Tahun Lalu, Hampir 3.000 Kasus Pelecehan Seksual di Arab Saudi

RIYADH, KOMPAS.com — Angka kasus pelecehan seksual terhadap perempuan dan remaja di Arab Saudi selama satu tahun lalu mencapai 2.797 kasus. Demikian laporan harian terbitan Arab Saudi Asharq, Sabtu (3/8/2013).

Sebanyak 1.669 kasus atau sebesar 59,9 persen melibatkan warga Saudi, sementara 1.128 kasus dilakukan warga asing dari berbagai negara.

Menurut harian Al-Sharq, juga terbitan Saudi, kasus pelecehan seksual terbesar terjadi di ibu kota Riyadh dengan 650 kasus.

Sementara untuk orang asing pelaku pelecehan seksual terhadap perempuan dan remaja, media massa Saudi menyebut, warga Yaman termasuk di posisi teratas pelaku pelecehan.

Warga Yaman terlibat dalam lebih dari 100 kasus pelecehan yang ditangani berbagai pengadilan Saudi.

Kasus-kasus pelecehan lain melibatkan warga Mesir, Pakistan, Banglades, dan Suriah. Sisanya adalah warga negara-negara Arab dan warga non-Arab.

Sementara itu, seorang pengacara Saudi, Abdul Aziz al-Zamil mengatakan, tindak kekerasan dan pelecehan terhadap remaja muncul dalam berbagai bentuk.

Sebagian pelaku memaksa para remaja itu melakukan aktivitas teror dengan latar belakang agama. Sementara pelaku lainnya memaksa para remaja perempuan menjadi PSK.

 

LENSAINDONESIA.COM: Koordinator Divisi Perempuan Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Rach Alida Bahaweres, menghimbau pers atau media melindungi privasi korban kejahatan seksual.“Melindungi korban dapat dilakukan dengan menggunakan perspektif gender dalam memberitakan kasus kejahatan seksual,” kata Alida dalam diskusi yang bertajuk ‘Etika Perlindungan Privasi dalam Peliputan Kejahatan Seksual’, di Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Menteng Jakarta Pusat, Rabu (11/01).Menurut Alida, untuk melindung korban kekerasan seksual, pemberitaan harus berorientasi pada usaha penyelamatan korban, menekan jumlah kasus, dan mengupayakan pencegahan susulan tindak kejahatan seksual lainnya. “Pemberitaan kejahatan seksual harus memberikan jalan keluar, baik bagi orang yang menjadi korban maupun usaha pencegahan tindakan pelecehan dan kejahatan seksual lainnya,” ujarnya. Dijelaskannya, privasi korban tindak kejahatan seksual harus dijaga. Karena korban akan mengalami trauma mendalam, seperti  syok, ketakutan akan teror, mati rasa, dan ketidakberdayaan.

“Korban kejahatan juga mengalami kehilangan privasi, kepercayaan, dan menganggap dirinya tidak berharga karena telah ternoda. Trauma mendalam inilah yang harus dipahami media, sehingga perlindungan privasi korban dalam penulisan kejahatan dikhususkan mengurangi trauma,” lanjut Alida. Namun pada kenyataan, masih ada media yang memilih mempublikasi korban kejahatan seksual. Alih-alih membantu, pengungkapan identitas korban, media malah membuat korban kejahatan seksual tambah mengalami trauma karena masyarakat semakin mengetahui permasalahan yang dihadapi. Untuk menjaga privasi tersebut, kode etik jurnalsitik telah mengaturnya. Diantaranya, Pasal 5 yang berbunyi, “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan seksual dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan,” ujarnya. Menurutnya, menyebutkan identitas korban kejahatan seksual, secara tidak langsung ikut menyebarluaskan informasi perusak nama baik dan masa depan korban.

Dijelaskannya, sesuai data Komnas Perempuan, tindak kejahatan yang terjadi hampir seperempatnya adalah kasus kekerasan seksual, yakni 93.960 kasus dari 400.939 kasus yang terpantau. “Lima jenis kejahatan seksual terbanyak, yaitu; perkosaan 4.845 kasus, perdagangan perempuan untuk tujuan seks 1.359 kasus, pelecehan seksual 1.049 kasus, penyiksaan seksual 672 kasus, dan eksploitasi seksual 342 kasus,” kata Alida.@ hairul