَدَخَلْتُ عَلَى حَفْصَةَ فَإِذَا هِيَ تَبْكِي قُلْتُ مَا يُبْكِيكِ أَوَلَمْ أَكُنْ حَذَّرْتُكِ أَطَلَّقَكُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ لَا أَدْرِي هُوَ ذَا فِي الْمَشْرُبَةِ فَخَرَجْتُ فَجِئْتُ الْمِنْبَرَ فَإِذَا حَوْلَهُ رَهْطٌ يَبْكِي بَعْضُهُمْ فَجَلَسْتُ مَعَهُمْ قَلِيلًا ثُمَّ غَلَبَنِي مَا أَجِدُ فَجِئْتُ الْمَشْرُبَةَ الَّتِي هُوَ فِيهَا فَقُلْتُ لِغُلَامٍ لَهُ أَسْوَدَ اسْتَأْذِنْ لِعُمَرَ فَدَخَلَ فَكَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ خَرَجَ فَقَالَ ذَكَرْتُكَ لَهُ فَصَمَتَ فَانْصَرَفْتُ حَتَّى جَلَسْتُ مَعَ الرَّهْطِ الَّذِينَ عِنْدَ الْمِنْبَرِ ثُمَّ غَلَبَنِي مَا أَجِدُ فَجِئْتُ فَذَكَرَ مِثْلَهُ فَجَلَسْتُ مَعَ الرَّهْطِ الَّذِينَ عِنْدَ الْمِنْبَرِ ثُمَّ غَلَبَنِي مَا أَجِدُ فَجِئْتُ الْغُلَامَ فَقُلْتُ اسْتَأْذِنْ لِعُمَرَ فَذَكَرَ مِثْلَهُ فَلَمَّا وَلَّيْتُ مُنْصَرِفًا فَإِذَا الْغُلَامُ يَدْعُونِي قَالَ أَذِنَ لَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ فَإِذَا هُوَ مُضْطَجِعٌ عَلَى رِمَالِ حَصِيرٍ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ فِرَاشٌ قَدْ أَثَّرَ الرِّمَالُ بِجَنْبِهِ مُتَّكِئٌ عَلَى وِسَادَةٍ مِنْ أَدَمٍ حَشْوُهَا لِيفٌ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ثُمَّ قُلْتُ وَأَنَا قَائِمٌ طَلَّقْتَ نِسَاءَكَ فَرَفَعَ بَصَرَهُ إِلَيَّ فَقَالَ لَا ثُمَّ قُلْتُ وَأَنَا قَائِمٌ أَسْتَأْنِسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ رَأَيْتَنِي وَكُنَّا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ نَغْلِبُ النِّسَاءَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى قَوْمٍ تَغْلِبُهُمْ نِسَاؤُهُمْ فَذَكَرَهُ فَتَبَسَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُلْتُ لَوْ رَأَيْتَنِي وَدَخَلْتُ عَلَى حَفْصَةَ فَقُلْتُ لَا يَغُرَّنَّكِ أَنْ كَانَتْ جَارَتُكِ هِيَ أَوْضَأَ مِنْكِ وَأَحَبَّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدُ عَائِشَةَ فَتَبَسَّمَ أُخْرَى فَجَلَسْتُ حِينَ رَأَيْتُهُ تَبَسَّمَ ثُمَّ رَفَعْتُ بَصَرِي فِي بَيْتِهِ فَوَاللَّهِ مَا رَأَيْتُ فِيهِ شَيْئًا يَرُدُّ الْبَصَرَ غَيْرَ أَهَبَةٍ ثَلَاثَةٍ فَقُلْتُ ادْعُ اللَّهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّومَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لَا يَعْبُدُونَ اللَّهَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ اسْتَغْفِرْ لِي فَاعْتَزَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ الْحَدِيثِ حِينَ أَفْشَتْهُ حَفْصَةُ إِلَى عَائِشَةَ وَكَانَ قَدْ قَالَ مَا أَنَا بِدَاخِلٍ عَلَيْهِنَّ شَهْرًا مِنْ شِدَّةِ مَوْجِدَتِهِ عَلَيْهِنَّ حِينَ عَاتَبَهُ اللَّهُ فَلَمَّا مَضَتْ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ دَخَلَ عَلَى عَائِشَةَ فَبَدَأَ بِهَا فَقَالَتْ لَهُ عَائِشَةُ إِنَّكَ أَقْسَمْتَ أَنْ لَا تَدْخُلَ عَلَيْنَا شَهْرًا وَإِنَّا أَصْبَحْنَا لِتِسْعٍ وَعِشْرِينَ لَيْلَةً أَعُدُّهَا عَدًّا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ وَكَانَ ذَلِكَ الشَّهْرُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَأُنْزِلَتْ آيَةُ التَّخْيِيرِ فَبَدَأَ بِي أَوَّلَ امْرَأَةٍ فَقَالَ إِنِّي ذَاكِرٌ لَكِ أَمْرًا وَلَا عَلَيْكِ أَنْ لَا تَعْجَلِي حَتَّى تَسْتَأْمِرِي أَبَوَيْكِ قَالَتْ قَدْ أَعْلَمُ أَنَّ أَبَوَيَّ لَمْ يَكُونَا يَأْمُرَانِي بِفِرَاقِكَ ثُمَّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ
{ يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِلَى قَوْلِهِ عَظِيمًا }
قُلْتُ أَفِي هَذَا أَسْتَأْمِرُ أَبَوَيَّ فَإِنِّي أُرِيدُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ ثُمَّ خَيَّرَ نِسَاءَهُ فَقُلْنَ مِثْلَ مَا قَالَتْ عَائِش
َةُ


Terjemah hafiahnya kermit nih:
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab berkata, telah menceritakan kepadaku 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin Abu Tsaur dari 'Abdullah bin 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata: "Aku selalu antusias untuk bertanya kepada 'Umar tentang dua wanita diantara isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang Allah berfirman kepada keduanya: ("Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) …QS At-Tahrim 4). Maka aku kunjungi dia namun dia menghindar dan aku susul dia dengan membawa kantong terbuat dari kulit berisi air hingga dia datang, lalu aku tuangkan air dari kantong air tadi keatas kedua tangannya hingga dia berwudhu' lalu aku tanya: "Wahai amirul mu'minin, siapakah dua wanita dari isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang Allah berfirman kepadanya ("Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) …), maka dia menjawab: "Aku heran kepadamu wahai Ibnu 'Abbas!, dia adalah 'Aisyah dan Hafshah". Kemudian 'Umar menyebutkan hadits, katanya: "Aku dan tetanggaku dari Anshar berada di desa Banu Umayyah bin Zaid, termasuk suku kepercayaan di Madinah dan kami saling bergantian menemui Rasul shallallahu 'alaihi wasallam. Sehari aku yang menemui Beliau shallallahu 'alaihi wasallam, hari lain dia yang menemui Beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Jika giliranku menemui Beliau, aku menanyakan seputar wahyu yang turun hari itu dan perkara lainnya. Dan jika giliran tetangguku itu, ia pun melakukan hal sama. Kami adalah kaum Quraisy yang bisa menundukkan para isteri, hingga ketika kami mendatangi Kaum Anshar, ternyata mereka adalah sebuah kaum yang ditundukkan oleh isteri-isteri mereka.

Lalu isteri-isteri kami segera saja meniru kebiasaan wanita Anshar tersebut. Suatu hari aku nasehati isteriku tapi dia membantahku dan aku larang dia membantahku tapi dia berkata: "Kenapa kamu melarang aku membantahmu? Demi Allah, sesungguhnya hari ini isteri-isteri Nabi Shallallahu 'alaihiwasallam telah membantah Beliau bahkan seorang dari mereka tidak berbicara kepada Beliau hingga malam hari". Aku kaget mendengar itu lalu aku katakan: "Sangat celakalah diantara kalian orang yang berbuat hal seperti ini".

Kemudian aku bergegas untuk menemui Hafshah lalu aku bertanya: "Wahai Hafshah, apakah salah seorang dari kalian hari ini telah membantah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hingga malam hari?" Dia menjawab: "Iya". Aku katakan: "Celaka dan rugilah. Apakah kalian merasa aman dari murka Allah disebabkan RasulNya shallallahu 'alaihi wasallam marah lalu kalian menjadi binasa? Janganlah kalian menuntut terlalu banyak kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan jangan kalian membantahnya tentang suatu apapun dan jangan pula kalian menghindar untuk berbicara dengan Beliau.

Mintalah kepadaku apa yang menjadi keperluanmu (Eh kermit, jangan selewengkan yah perkataan umar ini) dan jangan kamu cemburu bila ada (isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), madu kamu, yang lebih cantik dan lebih dicintai oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ". Yang dimaksudkannya adalah 'Aisyah radliallahu 'anha. Suatu hari kami membicarakan suku Ghossan sebagai tukang sepatu yang biasanya menyiapkan sepatu kami untuk perang.

Maka sahabatku pergi (menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) pada hari gilirannya lalu dia kembali pada waktu 'Isya dengan mengetuk rumahku dengan sangat keras seraya berkata: "Apakah dia sudah tidur?" Aku kaget lalu keluar menemuinya. Dia berkata: "Telah terjadi masalah besar". Aku bertanya: "Masalah apa itu? Apakah suku Ghassan sudah datang?" Dia menjawab: "Bukan, bahkan urusannya lebih penting dan lebih panjang dari masalah itu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menceraikan isteri-isteri Beliau. 'Umar berkata: "Sungguh celaka dan rugilah Hafshah.

Aku mengira hal ini tidak akan terjadi. Maka aku lipat pakaianku kemudian aku shalat Shubuh bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu Beliau memasuki bilik yang tinggi dan mengasingkan diri disana. Maka aku menemui Hafshah yang ternyata sedang menangis lalu aku bertanya: "Apa yang membuatmu menangis, bukankah aku sudah peringatkan kamu? Apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menceraikan kalian?" Dia menjawab: "Aku tidak tahu, sekarang Beliau berada di tempat pengasingannya".

Maka aku keluar lalu mendatangi mimbar ternyata di sekelilingnya ada sejumlah orang (kurang dari sepuluh) yang sedang berkumpul diantaranya ada yang menangis. Maka aku duduk bersama mereka sebentar lalu aku sangat ingin mendatangi tempat pengasingan tempat Beliau berdiam disana. Aku katakan kepada Aswad, anak kecil pembantu Beliau: "Mintakanlah izin untuk 'Umar?" Maka dia masuk dan berbicara dengan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu keluar dan berkata: "Aku sudah sampaikan tentang maksudmu namun Beliau diam saja". Maka kemudian aku kembali dan berkumpul bersama orang-orang yang berada dekat mimbar. Sesaat kemudian timbul lagi keinginanku maka aku temui anak kecil itu lalu aku sampaikan maksudku seperti tadi dan diapun menjawab seperti tadi pula. Maka aku kembali duduk bersama orang-orang yang berada dekat mimbar. Ternyata timbul lagi keinginanku, maka aku datangi lagi anak kecil itu dan aku katakan: "Mintakanlah izin untuk 'Umar?" Maka dia menjawab seperti tadi pula. Ketika aku hendak kembali, anak kecil itu memanggilku dan berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengizinkan kamu masuk". Maka aku masuk menemui Beliau yang ketika itu Beliau sedang berbaring diatas pasir sebagai kasurnya, dan tidak ada kasur yang menengahi antara pasir dan beliau sehingga pasir itu membekas pada sisi badan Beliau, Beliau bersandar diatas bantal yang terbuat dari kulit yang isinya sabut. Aku memberi salam kepada Beliau lalu aku berkata dalam posisi tetap berdiri: "Apakah anda telah menceraikan isteri-isteri anda".

Maka Beliau memandang ke arahku lalu berkata: "Tidak". Kemudian aku katakan: "Apakah anda merasa tidak enak karena melihat aku?" Kami ini adalah orang Quraisy yang biasa menundukkan isteri-isteri. Ketika kami datang disini bertemu dengan Kaum yang mereka ditundukkan oleh isteri-isteri mereka". Maka 'Umar menceritakan. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tersenyum. Kemudian aku katakan: "Bagaimana seandainya anda melihatku menemui Hafshah dan aku katakan kepadanya: "Jangan kamu cemburu bila ada (isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), madu kamu, yang lebih cantik dan lebih dicintai oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ". Yang dimaksudkan Umar adalah 'Aisyah radliallahu 'anha. Maka Beliau tersenyum lagi. Lalu aku duduk ketika melihat Beliau tersenyum lalu aku memandang ke rumah Beliau. Demi Allah, aku tidak melihat apapun disana, karena mataku bolak balik melihat tidak kurang dari tiga kali. Lalu aku katakan: "Mintalah kepada Allah agar melapangkan dunia buat ummat anda karena bangsa Persia dan Ramawi saja dilapangkan dan diberikan dunia padahal mereka tidak menyembah Allah".

Saat itu Beliau sedang berbaring lalu berkata: "Apakah kamu ragu wahai Ibnu Al Khaththob? Mereka itulah kaum yang telah disegerakan kebaikan mereka dalam kehidupan dunia ini". Aku katakan: "Wahai Rasulullah, mohonkanlah ampun buatku". Ternyata disebabkan kalimatku seperti tadilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengasingkan diri ketika Hafshah menyampaikannya kepada 'Aisyah radliallahu 'anha. Sebelumnya Beliau telah berkata: Aku tidak akan tinggal bersama mereka selama satu bulan karena disebabkan kesalnya Beliau terhadap mereka setelah Allah menegur Beliau. Ketika telah berlalu masa selama dua puluh sembilan hari, yang pertama kali Beliau datangi adalah 'Aisyah. Maka 'Aisyah berkata, kepada Beliau: "Anda sudah bersumpah untuk tidak mendatangi kami selama satu bulan, sedangkan hari ini kita baru melewati malam kedua puluh sembilan, aku sudah menghitungnya". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Bulan ini berjumlah dua puluh sembilan hari".

Pada bulan itu memang berjumlah dua puluh sembilan hari. Kemudian 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Maka turunlah ayat takhyiir (pilihan). Maka Beliau memulainya dari aku sebagai yang pertama dari isteri-isteri Beliau. Beliau berkata: "Sesungguhnya aku mengingatkan kamu pada suatu urusan yaitu janganlah kamu tergesa-gesa hingga kamu meminta pendapat kedua orangtuamu". 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Aku sudah mengetahui bahwa kedua orangtuaku tidaklah menyuruh aku untuk bercerai dari anda" Kemudian Beliau berkata: "Sesungguhnya Allah telah berfirman: ("Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu … hingga sampai pada firmanNya … pahala yang besar) QS Al Ahzab: 28 -29). Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Apakah begitu kedua orangtuaku memerintahkannya? Sungguh aku lebih memilih Allah, RasulNya dan kehidupan akhirat". Kemudian para isteri Beliau memilih hal yang sama lalu mereka berkata, seperti yang diucapkan 'Aisyah radliallahu '
anha.


Ini hadits keduanya kermit, cari dibab "Seorang ayah memberi nasihat kepada anak perempuannya perihal suami" nomor 4792 Kitab Bukhori, dan masih dilink yang sama dan cara yang sama dalam pencariannya, lidwa.com
nih bunyi arab haditsnya:

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي ثَوْرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
لَمْ أَزَلْ حَرِيصًا عَلَى أَنْ أَسْأَلَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ عَنْ الْمَرْأَتَيْنِ مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّتَيْنِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى
{ إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا }
حَتَّى حَجَّ وَحَجَجْتُ مَعَهُ وَعَدَلَ وَعَدَلْتُ مَعَهُ بِإِدَاوَةٍ فَتَبَرَّزَ ثُمَّ جَاءَ فَسَكَبْتُ عَلَى يَدَيْهِ مِنْهَا فَتَوَضَّأَ فَقُلْتُ لَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ مَنْ الْمَرْأَتَانِ مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّتَانِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى
{ إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا }
قَالَ وَاعَجَبًا لَكَ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ هُمَا عَائِشَةُ وَحَفْصَةُ ثُمَّ اسْتَقْبَلَ عُمَرُ الْحَدِيثَ يَسُوقُهُ قَالَ كُنْتُ أَنَا وَجَارٌ لِي مِنْ الْأَنْصَارِ فِي بَنِي أُمَيَّةَ بْنِ زَيْدٍ وَهُمْ مِنْ عَوَالِي الْمَدِينَةِ وَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا فَإِذَا نَزَلْتُ جِئْتُهُ بِمَا حَدَثَ مِنْ خَبَرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ الْوَحْيِ أَوْ غَيْرِهِ وَإِذَا نَزَلَ فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ وَكُنَّا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ نَغْلِبُ النِّسَاءَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى الْأَنْصَارِ إِذَا قَوْمٌ تَغْلِبُهُمْ نِسَاؤُهُمْ فَطَفِقَ نِسَاؤُنَا يَأْخُذْنَ مِنْ أَدَبِ نِسَاءِ الْأَنْصَارِ فَصَخِبْتُ عَلَى امْرَأَتِي فَرَاجَعَتْنِي فَأَنْكَرْتُ أَنْ تُرَاجِعَنِي قَالَتْ وَلِمَ تُنْكِرُ أَنْ أُرَاجِعَكَ فَوَاللَّهِ إِنَّ أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُرَاجِعْنَهُ وَإِنَّ إِحْدَاهُنَّ لَتَهْجُرُهُ الْيَوْمَ حَتَّى اللَّيْلِ فَأَفْزَعَنِي ذَلِكَ وَقُلْتُ لَهَا قَدْ خَابَ مَنْ فَعَلَ ذَلِكِ مِنْهُنَّ ثُمَّ جَمَعْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي فَنَزَلْتُ فَدَخَلْتُ عَلَى حَفْصَةَ فَقُلْتُ لَهَا أَيْ حَفْصَةُ أَتُغَاضِبُ إِحْدَاكُنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْيَوْمَ حَتَّى اللَّيْلِ قَالَتْ نَعَمْ فَقُلْتُ قَدْ خِبْتِ وَخَسِرْتِ أَفَتَأْمَنِينَ أَنْ يَغْضَبَ اللَّهُ لِغَضَبِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَهْلِكِي لَا تَسْتَكْثِرِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تُرَاجِعِيهِ فِي شَيْءٍ وَلَا تَهْجُرِيهِ وَسَلِينِي مَا بَدَا لَكِ وَلَا يَغُرَّنَّكِ أَنْ كَانَتْ جَارَتُكِ أَوْضَأَ مِنْكِ وَأَحَبَّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدُ عَائِشَةَ قَالَ عُمَرُ وَكُنَّا قَدْ تَحَدَّثْنَا أَنَّ غَسَّانَ تُنْعِلُ الْخَيْلَ لِغَزْوِنَا فَنَزَلَ صَاحِبِي الْأَنْصَارِيُّ يَوْمَ نَوْبَتِهِ فَرَجَعَ إِلَيْنَا عِشَاءً فَضَرَبَ بَابِي ضَرْبًا شَدِيدًا وَقَالَ أَثَمَّ هُوَ فَفَزِعْتُ فَخَرَجْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ قَدْ حَدَثَ الْيَوْمَ أَمْرٌ عَظِيمٌ قُلْتُ مَا هُوَ أَجَاءَ غَسَّانُ قَالَ لَا بَلْ أَعْظَمُ مِنْ ذَلِكَ وَأَهْوَلُ طَلَّقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءَهُ
وَقَالَ عُبَيْدُ بْنُ حُنَيْنٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ فَقَالَ اعْتَزَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَزْوَاجَهُ فَقُلْتُ خَابَتْ حَفْصَةُ وَخَسِرَتْ قَدْ كُنْتُ أَظُنُّ هَذَا يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ فَجَمَعْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي فَصَلَّيْتُ صَلَاةَ الْفَجْرِ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَشْرُبَةً لَهُ فَاعْتَزَلَ فِيهَا وَدَخَلْتُ عَلَى حَفْصَةَ فَإِذَا هِيَ تَبْكِي فَقُلْتُ مَا يُبْكِيكِ أَلَمْ أَكُنْ حَذَّرْتُكِ هَذَا أَطَلَّقَكُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ لَا أَدْرِي هَا هُوَ ذَا مُعْتَزِلٌ فِي الْمَشْرُبَةِ فَخَرَجْتُ فَجِئْتُ إِلَى الْمِنْبَرِ فَإِذَا حَوْلَهُ رَهْطٌ يَبْكِي بَعْضُهُمْ فَجَلَسْتُ مَعَهُمْ قَلِيلًا ثُمَّ غَلَبَنِي مَا أَجِدُ فَجِئْتُ الْمَشْرُبَةَ الَّتِي فِيهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ لِغُلَامٍ لَهُ أَسْوَدَ اسْتَأْذِنْ لِعُمَرَ فَدَخَلَ الْغُلَامُ فَكَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ كَلَّمْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَكَرْتُكَ لَهُ فَصَمَتَ فَانْصَرَفْتُ حَتَّى جَلَسْتُ مَعَ الرَّهْطِ الَّذِينَ عِنْدَ الْمِنْبَرِ ثُمَّ غَلَبَنِي مَا أَجِدُ فَجِئْتُ فَقُلْتُ لِلْغُلَامِ اسْتَأْذِنْ لِعُمَرَ فَدَخَلَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ قَدْ ذَكَرْتُكَ لَهُ فَصَمَتَ فَرَجَعْتُ فَجَلَسْتُ مَعَ الرَّهْطِ الَّذِينَ عِنْدَ الْمِنْبَرِ ثُمَّ غَلَبَنِي مَا أَجِدُ فَجِئْتُ الْغُلَامَ فَقُلْتُ اسْتَأْذِنْ لِعُمَرَ فَدَخَلَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَيَّ فَقَالَ قَدْ ذَكَرْتُكَ لَهُ فَصَمَتَ فَلَمَّا وَلَّيْتُ مُنْصَرِفًا قَالَ إِذَا الْغُلَامُ يَدْعُونِي فَقَالَ قَدْ أَذِنَ لَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا هُوَ مُضْطَجِعٌ عَلَى رِمَالِ حَصِيرٍ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ فِرَاشٌ قَدْ أَثَّرَ الرِّمَالُ بِجَنْبِهِ مُتَّكِئًا عَلَى وِسَادَةٍ مِنْ أَدَمٍ حَشْوُهَا لِيفٌ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ثُمَّ قُلْتُ وَأَنَا قَائِمٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَطَلَّقْتَ نِسَاءَكَ فَرَفَعَ إِلَيَّ بَصَرَهُ فَقَالَ لَا فَقُلْتُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ قُلْتُ وَأَنَا قَائِمٌ أَسْتَأْنِسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ رَأَيْتَنِي وَكُنَّا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ نَغْلِبُ النِّسَاءَ فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ إِذَا قَوْمٌ تَغْلِبُهُمْ نِسَاؤُهُمْ فَتَبَسَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ رَأَيْتَنِي وَدَخَلْتُ عَلَى حَفْصَةَ فَقُلْتُ لَهَا لَا يَغُرَّنَّكِ أَنْ كَانَتْ جَارَتُكِ أَوْضَأَ مِنْكِ وَأَحَبَّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدُ عَائِشَةَ فَتَبَسَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبَسُّمَةً أُخْرَى فَجَلَسْتُ حِينَ رَأَيْتُهُ تَبَسَّمَ فَرَفَعْتُ بَصَرِي فِي بَيْتِهِ فَوَاللَّهِ مَا رَأَيْتُ فِي بَيْتِهِ شَيْئًا يَرُدُّ الْبَصَرَ غَيْرَ أَهَبَةٍ ثَلَاثَةٍ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّومَ قَدْ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لَا يَعْبُدُونَ اللَّهَ فَجَلَسَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَوَفِي هَذَا أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنَّ أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلُوا طَيِّبَاتِهِمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ اسْتَغْفِرْ لِي فَاعْتَزَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءَهُ مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ الْحَدِيثِ حِينَ أَفْشَتْهُ حَفْصَةُ إِلَى عَائِشَةَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ قَالَ مَا أَنَا بِدَاخِلٍ عَلَيْهِنَّ شَهْرًا مِنْ شِدَّةِ مَوْجِدَتِهِ عَلَيْهِنَّ حِينَ عَاتَبَهُ اللَّهُ فَلَمَّا مَضَتْ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً دَخَلَ عَلَى عَائِشَةَ فَبَدَأَ بِهَا فَقَالَتْ لَهُ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ كُنْتَ قَدْ أَقْسَمْتَ أَنْ لَا تَدْخُلَ عَلَيْنَا شَهْرًا وَإِنَّمَا أَصْبَحْتَ مِنْ تِسْعٍ وَعِشْرِينَ لَيْلَةً أَعُدُّهَا عَدًّا فَقَالَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَكَانَ ذَلِكَ الشَّهْرُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ لَيْلَةً قَالَتْ عَائِشَةُ ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى آيَةَ التَّخَيُّرِ فَبَدَأَ بِي أَوَّلَ امْرَأَةٍ مِنْ نِسَائِهِ فَاخْتَرْتُهُ ثُمَّ خَيَّرَ نِسَاءَهُ كُلَّهُنَّ فَقُلْنَ مِثْلَ مَا قَالَتْ عَ
ائِشَةُ

Nih terjemah harfiahnya:

Telah menceritakan kepada kami Abu Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Ubaidullah bin Abdullah bin Abu Tsaur dari Abdullah bin Abbas radliallahu 'anhuma, ia berkata; Aku selalu bersikeras untuk menanyakan kepada Umar bin Al Khaththab tentang dua orang wanita dari isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, yang Allah berfirman terhadap mereka berdua: "IN TATUUBAA ILALLAHI FAQAD SHAGHAT QULUUBUKUMAA." Hingga suatu saat, ia menunaikan haji dan aku pun ikut menunaikan haji bersamanya.

Dalam perjalanan ia menyingkir hendak buang hajat, lalu aku mengikutinya dengan membawakan kantong air. Ia pun buang air besar, dan ia kembali aku pun menuangkan air pada kedua tangannya, lalu ia pun berwudlu. Saat itulah aku bertanya, "Wahai Amirul Mukminin, siapakah dua orang wanita dari isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang Allah Ta'ala berfirman kepada keduanya, 'IN TATUUBAA ILALLAHI FAQAD SHAGHAT QULUUBUKUMAA (Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, Maka Sesungguhnya hati kamu berdua Telah condong (untuk menerima kebaikan..).'" Umar pun menjawab, "Sungguhnya mengherankan kamu ini wahai Ibnu Abbas. Kedua wanita itu adalah Aisyah dan Hafshah." Kemudian Umar menceritakan haditsnya dengan lebih luas, ia berkata; Dulu, aku mempunyai seorang tetangga dari kalangan Anshar di Bani Umayyah bin Zaid yang mereka adalah para penduduk Manidah yang fakir. Kami saling bergantian untuk menghadiri majelis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Aku hadir sehari dan ia pun hadir sehari. Bila aku yang hadir, maka aku akan menyampaikan hal-hal yang disampaikan oleh beliau berupa wahyu atau yang lainnya di hari itu. Dan jika gilirannya yang hadir, ia pun melakukan hal yang sama.

Kami adalah bangsa Quraisy yang posisinya selalu di atas kaum wanita. Dan setelah kami bertemu dengan kaum Anshar, ternyata mereka adalah kaum yang banya dipengaruhi oleh kaum wanitanya. Maka para isteri-isteri kami pun mulai meniru dan mengambil adab dan kebiasaan wanita-wanita Anshar. Kemudian aku mengajak isteriku berdiskusi, lalu ia pun mendebat argumentasiku. Aku mengingkari akan perlakuannya itu, ia pun berkata, "Kenapa kamu tidak mengajakku berdiskusi? Demi Allah, sesungguhnya para isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajak beliau berdiskusi. Bahkan pada hari ini hingga malam nanti, salah seorang dari mereka mendiamkan beliau." Aku pun kaget akan hal itu.

Kukatakan padanya, "Sesungguhnya telah merugilah bagi siapa di antara mereka yang melalukan hal itu." Setelah itu, aku bergegas memberesi pakaianku lalu menemui Hafshah. Kukatakan padanya, "Wahai Hafshah, apakah salah seorang dari kalian telah menyebabkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam marah di hari ini hingga malam?" Ia menjawab, "Ya." Aku berkata, "Sesungguh, kamu telah merugi. Apakah engkau merasa sekiranya Allah menjadi marah lantaran marahnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu kamu akan binasa? Janganlah kamu menuntut banyak kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan jangan pula kamu membantahnya dalam sesuatu apa pun. Dan janganlah kamu mendiamkannya.

Pintalah padaku apa yang kamu mau. Janganlah kamu merasa cemburu terhadap madumu yang lebih dicintai oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam -maksudnya adalah Aisyah-." Umar berkata; Sebelumnya, kami telah saling berbincang bahwa Ghassan tengah mempersiapkan pasukan berkuda untuk memerangi kami. Pada hari gilirannya hadir, sahabatku yang Anshari menghadiri majelis lalu kembali menemuiku setelah sahalat Isya'. Ia mengetuk pintu rumahku dengan sangat keras seraya berkata, "Cepatlah buka!" maka aku pun segera keluar menemuinya. Ia berata, "Sesungguhnya pada hari ini telah terjadi perkara yang besar." Aku bertanya, "Peristiwa apa itu? Apakah Ghassan telah datang?" Ia menjawab, "Tidak, bahkan yang lebih besar dari itu. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menceraikan isteri-isterinya." Ubaid bin Hunain berkata; Ia mendengar Ibnu Abbas, dari Umar, ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meninggalkan isteri-isterinya, maka aku pun berakata, "Sungguh, Hafshah telah merugi." Aku telah menduga hal ini akan terjadi. Aku pun segera mengemasi pakaianku, lalu shalat Fajar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Setelah itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memasuki tempat minumnya dan berdiam diri situ. Kemudian aku masuk menemui Hafshah, ternyata ia sedang menangis.

Aku berkata padanya, "Apa yang menyebabkanmu menangis. Bukankah aku telah mengingatkanmu akan hal ini? Apakah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menceraikan kalian?" Ia menjawab, "Aku tidak tahu, itu beliau sedang minggat di tempat minum." Maka aku pun segera keluar dan mendatangi mimbar, ternyata di sekeliling itu ada beberapa orang yang sebagian dari mereka juga sedang menangis, lalu aku pun duduk bersama mereka sebentar kemudian aku tak kuasa lagi akan suasana itu. Maka aku datang ke tempat minum yang dipergunakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk berdiam. Aku pun berkata kepada budaknya yang hitam, "Mintakanlah izin untuk Umar." Lalu sang budak pun masuk dan berbicara kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kemudian kembali dan berkata, "Aku telah berbica dengan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan juga telah menyebutmu, namun beliau diam." Akhirnya aku pun kembali dan duduk lagi bersama sekelompok orang yang tadi berada di sekitar mimbar. Setelah itu, aku tak sabaran lagi, maka aku mendatangi sang budak itu lagi dan berkata padanya, "Mintakanlah izin untuk Umar." Ia pun masuk lalu kembali seraya berkata, "Aku telah menyebutmu, namun beliau tetap diam." Aku kembali lagi dan duduk bersama beberapa orang yang ada di mimbar. Namun, aku tak sabaran lagi dan mendatangi sang budak itu lalu berkata, "Mintakanlah ini untuk Umar." Ia pun masuk dan kembali seraya berkata, "Sungguh, aku telah menyebut namamu, namun beliau tetap diam." Maka ketika aku berpaling hendak pergi, tiba-tiba sang budak itu memanggilku seraya berkata, "Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah mengizinkanmu." Akhirnya aku pun menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang sedang berbaring di atas pasir beralaskan tikar tanpa kasur.

Pasir-pasir itu telah berbekas pada sisi badan beliau. beliau berbantalkan kulit yang berisikan sabut. Aku mengucapkan salam atasnya dan berkata sambil berdiri, "Wahai Rasulullah, apakah Anda telah menceraikan isteri-isteri Anda?" Maka beliau pun mengangkat pandangannya ke arahku dan menjawab: "Tidak." Maka aku pun berkata, "Allahu Akbar." Kukatakan lagi sambil berdiri, "Aku mendengar wahai Rasulullah, sekiranya Anda melihatku. Kita adalah bangsa Quraisy yang selalu mengatur wanita. Namun, ketika kita mendatangi Madinah, ternyata mereka adalah kaum yang didominasi oleh kaum wanita." Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tersenyum. Lalu aku berkata lagi, "Wahai Rasulullah, sekiranya Anda mau melihatku. Aku telah menemui Hafshah dan berkata padanya, 'Janganlah sekali-kali kamu merasa cemburu bilamana tetanggamu lebih dicintai oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam -maksudnya adalah Aisyah-.'" Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tersenyum lagi. Maka ketika itu, aku pun duduk dan mengangkat pandanganku ke arah rumahnya. Maka demi Allah, aku tidak melihat sedikit pun di rumah beliau kecuali tiga kulit yang telah disamak. Aku berkata pada beliau, "Wahai Rasulullah, berdo'alah kepada Allah untuk ummat Anda.

Karena orang-orang Persi dan Romawi telah diberi keleluasaan, dan mereka juga telah diberi dunia, padahal mereka tidak menyembah Allah." Akhirnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam duduk yang sebelumnya berbaring. Kemudian beliau bersabda: "Beginikah sikapmu wahai Ibnul Khaththab? Sesungguhnya mereka itu adalah suatu kaum yang kebaikan mereka disegerakan di dunia." Aku pun berkata, "Mintakanlah ampun untukku." Jadi, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meninggalkan isteri-isterinya karena perkara itu. Yakni, ketika Hafshah menyebarkannya pada Aisyah, yaitu selama dua puluh sembilan hari. Saat itu, beliau bersabda: "Aku tidak akan masuk menemui mereka selama satu bulan." Demikian itu, karena kerasnya rasa kesal beliau pada mereka, yakni saat Allah menegur dirinya.

Dan ketika telah berlalu dua puluh sembilan hari, beliau menemui Aisyah dan beliau memulai darinya. Maka Aisyah pun berkata pada beliau, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anda telah bersumpah untuk tidak menemui kami selama satu bulan penuh. Sedangkan hari ini Anda baru memasuki hari yang kedua puluh sembilan, sebagaimana yang aku hitung." Kemudian beliau pun bersabda; "Sesungguhnya hitungan bulan itu adalah dua puluh sembilan hari." Dan memang jumlah hari pada bulan itu adalah dua puluh sembilan malam. Aisyah berkata; Kemudian Allah Ta'ala menurunkan ayat At Takhyir (ayat yang berisi pilihan untuk tetap menjadi isteri nabi atau tidak). Beliau memulai dariku, wanita yang pertama dari isteri-isterinya. Dan aku pun lebih memilih beliau. setelah itu, beliau memberi pilihan kepada para isterinya semuanya, dan mereka pun menjawab sebagaimana yang dikatakan Aisy
ah.

Bacanya yang benner kermit, Hadits ini ga ada kaitannya sama maria kibti, hadits ini berbicara tentang masalah seorang suami menggiliri para istri2nya, lagian, kalau ga ada kisah ini susah juga orang2 untuk mengambil hukum masalah menggiliri para istri2nya, apapun yang terjadi pada rasul itu, sesungguhnya disana ada hikmah kermit, ya itu salah satunya untuk menjadi sumber hukum bagi umat islam, jadi kermit, kalau mau buat theread itu yang kren dikit biar susah membantahnya, ini masih hadits mentah kermit, kita blom masuk lagi kepenafsiran hukum fiqih ulama islam, jadi, ente telan aja tuh hadits mentah2 biar bisa ente sesati umat islam kermit, saran aku nih yah, baca dulu sampai habis sekitar 100 kali biar ente paham. habis itu baru ambil kesimpulan kermit yah. Islam itu jelas sandarannya kermit, walaupun banyak yang melenceng-lencengkannya, ya termasuk anda saya fikir. nomornya aja bersalahan (648), jadi agak repot awak nyarinya. sumbernya juga ga jelas, parah lu kermit ah.

seponggol
RED MEMBERS
RED MEMBERS

Number of posts : 14
Reputation : 0
Points : 4713
Registration date : 2011-06-27

Back to top Go down

Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty Re: Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

Post by seponggol Mon 27 Jun 2011, 6:31 am

yang berserah diri wrote:sumber kesimpulan lo mana?
yg lo lampirkan hadisnya doang

mas bro, jangan percaya sama terjemahan dia itu, banyak kali yang diselewengkan dia, dia masuk2an maria kibti kedalam hadits itu biar sesuai sama judulnya.

memang kerdil otak sikermit ini bro, hahahaha, parah, aku berdoa untuk dia biar dia pintar, kalaupun dia pintar dan jadi misionaris, ilmunya ga lebih dari orang2 islam yang ngasih dalil yang ga kuat dan ga akurat, yang dipakai misionaris kan dalil2 yang dari tong sampah, hahahaha. parah sikermit nih.

seponggol
RED MEMBERS
RED MEMBERS

Number of posts : 14
Reputation : 0
Points : 4713
Registration date : 2011-06-27

Back to top Go down

Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty Re: Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

Post by yang berserah diri Mon 27 Jun 2011, 9:32 am

seponggol wrote:
yang berserah diri wrote:sumber kesimpulan lo mana?
yg lo lampirkan hadisnya doang

mas bro, jangan percaya sama terjemahan dia itu, banyak kali yang diselewengkan dia, dia masuk2an maria kibti kedalam hadits itu biar sesuai sama judulnya.

memang kerdil otak sikermit ini bro, hahahaha, parah, aku berdoa untuk dia biar dia pintar, kalaupun dia pintar dan jadi misionaris, ilmunya ga lebih dari orang2 islam yang ngasih dalil yang ga kuat dan ga akurat, yang dipakai misionaris kan dalil2 yang dari tong sampah, hahahaha. parah sikermit nih.
iya emang bro
orang licik bin munafik dia
makanya saya nanya sumber kesimpulannya
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci 581260
yang berserah diri
yang berserah diri
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Male
Number of posts : 903
Location : BUMI ALLAH SWT
Job/hobbies : MEMBERI PERINGATAN
Humor : A: kenapa yesus disalib?,,,|B: untuk menebus dosa| | A: salah | B: terus apa dong? | A: karena jalannya lambat|
Reputation : -1
Points : 5794
Registration date : 2011-01-16

Back to top Go down

Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty Re: Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

Post by lihd Mon 27 Jun 2011, 11:41 am

kermit katak lucu wrote:Yang berikut ini adalah skandal cinta Muhammad dengan Mariyah orang Koptik, yang merupakan salah seorang budak dari isteri-isteri Nabi. Muhammad tidur dengannya tanpa ada upacara apapun, sehingga menyebabkan kegaduhan di antara isteri-isterinya, dan harus diatasi lewat “Intervensi Ilahi.” Kisah ini dicatat dalam sebuah Hadis otentik dan dilaporkan oleh Umar.

Hadis ini menjelaskan alasan turunnya wahyu dalam Quran 66:4.

“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.”

Umar menjelaskan bahwa kedua wanita ini adalah Hafsa dan Aisyah, yang menjadi tidak hormat kepada Nabi, sehingga Nabi merasa sedih dan berpikir untuk menceraikan semua isteri-isterinya. Inilah kisah selengkapnya.

Bukhari Volume 3, Book 43, Number 648:

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas:

Aku sangat ingin bertanya kepada Umar tentang kedua wanita dari antara isteri-isteri Nabi, dalam kaitan dengan siapakah Allah berkata (dalam Quran): Jika kalian berdua (isteri-isteri Rasul yaitu Aisyah dan Hafsa) bertobat kepada Allah, sebab hati kamu berdua telah condong (menentang apa yang disukai oleh Rasul) (Quran 66:4), hingga melaksanakan Haji bersama-sama dengan ‘Umar (dan dalam perjalanan kita pulang berhaji), ia pergi ke suatu tempat (untuk melaksanakan panggilan alam/buang hajat), dan aku juga pergi bersamanya dengan membawa ember berisi air. Ketika ia telah selesai melaksanakan panggilan alam dan telah kembali. Aku menuangkan air ke tangannya dari ember itu dan melaksanakan wudhu. Aku berkata,”Oh Kepala orang-orang beriman! “Siapakah kedua wanita dari antara isteri-isteri Nabi yang kepadanya Allah telah berfirman,‘Jika kamu berdua bertobat (66:4)? Ia menjawab,”Aku terkejut dengan pertanyaanmu, Oh Ibn ‘Abbas. Mereka adalah Aisyah dan Hafsa.”

Kemudian ‘Umar mengkaitkan kisah itu dan berkata:

“Aku dan tetanggaku seorang Ansari berasal dari Bani Umaiya bin Zaid. Kami tinggal di ‘Awali Al-Medina. Kami biasanya mengunjungi Nabi secara bergantian. Ia pergi berkunjung pada satu hari, dan aku di hari yang lain. Ketika aku pergi, aku akan membawa kabar padanya mengenai apa yang telah terjadi pada hari itu, mengenai apa yang diperintahkan, serta aturan-aturan yang diberlakukan. Dan ketika ia pergi, ia juga biasa melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan.

Kami orang-orang Quraish mempunyai otoritas atas para wanita, namun saat kami tinggal bersama dengan Ansar, kami perhatikan wanita-wanita Ansari mempunyai tangan yang lebih tinggi di atas pria-pria mereka. Karena itu para wanita kami mulai meniru kebiasaan wanita-wanita Ansari. Suatu ketika aku meneriaki isteriku, dan kemudian ia membalas meneriakiku dan aku tidak suka kalau ia membalas teriakanku. Isteriku berkata,’Mengapa engkau merasa sakit hati jika aku menjawabmu dengan pedas? Demi Allah, isteri-isteri Nabi pun menjawabnya dengan pedas, dan beberapa dari mereka bahkan tidak mau berbicara dengannya dari pagi hingga malam hari.’

Apa yang ia katakan menakutkanku dan aku berkata padanya,’Siapapun dari antara mereka yang melakukan hal seperti itu, mereka akan mengalami kerugian yang sangat besar.’ Kemudian aku mengenakan pakaian dan pergi menemui Hafsa dan bertanya padanya,’Apakah ada dari antara kalian yang membuat Rasul Allah menjadi marah dari pagi hingga malam hari?’ Ia membenarkan hal itu. Aku berkata,’Ia akan menjadi orang-orang yang rugi (dan tak akan pernah meraih keberhasilan)! Tidakkah ia takut bahwa Allah akan menjadi marah pada mereka yang marah pada Rasul Allah, dan oleh karena itu akan dimusnahkan oleh Allah? Janganlah meminta terlalu banyak pada Rasul Allah, dan jangan menjawabnya dengan pedas untuk hal apapun, juga jangan mengabaikannya. Mintalah dariku apapun yang kamu sukai, dan jangan tergoda untuk meniru perilaku tetanggamu (misalnya Aisyah) terhadap Nabi. Sebab dia (yaitu Aisyah) lebih cantik dari kalian semua, dan lebih dikasihi oleh Rasul Allah.

Pada hari-hari itu, ada rumor bahwa Ghassam (satu suku yang tinggal di Sham), tengah menyiapkan kuda-kuda mereka untuk menginvasi kami. Rekanku berangkat (untuk bertemu Nabi pada hari gilirannya) dan pulang pada malam hari, mengetuk pintu rumahku dengan kasar, bertanya apakah aku sedang tidur. Aku menjadi takut (dengan ketukan keras di pintu) dan segera menemuinya. Ia mengatakan bahwa sebuah kejadian besar tengah terjadi. Aku bertanya padanya: Apakah itu? Apakah Ghassam sudah datang? Ia menjawab bahwa ini adalah hal yang lebih serius dan buruk dari itu, dan menambahkan bahwa Rasul Allah telah menceraikan semua isteri-isterinya.

Aku berkata, Hafsa adalah seorang pembuat masalah! Aku pikir masalah seperti ini akan terjadi.’ Maka aku mengenakan pakaianku dan menawarkan untuk memimpin sembahyang subuh bersama Nabi. Kemudian Nabi memasuki sebuah ruang di sebelah atas dan tinggal di sana sendirian. Aku pergi kepada Hafsa dan menjumpainya tengah menangis. Aku bertanya padanya,’Mengapa engkau menangis? Bukankah aku sudah memperingatkanmu? Benarkah Rasul Allah sudah menceraikan kalian semua?’ Ia menjawab,’Aku tidak tahu. Ia ada di sana, di ruangan atas.’ Kemudian aku pergi keluar menuju mimbar dan menemui satu kelompok orang di sekitar mimbar itu dan beberapa dari mereka tengah menangis.

Kemudian aku duduk dengan mereka untuk beberapa waktu lamanya, tetapi merasa tidak tahan dengan situasi yang terjadi pada waktu itu. Karena itu aku naik ke ruangan atas dimana Nabi tengah berada, dan memohon pada seorang budaknya yang berkulit hitam:”Maukah engkau memberikan ijin (Rasul Allah) kepada Umar (untuk masuk)? Budak itu pun masuk, berbicara dengan Nabi mengenai hal itu dan keluar dengan berkata,’Aku telah memberitahukan bahwa kalian ingin menemuinya, tetapi dia tidak menjawab.’ Karena itu aku pergi dan duduk bersama dengan orang-orang yang tengah duduk di sekitar mimbar, tetapi aku tidak tahan menanggung situasinya, karena itu aku pergi kepada budak itu kembali dan berkata:”Bisakah engkau memberikan ijin bagi Umar?

Ia masuk ke dalam dan membawa jawaban yang sama seperti sebelumnya. Ketika aku akan pulang, budak itu memanggilku sambil berkata,”Rasul Allah telah memberikan ijin kepadamu.” Maka aku pun masuk menemui Nabi dan melihat dia sedang berbaring di atas tikar tanpa alas, dan ada tanda bekas tubuh Nabi di atas tikar itu, dan ia berbaring pada sebuah bantal kulit yang diisi dengan daun palem. Aku mengucapkan salam padanya dan sementara masih berdiri, aku berkata:”Apakah engkau telah menceraikan isteri-isterimu?’ Ia menatapku dengan tajam dan menjawab dengan nada negatif. Sementara masih berdiri, sambil mengobrol aku berkata: ”Bisakah engkau mengindahkan apa yang aku katakan, ‘Oh Rasul Allah! Kami, orang-orang Quraish, biasanya tangan kami berada lebih tinggi dari para wanita (isteri-isteri) kami, dan ketika kami menjumpai orang-orang yang tangan para wanita mereka lebih tinggi daripada mereka…”

‘Umar memberitahukan seluruh kisah (mengenai isteri-isterinya). “Tentang hal itu Nabi tersenyum.” ‘Umar lebih jauh lagi mengatakan,”Kemudian aku berkata,”Aku pergi menemui Hafsa dan berkata kepadanya: Janganlah tergoda untuk meniru teman-temanmu (‘Aisyah), sebab ia itu lebih cantik daripada engkau dan lebih disayangi oleh Nabi.’

Nabi kembali tersenyum. Ketika aku melihatnya tersenyum, aku duduk dan melemparkan pandangan sekilas ke sekeliling ruangan itu, dan demi Allah, aku tidak dapat melihat satupun yang penting kecuali tiga hal yang tersembunyi. Aku berkata (kepada Rasul Allah) “Berdoalah agar Allah membuat para pengikutmu menjadi makmur, sebab orang Persia dan orang Bizantium telah membuat penduduknya menjadi makmur, serta memberikan barang-barang yang mewah, meskipun mereka tidak menyembah Allah?’

Nabi kemudian menyandarkan tubuhnya (dan ketika mendengar apa yang kukatakan, ia duduk dengan tegak) dan berkata,’O Ibn Al-Khattab! Apakah engkau mempunyai keraguan bahwa Hidup sesudah mati adalah lebih baik daripada dunia ini)? Orang-orang itu hanya menerima upah atas perbuatan baik mereka di dunia ini saja.’ Aku bertanya kepada Nabi. ‘Mintalah pengampunan Allah untukku. Nabi tidak mengunjungi isteri-isterinya karena rahasia yang dibukakan Hafsa kepada Aisyah, dan ia berkata bahwa ia tidak akan menemui isteri-isterinya selama satu bulan sebab ia marah pada mereka – ketika Allah menegur dia (atas sumpahnya bahwa ia tidak akan kembali mendekati Mariyah).

Ketika dua puluh sembilan hari telah berlalu, pertama-tama Nabi pergi menemui Aisyah. Ia berkata padanya (pada Rasul Allah), ’Engkau sudah bersumpah bahwa engkau tidak akan datang menemui kami selama satu bulan, dan hari ini baru hari yang keduapuluh sembilan, karena setiap hari aku menghitungnya.’ Nabi berkata,’Bulan ini juga terdiri dari dua puluh sembilan hari.’ Aisyah berkata,’Ketika Pilihan Wahyu Ilahi disingkapkan, Nabi memulainya denganku, dengan mengatakan padaku,’Aku memberitahukanmu sesuatu, tetapi engkau tidak perlu terburu-buru memberikan jawaban hingga engkau berkonsultasi dengan orang tuamu.” Aisyah tahu bahwa orang tuanya tidak akan menasehatinya untuk berpisah dengan Nabi. Nabi mengatakan bahwa Allah telah berfirman:

‘Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.’ (33:28,29). Aisyah bertanya padanya,’Apakah aku perlu mengkonsultasikan hal ini pada orang tuaku? Sesungguhnya aku lebih menyukai Allah, RasulNya, dan Rumah di negeri akhirat.’ Setelah itu, Nabi memberikan pilihan pada isteri-isterinya yang lain, dan mereka pun memberikan jawaban yang sama ‘sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah.”

Hadis ini dilaporkan juga dalam Muslim 9.3511, dan Bukhari 3.43.648,7.62.119

Ini sesuatu yang signifikan sebab berisi dua poin sejarah penting. Pertama, ia menyingkapkan, berdasarkan pengakuan Umar sendiri bahwa, “tangan para wanita Ansari ada di atas tangan para pria mereka”. Bahkan jika kita menganggap hal itu sebagai sesuatu yang dibesar-besarkan, adalah jelas bahwa wanita di Medina mempunyai lebih banyak hak dan otoritas dibandingkan dengan sesama wanita dari suku Quraish. Mekah, rumah dari suku Quraish, darimana Umar dan Muhammad berasal, adalah sebuah pusat keagamaan.

Orang yang tinggal di kota-kota keagamaan biasanya lebih fanatik dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kota-kota lainnya. Agama selalu memainkan peran untuk menundukkan kaum wanita dan mengambil hak-hak kemanusiaan mereka. Sebab itu, merupakan hal yang natural bahwa para wanita Mekah bersikap lebih tunduk dibandingkan dengan wanita yang hidup di tempat lain di Arabia, dan khususnya di Medina, yang pada waktu itu merupakan sebuah kota yang lebih kosmopolitan dan mempunyai penduduk dari bangsa-bangsa yang lebih maju peradabannya seperti Yahudi dan Kristen. Isteri-isteri Umar dan Muhammad lebih menyukai atmosfer emansipasi ini dan ingin menerapkan kebebasan relatif mereka. Tetapi hal ini tidak sesuai dengan keinginan kedua pria tak bermoral dari Mekah, yang bernama Umar dan Muhammad. Karena itu, hadis ini memperlihatkan bagaimana mereka dikejutkan oleh kebebasan yang baru ditemukan oleh isteri-isteri mereka. Hadis ini adalah hadis yang penting, sebab ini membuktikan bahwa para wanita sebelum Islam, memiliki lebih banyak kebebasan. Tetapi kemudian, kebebasan itu diambil dari mereka oleh Muhammad dan para penggantinya yang bejat. Juga menjadi jelas bahwa status yang menyedihkan dari para wanita dalam Islam, sesungguhnya bukanlah karena sebuah keputusan ilahi, namun pada tingkatan yang lebih luas, merupakan refleksi bagaimana para wanita diperlakukan di Mekah 1400 tahun yang lalu.

Fakta bahwa ada begitu banyak penekanan dalam Quran dan hadis mengenai betapa pentingnya para wanita untuk taat kepada suami-suami mereka, sesungguhnya menjadi sebuah indikasi dari keinginan Muhammad sendiri untuk mengontrol isteri-isterinya yang masih muda dan suka memberontak.

Hadis ini juga menyingkapkan skandal seksual nabi yang lain.

Suatu hari Muhammad pergi ke rumah Hafsa isterinya, anak perempuan Umar, dan menjumpai pembantunya yang menarik yaitu Mariyah. Muhammad memikirkan bagaimana ia bisa membuat Hafsa pergi dari rumahnya, sehingga ia bisa berduaan saja dengan Mariyah. Ia berbohong dengan mengatakan pada Hafsa bahwa ayahnya, Umar, memanggilnya. Ketika Hafsa pergi, Muhammad membawa Mariyah ke tempat tidur dan berhubungan seks dengannya. Bagi Mariyah, menolak keinginan Muhammad adalah hal yang tak terpikirkan. Ia adalah seorang budak perempuan yang jauh dari keluarganya, sementara Muhammad sendiri adalah hukum di kota itu. Jadi secara teknis, Muhammad sebenarnya melakukan perkosaan kepada Mariyah.

Sementara itu, Hafsa yang menyadari bahwa ayahnya tidak memanggilnya, dan juga yang kepulangannya ke rumah tidak diduga akan secepat itu, memergoki bagaimana suaminya yang sangat termasyur itu tengah berduaan di tempat tidur dengan pembantunya.

Hafsa menjadi sangat histerikal dan lupa dengan kedudukan nabi yang ia teriaki, sehingga hal itu menjadi sebuah skandal. Nabi meminta Hafsa untuk tenang dan berjanji untuk tidak tidur lagi dengan Mariyah. Ia juga memohon dengan sangat agar Hafsa tidak menceritakan rahasia itu kepada siapa pun.

Meskipun demikian, Hafsa yang tidak sanggup mengontrol dirinya, memberitahukan kejadian itu kepada temannya Aisyah dan keduapuluh isteri-isteri nabi lainnya, sehingga menyebabkan “Sang Karunia Allah bagi dunia” mengalami beban mental yang berat. Sang “Karunia Allah” memutuskan untuk menghukum semua isteri-isterinya, dan mengumumkan bahwa ia tidak akan tidur lagi dengan salah seorang pun dari mereka selama satu bulan. Ini adalah dua tingkatan penghukuman yang direkomendasikan dalam Quran. Tingkat pertama adalah menegur mereka, dan tingkat ketiga adalah hukuman badan. Q. 4: 34.

Ketika seorang pria memutuskan untuk menghukum isterinya dengan berpantang melakukan hubungan seks, ia bisa memuaskan dirinya dengan isteri-isterinya yang lain. Tetapi kemarahan Muhammad menyebabkannya mengucapkan sumpah untuk tidak tidur dengan satu pun dari mereka selama satu bulan. Tentu saja hal ini menjadi terlalu berat bagi yang terkasih Sang Utusan Allah (semoga damai turun atas jiwanya yang tak bernoda). Karena itu Allah, dalam karunianya, datang untuk menolong nabinya dan mewahyukan Sura Tahrim (Larangan). Dalam Sura ini, Allah menegur nabinya karena bersikap terlalu keras terhadap dirinya sendiri, dan untuk menolak melakukan apa yang ia sukai, demi untuk menyenangkan hati isteri-isterinya, padahal hal itu sesungguhnya sudah “dihalalkan” untuk ia lakukan.

1. Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

2. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

3. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

4. Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.

5. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan. (Q. 66:1-5)

Meskipun Muhammad sudah menyampaikan sumpahnya itu kepada Hafsa, yaitu untuk tidak lagi tidur dengan pembantunya, tetapi ia tidak sanggup menahan godaan. Ia sudah mengecap manisnya buah terlarang dan karena itu ia harus menghabiskannya. Ini menjadi hal yang mendesak, karena ia pun juga telah mengucapkan sumpah lainnya, yaitu untuk tidak tidur dengan semua isteri-isterinya yang lain. Bagaimana mungkin “Ciptaan Terbaik” tidak berhubungan seks selama satu bulan penuh?

Ini merupakan situasi yang sulit dan, karena itu, tak seorang pun bisa menolongnya kecuali Allah sendiri. Yang jelas, tak ada yang mustahil, jika Allah ada di dalam saku celanamu sendiri. Serahkan segala sesuatu di tangan sahabatmu yang “maha kuasa”, dan biarkan ia yang mengurusnya.


Inilah yang sebenarnya terjadi. Allah sendiri yang campur tangan dan memberikan lampu hijau pada nabiNya untuk mengikuti hasrat hatinya sendiri. Dalam sura Tahrim, Allah merestui nabi kesayanganNya untuk tetap tinggal bersama Mariyah dan tidak mempedulikan isteri-isterinya. Apa lagi yang lebih dari itu yang bisa diminta oleh seorang nabi? Allah sedemikian peduli dengan hasrat jasmani Muhammad sehingga Ia bahkan mengijinkan SEMUA ORANG untuk membatalkan sumpah-sumpah mereka sebagai “sebuah karunia.” Alhamdulillah! Subhanaallah. Allah itu begitu luar biasa bukan?

Juga patut jika menyebutkan, setelah Muhammad mengetahui kalau Hafsa telah memberitahukan rahasianya kepada Aisyah, maka Muhammad pun kemudian kembali berbohong dengan mengatakan bahwa Allah-lah yang memberitahukan hal itu padanya (ayat 3), padahal yang benar adalah Aisyah sendiri yang memberitahukan hal itu pada Muhammad. Tetapi, tentu saja Muhammad bukanlah pengarang Quran. Melainkan Allah sendiri yang berbohong demi nabiNya.

Dalam sura ini, Muhammad menggambarkan pencipta alam semesta sebagai seorang mucikari, seorang penggosip dan seorang pendusta – semuanya itu ia lakukan untuk menutupi kebejatan dan perzinahannya.

Sebagai reaksi atas ayat-ayat di atas, Aisyah yang tidak hanya masih muda dan cantik, tetapi juga cerdik, melaporkan apa yang telah disampaikan padanya, kepada Muhammad. Ia berkata,”Tuhanmu sedemikian gesitnya menolongmu!”


Artikel ALI SINA ini udah dibantah di:

http://www.answering-christianity.com/bassam_zawadi/rebuttaltoalisina9.htm

Lagi males translate nih Smile

Aku Copas aslinya aja yah Smile

Rebuttal to Ali Sina's article "Mariyah the Sex Slave of the holy Prophet"

By
Bassam Zawadi & Umar

(Note: this article was refuted with help from http://forum.bismikaallahuma.org/viewtopic.php?t=1371)


Introduction

This article is in response to Ali Sina's article "Mariyah the Sex Slave of the holy Prophet" which can be accessed here http://www.faithfreedom.org/Articles/sina/mariyah.htm

Ali Sina said:
The following is Muhammad’s scandalous love affair with Mariyah the Copt who was one of the prophet’s wives’ maids. Muhammad slept with her without any ceremony, which caused uproar among his wives and finally was settled by Divine intervention. This story is recorded in an authenticated Hadith and is reported by Omar.


Our Response:
Previously I accused Ali Sina of being a liar when he said that Mariyah was only a slave of the Prophet. It turns out that there is a difference in opinion regarding if Mariyah was the Prophet's wife or slave. So I apologize to Sina for that. However, even though, Ali Sina fails to prove anything against the Prophet.

There are sources that tell us that Mariyah was married to the Prophet..

Taken from http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?pagename=IslamOnline-English-Ask_Scholar/FatwaE/FatwaE&cid=1119503543986

The Prophet (peace and blessings be upon him) contracted some of his marriages for sociopolitical reasons. His principal concern was the future of Islam. He was interested in strengthening the Muslims by all bonds. That is why he married the young daughter of Abu Bakr, his First Successor, and the daughter of `Umar, his Second Successor. It was by his marriage to Juwayriyyah that he gained the support for Islam of the whole clan of Bani Al-Mustaliq and their allied tribes. It was through marriage to Safiyyah that he neutralized a great section of the hostile Jews of Arabia. By accepting Mariyah, the Copt from Egypt, as his wife, he formed a political alliance with a king of great magnitude. It was also a gesture of friendship with a neighboring king that Muhammad married Zaynab who was presented to him by the Negus of Abyssinia in whose territory the early Muslims found safe refuge.

Taken from http://www.islamic-paths.org/Home/English/Muhammad/Book/Wives/Chapter_12.htm#maria

Ibn Kathir is quoted to have said:
Maria al-Qibtiyya (may Allah be pleased with her) is said to have married the Prophet (peace and blessings of Allah be upon him) and certainly everyone gave her the same title of respect as the Prophet's wives, 'Umm al Muminin' 'Mother of the Believers'.

Muhammad must have come in contact with many of these Copts and listened to their stories. Muhammad's friendship to Christians of Coptic faith is reflected in many aspects of his life. He is known to have had cordial relations with the Negus of Abyssinia, as indicated by the fact that he advised his followers at a time of persecution to flee there. He married a Coptic wife named Mariya, and he is reported to have advised his followers to be especially kind to the Copts of Egypt, considering them his in-laws.

(R.H. Charles, "Vitae Adae et Evae," The Apocrypha and Pseudepigrapha [Oxford, 1963] Volume 2, p. 294)

Other non Islamic sources list Mariya as the Prophets spouse:

http://users.legacyfamilytree.com/NorthernEurope/f110.htm

http://www.peterwestern.f9.co.uk/maximilia/pafg887.htm#26206

For more evidence that Mariya was indeed the Prophet's wife, visit this site http://www.irfi.org/articles/articles_201_250/honor_of_the_noble_prophet.htm




Ali Sina said:
This Hadith is describing the reason for the revelation of verse 66: 4 of Quran. The verse says:

“If ye two turn in repentance to Him, your hearts are indeed so inclined; But if ye back up each other against him, truly Allah is his Protector, and Gabriel, and (every) righteous one among those who believe,- and furthermore, the angels - will back (him) up.”

Omar explains that these two women were Hafsa and Ayesha who became disrespectful of the prophet causing him grief until he thought of divorcing all of his wives. Here is the full story.

Bukhari Volume 3, Book 43, Number 648:

Narrated 'Abdullah bin 'Abbas:

I had been eager to ask 'Umar about the two ladies from among the wives of the Prophet regarding whom Allah said (in the Qur'an saying): If you two (wives of the Prophet namely Aisha and Hafsa) turn in repentance to Allah your hearts are indeed so inclined (to oppose what the Prophet likes) (66.4), till performed the Hajj along with 'Umar (and on our way back from Hajj) he went aside (to answer the call of nature) and I also went aside along with him carrying a tumbler of water. When he had answered the call of nature and returned. I poured water on his hands from the tumbler and he performed ablution. I said, "O Chief of the believers! ' Who were the two ladies from among the wives of the Prophet to whom Allah said:

'If you two return in repentance (66.4)? He said, "I am astonished at your question, O Ibn 'Abbas. They were Aisha and Hafsa."

Then 'Umar went on relating the narration and said. "I and an Ansari neighbor of mine from Bani Umaiya bin Zaid who used to live in 'Awali Al-Medina, used to visit the Prophet in turns. He used to go one day, and I another day. When I went I would bring him the news of what had happened that day regarding the instructions and orders and when he went, he used to do the same for me. We, the people of Quraish, used to have authority over women, but when we came to live with the Ansar, we noticed that the Ansari women had the upper hand over their men, so our women started acquiring the habits of the Ansari women. Once I shouted at my wife and she paid me back in my coin and I disliked that she should answer me back. She said, 'Why do you take it ill that I retort upon you? By Allah, the wives of the Prophet retort upon him, and some of them may not speak with him for the whole day till night.' What she said scared me and I said to her, 'Whoever amongst them does so, will be a great loser.' Then I dressed myself and went to Hafsa and asked her, 'Does any of you keep Allah's Apostle angry all the day long till night?' She replied in the affirmative. I said, 'She is a ruined losing person (and will never have success)! Doesn't she fear that Allah may get angry for the anger of Allah's Apostle and thus she will be ruined? Don't ask Allah's Apostle too many things, and don't retort upon him in any case, and don't desert him. Demand from me whatever you like, and don't be tempted to imitate your neighbor (i.e. 'Aisha) in her behavior towards the Prophet), for she (i.e. Aisha) is more beautiful than you, and more beloved to Allah's Apostle.

In those days it was rumored that Ghassan, (a tribe living in Sham) was getting prepared their horses to invade us. My companion went (to the Prophet on the day of his turn, went and returned to us at night and knocked at my door violently, asking whether I was sleeping. I was scared (by the hard knocking) and came out to him. He said that a great thing had happened. I asked him: What is it? Have Ghassan come? He replied that it was worse and more serious than that, and added that Allah's Apostle had divorced all his wives. I said, Hafsa is a ruined loser! I expected that would happen some day.' So I dressed myself and offered the Fajr prayer with the Prophet. Then the Prophet entered an upper room and stayed there alone. I went to Hafsa and found her weeping. I asked her, 'Why are you weeping? Didn't I warn you? Have Allah's Apostle divorced you all?' She replied, 'I don't know. He is there in the upper room.' I then went out and came to the pulpit and found a group of people around it and some of them were weeping. Then I sat with them for some time, but could not endure the situation. So I went to the upper room where the Prophet was and requested to a black slave of his: "Will you get the permission of (Allah's Apostle) for Umar (to enter)? The slave went in, talked to the Prophet about it and came out saying, 'I mentioned you to him but he did not reply.' So, I went and sat with the people who were sitting by the pulpit, but I could not bear the situation, so I went to the slave again and said: "Will you get he permission for Umar? He went in and brought the same reply as before. When I was leaving, behold, the slave called me saying, "Allah's Apostle has granted you permission." So, I entered upon the Prophet and saw him lying on a mat without wedding on it, and the mat had left its mark on the body of the Prophet, and he was leaning on a leather pillow stuffed with palm fires. I greeted him and while still standing, I said: "Have you divorced your wives?' He raised his eyes to me and replied in the negative. And then while still standing, I said chatting: "Will you heed what I say, 'O Allah's Apostle! We, the people of Quraish used to have the upper hand over our women (wives), and when we came to the people whose women had the upper hand over them..."

'Umar told the whole story (about his wife). "On that the Prophet smiled." 'Umar further said, "I then said, 'I went to Hafsa and said to her: Do not be tempted to imitate your companion ('Aisha) for she is more beautiful than you and more beloved to the Prophet.' The Prophet smiled again. When I saw him smiling, I sat down and cast a glance at the room, and by Allah, I couldn't see anything of importance but three hides. I said (to Allah's Apostle) "Invoke Allah to make your followers prosperous for the Persians and the Byzantines have been made prosperous and given worldly luxuries, though they do not worship Allah?' The Prophet was leaning then (and on hearing my speech he sat straight) and said, 'O Ibn Al-Khatttab! Do you have any doubt (that the Hereafter is better than this world)? These people have been given rewards of their good deeds in this world only.' I asked the Prophet . 'Please ask Allah's forgiveness for me. The Prophet did not go to his wives because of the secret which Hafsa had disclosed to 'Aisha, and he said that he would not go to his wives for one month as he was angry with them when Allah admonished him (for his oath that he would not approach Mariyah). When twenty-nine days had passed, the Prophet went to Aisha first of all. She said to him, 'You took an oath that you would not come to us for one month, and today only twenty-nine days have passed, as I have been counting them day by day.' The Prophet said, 'The month is also of twenty-nine days.' That month consisted of twenty-nine days. 'Aisha said, 'When the Divine revelation of Choice was revealed, the Prophet started with me, saying to me, 'I am telling you something, but you needn't hurry to give the reply till you can consult your parents." 'Aisha knew that her parents would not advise her to part with the Prophet . The Prophet said that Allah had said:--

'O Prophet! Say To your wives; If you desire The life of this world And its glitter, ... then come! I will make a provision for you and set you free In a handsome manner. But if you seek Allah And His Apostle, and The Home of the Hereafter, then Verily, Allah has prepared For the good-doers amongst you A great reward.' (33.28) 'Aisha said, 'Am I to consult my parents about this? I indeed prefer Allah, His Apostle, and the Home of the Hereafter.' After that the Prophet gave the choice to his other wives and they also gave the same reply as 'Aisha did."



Our Response:
Now, the Prophet (S) wives at then were astonished with the worldly pressures. What they wanted was the spoils of war, so that they could lead a luxurious life like the Kings, hence Umar Ibn Al-Khattab says this:

"I said (to Allah's Apostle) "Invoke Allah to make your followers prosperous for the Persians and the Byzantines have been made prosperous and given worldly luxuries, though they do not worship Allah?' The Prophet was leaning then (and on hearing my speech he sat straight) and said, 'O Ibn Al-Khatttab! Do you have any doubt (that the Hereafter is better than this world)? These people have been given rewards of their good deeds in this world only.' I asked the Prophet".

So Allah SWT revealed the Ayat:

(O Prophet! Say unto thy wives: “If ye desire the world’s life and its adornment, come! I will content you and will release you with a fair release. But if ye desire Allah and His Messenger and the abode of the Hereafter, then lo! Allah hath prepared for the good among you an immense reward”) (Al-Ahzab 33:28-29).

The Hadith Sina posted is true, and The Prophet (S) wives did wish for the worldly gains, The Prophet (S) gave them the choice as stated in the Ayat above, but they always chose the Prophet Muhammad (S). Yusuf Ali even confirms this by saying :

" We now come to the subject of the position of the Consorts of Purity, the wives of the holy Prophet. Their position was not like that of ordinary women or ordinary wives. They had special duties and responsibilities. The only youthful marriage of the Holy Prophet was his first marriage- that with Hadhrat Khadija, the best of women and the best of wives. He married her fifteen years before he received his call to Apostleship; their married life was twenty-five years and their mutual devotion was of the noblest, judged by spiritual as well as social standards. During her life he had no other wife which was unusual for a man of his standing among his people. When she died his age was 50 and but for two considerations, he would probably never have married again, as he was most abstemious in his physical life. The two considerations which governed his marriage later were : (1) compassion and clemency, as when he wanted to provide for suffering widows, who could not be provided for in any other way in that stage of society; some of them like Sauda had issue by their former marriage, requiring protection; (2) help in his duties of leadership with women who had to be instructed and kept together in the large Muslim family, where women and men had similar social rights. Hadhrat 'Aisha, daughter of Hadhrat Abu Bakr, was clever and learned, and in Hadith she is an important authority on the life of the Prophet. Hadhrat Zainab, daughter of Khuzaima was specially devoted to the poor : she was called the "Mother of the Poor: . The other Zainab, daugher of Jahsh also worked for the poor, for whom she provided from the proceeds of her manual work, as she was skilful in leather in leather work. But all the consorts in their high positions had to work and assist as Mother of the Ummat. Theirs were not idle lives, like those of Odalisques, either for their own pleasure or the pleasure of their husband. They are told here that they had no place in the sacred household if they merely wished for ease or worldly glitter. If such was the case, they would be divorced and amply provided for."

Further more, Yusuf Ali states:
" They were all well-doers. But being in their exalted position they had extra responsibility, and they had to be specially careful to discharge it. In the same way their reward would be "great", for higher services bring higher spiritual satisfaction, though they were asked to deny themselves of the ordinary indulgences of this life".

(Source: The Holy Qur'an , text, translation and commentary by Abdullah Yusuf Ali, footnotes # 3706, and 3707)

Maududi states the same in his commentary on the Holy Quran, Sura 33:
"The discourse contained in vv. 28-35 consists of two parts. In the first part, Allah has given a notice to the wives of the Holy Prophet, who were being impatient of the straitened circumstances, to the effect:" Choose between the world and its adornments, and Allah, His Prophet and the Hereafter. If you seek the former, you should say so openly: you will not be kept back in hardship even for a day, but will be sent off gracefully. And if you seek the latter, you should cooperate with Allah and His messenger and bear patiently." In the second part, initial steps were taken towards the social reforms whose need was being felt by the minds moulded in the Islamic pattern themselves. In this regard, reform was started from the house of the Holy Prophet himself and his wives were commanded to avoid behaving and conducting themselves in the ways of the pre Islamic days of ignorance, ,to remain in their houses with dignity, and to exercise great caution in their conversation with the other men. This was the beginning of the Commandments of Purdah."

(Source: http://www.islamicity.com/mosque/quran/maududi/mau33.html)

Let us continue with the response...




Ali Sina said:
The above Hadith is significant as it contains two important historic points. First it reveals, by Omar’s own admission, that “Ansari women had the upper hand over their men”. Even if we consider that to be an exaggeration, it is clear that women in Medina had more rights and authority than their Quraishy counterparts. Mecca, the home of the Quraish tribe, where Omar and Muhammad came from was a religious hob. People living in religious towns are more bigots than those living in other cities. Religion has always played a role in subjugating women and taking away their human rights. So it is natural that women in Mecca were more subdued than those living anywhere else in Arabia and especially Medina that was a more cosmopolitan city having civilized nations like Jews and Christians as its inhabitants. Omar and Muhammad’s wives enjoyed this emancipating atmosphere and were starting to exercise their relative freedom. This attitude, of course, did not sit well with the two misogynist men of Mecca, namely Omar and Muhammad and as this Hadith demonstrates, they were angry of their wives newfound liberties and rebelliousness.

The importance of this Hadith is in the fact that it proves that women prior to Islam had much more freedom, which was taken away from them by Muhammad and his misogynistic khalifas. It becomes clear that the deplorable status of women in Islam is not a divine verdict but a reflection of how women were treated in Mecca 1400 years ago.





[color-red]Our Response:
Ali Sina is trying to show that the hadiths indicate that women prior to Islam had more rights!!! Women were like monopoly pieces prior to Islam, and Ali Sina calls it "freedom".

Taken from http://www.iad.org/books/S-women.html

One major objective of this paper is to provide a fair evaluation of what Islam contributed (or failed to contribute) toward the restoration of woman's dignity and rights. In order to achieve this objective, it may be useful to review briefly how women were treated in general in previous civilizations and religions, especially those which preceded Islam (Pre-610 C.E.). Part of the information provided here, however, describes the status of woman as late as the nineteenth century, more than twelve centuries after Islam.

Women in Ancient Civilization
Describing the status of the Indian woman, Encyclopedia Britannica states:

In India, subjection was a cardinal principle. Day and night must women be held by their protectors in a state of dependence says Manu. The rule of inheritance was agnatic, that is descent traced through males to the exclusion of females.

In Hindu scriptures, the description of a good wife is as follows: "a woman whose mind, speech and body are kept in subjection, acquires high renown in this world, and, in the next, the same abode with her husband."

In Athens, women were not better off than either the Indian or the Roman women.

"Athenian women were always minors, subject to some male - to their father, to their brother, or to some of their male kin.

Her consent in marriage was not generally thought to be necessary and "she was obliged to submit to the wishes of her parents, and receive from them her husband and her lord, even though he were stranger to her."

A Roman wife was described by an historian as: "a babe, a minor, a ward, a person incapable of doing or acting anything according to her own individual taste, a person continually under the tutelage and guardianship of her husband."

In the Encyclopedia Britannica, we find a summary of the legal status of women in the Roman civilization:

In Roman Law a woman was even in historic times completely dependent. If married she and her property passed into the power of her husband . . . the wife was the purchased property of her husband, and like a slave acquired only for his benefit. A woman could not exercise any civil or public office . could not be a witness, surety, tutor, or curator; she could not adopt or be adopted, or make will or contract. Among the Scandinavian races women were:

under perpetual tutelage, whether married or unmarried. As late as the Code of Christian V, at the end of the 17th Century, it was enacted that if a woman married without the consent of her tutor he might have, if he wished, administration and usufruct of her goods during her life.

According to the English Common Law:

...all real property which a wife held at the time of a marriage became a possession of her husband. He was entitled to the rent from the land and to any profit which might be made from operating the estate during the joint life of the spouses. As time passed, the English courts devised means to forbid a husband's transferring real property without the consent of his wife, but he still retained the right to manage it and to receive the money which it produced. As to a wife's personal property, the husband's power was complete. He had the right to spend it as he saw fit.

Only by the late nineteenth Century did the situation start to improve. "By a series of acts starting with the Married women's Property Act in 1870, amended in 1882 and 1887, married women achieved the right to own property and to enter contracts on a par with spinsters, widows, and divorcees." As late as the Nineteenth Century an authority in ancient law, Sir Henry Maine, wrote: "No society which preserves any tincture of Christian institutions is likely to restore to married women the personal liberty conferred on them by the Middle Roman Law."

In his essay The Subjection of Women, John Stuart Mill wrote:

We are continually told that civilization and Christianity have restored to the woman her just rights. Meanwhile the wife is the actual bondservant of her husband; no less so, as far as the legal obligation goes, than slaves commonly so called.

Before moving on to the Qur'anic decrees concerning the status of woman, a few Biblical decrees may shed more light on the subject, thus providing a better basis for an impartial evaluation. In the Mosaic Law, the wife was betrothed. Explaining this concept, the Encyclopedia Biblica states: "To betroth a wife to oneself meant simply to acquire possession of her by payment of the purchase money; the betrothed is a girl for whom the purchase money has been paid." From the legal point of view, the consent of the girl was not necessary for the validation of her marriage. "The girl's consent is unnecessary and the need for it is nowhere suggested in the Law."

As to the right of divorce, we read in the Encyclopedia Biblica: "The woman being man's property, his right to divorce her follows as a matter of course." The right to divorce was held only by man. "In the Mosaic Law divorce was a privilege of the husband only .... "

The position of the Christian Church until recent centuries seems to have been influenced by both the Mosaic Law and by the streams of thought that were dominant in its contemporary cultures. In their book, Marriage East and West, David and Vera Mace wrote:

Let no one suppose, either, that our Christian heritage is free of such slighting judgments. It would be hard to find anywhere a collection of more degrading references to the female sex than the early Church Fathers provide. Lecky, the famous historian, speaks of (these fierce incentives which form so conspicuous and so grotesque a portion of the writing of the Fathers . . . woman was represented as the door of hell, as the mother of all human ills. She should be ashamed at the very thought that she is a woman. She should live in continual penance on account of the curses she has brought upon the world. She should be ashamed of her dress, for it is the memorial of her fall. She should be especially ashamed of her beauty, for it is the most potent instrument of the devil). One of the most scathing of these attacks on woman is that of Tertullian: Do you know that you are each an Eve? The sentence of God on this sex of yours lives in this age: the guilt must of necessity live too. You are the devil's gateway: you are the unsealer of that forbidden tree; you are the first deserters of the divine law; you are she who persuades him whom the devil was not valiant enough to attack. You destroyed so easily God's image, man. On account of your desert - that is death - even the Sop of God had to die). Not only did the church affirm the inferior status of woman, it deprived her of legal rights she had previously enjoyed.

So that ends the lie that women before Islam had more rights. [/color]


Also notice how Ali Sina contradicts himself. He said

"...Religion has always played a role in subjugating women and taking away their human rights...", then in the next sentence he says "...women in Mecca were more subdued than those living anywhere else in Arabia and especially Medina that was a more cosmopolitan city having civilized nations like Jews and Christians as its inhabitants...".

Everyone knows that Judaism and Christianity are not nations, they are religions. So which, if any, is the true statement? Are Judaism and Christianity not really religions, despite what their followers may believe? Or are they religions which, according to Sina, are all responsible for the subjugation of women? If one of these statements is true, the other must be false.

Ali Sina said:
The fact that there is so much emphasis in Quran and in Ahadith about the importance of women being obedient to their husbands is indeed an indication of Muhammad’s own desire to control his young and rebellious wives. (See Q. 4: 34)


Our Response:
[004:034] Men are the protectors and maintainers of women, because God has given the one more (strength) than the other, and because they support them from their means. Therefore the righteous women are devoutly obedient, and guard in (the husband's) absence what God would have them guard. As to those women on whose part ye fear disloyalty and ill-conduct, admonish them (first), (Next), refuse to share their beds, (And last) beat them (lightly); but if they return to obedience, seek not against them Means (of annoyance): For God is Most High, great (above you all).

I see no problem in the Ayat, if husbands maintain their wives, is there a problem Ali Sina? If wives don't protect the husbands interests while he is absent, is there a problem Ali Sina? Is it OKAY for a wife to be disobedient to their husband, the person who is taking care of the family? Is it NOT okay for the husband to respond to her behavior?

For a more in depth look into this verse you can visit

http://www.answering-christianity.com/karim/noble_quran_4_34.htm



Ali Sina said:
The other important point of the above Hadith is that it reveals yet another sexual scandal of the prophet.

One-day Muhammad goes to his wife’s house Hafsa the daughter of Omar and finds her maid Mariyah attractive. He sends Hafsa to Omar’s house, telling her that he wanted to see her. When Hafsa leaves, Muhammad takes Mariyah to bed and has intercourse with her. Meanwhile Hafsa, who finds out that her father was not expecting her, returns home much sooner than expected, and to her chagrin finds her illustrious husband in bed with her maid.

She becomes hysteric and forgetting the station of the prophet she shouts and causes a scandal. The prophet pleads with her to calm down and promises not to sleep with Mariah anymore and begs her also not to divulge this secret to anyone else.

However, Hafsa would not control herself and relays everything to Ayisha who also turns against the prophet and jointly with his other wives cause him much anguish. So the prophet decides to punish all of them and not sleep with any one of his wives for one month. Depriving one’s wives sexually is the second grade of punishment recomendedn in Quran. The first level is admonishing, the second level is depriving them of sex and the third level of punishment is beating them. Q. 4: 34.


Our Response:
I have already responded to the hadith, and given proof that Mariya was the wife of the Prophet.

Even if for sake of argument, that Hafsah did walk in on the Prophet and Mariya, the Prophet would obviously get upset at Hafsa for breaking her promise. Look at this hadith from Sahih Bukhari

Volumn 003, Book 043, Hadith Number 639.
-----------------------------------------
Narated By 'Abdullah bin 'Amr : The Prophet said, "Whoever has (the following) four characters will be a hypocrite, and whoever has one of the following four characteristics will have one characteristic of hypocrisy until he gives it up. These are: (1) Whenever he talks, he tells a lie; (2) whenever he makes a promise, he breaks it; (3) whenever he makes a covenant he proves treacherous; (4) and whenever he quarrels, he behaves impudently in an evil insulting manner." (See Hadith No. 33 Vol. 1)



Ali Sina said:
Of course when a man decides to punish a wife with sexual deprivation he can satisfy himself with his other wives. But Muhammad’s anger had made him make the oath not to sleep with any of them for one month. That of course would have been too much of hardship for the beloved messenger of God (peace be upon his immaculate soul), therefore God in his mercy came to the aid of his prophet and revealed the Surah Tahrim (Banning). In this Surah Allah rebukes Muhammad for being hard on himself and for depriving himself from what he really likes and has been made lawful for him, in order to please his wives.

This is the text of the Surah Tahrim: Q. 66: 1-5.

1. O Prophet! Why do you ban (for yourself) that which Allâh has made lawful to you, seeking to please your wives? And Allâh is Oft-Forgiving, Most Merciful.
2. Allâh has already ordained for you (O men), the dissolution of your oaths. And Allâh is your Maula (Lord, or Master, or Protector, etc.) and He is the All-Knower, the All-Wise.
3. And (remember) when the Prophet (SAW) disclosed a matter in confidence to one of his wives (Hafsah), so when she told it (to another i.e. 'Aishah), and Allâh made it known to him, he informed part thereof and left a part. Then when he told her (Hafsah) thereof, she said: "Who told you this?" He said: "The All-Knower, the All-Aware (Allâh) has told me".
4. If you two (wives of the Prophet SAW, namely 'Aishah and Hafsah turn in repentance to Allâh, (it will be better for you), your hearts are indeed so inclined (to oppose what the Prophet SAW likes), but if you help one another against him (Muhammad SAW), then verily, Allâh is his Maula (Lord, or Master, or Protector, etc.), and Jibrael (Gabriel), and the righteous among the believers, and furthermore, the angels are his helpers.
5. It may be if he divorced you (all) that his Lord will give him instead of you, wives better than you, Muslims (who submit to Allâh), believers, obedient to Allâh, turning to Allâh in repentance, worshipping Allâh sincerely, fasting or emigrants (for Allâh's sake), previously married and virgins. “

Comment:

Although Muhammad gave his word to Hafsa, not to have sex with her maid he could not resist the temptation. Especially now that he had taken another oath not to sleep with all of his wives. It was a difficult situation and no one but Allah could help him. Well, nothing is impossible when you are the prophet of Allah. Leave everything in the hands of the Almighty and let him take care of it. And that is exactly what happened. Allah himself intervened and gave him the green light to follow his heart's desire. In the Surah Tahrim God licensed his beloved prophet to have his flings and not pay attention to his wives. What can a prophet ask more? Allah was so concerned about Muhammad's carnal pleasures that he even allowed ALL MEN to break their oaths as a bounty. Alhamdulillah! AllahuAkbar! Subhanillah. Isn't Allah great?


Our Response:
Ali Sina simply does not make sense. By his own admission, the Prophet abstained from sex for nearly a month. That shows that the Prophet was not a sexual predator as most anti Islamics like Ali Sina portray him to be.

Secondly, the interpretation of the verse will be provided soon within the article so read on....



Ali Sina said:
It is also worthy of mention that Muhammad who came to know that Hafsa did reveal the secret to Aisha, lied to her by pretending that it was Allah who told him so (Ayat 3) while he actually learned it from Ayisha. But of course Muhammad is not the author of Quran. It is Allah himself who is lying for his prophet.

In reaction to the above verses, Ayisha, who was not only young and pretty but also clever, is reported to have said to Muhammad, "Your God indeed rushes in coming to your aid!"



Our Response:
We have not seen any references put forward by Ali Sina to prove this, so I won't know how to respond back to that unless I see the reference first.



Ali Sina said:
The above story must have been also embarrassing for Muhammad’s followers even when they gobbled mindlessly everything he told them. So they made other hadithes to explain those verses of Quran that were already explained by Omar.

Sahih Muslim Book 009, Number 3496:

'A'isha (Allah be pleased with her) narrated that Allah's Apostle (may peace be upon him) used to spend time with Zainab daughter of Jahsh and drank honey at her house. She ('A'isha further) said: I and Hafsa agreed that one whom Allah's Apostle (may peace be upon him) would visit first should say: I notice that you have an odour of the Maghafir (gum of mimosa). He (the Holy Prophet) visited one of them and she said to him like this, whereupon he said: I have taken honey in the house of Zainab bint Jabsh and I will never do it again. It was at this (that the following verse was revealed): 'Why do you hold to be forbidden what Allah has made lawful for you... (up to). If you both ('A'isha and Hafsa) turn to Allah" up to:" And when the Holy Prophet confided an information to one of his wives" (lxvi. 3). This refers to his saying: But I have taken honey.

Also Sahih Muslim Book 009, Number 3497:


Our Response:
These are authentic hadith that Ali Sina cannot deny. When there is a narration that supports his views, he accepts them and if there is a narration that goes against his views, he accepts them. This is illogical.

Yusuf Ali in his commentary said
66. 1:
C5529. The Prophet's household was not like other households. The Consorts of Purity were expected to hold a higher standard in behaviour and reticence than ordinary women, as they had higher work to perform. See n. 3706 to xxxiii. 28. But they were human beings after all, and were subject to the weaknesses of their sex, and they sometimes failed. The commentators usually cite the following incident in connection with the revelation of these verses. It is narrated from 'Aisha, the wife of the holy Prophet (peace be on him) by Bukhari, Muslim, Nasai. Abu Dawud and others that the holy Prophet usually visited all his wives daily after 'Asr Prayer. Once it so happened that he stayed longer than usual at the quarters of Zainab bint Jahsh, for she had received from somewhere some honey which the holy Prophet liked very much. "At this", says 'Aisha, "I felt jealous, and Hafsa, Sawda, Safiya, and I agreed among ourselves that when he visits us each of us would tell him that a peculiar odour came from his mouth as a result of what he had eaten, for we knew that he was particularly sensitive to offensive smells". So when his wives hinted at it, he vowed that he would never again use honey. Thereupon these verses were revealed reminding him that he should not declare to himself unlawful that which Allah had made lawful to him. The important point to bear in mind is that he was at once rectified by revelation, which reinforces the fact that the prophets are always under divine protection, and even the slightest lapse on their part is never left uncorrected.

C5530. The tender words of admonition addressed to the Consorts in xxxiii. 28-34 explain the situation far better than any comments can express. If the holy Prophet had been a mere husband in the ordinary sense of the term, he could not have held the balance even between his private feelings and his public duties. But he was not an ordinary husband, and he abandoned his renunciation on his realisation of the higher duties with which he was charged, and which required conciliation with firmness.

Yusuf Ali's Commentary from QuranTrans
1) What does it mean when it says : 1. O Prophet! Why do you ban (for yourself) that which Allâh has made lawful to you, seeking to please your wives? And Allâh is Oft-Forgiving, Most Merciful .

Here is what Ibn Kathir says:

Taken from http://www.tafsir.com/default.asp?sid=66&tid=54321

Al-Bukhari recorded that `Ubayd bin `Umayr said that he heard `A'ishah claiming that Allah's Messenger used to stay for a period in the house of Zaynab bint Jahsh and drink honey in her house. (She said) "Hafsah and I decided that when the Prophet entered upon either of us, we would say, `I smell Maghafir on you. Have you eaten Maghafir' When he entered upon one of us, she said that to him. He replied (to her),

No, but I drank honey in the house of Zaynab bint Jahsh, and I will never drink it again.)'' Then the following was revealed

(O Prophet! Why do you fobid that which Allah has allowed to you) up to

(If you both turn in repentance to Allah, your hearts are indeed so inclined;) in reference to `A'ishah and Hafsah.

2) What does it mean that the Prophet disclosed something in secret? Heres what Ibn Kathir states:

And (remember) when the Prophet disclosed a matter in confidence to one of his wives,) which refers to this saying

(But I have drunk honey.) Ibrahim bin Musa said that Hisham said that it also meant his saying,

(I will not drink it anymore, I have taken an oath to that. Therefore, do not inform anybody about it.)



Ali Sina said:
First of all honey does not smell bad.

Our Response:
Sina is correct in the sense in that honey does not smell bad. But the hadith he quoted does not say that. It says that mughafir, which the hadith tells us is the gum of the Mimosa tree, smells bad.

For the evidence see what Ibn Kathir says
Al-Bukhari also recorded this Hadith in the Book of Divorce; then he said, "Al-Maghafir is a type of sap, and in Ar-Rimth (a type of citrus) its taste is sweet...'' Al-Jawhari said, "The `Urfut is a tree of the shrub variety, which secretes Maghfur.'' Muslim collected this Hadith from `A'ishah in the Book of Divorce in his Sahih, and his wording is the same as Al-Bukhari in the Book of Vows. In the Book of Divorce, Al-Bukhari recorded that `A'ishah said, "Allah's Messenger liked sweets and honey. After performing the `Asr prayer, he used to visit his wives, going close to them. So he went to Hafsah, daughter of `Umar, and stayed with her more than his usual stay. I (`A'ishah) became jealous and asked about that. It was said to me, `A woman of her family sent her a small vessel of honey as a gift, and she gave a drink to Allah's Messenger made from it.' I said, `By Allah, we will contrive a plot against him.' I said to Sawdah bint Zam`ah, `When the Messenger visits you and draws close to you, say to him, `Have you eaten Maghafir' And when he says to you, `No', then ask him, `What is this odor' He will say to you, `Hafsah has given me a drink of honey.' Then you should say to him, `The honeybees might have eaten from Urfut, and I will also say the same to him. Safiyyah, you should also say this.' Sawdah later said, `It was under compulsion that I had decided to state that which you told me; soon, by Allah, he was standing at my door.' So when Allah's Messenger came near her, she said, `O Messenger of Allah! Did you eat Maghafir' He said, `No.' She again said, `Then what is this odor' He said,

(Hafsah gave me honey to drink.) She said, `The honeybees might have eaten from `Urfut.')'' `A'ishah continued, "When he came to me I said the same to him. He then visited Safiyyah and she also said similar to him. When he again visited Hafsah, she said, `O Messenger of Allah, should I not give you that (drink)' He said,

(I do not need it.) Sawdah said, `By Allah! We have prevented him from drinking honey.' I said to her, `Keep quiet!''' Muslim also recorded this Hadith, but this wording is from Al-Bukhari. In the narration of Muslim, `A'ishah said, "The Messenger of Allah used to hate to have a bad odor coming from him'' This is why they suggested to him that he ate Maghafir, because it causes a bad odor. When he said,

(No, I had some honey.) They said that the bees ate from a tree that is called Al-`Urfut, which has Maghafir gum, suggesting that this is the reason behind the bad odor they claimed was coming from him. The latter narration, collected through `Urwah from `A'ishah, mentions that it was Hafsah who gave the Prophet the honey. In another narration collected from `Ubayd bin `Umayr, from `A'ishah, it was Zaynab bint Jahsh who gave the honey to the Prophet , while `A'ishah and Hafsah were the plotters. Allah knows best. Some might say that they were two separate incidents. However, it is not likely that the Ayat were revealed about both incidents, if indeed they were two separate incidents. Allah knows best. A Hadith that Imam Ahmad collected in the Musnad mentions that `A'ishah and Hafsah were the plotters. Imam Ahmad recorded that Ibn `Abbas said, "I was eager to ask `Umar about the two ladies among the wives of the Prophet , about whom Allah said,



Ali Sina said:
ut above all it is inconceivable that a trivial incident like drinking honey could cause such an upheaval in the household of the prophet to the extend that he decides to divorce all of his wives or to punish them for one month by not sleeping with them.

Our Response:
It wasn't the drinking of honey that caused the Prophet (PBUH) to become displeased with his wives, but the jealousy displayed by them because they felt he was giving too much attention to Zainab, and their secret plotting against him in order to make him spend less time with her.


Conclusion


We come to the closing of the article, but we tend to ask ourselves, WAS IT ALL JUST BECAUSE OF HONEY?? No, it wasn't, it was more. As you can read, Allah Almighty made it clear in the Holy Quran in Sura At-Tahrim :

4. If you two (wives of the Prophet SAW, namely 'Aishah and Hafsah turn in repentance to Allâh, (it will be better for you), your hearts are indeed so inclined (to oppose what the Prophet SAW likes), but if you help one another against him (Muhammad SAW), then verily, Allâh is his Maula (Lord, or Master, or Protector, etc.), and Jibrael (Gabriel), and the righteous among the believers, and furthermore, the angels are his helpers.

That the Wives of the Holy Prophet (S) used to conspire against him. They were inclined to oppose what the Prophet (S) liked, in this case honey, and lied to him. Again, the main reason why the Prophet got mad was because Hafsah broke her promise and as I showed in the hadith earlier, breaking one's promise is a major sin in Islam.

We pray that Ali Sina becomes a Muslim again, May Allah SWT lead him to Islam....... Ameen !

Wassalam...
lihd
lihd
SILVER MEMBERS
SILVER MEMBERS

Male
Number of posts : 2075
Location : Bait Allah
Job/hobbies : Merevisi Injil
Humor : Tolong carikan ahli sains yg TOP utk menjumlahkan 1+1+1= ...??
Reputation : -76
Points : 6891
Registration date : 2011-03-09

Back to top Go down

Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty Re: Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

Post by musicman Mon 27 Jun 2011, 11:48 am

kermit katak lucu wrote:Yang berikut ini adalah skandal cinta Muhammad dengan Mariyah orang Koptik, yang merupakan salah seorang budak dari isteri-isteri Nabi. Muhammad tidur dengannya tanpa ada upacara apapun, sehingga menyebabkan kegaduhan di antara isteri-isterinya, dan harus diatasi lewat “Intervensi Ilahi.” Kisah ini dicatat dalam sebuah Hadis otentik dan dilaporkan oleh Umar.

Hadis ini menjelaskan alasan turunnya wahyu dalam Quran 66:4.

“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.”

Umar menjelaskan bahwa kedua wanita ini adalah Hafsa dan Aisyah, yang menjadi tidak hormat kepada Nabi, sehingga Nabi merasa sedih dan berpikir untuk menceraikan semua isteri-isterinya. Inilah kisah selengkapnya.

Bukhari Volume 3, Book 43, Number 648:

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas:

Aku sangat ingin bertanya kepada Umar tentang kedua wanita dari antara isteri-isteri Nabi, dalam kaitan dengan siapakah Allah berkata (dalam Quran): Jika kalian berdua (isteri-isteri Rasul yaitu Aisyah dan Hafsa) bertobat kepada Allah, sebab hati kamu berdua telah condong (menentang apa yang disukai oleh Rasul) (Quran 66:4), hingga melaksanakan Haji bersama-sama dengan ‘Umar (dan dalam perjalanan kita pulang berhaji), ia pergi ke suatu tempat (untuk melaksanakan panggilan alam/buang hajat), dan aku juga pergi bersamanya dengan membawa ember berisi air. Ketika ia telah selesai melaksanakan panggilan alam dan telah kembali. Aku menuangkan air ke tangannya dari ember itu dan melaksanakan wudhu. Aku berkata,”Oh Kepala orang-orang beriman! “Siapakah kedua wanita dari antara isteri-isteri Nabi yang kepadanya Allah telah berfirman,‘Jika kamu berdua bertobat (66:4)? Ia menjawab,”Aku terkejut dengan pertanyaanmu, Oh Ibn ‘Abbas. Mereka adalah Aisyah dan Hafsa.”

Kemudian ‘Umar mengkaitkan kisah itu dan berkata:

“Aku dan tetanggaku seorang Ansari berasal dari Bani Umaiya bin Zaid. Kami tinggal di ‘Awali Al-Medina. Kami biasanya mengunjungi Nabi secara bergantian. Ia pergi berkunjung pada satu hari, dan aku di hari yang lain. Ketika aku pergi, aku akan membawa kabar padanya mengenai apa yang telah terjadi pada hari itu, mengenai apa yang diperintahkan, serta aturan-aturan yang diberlakukan. Dan ketika ia pergi, ia juga biasa melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan.

Kami orang-orang Quraish mempunyai otoritas atas para wanita, namun saat kami tinggal bersama dengan Ansar, kami perhatikan wanita-wanita Ansari mempunyai tangan yang lebih tinggi di atas pria-pria mereka. Karena itu para wanita kami mulai meniru kebiasaan wanita-wanita Ansari. Suatu ketika aku meneriaki isteriku, dan kemudian ia membalas meneriakiku dan aku tidak suka kalau ia membalas teriakanku. Isteriku berkata,’Mengapa engkau merasa sakit hati jika aku menjawabmu dengan pedas? Demi Allah, isteri-isteri Nabi pun menjawabnya dengan pedas, dan beberapa dari mereka bahkan tidak mau berbicara dengannya dari pagi hingga malam hari.’

Apa yang ia katakan menakutkanku dan aku berkata padanya,’Siapapun dari antara mereka yang melakukan hal seperti itu, mereka akan mengalami kerugian yang sangat besar.’ Kemudian aku mengenakan pakaian dan pergi menemui Hafsa dan bertanya padanya,’Apakah ada dari antara kalian yang membuat Rasul Allah menjadi marah dari pagi hingga malam hari?’ Ia membenarkan hal itu. Aku berkata,’Ia akan menjadi orang-orang yang rugi (dan tak akan pernah meraih keberhasilan)! Tidakkah ia takut bahwa Allah akan menjadi marah pada mereka yang marah pada Rasul Allah, dan oleh karena itu akan dimusnahkan oleh Allah? Janganlah meminta terlalu banyak pada Rasul Allah, dan jangan menjawabnya dengan pedas untuk hal apapun, juga jangan mengabaikannya. Mintalah dariku apapun yang kamu sukai, dan jangan tergoda untuk meniru perilaku tetanggamu (misalnya Aisyah) terhadap Nabi. Sebab dia (yaitu Aisyah) lebih cantik dari kalian semua, dan lebih dikasihi oleh Rasul Allah.

Pada hari-hari itu, ada rumor bahwa Ghassam (satu suku yang tinggal di Sham), tengah menyiapkan kuda-kuda mereka untuk menginvasi kami. Rekanku berangkat (untuk bertemu Nabi pada hari gilirannya) dan pulang pada malam hari, mengetuk pintu rumahku dengan kasar, bertanya apakah aku sedang tidur. Aku menjadi takut (dengan ketukan keras di pintu) dan segera menemuinya. Ia mengatakan bahwa sebuah kejadian besar tengah terjadi. Aku bertanya padanya: Apakah itu? Apakah Ghassam sudah datang? Ia menjawab bahwa ini adalah hal yang lebih serius dan buruk dari itu, dan menambahkan bahwa Rasul Allah telah menceraikan semua isteri-isterinya.

Aku berkata, Hafsa adalah seorang pembuat masalah! Aku pikir masalah seperti ini akan terjadi.’ Maka aku mengenakan pakaianku dan menawarkan untuk memimpin sembahyang subuh bersama Nabi. Kemudian Nabi memasuki sebuah ruang di sebelah atas dan tinggal di sana sendirian. Aku pergi kepada Hafsa dan menjumpainya tengah menangis. Aku bertanya padanya,’Mengapa engkau menangis? Bukankah aku sudah memperingatkanmu? Benarkah Rasul Allah sudah menceraikan kalian semua?’ Ia menjawab,’Aku tidak tahu. Ia ada di sana, di ruangan atas.’ Kemudian aku pergi keluar menuju mimbar dan menemui satu kelompok orang di sekitar mimbar itu dan beberapa dari mereka tengah menangis.

Kemudian aku duduk dengan mereka untuk beberapa waktu lamanya, tetapi merasa tidak tahan dengan situasi yang terjadi pada waktu itu. Karena itu aku naik ke ruangan atas dimana Nabi tengah berada, dan memohon pada seorang budaknya yang berkulit hitam:”Maukah engkau memberikan ijin (Rasul Allah) kepada Umar (untuk masuk)? Budak itu pun masuk, berbicara dengan Nabi mengenai hal itu dan keluar dengan berkata,’Aku telah memberitahukan bahwa kalian ingin menemuinya, tetapi dia tidak menjawab.’ Karena itu aku pergi dan duduk bersama dengan orang-orang yang tengah duduk di sekitar mimbar, tetapi aku tidak tahan menanggung situasinya, karena itu aku pergi kepada budak itu kembali dan berkata:”Bisakah engkau memberikan ijin bagi Umar?

Ia masuk ke dalam dan membawa jawaban yang sama seperti sebelumnya. Ketika aku akan pulang, budak itu memanggilku sambil berkata,”Rasul Allah telah memberikan ijin kepadamu.” Maka aku pun masuk menemui Nabi dan melihat dia sedang berbaring di atas tikar tanpa alas, dan ada tanda bekas tubuh Nabi di atas tikar itu, dan ia berbaring pada sebuah bantal kulit yang diisi dengan daun palem. Aku mengucapkan salam padanya dan sementara masih berdiri, aku berkata:”Apakah engkau telah menceraikan isteri-isterimu?’ Ia menatapku dengan tajam dan menjawab dengan nada negatif. Sementara masih berdiri, sambil mengobrol aku berkata: ”Bisakah engkau mengindahkan apa yang aku katakan, ‘Oh Rasul Allah! Kami, orang-orang Quraish, biasanya tangan kami berada lebih tinggi dari para wanita (isteri-isteri) kami, dan ketika kami menjumpai orang-orang yang tangan para wanita mereka lebih tinggi daripada mereka…”

‘Umar memberitahukan seluruh kisah (mengenai isteri-isterinya). “Tentang hal itu Nabi tersenyum.” ‘Umar lebih jauh lagi mengatakan,”Kemudian aku berkata,”Aku pergi menemui Hafsa dan berkata kepadanya: Janganlah tergoda untuk meniru teman-temanmu (‘Aisyah), sebab ia itu lebih cantik daripada engkau dan lebih disayangi oleh Nabi.’

Nabi kembali tersenyum. Ketika aku melihatnya tersenyum, aku duduk dan melemparkan pandangan sekilas ke sekeliling ruangan itu, dan demi Allah, aku tidak dapat melihat satupun yang penting kecuali tiga hal yang tersembunyi. Aku berkata (kepada Rasul Allah) “Berdoalah agar Allah membuat para pengikutmu menjadi makmur, sebab orang Persia dan orang Bizantium telah membuat penduduknya menjadi makmur, serta memberikan barang-barang yang mewah, meskipun mereka tidak menyembah Allah?’

Nabi kemudian menyandarkan tubuhnya (dan ketika mendengar apa yang kukatakan, ia duduk dengan tegak) dan berkata,’O Ibn Al-Khattab! Apakah engkau mempunyai keraguan bahwa Hidup sesudah mati adalah lebih baik daripada dunia ini)? Orang-orang itu hanya menerima upah atas perbuatan baik mereka di dunia ini saja.’ Aku bertanya kepada Nabi. ‘Mintalah pengampunan Allah untukku. Nabi tidak mengunjungi isteri-isterinya karena rahasia yang dibukakan Hafsa kepada Aisyah, dan ia berkata bahwa ia tidak akan menemui isteri-isterinya selama satu bulan sebab ia marah pada mereka – ketika Allah menegur dia (atas sumpahnya bahwa ia tidak akan kembali mendekati Mariyah).

Ketika dua puluh sembilan hari telah berlalu, pertama-tama Nabi pergi menemui Aisyah. Ia berkata padanya (pada Rasul Allah), ’Engkau sudah bersumpah bahwa engkau tidak akan datang menemui kami selama satu bulan, dan hari ini baru hari yang keduapuluh sembilan, karena setiap hari aku menghitungnya.’ Nabi berkata,’Bulan ini juga terdiri dari dua puluh sembilan hari.’ Aisyah berkata,’Ketika Pilihan Wahyu Ilahi disingkapkan, Nabi memulainya denganku, dengan mengatakan padaku,’Aku memberitahukanmu sesuatu, tetapi engkau tidak perlu terburu-buru memberikan jawaban hingga engkau berkonsultasi dengan orang tuamu.” Aisyah tahu bahwa orang tuanya tidak akan menasehatinya untuk berpisah dengan Nabi. Nabi mengatakan bahwa Allah telah berfirman:

‘Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.’ (33:28,29). Aisyah bertanya padanya,’Apakah aku perlu mengkonsultasikan hal ini pada orang tuaku? Sesungguhnya aku lebih menyukai Allah, RasulNya, dan Rumah di negeri akhirat.’ Setelah itu, Nabi memberikan pilihan pada isteri-isterinya yang lain, dan mereka pun memberikan jawaban yang sama ‘sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah.”

Hadis ini dilaporkan juga dalam Muslim 9.3511, dan Bukhari 3.43.648,7.62.119

Ini sesuatu yang signifikan sebab berisi dua poin sejarah penting. Pertama, ia menyingkapkan, berdasarkan pengakuan Umar sendiri bahwa, “tangan para wanita Ansari ada di atas tangan para pria mereka”. Bahkan jika kita menganggap hal itu sebagai sesuatu yang dibesar-besarkan, adalah jelas bahwa wanita di Medina mempunyai lebih banyak hak dan otoritas dibandingkan dengan sesama wanita dari suku Quraish. Mekah, rumah dari suku Quraish, darimana Umar dan Muhammad berasal, adalah sebuah pusat keagamaan.

Orang yang tinggal di kota-kota keagamaan biasanya lebih fanatik dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kota-kota lainnya. Agama selalu memainkan peran untuk menundukkan kaum wanita dan mengambil hak-hak kemanusiaan mereka. Sebab itu, merupakan hal yang natural bahwa para wanita Mekah bersikap lebih tunduk dibandingkan dengan wanita yang hidup di tempat lain di Arabia, dan khususnya di Medina, yang pada waktu itu merupakan sebuah kota yang lebih kosmopolitan dan mempunyai penduduk dari bangsa-bangsa yang lebih maju peradabannya seperti Yahudi dan Kristen. Isteri-isteri Umar dan Muhammad lebih menyukai atmosfer emansipasi ini dan ingin menerapkan kebebasan relatif mereka. Tetapi hal ini tidak sesuai dengan keinginan kedua pria tak bermoral dari Mekah, yang bernama Umar dan Muhammad. Karena itu, hadis ini memperlihatkan bagaimana mereka dikejutkan oleh kebebasan yang baru ditemukan oleh isteri-isteri mereka. Hadis ini adalah hadis yang penting, sebab ini membuktikan bahwa para wanita sebelum Islam, memiliki lebih banyak kebebasan. Tetapi kemudian, kebebasan itu diambil dari mereka oleh Muhammad dan para penggantinya yang bejat. Juga menjadi jelas bahwa status yang menyedihkan dari para wanita dalam Islam, sesungguhnya bukanlah karena sebuah keputusan ilahi, namun pada tingkatan yang lebih luas, merupakan refleksi bagaimana para wanita diperlakukan di Mekah 1400 tahun yang lalu.

Fakta bahwa ada begitu banyak penekanan dalam Quran dan hadis mengenai betapa pentingnya para wanita untuk taat kepada suami-suami mereka, sesungguhnya menjadi sebuah indikasi dari keinginan Muhammad sendiri untuk mengontrol isteri-isterinya yang masih muda dan suka memberontak.

Hadis ini juga menyingkapkan skandal seksual nabi yang lain.

Suatu hari Muhammad pergi ke rumah Hafsa isterinya, anak perempuan Umar, dan menjumpai pembantunya yang menarik yaitu Mariyah. Muhammad memikirkan bagaimana ia bisa membuat Hafsa pergi dari rumahnya, sehingga ia bisa berduaan saja dengan Mariyah. Ia berbohong dengan mengatakan pada Hafsa bahwa ayahnya, Umar, memanggilnya. Ketika Hafsa pergi, Muhammad membawa Mariyah ke tempat tidur dan berhubungan seks dengannya. Bagi Mariyah, menolak keinginan Muhammad adalah hal yang tak terpikirkan. Ia adalah seorang budak perempuan yang jauh dari keluarganya, sementara Muhammad sendiri adalah hukum di kota itu. Jadi secara teknis, Muhammad sebenarnya melakukan perkosaan kepada Mariyah.

Sementara itu, Hafsa yang menyadari bahwa ayahnya tidak memanggilnya, dan juga yang kepulangannya ke rumah tidak diduga akan secepat itu, memergoki bagaimana suaminya yang sangat termasyur itu tengah berduaan di tempat tidur dengan pembantunya.

Hafsa menjadi sangat histerikal dan lupa dengan kedudukan nabi yang ia teriaki, sehingga hal itu menjadi sebuah skandal. Nabi meminta Hafsa untuk tenang dan berjanji untuk tidak tidur lagi dengan Mariyah. Ia juga memohon dengan sangat agar Hafsa tidak menceritakan rahasia itu kepada siapa pun.

Meskipun demikian, Hafsa yang tidak sanggup mengontrol dirinya, memberitahukan kejadian itu kepada temannya Aisyah dan keduapuluh isteri-isteri nabi lainnya, sehingga menyebabkan “Sang Karunia Allah bagi dunia” mengalami beban mental yang berat. Sang “Karunia Allah” memutuskan untuk menghukum semua isteri-isterinya, dan mengumumkan bahwa ia tidak akan tidur lagi dengan salah seorang pun dari mereka selama satu bulan. Ini adalah dua tingkatan penghukuman yang direkomendasikan dalam Quran. Tingkat pertama adalah menegur mereka, dan tingkat ketiga adalah hukuman badan. Q. 4: 34.

Ketika seorang pria memutuskan untuk menghukum isterinya dengan berpantang melakukan hubungan seks, ia bisa memuaskan dirinya dengan isteri-isterinya yang lain. Tetapi kemarahan Muhammad menyebabkannya mengucapkan sumpah untuk tidak tidur dengan satu pun dari mereka selama satu bulan. Tentu saja hal ini menjadi terlalu berat bagi yang terkasih Sang Utusan Allah (semoga damai turun atas jiwanya yang tak bernoda). Karena itu Allah, dalam karunianya, datang untuk menolong nabinya dan mewahyukan Sura Tahrim (Larangan). Dalam Sura ini, Allah menegur nabinya karena bersikap terlalu keras terhadap dirinya sendiri, dan untuk menolak melakukan apa yang ia sukai, demi untuk menyenangkan hati isteri-isterinya, padahal hal itu sesungguhnya sudah “dihalalkan” untuk ia lakukan.

1. Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

2. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

3. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

4. Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.

5. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan. (Q. 66:1-5)

Meskipun Muhammad sudah menyampaikan sumpahnya itu kepada Hafsa, yaitu untuk tidak lagi tidur dengan pembantunya, tetapi ia tidak sanggup menahan godaan. Ia sudah mengecap manisnya buah terlarang dan karena itu ia harus menghabiskannya. Ini menjadi hal yang mendesak, karena ia pun juga telah mengucapkan sumpah lainnya, yaitu untuk tidak tidur dengan semua isteri-isterinya yang lain. Bagaimana mungkin “Ciptaan Terbaik” tidak berhubungan seks selama satu bulan penuh?

Ini merupakan situasi yang sulit dan, karena itu, tak seorang pun bisa menolongnya kecuali Allah sendiri. Yang jelas, tak ada yang mustahil, jika Allah ada di dalam saku celanamu sendiri. Serahkan segala sesuatu di tangan sahabatmu yang “maha kuasa”, dan biarkan ia yang mengurusnya.


Inilah yang sebenarnya terjadi. Allah sendiri yang campur tangan dan memberikan lampu hijau pada nabiNya untuk mengikuti hasrat hatinya sendiri. Dalam sura Tahrim, Allah merestui nabi kesayanganNya untuk tetap tinggal bersama Mariyah dan tidak mempedulikan isteri-isterinya. Apa lagi yang lebih dari itu yang bisa diminta oleh seorang nabi? Allah sedemikian peduli dengan hasrat jasmani Muhammad sehingga Ia bahkan mengijinkan SEMUA ORANG untuk membatalkan sumpah-sumpah mereka sebagai “sebuah karunia.” Alhamdulillah! Subhanaallah. Allah itu begitu luar biasa bukan?

Juga patut jika menyebutkan, setelah Muhammad mengetahui kalau Hafsa telah memberitahukan rahasianya kepada Aisyah, maka Muhammad pun kemudian kembali berbohong dengan mengatakan bahwa Allah-lah yang memberitahukan hal itu padanya (ayat 3), padahal yang benar adalah Aisyah sendiri yang memberitahukan hal itu pada Muhammad. Tetapi, tentu saja Muhammad bukanlah pengarang Quran. Melainkan Allah sendiri yang berbohong demi nabiNya.

Dalam sura ini, Muhammad menggambarkan pencipta alam semesta sebagai seorang mucikari, seorang penggosip dan seorang pendusta – semuanya itu ia lakukan untuk menutupi kebejatan dan perzinahannya.

Sebagai reaksi atas ayat-ayat di atas, Aisyah yang tidak hanya masih muda dan cantik, tetapi juga cerdik, melaporkan apa yang telah disampaikan padanya, kepada Muhammad. Ia berkata,”Tuhanmu sedemikian gesitnya menolongmu!”




udah saya bikin kabur tuh....teman se UMAT anda...ngebahas masalah ini

https://murtadinkafirun.forumotion.com/t10737-muhamad-nafsu-sama-safiyah-wanita-yahudi-lho

Basi!
musicman
musicman
SILVER MEMBERS
SILVER MEMBERS

Number of posts : 2736
Reputation : 7
Points : 7765
Registration date : 2011-01-04

Back to top Go down

Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty Re: Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

Post by musicman Mon 27 Jun 2011, 11:55 am

Tom Jerry wrote:kayaknya soal Mariyah budak Mesir si Kristen Koptik pernah saya topikkan... sampe sekarang belum ada muslimer di sini yg ngejelasin tuh...!!! ayo musicman, dik ht (hamba tuhan) aktivis riska (remaja islam sunda kelapa ----karena ngajak saya ketemu di mesjid sunda kelapa), lihd, BOTEL, dll.... mana tanggapannya...???
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci 706181

baca diatas!udah saya bikin KABUR..gk balik2 lagi temen se UMAT ANDA!!!


udah jd Chreeleadersnya banci Plintir TOM?

masih gk sadar2 juga Tom....Thread2 anda udah banyak saya bikin Jungkir balik???
musicman
musicman
SILVER MEMBERS
SILVER MEMBERS

Number of posts : 2736
Reputation : 7
Points : 7765
Registration date : 2011-01-04

Back to top Go down

Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty Re: Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

Post by Tom Jerry Wed 29 Jun 2011, 3:51 pm

lihd wrote:
kermit katak lucu wrote:Yang berikut ini adalah skandal cinta Muhammad dengan Mariyah orang Koptik, yang merupakan salah seorang budak dari isteri-isteri Nabi. Muhammad tidur dengannya tanpa ada upacara apapun, sehingga menyebabkan kegaduhan di antara isteri-isterinya, dan harus diatasi lewat “Intervensi Ilahi.” Kisah ini dicatat dalam sebuah Hadis otentik dan dilaporkan oleh Umar.

Hadis ini menjelaskan alasan turunnya wahyu dalam Quran 66:4.

“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.”

Umar menjelaskan bahwa kedua wanita ini adalah Hafsa dan Aisyah, yang menjadi tidak hormat kepada Nabi, sehingga Nabi merasa sedih dan berpikir untuk menceraikan semua isteri-isterinya. Inilah kisah selengkapnya.

Bukhari Volume 3, Book 43, Number 648:

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas:

Aku sangat ingin bertanya kepada Umar tentang kedua wanita dari antara isteri-isteri Nabi, dalam kaitan dengan siapakah Allah berkata (dalam Quran): Jika kalian berdua (isteri-isteri Rasul yaitu Aisyah dan Hafsa) bertobat kepada Allah, sebab hati kamu berdua telah condong (menentang apa yang disukai oleh Rasul) (Quran 66:4), hingga melaksanakan Haji bersama-sama dengan ‘Umar (dan dalam perjalanan kita pulang berhaji), ia pergi ke suatu tempat (untuk melaksanakan panggilan alam/buang hajat), dan aku juga pergi bersamanya dengan membawa ember berisi air. Ketika ia telah selesai melaksanakan panggilan alam dan telah kembali. Aku menuangkan air ke tangannya dari ember itu dan melaksanakan wudhu. Aku berkata,”Oh Kepala orang-orang beriman! “Siapakah kedua wanita dari antara isteri-isteri Nabi yang kepadanya Allah telah berfirman,‘Jika kamu berdua bertobat (66:4)? Ia menjawab,”Aku terkejut dengan pertanyaanmu, Oh Ibn ‘Abbas. Mereka adalah Aisyah dan Hafsa.”

Kemudian ‘Umar mengkaitkan kisah itu dan berkata:

“Aku dan tetanggaku seorang Ansari berasal dari Bani Umaiya bin Zaid. Kami tinggal di ‘Awali Al-Medina. Kami biasanya mengunjungi Nabi secara bergantian. Ia pergi berkunjung pada satu hari, dan aku di hari yang lain. Ketika aku pergi, aku akan membawa kabar padanya mengenai apa yang telah terjadi pada hari itu, mengenai apa yang diperintahkan, serta aturan-aturan yang diberlakukan. Dan ketika ia pergi, ia juga biasa melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan.

Kami orang-orang Quraish mempunyai otoritas atas para wanita, namun saat kami tinggal bersama dengan Ansar, kami perhatikan wanita-wanita Ansari mempunyai tangan yang lebih tinggi di atas pria-pria mereka. Karena itu para wanita kami mulai meniru kebiasaan wanita-wanita Ansari. Suatu ketika aku meneriaki isteriku, dan kemudian ia membalas meneriakiku dan aku tidak suka kalau ia membalas teriakanku. Isteriku berkata,’Mengapa engkau merasa sakit hati jika aku menjawabmu dengan pedas? Demi Allah, isteri-isteri Nabi pun menjawabnya dengan pedas, dan beberapa dari mereka bahkan tidak mau berbicara dengannya dari pagi hingga malam hari.’

Apa yang ia katakan menakutkanku dan aku berkata padanya,’Siapapun dari antara mereka yang melakukan hal seperti itu, mereka akan mengalami kerugian yang sangat besar.’ Kemudian aku mengenakan pakaian dan pergi menemui Hafsa dan bertanya padanya,’Apakah ada dari antara kalian yang membuat Rasul Allah menjadi marah dari pagi hingga malam hari?’ Ia membenarkan hal itu. Aku berkata,’Ia akan menjadi orang-orang yang rugi (dan tak akan pernah meraih keberhasilan)! Tidakkah ia takut bahwa Allah akan menjadi marah pada mereka yang marah pada Rasul Allah, dan oleh karena itu akan dimusnahkan oleh Allah? Janganlah meminta terlalu banyak pada Rasul Allah, dan jangan menjawabnya dengan pedas untuk hal apapun, juga jangan mengabaikannya. Mintalah dariku apapun yang kamu sukai, dan jangan tergoda untuk meniru perilaku tetanggamu (misalnya Aisyah) terhadap Nabi. Sebab dia (yaitu Aisyah) lebih cantik dari kalian semua, dan lebih dikasihi oleh Rasul Allah.

Pada hari-hari itu, ada rumor bahwa Ghassam (satu suku yang tinggal di Sham), tengah menyiapkan kuda-kuda mereka untuk menginvasi kami. Rekanku berangkat (untuk bertemu Nabi pada hari gilirannya) dan pulang pada malam hari, mengetuk pintu rumahku dengan kasar, bertanya apakah aku sedang tidur. Aku menjadi takut (dengan ketukan keras di pintu) dan segera menemuinya. Ia mengatakan bahwa sebuah kejadian besar tengah terjadi. Aku bertanya padanya: Apakah itu? Apakah Ghassam sudah datang? Ia menjawab bahwa ini adalah hal yang lebih serius dan buruk dari itu, dan menambahkan bahwa Rasul Allah telah menceraikan semua isteri-isterinya.

Aku berkata, Hafsa adalah seorang pembuat masalah! Aku pikir masalah seperti ini akan terjadi.’ Maka aku mengenakan pakaianku dan menawarkan untuk memimpin sembahyang subuh bersama Nabi. Kemudian Nabi memasuki sebuah ruang di sebelah atas dan tinggal di sana sendirian. Aku pergi kepada Hafsa dan menjumpainya tengah menangis. Aku bertanya padanya,’Mengapa engkau menangis? Bukankah aku sudah memperingatkanmu? Benarkah Rasul Allah sudah menceraikan kalian semua?’ Ia menjawab,’Aku tidak tahu. Ia ada di sana, di ruangan atas.’ Kemudian aku pergi keluar menuju mimbar dan menemui satu kelompok orang di sekitar mimbar itu dan beberapa dari mereka tengah menangis.

Kemudian aku duduk dengan mereka untuk beberapa waktu lamanya, tetapi merasa tidak tahan dengan situasi yang terjadi pada waktu itu. Karena itu aku naik ke ruangan atas dimana Nabi tengah berada, dan memohon pada seorang budaknya yang berkulit hitam:”Maukah engkau memberikan ijin (Rasul Allah) kepada Umar (untuk masuk)? Budak itu pun masuk, berbicara dengan Nabi mengenai hal itu dan keluar dengan berkata,’Aku telah memberitahukan bahwa kalian ingin menemuinya, tetapi dia tidak menjawab.’ Karena itu aku pergi dan duduk bersama dengan orang-orang yang tengah duduk di sekitar mimbar, tetapi aku tidak tahan menanggung situasinya, karena itu aku pergi kepada budak itu kembali dan berkata:”Bisakah engkau memberikan ijin bagi Umar?

Ia masuk ke dalam dan membawa jawaban yang sama seperti sebelumnya. Ketika aku akan pulang, budak itu memanggilku sambil berkata,”Rasul Allah telah memberikan ijin kepadamu.” Maka aku pun masuk menemui Nabi dan melihat dia sedang berbaring di atas tikar tanpa alas, dan ada tanda bekas tubuh Nabi di atas tikar itu, dan ia berbaring pada sebuah bantal kulit yang diisi dengan daun palem. Aku mengucapkan salam padanya dan sementara masih berdiri, aku berkata:”Apakah engkau telah menceraikan isteri-isterimu?’ Ia menatapku dengan tajam dan menjawab dengan nada negatif. Sementara masih berdiri, sambil mengobrol aku berkata: ”Bisakah engkau mengindahkan apa yang aku katakan, ‘Oh Rasul Allah! Kami, orang-orang Quraish, biasanya tangan kami berada lebih tinggi dari para wanita (isteri-isteri) kami, dan ketika kami menjumpai orang-orang yang tangan para wanita mereka lebih tinggi daripada mereka…”

‘Umar memberitahukan seluruh kisah (mengenai isteri-isterinya). “Tentang hal itu Nabi tersenyum.” ‘Umar lebih jauh lagi mengatakan,”Kemudian aku berkata,”Aku pergi menemui Hafsa dan berkata kepadanya: Janganlah tergoda untuk meniru teman-temanmu (‘Aisyah), sebab ia itu lebih cantik daripada engkau dan lebih disayangi oleh Nabi.’

Nabi kembali tersenyum. Ketika aku melihatnya tersenyum, aku duduk dan melemparkan pandangan sekilas ke sekeliling ruangan itu, dan demi Allah, aku tidak dapat melihat satupun yang penting kecuali tiga hal yang tersembunyi. Aku berkata (kepada Rasul Allah) “Berdoalah agar Allah membuat para pengikutmu menjadi makmur, sebab orang Persia dan orang Bizantium telah membuat penduduknya menjadi makmur, serta memberikan barang-barang yang mewah, meskipun mereka tidak menyembah Allah?’

Nabi kemudian menyandarkan tubuhnya (dan ketika mendengar apa yang kukatakan, ia duduk dengan tegak) dan berkata,’O Ibn Al-Khattab! Apakah engkau mempunyai keraguan bahwa Hidup sesudah mati adalah lebih baik daripada dunia ini)? Orang-orang itu hanya menerima upah atas perbuatan baik mereka di dunia ini saja.’ Aku bertanya kepada Nabi. ‘Mintalah pengampunan Allah untukku. Nabi tidak mengunjungi isteri-isterinya karena rahasia yang dibukakan Hafsa kepada Aisyah, dan ia berkata bahwa ia tidak akan menemui isteri-isterinya selama satu bulan sebab ia marah pada mereka – ketika Allah menegur dia (atas sumpahnya bahwa ia tidak akan kembali mendekati Mariyah).

Ketika dua puluh sembilan hari telah berlalu, pertama-tama Nabi pergi menemui Aisyah. Ia berkata padanya (pada Rasul Allah), ’Engkau sudah bersumpah bahwa engkau tidak akan datang menemui kami selama satu bulan, dan hari ini baru hari yang keduapuluh sembilan, karena setiap hari aku menghitungnya.’ Nabi berkata,’Bulan ini juga terdiri dari dua puluh sembilan hari.’ Aisyah berkata,’Ketika Pilihan Wahyu Ilahi disingkapkan, Nabi memulainya denganku, dengan mengatakan padaku,’Aku memberitahukanmu sesuatu, tetapi engkau tidak perlu terburu-buru memberikan jawaban hingga engkau berkonsultasi dengan orang tuamu.” Aisyah tahu bahwa orang tuanya tidak akan menasehatinya untuk berpisah dengan Nabi. Nabi mengatakan bahwa Allah telah berfirman:

‘Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.’ (33:28,29). Aisyah bertanya padanya,’Apakah aku perlu mengkonsultasikan hal ini pada orang tuaku? Sesungguhnya aku lebih menyukai Allah, RasulNya, dan Rumah di negeri akhirat.’ Setelah itu, Nabi memberikan pilihan pada isteri-isterinya yang lain, dan mereka pun memberikan jawaban yang sama ‘sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah.”

Hadis ini dilaporkan juga dalam Muslim 9.3511, dan Bukhari 3.43.648,7.62.119

Ini sesuatu yang signifikan sebab berisi dua poin sejarah penting. Pertama, ia menyingkapkan, berdasarkan pengakuan Umar sendiri bahwa, “tangan para wanita Ansari ada di atas tangan para pria mereka”. Bahkan jika kita menganggap hal itu sebagai sesuatu yang dibesar-besarkan, adalah jelas bahwa wanita di Medina mempunyai lebih banyak hak dan otoritas dibandingkan dengan sesama wanita dari suku Quraish. Mekah, rumah dari suku Quraish, darimana Umar dan Muhammad berasal, adalah sebuah pusat keagamaan.

Orang yang tinggal di kota-kota keagamaan biasanya lebih fanatik dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kota-kota lainnya. Agama selalu memainkan peran untuk menundukkan kaum wanita dan mengambil hak-hak kemanusiaan mereka. Sebab itu, merupakan hal yang natural bahwa para wanita Mekah bersikap lebih tunduk dibandingkan dengan wanita yang hidup di tempat lain di Arabia, dan khususnya di Medina, yang pada waktu itu merupakan sebuah kota yang lebih kosmopolitan dan mempunyai penduduk dari bangsa-bangsa yang lebih maju peradabannya seperti Yahudi dan Kristen. Isteri-isteri Umar dan Muhammad lebih menyukai atmosfer emansipasi ini dan ingin menerapkan kebebasan relatif mereka. Tetapi hal ini tidak sesuai dengan keinginan kedua pria tak bermoral dari Mekah, yang bernama Umar dan Muhammad. Karena itu, hadis ini memperlihatkan bagaimana mereka dikejutkan oleh kebebasan yang baru ditemukan oleh isteri-isteri mereka. Hadis ini adalah hadis yang penting, sebab ini membuktikan bahwa para wanita sebelum Islam, memiliki lebih banyak kebebasan. Tetapi kemudian, kebebasan itu diambil dari mereka oleh Muhammad dan para penggantinya yang bejat. Juga menjadi jelas bahwa status yang menyedihkan dari para wanita dalam Islam, sesungguhnya bukanlah karena sebuah keputusan ilahi, namun pada tingkatan yang lebih luas, merupakan refleksi bagaimana para wanita diperlakukan di Mekah 1400 tahun yang lalu.

Fakta bahwa ada begitu banyak penekanan dalam Quran dan hadis mengenai betapa pentingnya para wanita untuk taat kepada suami-suami mereka, sesungguhnya menjadi sebuah indikasi dari keinginan Muhammad sendiri untuk mengontrol isteri-isterinya yang masih muda dan suka memberontak.

Hadis ini juga menyingkapkan skandal seksual nabi yang lain.

Suatu hari Muhammad pergi ke rumah Hafsa isterinya, anak perempuan Umar, dan menjumpai pembantunya yang menarik yaitu Mariyah. Muhammad memikirkan bagaimana ia bisa membuat Hafsa pergi dari rumahnya, sehingga ia bisa berduaan saja dengan Mariyah. Ia berbohong dengan mengatakan pada Hafsa bahwa ayahnya, Umar, memanggilnya. Ketika Hafsa pergi, Muhammad membawa Mariyah ke tempat tidur dan berhubungan seks dengannya. Bagi Mariyah, menolak keinginan Muhammad adalah hal yang tak terpikirkan. Ia adalah seorang budak perempuan yang jauh dari keluarganya, sementara Muhammad sendiri adalah hukum di kota itu. Jadi secara teknis, Muhammad sebenarnya melakukan perkosaan kepada Mariyah.

Sementara itu, Hafsa yang menyadari bahwa ayahnya tidak memanggilnya, dan juga yang kepulangannya ke rumah tidak diduga akan secepat itu, memergoki bagaimana suaminya yang sangat termasyur itu tengah berduaan di tempat tidur dengan pembantunya.

Hafsa menjadi sangat histerikal dan lupa dengan kedudukan nabi yang ia teriaki, sehingga hal itu menjadi sebuah skandal. Nabi meminta Hafsa untuk tenang dan berjanji untuk tidak tidur lagi dengan Mariyah. Ia juga memohon dengan sangat agar Hafsa tidak menceritakan rahasia itu kepada siapa pun.

Meskipun demikian, Hafsa yang tidak sanggup mengontrol dirinya, memberitahukan kejadian itu kepada temannya Aisyah dan keduapuluh isteri-isteri nabi lainnya, sehingga menyebabkan “Sang Karunia Allah bagi dunia” mengalami beban mental yang berat. Sang “Karunia Allah” memutuskan untuk menghukum semua isteri-isterinya, dan mengumumkan bahwa ia tidak akan tidur lagi dengan salah seorang pun dari mereka selama satu bulan. Ini adalah dua tingkatan penghukuman yang direkomendasikan dalam Quran. Tingkat pertama adalah menegur mereka, dan tingkat ketiga adalah hukuman badan. Q. 4: 34.

Ketika seorang pria memutuskan untuk menghukum isterinya dengan berpantang melakukan hubungan seks, ia bisa memuaskan dirinya dengan isteri-isterinya yang lain. Tetapi kemarahan Muhammad menyebabkannya mengucapkan sumpah untuk tidak tidur dengan satu pun dari mereka selama satu bulan. Tentu saja hal ini menjadi terlalu berat bagi yang terkasih Sang Utusan Allah (semoga damai turun atas jiwanya yang tak bernoda). Karena itu Allah, dalam karunianya, datang untuk menolong nabinya dan mewahyukan Sura Tahrim (Larangan). Dalam Sura ini, Allah menegur nabinya karena bersikap terlalu keras terhadap dirinya sendiri, dan untuk menolak melakukan apa yang ia sukai, demi untuk menyenangkan hati isteri-isterinya, padahal hal itu sesungguhnya sudah “dihalalkan” untuk ia lakukan.

1. Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

2. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

3. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

4. Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.

5. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan. (Q. 66:1-5)

Meskipun Muhammad sudah menyampaikan sumpahnya itu kepada Hafsa, yaitu untuk tidak lagi tidur dengan pembantunya, tetapi ia tidak sanggup menahan godaan. Ia sudah mengecap manisnya buah terlarang dan karena itu ia harus menghabiskannya. Ini menjadi hal yang mendesak, karena ia pun juga telah mengucapkan sumpah lainnya, yaitu untuk tidak tidur dengan semua isteri-isterinya yang lain. Bagaimana mungkin “Ciptaan Terbaik” tidak berhubungan seks selama satu bulan penuh?

Ini merupakan situasi yang sulit dan, karena itu, tak seorang pun bisa menolongnya kecuali Allah sendiri. Yang jelas, tak ada yang mustahil, jika Allah ada di dalam saku celanamu sendiri. Serahkan segala sesuatu di tangan sahabatmu yang “maha kuasa”, dan biarkan ia yang mengurusnya.


Inilah yang sebenarnya terjadi. Allah sendiri yang campur tangan dan memberikan lampu hijau pada nabiNya untuk mengikuti hasrat hatinya sendiri. Dalam sura Tahrim, Allah merestui nabi kesayanganNya untuk tetap tinggal bersama Mariyah dan tidak mempedulikan isteri-isterinya. Apa lagi yang lebih dari itu yang bisa diminta oleh seorang nabi? Allah sedemikian peduli dengan hasrat jasmani Muhammad sehingga Ia bahkan mengijinkan SEMUA ORANG untuk membatalkan sumpah-sumpah mereka sebagai “sebuah karunia.” Alhamdulillah! Subhanaallah. Allah itu begitu luar biasa bukan?

Juga patut jika menyebutkan, setelah Muhammad mengetahui kalau Hafsa telah memberitahukan rahasianya kepada Aisyah, maka Muhammad pun kemudian kembali berbohong dengan mengatakan bahwa Allah-lah yang memberitahukan hal itu padanya (ayat 3), padahal yang benar adalah Aisyah sendiri yang memberitahukan hal itu pada Muhammad. Tetapi, tentu saja Muhammad bukanlah pengarang Quran. Melainkan Allah sendiri yang berbohong demi nabiNya.

Dalam sura ini, Muhammad menggambarkan pencipta alam semesta sebagai seorang mucikari, seorang penggosip dan seorang pendusta – semuanya itu ia lakukan untuk menutupi kebejatan dan perzinahannya.

Sebagai reaksi atas ayat-ayat di atas, Aisyah yang tidak hanya masih muda dan cantik, tetapi juga cerdik, melaporkan apa yang telah disampaikan padanya, kepada Muhammad. Ia berkata,”Tuhanmu sedemikian gesitnya menolongmu!”


Artikel ALI SINA ini udah dibantah di:

http://www.answering-christianity.com/bassam_zawadi/rebuttaltoalisina9.htm

Lagi males translate nih Smile

Aku Copas aslinya aja yah Smile

Rebuttal to Ali Sina's article "Mariyah the Sex Slave of the holy Prophet"

By
Bassam Zawadi & Umar

(Note: this article was refuted with help from http://forum.bismikaallahuma.org/viewtopic.php?t=1371)


Introduction

This article is in response to Ali Sina's article "Mariyah the Sex Slave of the holy Prophet" which can be accessed here http://www.faithfreedom.org/Articles/sina/mariyah.htm

Ali Sina said:
The following is Muhammad’s scandalous love affair with Mariyah the Copt who was one of the prophet’s wives’ maids. Muhammad slept with her without any ceremony, which caused uproar among his wives and finally was settled by Divine intervention. This story is recorded in an authenticated Hadith and is reported by Omar.


Our Response:
Previously I accused Ali Sina of being a liar when he said that Mariyah was only a slave of the Prophet. It turns out that there is a difference in opinion regarding if Mariyah was the Prophet's wife or slave. So I apologize to Sina for that. However, even though, Ali Sina fails to prove anything against the Prophet.

There are sources that tell us that Mariyah was married to the Prophet..

Taken from http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?pagename=IslamOnline-English-Ask_Scholar/FatwaE/FatwaE&cid=1119503543986

The Prophet (peace and blessings be upon him) contracted some of his marriages for sociopolitical reasons. His principal concern was the future of Islam. He was interested in strengthening the Muslims by all bonds. That is why he married the young daughter of Abu Bakr, his First Successor, and the daughter of `Umar, his Second Successor. It was by his marriage to Juwayriyyah that he gained the support for Islam of the whole clan of Bani Al-Mustaliq and their allied tribes. It was through marriage to Safiyyah that he neutralized a great section of the hostile Jews of Arabia. By accepting Mariyah, the Copt from Egypt, as his wife, he formed a political alliance with a king of great magnitude. It was also a gesture of friendship with a neighboring king that Muhammad married Zaynab who was presented to him by the Negus of Abyssinia in whose territory the early Muslims found safe refuge.

Taken from http://www.islamic-paths.org/Home/English/Muhammad/Book/Wives/Chapter_12.htm#maria

Ibn Kathir is quoted to have said:
Maria al-Qibtiyya (may Allah be pleased with her) is said to have married the Prophet (peace and blessings of Allah be upon him) and certainly everyone gave her the same title of respect as the Prophet's wives, 'Umm al Muminin' 'Mother of the Believers'.

Muhammad must have come in contact with many of these Copts and listened to their stories. Muhammad's friendship to Christians of Coptic faith is reflected in many aspects of his life. He is known to have had cordial relations with the Negus of Abyssinia, as indicated by the fact that he advised his followers at a time of persecution to flee there. He married a Coptic wife named Mariya, and he is reported to have advised his followers to be especially kind to the Copts of Egypt, considering them his in-laws.

(R.H. Charles, "Vitae Adae et Evae," The Apocrypha and Pseudepigrapha [Oxford, 1963] Volume 2, p. 294)

Other non Islamic sources list Mariya as the Prophets spouse:

http://users.legacyfamilytree.com/NorthernEurope/f110.htm

http://www.peterwestern.f9.co.uk/maximilia/pafg887.htm#26206

For more evidence that Mariya was indeed the Prophet's wife, visit this site http://www.irfi.org/articles/articles_201_250/honor_of_the_noble_prophet.htm




Ali Sina said:
This Hadith is describing the reason for the revelation of verse 66: 4 of Quran. The verse says:

“If ye two turn in repentance to Him, your hearts are indeed so inclined; But if ye back up each other against him, truly Allah is his Protector, and Gabriel, and (every) righteous one among those who believe,- and furthermore, the angels - will back (him) up.”

Omar explains that these two women were Hafsa and Ayesha who became disrespectful of the prophet causing him grief until he thought of divorcing all of his wives. Here is the full story.

Bukhari Volume 3, Book 43, Number 648:

Narrated 'Abdullah bin 'Abbas:

I had been eager to ask 'Umar about the two ladies from among the wives of the Prophet regarding whom Allah said (in the Qur'an saying): If you two (wives of the Prophet namely Aisha and Hafsa) turn in repentance to Allah your hearts are indeed so inclined (to oppose what the Prophet likes) (66.4), till performed the Hajj along with 'Umar (and on our way back from Hajj) he went aside (to answer the call of nature) and I also went aside along with him carrying a tumbler of water. When he had answered the call of nature and returned. I poured water on his hands from the tumbler and he performed ablution. I said, "O Chief of the believers! ' Who were the two ladies from among the wives of the Prophet to whom Allah said:

'If you two return in repentance (66.4)? He said, "I am astonished at your question, O Ibn 'Abbas. They were Aisha and Hafsa."

Then 'Umar went on relating the narration and said. "I and an Ansari neighbor of mine from Bani Umaiya bin Zaid who used to live in 'Awali Al-Medina, used to visit the Prophet in turns. He used to go one day, and I another day. When I went I would bring him the news of what had happened that day regarding the instructions and orders and when he went, he used to do the same for me. We, the people of Quraish, used to have authority over women, but when we came to live with the Ansar, we noticed that the Ansari women had the upper hand over their men, so our women started acquiring the habits of the Ansari women. Once I shouted at my wife and she paid me back in my coin and I disliked that she should answer me back. She said, 'Why do you take it ill that I retort upon you? By Allah, the wives of the Prophet retort upon him, and some of them may not speak with him for the whole day till night.' What she said scared me and I said to her, 'Whoever amongst them does so, will be a great loser.' Then I dressed myself and went to Hafsa and asked her, 'Does any of you keep Allah's Apostle angry all the day long till night?' She replied in the affirmative. I said, 'She is a ruined losing person (and will never have success)! Doesn't she fear that Allah may get angry for the anger of Allah's Apostle and thus she will be ruined? Don't ask Allah's Apostle too many things, and don't retort upon him in any case, and don't desert him. Demand from me whatever you like, and don't be tempted to imitate your neighbor (i.e. 'Aisha) in her behavior towards the Prophet), for she (i.e. Aisha) is more beautiful than you, and more beloved to Allah's Apostle.

In those days it was rumored that Ghassan, (a tribe living in Sham) was getting prepared their horses to invade us. My companion went (to the Prophet on the day of his turn, went and returned to us at night and knocked at my door violently, asking whether I was sleeping. I was scared (by the hard knocking) and came out to him. He said that a great thing had happened. I asked him: What is it? Have Ghassan come? He replied that it was worse and more serious than that, and added that Allah's Apostle had divorced all his wives. I said, Hafsa is a ruined loser! I expected that would happen some day.' So I dressed myself and offered the Fajr prayer with the Prophet. Then the Prophet entered an upper room and stayed there alone. I went to Hafsa and found her weeping. I asked her, 'Why are you weeping? Didn't I warn you? Have Allah's Apostle divorced you all?' She replied, 'I don't know. He is there in the upper room.' I then went out and came to the pulpit and found a group of people around it and some of them were weeping. Then I sat with them for some time, but could not endure the situation. So I went to the upper room where the Prophet was and requested to a black slave of his: "Will you get the permission of (Allah's Apostle) for Umar (to enter)? The slave went in, talked to the Prophet about it and came out saying, 'I mentioned you to him but he did not reply.' So, I went and sat with the people who were sitting by the pulpit, but I could not bear the situation, so I went to the slave again and said: "Will you get he permission for Umar? He went in and brought the same reply as before. When I was leaving, behold, the slave called me saying, "Allah's Apostle has granted you permission." So, I entered upon the Prophet and saw him lying on a mat without wedding on it, and the mat had left its mark on the body of the Prophet, and he was leaning on a leather pillow stuffed with palm fires. I greeted him and while still standing, I said: "Have you divorced your wives?' He raised his eyes to me and replied in the negative. And then while still standing, I said chatting: "Will you heed what I say, 'O Allah's Apostle! We, the people of Quraish used to have the upper hand over our women (wives), and when we came to the people whose women had the upper hand over them..."

'Umar told the whole story (about his wife). "On that the Prophet smiled." 'Umar further said, "I then said, 'I went to Hafsa and said to her: Do not be tempted to imitate your companion ('Aisha) for she is more beautiful than you and more beloved to the Prophet.' The Prophet smiled again. When I saw him smiling, I sat down and cast a glance at the room, and by Allah, I couldn't see anything of importance but three hides. I said (to Allah's Apostle) "Invoke Allah to make your followers prosperous for the Persians and the Byzantines have been made prosperous and given worldly luxuries, though they do not worship Allah?' The Prophet was leaning then (and on hearing my speech he sat straight) and said, 'O Ibn Al-Khatttab! Do you have any doubt (that the Hereafter is better than this world)? These people have been given rewards of their good deeds in this world only.' I asked the Prophet . 'Please ask Allah's forgiveness for me. The Prophet did not go to his wives because of the secret which Hafsa had disclosed to 'Aisha, and he said that he would not go to his wives for one month as he was angry with them when Allah admonished him (for his oath that he would not approach Mariyah). When twenty-nine days had passed, the Prophet went to Aisha first of all. She said to him, 'You took an oath that you would not come to us for one month, and today only twenty-nine days have passed, as I have been counting them day by day.' The Prophet said, 'The month is also of twenty-nine days.' That month consisted of twenty-nine days. 'Aisha said, 'When the Divine revelation of Choice was revealed, the Prophet started with me, saying to me, 'I am telling you something, but you needn't hurry to give the reply till you can consult your parents." 'Aisha knew that her parents would not advise her to part with the Prophet . The Prophet said that Allah had said:--

'O Prophet! Say To your wives; If you desire The life of this world And its glitter, ... then come! I will make a provision for you and set you free In a handsome manner. But if you seek Allah And His Apostle, and The Home of the Hereafter, then Verily, Allah has prepared For the good-doers amongst you A great reward.' (33.28) 'Aisha said, 'Am I to consult my parents about this? I indeed prefer Allah, His Apostle, and the Home of the Hereafter.' After that the Prophet gave the choice to his other wives and they also gave the same reply as 'Aisha did."



Our Response:
Now, the Prophet (S) wives at then were astonished with the worldly pressures. What they wanted was the spoils of war, so that they could lead a luxurious life like the Kings, hence Umar Ibn Al-Khattab says this:

"I said (to Allah's Apostle) "Invoke Allah to make your followers prosperous for the Persians and the Byzantines have been made prosperous and given worldly luxuries, though they do not worship Allah?' The Prophet was leaning then (and on hearing my speech he sat straight) and said, 'O Ibn Al-Khatttab! Do you have any doubt (that the Hereafter is better than this world)? These people have been given rewards of their good deeds in this world only.' I asked the Prophet".

So Allah SWT revealed the Ayat:

(O Prophet! Say unto thy wives: “If ye desire the world’s life and its adornment, come! I will content you and will release you with a fair release. But if ye desire Allah and His Messenger and the abode of the Hereafter, then lo! Allah hath prepared for the good among you an immense reward”) (Al-Ahzab 33:28-29).

The Hadith Sina posted is true, and The Prophet (S) wives did wish for the worldly gains, The Prophet (S) gave them the choice as stated in the Ayat above, but they always chose the Prophet Muhammad (S). Yusuf Ali even confirms this by saying :

" We now come to the subject of the position of the Consorts of Purity, the wives of the holy Prophet. Their position was not like that of ordinary women or ordinary wives. They had special duties and responsibilities. The only youthful marriage of the Holy Prophet was his first marriage- that with Hadhrat Khadija, the best of women and the best of wives. He married her fifteen years before he received his call to Apostleship; their married life was twenty-five years and their mutual devotion was of the noblest, judged by spiritual as well as social standards. During her life he had no other wife which was unusual for a man of his standing among his people. When she died his age was 50 and but for two considerations, he would probably never have married again, as he was most abstemious in his physical life. The two considerations which governed his marriage later were : (1) compassion and clemency, as when he wanted to provide for suffering widows, who could not be provided for in any other way in that stage of society; some of them like Sauda had issue by their former marriage, requiring protection; (2) help in his duties of leadership with women who had to be instructed and kept together in the large Muslim family, where women and men had similar social rights. Hadhrat 'Aisha, daughter of Hadhrat Abu Bakr, was clever and learned, and in Hadith she is an important authority on the life of the Prophet. Hadhrat Zainab, daughter of Khuzaima was specially devoted to the poor : she was called the "Mother of the Poor: . The other Zainab, daugher of Jahsh also worked for the poor, for whom she provided from the proceeds of her manual work, as she was skilful in leather in leather work. But all the consorts in their high positions had to work and assist as Mother of the Ummat. Theirs were not idle lives, like those of Odalisques, either for their own pleasure or the pleasure of their husband. They are told here that they had no place in the sacred household if they merely wished for ease or worldly glitter. If such was the case, they would be divorced and amply provided for."

Further more, Yusuf Ali states:
" They were all well-doers. But being in their exalted position they had extra responsibility, and they had to be specially careful to discharge it. In the same way their reward would be "great", for higher services bring higher spiritual satisfaction, though they were asked to deny themselves of the ordinary indulgences of this life".

(Source: The Holy Qur'an , text, translation and commentary by Abdullah Yusuf Ali, footnotes # 3706, and 3707)

Maududi states the same in his commentary on the Holy Quran, Sura 33:
"The discourse contained in vv. 28-35 consists of two parts. In the first part, Allah has given a notice to the wives of the Holy Prophet, who were being impatient of the straitened circumstances, to the effect:" Choose between the world and its adornments, and Allah, His Prophet and the Hereafter. If you seek the former, you should say so openly: you will not be kept back in hardship even for a day, but will be sent off gracefully. And if you seek the latter, you should cooperate with Allah and His messenger and bear patiently." In the second part, initial steps were taken towards the social reforms whose need was being felt by the minds moulded in the Islamic pattern themselves. In this regard, reform was started from the house of the Holy Prophet himself and his wives were commanded to avoid behaving and conducting themselves in the ways of the pre Islamic days of ignorance, ,to remain in their houses with dignity, and to exercise great caution in their conversation with the other men. This was the beginning of the Commandments of Purdah."

(Source: http://www.islamicity.com/mosque/quran/maududi/mau33.html)

Let us continue with the response...




Ali Sina said:
The above Hadith is significant as it contains two important historic points. First it reveals, by Omar’s own admission, that “Ansari women had the upper hand over their men”. Even if we consider that to be an exaggeration, it is clear that women in Medina had more rights and authority than their Quraishy counterparts. Mecca, the home of the Quraish tribe, where Omar and Muhammad came from was a religious hob. People living in religious towns are more bigots than those living in other cities. Religion has always played a role in subjugating women and taking away their human rights. So it is natural that women in Mecca were more subdued than those living anywhere else in Arabia and especially Medina that was a more cosmopolitan city having civilized nations like Jews and Christians as its inhabitants. Omar and Muhammad’s wives enjoyed this emancipating atmosphere and were starting to exercise their relative freedom. This attitude, of course, did not sit well with the two misogynist men of Mecca, namely Omar and Muhammad and as this Hadith demonstrates, they were angry of their wives newfound liberties and rebelliousness.

The importance of this Hadith is in the fact that it proves that women prior to Islam had much more freedom, which was taken away from them by Muhammad and his misogynistic khalifas. It becomes clear that the deplorable status of women in Islam is not a divine verdict but a reflection of how women were treated in Mecca 1400 years ago.





[color-red]Our Response:
Ali Sina is trying to show that the hadiths indicate that women prior to Islam had more rights!!! Women were like monopoly pieces prior to Islam, and Ali Sina calls it "freedom".

Taken from http://www.iad.org/books/S-women.html

One major objective of this paper is to provide a fair evaluation of what Islam contributed (or failed to contribute) toward the restoration of woman's dignity and rights. In order to achieve this objective, it may be useful to review briefly how women were treated in general in previous civilizations and religions, especially those which preceded Islam (Pre-610 C.E.). Part of the information provided here, however, describes the status of woman as late as the nineteenth century, more than twelve centuries after Islam.

Women in Ancient Civilization
Describing the status of the Indian woman, Encyclopedia Britannica states:

In India, subjection was a cardinal principle. Day and night must women be held by their protectors in a state of dependence says Manu. The rule of inheritance was agnatic, that is descent traced through males to the exclusion of females.

In Hindu scriptures, the description of a good wife is as follows: "a woman whose mind, speech and body are kept in subjection, acquires high renown in this world, and, in the next, the same abode with her husband."

In Athens, women were not better off than either the Indian or the Roman women.

"Athenian women were always minors, subject to some male - to their father, to their brother, or to some of their male kin.

Her consent in marriage was not generally thought to be necessary and "she was obliged to submit to the wishes of her parents, and receive from them her husband and her lord, even though he were stranger to her."

A Roman wife was described by an historian as: "a babe, a minor, a ward, a person incapable of doing or acting anything according to her own individual taste, a person continually under the tutelage and guardianship of her husband."

In the Encyclopedia Britannica, we find a summary of the legal status of women in the Roman civilization:

In Roman Law a woman was even in historic times completely dependent. If married she and her property passed into the power of her husband . . . the wife was the purchased property of her husband, and like a slave acquired only for his benefit. A woman could not exercise any civil or public office . could not be a witness, surety, tutor, or curator; she could not adopt or be adopted, or make will or contract. Among the Scandinavian races women were:

under perpetual tutelage, whether married or unmarried. As late as the Code of Christian V, at the end of the 17th Century, it was enacted that if a woman married without the consent of her tutor he might have, if he wished, administration and usufruct of her goods during her life.

According to the English Common Law:

...all real property which a wife held at the time of a marriage became a possession of her husband. He was entitled to the rent from the land and to any profit which might be made from operating the estate during the joint life of the spouses. As time passed, the English courts devised means to forbid a husband's transferring real property without the consent of his wife, but he still retained the right to manage it and to receive the money which it produced. As to a wife's personal property, the husband's power was complete. He had the right to spend it as he saw fit.

Only by the late nineteenth Century did the situation start to improve. "By a series of acts starting with the Married women's Property Act in 1870, amended in 1882 and 1887, married women achieved the right to own property and to enter contracts on a par with spinsters, widows, and divorcees." As late as the Nineteenth Century an authority in ancient law, Sir Henry Maine, wrote: "No society which preserves any tincture of Christian institutions is likely to restore to married women the personal liberty conferred on them by the Middle Roman Law."

In his essay The Subjection of Women, John Stuart Mill wrote:

We are continually told that civilization and Christianity have restored to the woman her just rights. Meanwhile the wife is the actual bondservant of her husband; no less so, as far as the legal obligation goes, than slaves commonly so called.

Before moving on to the Qur'anic decrees concerning the status of woman, a few Biblical decrees may shed more light on the subject, thus providing a better basis for an impartial evaluation. In the Mosaic Law, the wife was betrothed. Explaining this concept, the Encyclopedia Biblica states: "To betroth a wife to oneself meant simply to acquire possession of her by payment of the purchase money; the betrothed is a girl for whom the purchase money has been paid." From the legal point of view, the consent of the girl was not necessary for the validation of her marriage. "The girl's consent is unnecessary and the need for it is nowhere suggested in the Law."

As to the right of divorce, we read in the Encyclopedia Biblica: "The woman being man's property, his right to divorce her follows as a matter of course." The right to divorce was held only by man. "In the Mosaic Law divorce was a privilege of the husband only .... "

The position of the Christian Church until recent centuries seems to have been influenced by both the Mosaic Law and by the streams of thought that were dominant in its contemporary cultures. In their book, Marriage East and West, David and Vera Mace wrote:

Let no one suppose, either, that our Christian heritage is free of such slighting judgments. It would be hard to find anywhere a collection of more degrading references to the female sex than the early Church Fathers provide. Lecky, the famous historian, speaks of (these fierce incentives which form so conspicuous and so grotesque a portion of the writing of the Fathers . . . woman was represented as the door of hell, as the mother of all human ills. She should be ashamed at the very thought that she is a woman. She should live in continual penance on account of the curses she has brought upon the world. She should be ashamed of her dress, for it is the memorial of her fall. She should be especially ashamed of her beauty, for it is the most potent instrument of the devil). One of the most scathing of these attacks on woman is that of Tertullian: Do you know that you are each an Eve? The sentence of God on this sex of yours lives in this age: the guilt must of necessity live too. You are the devil's gateway: you are the unsealer of that forbidden tree; you are the first deserters of the divine law; you are she who persuades him whom the devil was not valiant enough to attack. You destroyed so easily God's image, man. On account of your desert - that is death - even the Sop of God had to die). Not only did the church affirm the inferior status of woman, it deprived her of legal rights she had previously enjoyed.

So that ends the lie that women before Islam had more rights. [/color]


Also notice how Ali Sina contradicts himself. He said

"...Religion has always played a role in subjugating women and taking away their human rights...", then in the next sentence he says "...women in Mecca were more subdued than those living anywhere else in Arabia and especially Medina that was a more cosmopolitan city having civilized nations like Jews and Christians as its inhabitants...".

Everyone knows that Judaism and Christianity are not nations, they are religions. So which, if any, is the true statement? Are Judaism and Christianity not really religions, despite what their followers may believe? Or are they religions which, according to Sina, are all responsible for the subjugation of women? If one of these statements is true, the other must be false.

Ali Sina said:
The fact that there is so much emphasis in Quran and in Ahadith about the importance of women being obedient to their husbands is indeed an indication of Muhammad’s own desire to control his young and rebellious wives. (See Q. 4: 34)


Our Response:
[004:034] Men are the protectors and maintainers of women, because God has given the one more (strength) than the other, and because they support them from their means. Therefore the righteous women are devoutly obedient, and guard in (the husband's) absence what God would have them guard. As to those women on whose part ye fear disloyalty and ill-conduct, admonish them (first), (Next), refuse to share their beds, (And last) beat them (lightly); but if they return to obedience, seek not against them Means (of annoyance): For God is Most High, great (above you all).

I see no problem in the Ayat, if husbands maintain their wives, is there a problem Ali Sina? If wives don't protect the husbands interests while he is absent, is there a problem Ali Sina? Is it OKAY for a wife to be disobedient to their husband, the person who is taking care of the family? Is it NOT okay for the husband to respond to her behavior?

For a more in depth look into this verse you can visit

http://www.answering-christianity.com/karim/noble_quran_4_34.htm



Ali Sina said:
The other important point of the above Hadith is that it reveals yet another sexual scandal of the prophet.

One-day Muhammad goes to his wife’s house Hafsa the daughter of Omar and finds her maid Mariyah attractive. He sends Hafsa to Omar’s house, telling her that he wanted to see her. When Hafsa leaves, Muhammad takes Mariyah to bed and has intercourse with her. Meanwhile Hafsa, who finds out that her father was not expecting her, returns home much sooner than expected, and to her chagrin finds her illustrious husband in bed with her maid.

She becomes hysteric and forgetting the station of the prophet she shouts and causes a scandal. The prophet pleads with her to calm down and promises not to sleep with Mariah anymore and begs her also not to divulge this secret to anyone else.

However, Hafsa would not control herself and relays everything to Ayisha who also turns against the prophet and jointly with his other wives cause him much anguish. So the prophet decides to punish all of them and not sleep with any one of his wives for one month. Depriving one’s wives sexually is the second grade of punishment recomendedn in Quran. The first level is admonishing, the second level is depriving them of sex and the third level of punishment is beating them. Q. 4: 34.


Our Response:
I have already responded to the hadith, and given proof that Mariya was the wife of the Prophet.

Even if for sake of argument, that Hafsah did walk in on the Prophet and Mariya, the Prophet would obviously get upset at Hafsa for breaking her promise. Look at this hadith from Sahih Bukhari

Volumn 003, Book 043, Hadith Number 639.
-----------------------------------------
Narated By 'Abdullah bin 'Amr : The Prophet said, "Whoever has (the following) four characters will be a hypocrite, and whoever has one of the following four characteristics will have one characteristic of hypocrisy until he gives it up. These are: (1) Whenever he talks, he tells a lie; (2) whenever he makes a promise, he breaks it; (3) whenever he makes a covenant he proves treacherous; (4) and whenever he quarrels, he behaves impudently in an evil insulting manner." (See Hadith No. 33 Vol. 1)



Ali Sina said:
Of course when a man decides to punish a wife with sexual deprivation he can satisfy himself with his other wives. But Muhammad’s anger had made him make the oath not to sleep with any of them for one month. That of course would have been too much of hardship for the beloved messenger of God (peace be upon his immaculate soul), therefore God in his mercy came to the aid of his prophet and revealed the Surah Tahrim (Banning). In this Surah Allah rebukes Muhammad for being hard on himself and for depriving himself from what he really likes and has been made lawful for him, in order to please his wives.

This is the text of the Surah Tahrim: Q. 66: 1-5.

1. O Prophet! Why do you ban (for yourself) that which Allâh has made lawful to you, seeking to please your wives? And Allâh is Oft-Forgiving, Most Merciful.
2. Allâh has already ordained for you (O men), the dissolution of your oaths. And Allâh is your Maula (Lord, or Master, or Protector, etc.) and He is the All-Knower, the All-Wise.
3. And (remember) when the Prophet (SAW) disclosed a matter in confidence to one of his wives (Hafsah), so when she told it (to another i.e. 'Aishah), and Allâh made it known to him, he informed part thereof and left a part. Then when he told her (Hafsah) thereof, she said: "Who told you this?" He said: "The All-Knower, the All-Aware (Allâh) has told me".
4. If you two (wives of the Prophet SAW, namely 'Aishah and Hafsah turn in repentance to Allâh, (it will be better for you), your hearts are indeed so inclined (to oppose what the Prophet SAW likes), but if you help one another against him (Muhammad SAW), then verily, Allâh is his Maula (Lord, or Master, or Protector, etc.), and Jibrael (Gabriel), and the righteous among the believers, and furthermore, the angels are his helpers.
5. It may be if he divorced you (all) that his Lord will give him instead of you, wives better than you, Muslims (who submit to Allâh), believers, obedient to Allâh, turning to Allâh in repentance, worshipping Allâh sincerely, fasting or emigrants (for Allâh's sake), previously married and virgins. “

Comment:

Although Muhammad gave his word to Hafsa, not to have sex with her maid he could not resist the temptation. Especially now that he had taken another oath not to sleep with all of his wives. It was a difficult situation and no one but Allah could help him. Well, nothing is impossible when you are the prophet of Allah. Leave everything in the hands of the Almighty and let him take care of it. And that is exactly what happened. Allah himself intervened and gave him the green light to follow his heart's desire. In the Surah Tahrim God licensed his beloved prophet to have his flings and not pay attention to his wives. What can a prophet ask more? Allah was so concerned about Muhammad's carnal pleasures that he even allowed ALL MEN to break their oaths as a bounty. Alhamdulillah! AllahuAkbar! Subhanillah. Isn't Allah great?


Our Response:
Ali Sina simply does not make sense. By his own admission, the Prophet abstained from sex for nearly a month. That shows that the Prophet was not a sexual predator as most anti Islamics like Ali Sina portray him to be.

Secondly, the interpretation of the verse will be provided soon within the article so read on....



Ali Sina said:
It is also worthy of mention that Muhammad who came to know that Hafsa did reveal the secret to Aisha, lied to her by pretending that it was Allah who told him so (Ayat 3) while he actually learned it from Ayisha. But of course Muhammad is not the author of Quran. It is Allah himself who is lying for his prophet.

In reaction to the above verses, Ayisha, who was not only young and pretty but also clever, is reported to have said to Muhammad, "Your God indeed rushes in coming to your aid!"



Our Response:
We have not seen any references put forward by Ali Sina to prove this, so I won't know how to respond back to that unless I see the reference first.



Ali Sina said:
The above story must have been also embarrassing for Muhammad’s followers even when they gobbled mindlessly everything he told them. So they made other hadithes to explain those verses of Quran that were already explained by Omar.

Sahih Muslim Book 009, Number 3496:

'A'isha (Allah be pleased with her) narrated that Allah's Apostle (may peace be upon him) used to spend time with Zainab daughter of Jahsh and drank honey at her house. She ('A'isha further) said: I and Hafsa agreed that one whom Allah's Apostle (may peace be upon him) would visit first should say: I notice that you have an odour of the Maghafir (gum of mimosa). He (the Holy Prophet) visited one of them and she said to him like this, whereupon he said: I have taken honey in the house of Zainab bint Jabsh and I will never do it again. It was at this (that the following verse was revealed): 'Why do you hold to be forbidden what Allah has made lawful for you... (up to). If you both ('A'isha and Hafsa) turn to Allah" up to:" And when the Holy Prophet confided an information to one of his wives" (lxvi. 3). This refers to his saying: But I have taken honey.

Also Sahih Muslim Book 009, Number 3497:


Our Response:
These are authentic hadith that Ali Sina cannot deny. When there is a narration that supports his views, he accepts them and if there is a narration that goes against his views, he accepts them. This is illogical.

Yusuf Ali in his commentary said
66. 1:
C5529. The Prophet's household was not like other households. The Consorts of Purity were expected to hold a higher standard in behaviour and reticence than ordinary women, as they had higher work to perform. See n. 3706 to xxxiii. 28. But they were human beings after all, and were subject to the weaknesses of their sex, and they sometimes failed. The commentators usually cite the following incident in connection with the revelation of these verses. It is narrated from 'Aisha, the wife of the holy Prophet (peace be on him) by Bukhari, Muslim, Nasai. Abu Dawud and others that the holy Prophet usually visited all his wives daily after 'Asr Prayer. Once it so happened that he stayed longer than usual at the quarters of Zainab bint Jahsh, for she had received from somewhere some honey which the holy Prophet liked very much. "At this", says 'Aisha, "I felt jealous, and Hafsa, Sawda, Safiya, and I agreed among ourselves that when he visits us each of us would tell him that a peculiar odour came from his mouth as a result of what he had eaten, for we knew that he was particularly sensitive to offensive smells". So when his wives hinted at it, he vowed that he would never again use honey. Thereupon these verses were revealed reminding him that he should not declare to himself unlawful that which Allah had made lawful to him. The important point to bear in mind is that he was at once rectified by revelation, which reinforces the fact that the prophets are always under divine protection, and even the slightest lapse on their part is never left uncorrected.

C5530. The tender words of admonition addressed to the Consorts in xxxiii. 28-34 explain the situation far better than any comments can express. If the holy Prophet had been a mere husband in the ordinary sense of the term, he could not have held the balance even between his private feelings and his public duties. But he was not an ordinary husband, and he abandoned his renunciation on his realisation of the higher duties with which he was charged, and which required conciliation with firmness.

Yusuf Ali's Commentary from QuranTrans
1) What does it mean when it says : 1. O Prophet! Why do you ban (for yourself) that which Allâh has made lawful to you, seeking to please your wives? And Allâh is Oft-Forgiving, Most Merciful .

Here is what Ibn Kathir says:

Taken from http://www.tafsir.com/default.asp?sid=66&tid=54321

Al-Bukhari recorded that `Ubayd bin `Umayr said that he heard `A'ishah claiming that Allah's Messenger used to stay for a period in the house of Zaynab bint Jahsh and drink honey in her house. (She said) "Hafsah and I decided that when the Prophet entered upon either of us, we would say, `I smell Maghafir on you. Have you eaten Maghafir' When he entered upon one of us, she said that to him. He replied (to her),

No, but I drank honey in the house of Zaynab bint Jahsh, and I will never drink it again.)'' Then the following was revealed

(O Prophet! Why do you fobid that which Allah has allowed to you) up to

(If you both turn in repentance to Allah, your hearts are indeed so inclined;) in reference to `A'ishah and Hafsah.

2) What does it mean that the Prophet disclosed something in secret? Heres what Ibn Kathir states:

And (remember) when the Prophet disclosed a matter in confidence to one of his wives,) which refers to this saying

(But I have drunk honey.) Ibrahim bin Musa said that Hisham said that it also meant his saying,

(I will not drink it anymore, I have taken an oath to that. Therefore, do not inform anybody about it.)



Ali Sina said:
First of all honey does not smell bad.

Our Response:
Sina is correct in the sense in that honey does not smell bad. But the hadith he quoted does not say that. It says that mughafir, which the hadith tells us is the gum of the Mimosa tree, smells bad.

For the evidence see what Ibn Kathir says
Al-Bukhari also recorded this Hadith in the Book of Divorce; then he said, "Al-Maghafir is a type of sap, and in Ar-Rimth (a type of citrus) its taste is sweet...'' Al-Jawhari said, "The `Urfut is a tree of the shrub variety, which secretes Maghfur.'' Muslim collected this Hadith from `A'ishah in the Book of Divorce in his Sahih, and his wording is the same as Al-Bukhari in the Book of Vows. In the Book of Divorce, Al-Bukhari recorded that `A'ishah said, "Allah's Messenger liked sweets and honey. After performing the `Asr prayer, he used to visit his wives, going close to them. So he went to Hafsah, daughter of `Umar, and stayed with her more than his usual stay. I (`A'ishah) became jealous and asked about that. It was said to me, `A woman of her family sent her a small vessel of honey as a gift, and she gave a drink to Allah's Messenger made from it.' I said, `By Allah, we will contrive a plot against him.' I said to Sawdah bint Zam`ah, `When the Messenger visits you and draws close to you, say to him, `Have you eaten Maghafir' And when he says to you, `No', then ask him, `What is this odor' He will say to you, `Hafsah has given me a drink of honey.' Then you should say to him, `The honeybees might have eaten from Urfut, and I will also say the same to him. Safiyyah, you should also say this.' Sawdah later said, `It was under compulsion that I had decided to state that which you told me; soon, by Allah, he was standing at my door.' So when Allah's Messenger came near her, she said, `O Messenger of Allah! Did you eat Maghafir' He said, `No.' She again said, `Then what is this odor' He said,

(Hafsah gave me honey to drink.) She said, `The honeybees might have eaten from `Urfut.')'' `A'ishah continued, "When he came to me I said the same to him. He then visited Safiyyah and she also said similar to him. When he again visited Hafsah, she said, `O Messenger of Allah, should I not give you that (drink)' He said,

(I do not need it.) Sawdah said, `By Allah! We have prevented him from drinking honey.' I said to her, `Keep quiet!''' Muslim also recorded this Hadith, but this wording is from Al-Bukhari. In the narration of Muslim, `A'ishah said, "The Messenger of Allah used to hate to have a bad odor coming from him'' This is why they suggested to him that he ate Maghafir, because it causes a bad odor. When he said,

(No, I had some honey.) They said that the bees ate from a tree that is called Al-`Urfut, which has Maghafir gum, suggesting that this is the reason behind the bad odor they claimed was coming from him. The latter narration, collected through `Urwah from `A'ishah, mentions that it was Hafsah who gave the Prophet the honey. In another narration collected from `Ubayd bin `Umayr, from `A'ishah, it was Zaynab bint Jahsh who gave the honey to the Prophet , while `A'ishah and Hafsah were the plotters. Allah knows best. Some might say that they were two separate incidents. However, it is not likely that the Ayat were revealed about both incidents, if indeed they were two separate incidents. Allah knows best. A Hadith that Imam Ahmad collected in the Musnad mentions that `A'ishah and Hafsah were the plotters. Imam Ahmad recorded that Ibn `Abbas said, "I was eager to ask `Umar about the two ladies among the wives of the Prophet , about whom Allah said,



Ali Sina said:
ut above all it is inconceivable that a trivial incident like drinking honey could cause such an upheaval in the household of the prophet to the extend that he decides to divorce all of his wives or to punish them for one month by not sleeping with them.

Our Response:
It wasn't the drinking of honey that caused the Prophet (PBUH) to become displeased with his wives, but the jealousy displayed by them because they felt he was giving too much attention to Zainab, and their secret plotting against him in order to make him spend less time with her.


Conclusion


We come to the closing of the article, but we tend to ask ourselves, WAS IT ALL JUST BECAUSE OF HONEY?? No, it wasn't, it was more. As you can read, Allah Almighty made it clear in the Holy Quran in Sura At-Tahrim :

4. If you two (wives of the Prophet SAW, namely 'Aishah and Hafsah turn in repentance to Allâh, (it will be better for you), your hearts are indeed so inclined (to oppose what the Prophet SAW likes), but if you help one another against him (Muhammad SAW), then verily, Allâh is his Maula (Lord, or Master, or Protector, etc.), and Jibrael (Gabriel), and the righteous among the believers, and furthermore, the angels are his helpers.

That the Wives of the Holy Prophet (S) used to conspire against him. They were inclined to oppose what the Prophet (S) liked, in this case honey, and lied to him. Again, the main reason why the Prophet got mad was because Hafsah broke her promise and as I showed in the hadith earlier, breaking one's promise is a major sin in Islam.

We pray that Ali Sina becomes a Muslim again, May Allah SWT lead him to Islam....... Ameen !

Wassalam...
ditranslate donk ke bhs indo... kerja keras dikit napa...!!!
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci 706181
Tom Jerry
Tom Jerry
SILVER MEMBERS
SILVER MEMBERS

Male
Number of posts : 1829
Location : Jakarta
Job/hobbies : Cari kebenaran
Reputation : 11
Points : 7250
Registration date : 2010-09-21

Back to top Go down

Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty Re: Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

Post by musicman Mon 15 Aug 2011, 11:03 pm

Prophet muhammad and his family oleh Shahim Aleem


Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Sampulprophetmuhammadan

hal.163
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Sampulprophetmuhammadan

hal.164
Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Sampulprophetmuhammadan

tuh..pembukanya saya kasih...ucapan Safiyah tentang sayangnya kepada nabi Muhammad saat menjelang WAFAT...!

The Answer is:
COCOK APA NGGA AMA JUDUL..BUDAK SEX?

musicman
musicman
SILVER MEMBERS
SILVER MEMBERS

Number of posts : 2736
Reputation : 7
Points : 7765
Registration date : 2011-01-04

Back to top Go down

Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty Re: Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

Post by Bnei Yishmael Ben Avraham Mon 15 Aug 2011, 11:17 pm

inti cerita itu ada pada ayat 28 dan 29 Al Ahzab
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.’

rupa-rupanya istri-istri nabi pada memilih keridhoan Allah dan Rasul-Nya serta kenikmatan di negeri akhirat,,,,,,so mereka gak nuntut macam-macam lagi......

susah amat nangkap maksud beginian otak kapirun......
Bnei Yishmael Ben Avraham
Bnei Yishmael Ben Avraham
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Number of posts : 823
Reputation : 2
Points : 5508
Registration date : 2011-07-24

Back to top Go down

Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty Re: Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

Post by Jangan Ngaco Tue 16 Aug 2011, 2:38 am

pesan buat kresetan2 yang laen jangan sampai meniru kelakuan si kermit,,,
yang ujungnya bikin malu teman nama kresetan...! Wink
Jangan Ngaco
Jangan Ngaco
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Male
Number of posts : 813
Location : SumSel
Job/hobbies : Memaafkan
Humor : kasihan umat yang diwarisi dosa
Reputation : 12
Points : 5512
Registration date : 2011-08-07

Back to top Go down

Mariyah, Budak Seks Rasul Suci Empty Re: Mariyah, Budak Seks Rasul Suci

Post by Sponsored content


Sponsored content


Back to top Go down

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum