Dialog Muslim-Kristen: percuma !

by i_gede_manuke Mon 29 Dec 2008, 7:32 pm

Dialog Muslim-Kristen: percuma !

Saya dgn girang menunggu kuliah oleh seorang pakar Islam di C-Span2 sambil mengingat ironi ini : para pengajar dan akademisi Islam disambut dengan terbuka di Univ2 kami dan memiliki akses untuk mengajar di forum2 umum kami. Namun, orang Barat, apalagi orang Kristen, tidak menikmati hak yang sama di negara2 islam. Memang tidak ada quid pro quo dalam hal hubungan Muslim-Barat.

Kuliah ini disponsori oleh the San Francisco World Affairs Council. Pembicaranya adalah Khaled Abu El Fadil, profesor hukum di UCLA, yang akan memperkenalkan buku paling barunya, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (Pencurian Terbesar : Merenggut Islam dari Ekstrimis).

Nah, setelah perkenalan singkat, mulailah ia berbicara. Prof ini menggunakan kata "puritan" untuk menggambarkan para "ekstrimis" atau "Salafis" (bahasa Arab untuk fundamentalis). Beberapa kali ia ingin menarik persamaan antara Muslim radikal dengan Kristen fundamentalis.

Keterangan atas tema bukunya tidak kunjung datang pula; malah sebaliknya, ia dgn sengaja mencoba membingungkan pendengar.
Ini jelas dalam kesempatan Tanya Jawab.

Contoh, ketika ditanya tentang pandangan Muhamad tentang wanita, ketimbang memberikan jawaban langsung ia membelok ke sikap Musa dan Yesus terhadap wanita. Tentu, pada akhirnya ia menunjukkan sikap terpuji Muhamad terhadap wanita dengan mencontohkan Khadija, isteri pertamanya. Jawabannya ini sangat lihai dan mengarah ke membohong.

Arus misinformasi terus muncrat dari mulutnya. Pertanyaan jujur dijawabnya dengan pidato panjang yang membuat kabur ketimbang menaruh kejelasan pada subyek ybs. Waktu Tanya Jawab lewat dgn cepat dan banyak pertanyaan tertulis tidak terjawab. Orang dapat merasakan suasana tegang diantara pendengar yang tidak nampak karena banyak yang kecewa dengan penampilan sang penulis, yang lebih bersikap sebagai orang "imut2", ketimbang seorang pembicara serius. Pertemuan berakhir dengan moderator bertanya dgn tegas agar ia membatasi jawaban pada "ya" atau "tidak". Ia memang melakukannya namun saya tidak yakin ia jujur dalam jawabannya.

Ironi peristiwa ini menggambarkan kebingungan ttg Islam dan hubungannya dengan dunia luar. Kami sedang terlibat perang melawan Islamis di Afghanistan dan Iraq, menghabiskan milyaran dilar dan darah anak2 kami; sementara pertahanan dalam negeri semakin dilemahkan dengan meningkatnya pengaruh pasukan "pakar" Muslim yang mengajar di universitas kami, yg menawarkan nasehat kpd pemimpin pemerintahan. Kami sangat naif kalau percaya bahwa setelah belajar di univ2 kami, para pakar muslim itu berubah menjadi obyektif dalam analisa mereka tentang teror Islam sedunia.

Hanya sedikit yang berhasil. Salah satunya adalah Fuad Ajami dari John Hopkins University. Sayangya, mayoritas pakar muslim yang menduduki kursi2 penting di univ2 kami masih juga dipengaruhi adat tempat asal mereka saat sampai di USA. Yang mereka kuasai adalah seni propaganda dgn menutup2i ketimbang mengungkapkan Islam dan sejarah berdarahnya. Profesor Khaled Medhat Abou El Fadil adalah contoh asli propagandis yang berpura2 sbg pakar Muslim moderat.

Beberapa tahun lalu, saya membaca artikel dalam jurnal FIRST THINGS. Artikel ini tampil dalam edisi August/September 1992, dan ditulis oleh Profesor S. Mark Heim dari Andover Newton Theological School. Judulnya: “Pluralism and the Otherness of World Religions”/Pluralisme dan Kelainan Agama2 Dunia Lain.

Dengan adanya perkembangan teologi pluralis di Barat yang mengajarkan persamaan nilai dan keabsahan semua agama, Profesor Heim menegaskan bahwa sementara Barat menerima Muslim, Muslim tidaik menerima modus operandi yang sama.

Contoh, dialog dengan seorang profesor Muslim yang mengajar di Georgetown University in Washington, D.C., dengan pakar teologi Katolik dari Swiss. Mereka adalah Seyyed Hossein Nasr dan Hans Kung. Dalam dialog antara Kristen-Islam, Kung mengatakan, 'Quran sebagai wahyu Allah seharusnya juga dianggap sebagai kata2 seorang manusia biasa sebagaimana sang nabi adalah manusia biasa.'

Nasr mengatakan bahwa Muslim menganggap Qur’an tidak lain dari kata2 Allah yang diterima langsung oleh Muhamad. Titik. Kung membalas, ini seperti seorang Kristen mengatakan kepada Muslim, 'Anda harus percaya kepada Trinitas, kalau tidak, tidak akan ada dialog'.

Dijaman dulu, Kristenpun mengalami hal sama. Orang dulu bahkan tidak boleh mengajukan pertanyaan yang meragukan doktrin Kristen; ini bisa berarti mati. Begitu juga dengan Islam. Namun dengan banyaknya mahasiswa muslim yang pandai diseluruh dunia, kata Kung, tidak lagi mungkin bagi Islam untuk menghindari pertanyaan2 ini.

Kung percaya bawha ‘mengambil pendekatan historis terhadap Quran tidak akan merusak kepercayaan Muslim kepada satu Allah, malah menguatkan.'

Nasr membalas dengan beberapa poin.
1) ia tidak mengatakan bahwa Kristen harus menerima kepercayaan Muslim untuk tercapainya dialog, hanya bahwa Kristen harus mengakui bahwa ini kepercayaan muslim. Untuk berbicara dengan orang, anda harus bisa menerima orang itu.

2) Nasr menolak asumsi Kung bahwa kategori modernitas Barat adalah universal dan wajib bagi semua. ‘Mari kita bayangkan kita di Kairo, mengadakan dialog macam ini. Muslim mengatakan bahwa karena dunia Islam sudah menuruti jalan tertentu dan bertindak dengan cara tersendiri, maka Barat harus mengikuti cara yang sama, baru kita semua bisa diskusi.

Disini kita melihat bahwa professor Nasr, terlepas dari pengetahuannya akan bahasa dan budaya Inggrisi, ia tetap menolak untuk menceraikan diri dari jalan pikir ala Islamnya. Walau ia mengajar di universitas Roma Katolik terkenal, kesetiaaanya tetapi pada Islam, sejarahnya dan budayanya.

Profesor Heim mengomentari tendensi Islam ini dengan mengatakan:
“Nasr tidak mau mengakui bahwa ini sekedar pernyataan netral bagi prinsip2 universal yagn berlaku bagi semua budaya dan semua agama, yang mana penerapan prisnisp2 ini belum berhasil dilakukan Muslim.
Jaminan Kung bahwa pengalaman sejarah di barat terhadap agamanay tidak perlu ditakuti, nampaknya tidak ditanggapi oleh pihak Muslim.

Seperti saya sebutkan sebelumnya, pertemuan pakar Kristen-Muslim in semakin meyakinkan saya bahwa pendidikan Barat jarang mengubah cara berpikir Muslim. Saya tidah habis2nya heran atas ketidakmampuan Barat untuk menyadari bahwa Islam bukan hanya sekedar agama.
Bagi Muslim, Islam adalah komitemen TOTAL kepada Allah. Sebuah kepercayaan total dan menyeluruh yagn menuntut ketaatan TANPA pertanyaan.

Muslim dimanapun, secara sadar atau tidak, hanya memiliki satu tujuan; pembelaan dan penyebaran kepercayaan mereka dengan segala cara. Islam bertujuan menguasai dunia dan menjanjikan para jihadis kenikmatan tanpa akhir di surga nanti. Ini sudah berlangsung selama 1400 tahun, dan sayangnya fotografi ketika itu belum ditemukan sehingga kekejaman Islam tidak dapat didokumentasi.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, sering terjadi kesempatan bicara bagi Muslim kepada publik Amerika pada C-Span2 atau PBS.
Malah para pembicara Muslim didukung oleh dhimmi2 mereka di barat untuk menunjukkan kebesaran islam dalam film dokumenter,
“Islam: Empire of Faith” atau “The Legacy of the Prophet.”

Seberapa besar sukses mereka ini sulit diukur. Ini malah menambah kebingungan Barat saat mereka menghadapi jihadis global, meledaknya imigrasi Muslim ke negara2 barat dan kemungkinan masuknya Turki kedalam EU.

Saya hanya bisa meminta kepada Tuhan agar tidak terulang lagi, nasib jutaan orang Kristen, Hindu, Yahudi dll yang pernah menikmati pahitnya imperialisme Islam selama berabad2 ini !//

Subscribe to MURTADIN_KAFIRUN

Dialog Muslim-Kristen: percuma !

Dialog Muslim-Kristen: percuma !